• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insiden pencurian ternak

Dalam dokumen ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI PEREBUTAN (Halaman 57-64)

HUBUNGAN SUKU BANGSA

Kasus 4: Insiden pencurian ternak

Beberapa tahun yang lalu, warga transmigran sering kehilangan ayam, pakaian, panci, dan buah-buahan dipekarangan yang diketahui dilakukan Orang Rimba. Tetapi setelah beberapa peristitiwa kehilangan itu, tidak ada Orang Rimba yang dapat ditunjuk sebagai pelakunya. Lalu seorang transmigran mengumpan sang maling dengan ayam dan dugaan itu segera terbukti setelah pelakunya tertangkap basah. Dia juga mengaku sebagai pelaku pencurian sebelumnya. Warga transmiran tidak menuntut denda karena pelaku berdalil hal itu dilakukannya karena kelaparan. Bagaimana sudut pandangan Orang Rimba? Ada perasaan berhak bagi Orang Rimba untuk mengambil tanaman atau milik transmigran. Mereka berpendapat kemapanan ekonomi transmigran tidak lain karena wilayah mereka ditempati transmigran, namun Orang Rimba tidak berhasil mempertahankan hutan dan tanah mereka karena transmigran dilindungi oleh pemerintah. Oleh karena itu, menurut Orang Rimba wajar kalau mereka mengambil sedikit-sedikit milik transmigran. Bila hal itu dipersoalkan mereka sanggup membela diri dengan cara mengerahkan massa atau menyerang transmigran secara fisik.

KO NF R O N TA S I SU KU BA NG S A

Edward Bruner (1974:255) mengatakan, dominan tidaknya suatu kebudayaan terhadap suku bangsa lain ditentukan tiga hal: (i) rasio populasi atau demografi sosial yang tidak hanya berfungsi sebagai fakta heterogenitas tetapi lebih kepada kondisi yang secara khusus memberikan konteks dominasi, (ii) mantapnya kebudayaan lokal setempat dan bagaimana sesungguhnya pengartikulasiannya, (iii) adanya ruang bagi kekuasaan dan distribusinya diantara kelompok-kelompok suku bangsa yang lain. Secara numerik jumlah penduduk suku bangsa Jawa minor Sunda adalah separuh dari total penduduk Jambi, disusul suku bangsa Melayu, Minangkabau, Palembang, Batak, Cina, Orang Rimba, Orang Bajau dan kelompok-kelompok etnis kecil lainnya. Jumlah Orang Rimba pada tahun 2005 adalah 25.000 jiwa (KKI Warsi, 1995). Suatu kenyataan bahwa mereka minoritas dari segi jumlah dan lebih minoritas lagi dalam bidang-bidang kehidupan lainnya. Separuh dari populasi Orang Rimba itu sekarang tidak memiliki hutan lagi sebagai dasar kehidupan mereka. Desakan ekonomi dan dominasi budaya luar semakin nyata dirasakan sekarang ditambah dengan pembangunan yang menelantarkan mereka di masa lalu. Saat ini ekspansi transmigran dan Melayu ke hutan-hutan tersisa untuk membuka pertanian baru masih terus berlangsung, dengan keadaan Orang Rimba yang marjinal, dapat dinilai bahwa mereka tidak akan dapat mempertahankan sisa hutan yang ada tanpa adanya perlindungan dari pemerintah atau bantuan organisasi non pemerintah.

Resistensi atas dominasi ini belakangan diwujudkan dalam bermacam-macam cara, mulai dari aksi demonstrasi, mencuri, memeras, sampai menghadang kendaraan di jalan-jalan umum. Buah dari ulah itu 13 dari mereka terbunuh (data dari tahun 1998-2006). Kasus pembunuhan yang menghebohkan adalah pembunuhan keluarga Temeggung Arai di Merangin beberapa tahun yang lalu. Semua keluarga Temenggung Arai (7 orang) habis dibunuh, harta bendanya dirampok, dan anak perempuannya diperkosa. Polisi Merangin berhasil menangkap semua pelakuknya dan Pengadilan Negeri Bangko menjatuhkan hukuman mati pada para pelaku. Kasus terakhir terjadi tahun 2006, pemicu pembunuhan itu cukup sepele, korban mencuri petai milik pelaku. Pencurian dan

aksi-aksi sepihak Orang Rimba ini memang menjengkelkan masyarakat sekitar, sementara pemerintah belum memiliki solusi mengatasi masalah ini.

Berita harian di Jambi yang dikumpulkan sepanjang tahun 2003-2005 menunjukkan kejadian-kejadian yang sebahagian bermuara pada konflik, khususnya pada kasus Orang Rimba Luar:

Jambi Independent, Senin, 10 Januari 2005 menulis judul berita: “Warga SAD Todong Sopir Truk Sawit”. Disebutkan dalan isi berita, sekelompok Suku Anak Dalam (Orang Rimba) di kawasan bekas unit pemukiman transmigrasi (UPT) Desa Sungai Kapas, Bukit Bungkul, Merangin dan di Desa Tanjung Benuang menghadang mobil truk bermuatan tandan buah segar (TBS) sawit. Warga yang melewati ruas jalan Desa Sungai Kapas juga turut dihadang oleh tujuh orang pemuda Orang Rimba, tujuanya untuk memperoleh uang.

Jambi Independent, 10 Januari 2005 menulis judul berita: “SAD TNB 12 Datangi DPRD”. Disebutkan dalam isi berita, beberapa anggota SAD yang bermukim di Taman Nasional Bukit 12 meminta pemerintah dan kalangan DPRD, untuk memberikan keadilan dan perhatian kepada para SAD, khususnya pada sektor pendidikan dan kesehatan.

Post Metro, Selasa, 25 Januari 2005 menulis judul berita: “Suku Kubu Dusun Lamo Padang Salak Minta Kembalikan Tanah”. Disebutkan dalam isi berita, Husin A Roni alias Temenggung Kaji, menyampaikan pengaduan kepada DPRD Jambi atas hilangnya lahan milik warga mereka 1.000 jiwa yang dijadikan areal perkebunan sawit. Masalah lahan ini telah berlangsung sejak tahun 1975-1986 dan kemudian muncul tahun 2002. Tanah milik SAD ini sekarang telah beralih ke tangan PT Asiatik Persada.

Jambi Independent, Sabtu, 15 januari 2005 menulis judul berita: “Ruas Jalan Talang Kawo Normal, Pasca Pemblokiran Jalan Oleh SAD”. Disebutkan dalam isi berita, kondisi ruas jalan Talang Kawo menuju Desa Sungai Kapas kembali normal dan lancar, yang terlihat hanya lima kepala keluarga yang masih bertahan hingga penyelesaian ganti rugi terealiasi. Aksi ini dilakukan SAD karena anjing peliharaan mereka ditabrak lari oleh sebuah truk, sementara truk yang menabrak tidak dapat dikenali.

Jambi Ekspres, Sabtu, 29 Januari 2005 menulis judul berita: “KUBU Jarah Toko Manisan”. Disebutkan dalam isi berita, belasan warga masuk ke salah satu warung warga transmigran dan mengambil barang-barang didalamnya tanpa membayar.

Jambi Ekspes, Rabu, 28 Juli 2004 menulis judul berita: “Pemukiman SAD di Bakar Massa, Berawal dari Penyanderaan Mobil Kijang”. Disebutkan dalam isi berita, tiga pondok Suku Suku Dalam (SAD) di Dusun Muaro Kuamang, Kecamatan Pelepat Hilir, Muaro Bungo, dibakar habis oleh ratusan massa dari tiga desa sekitar. Pasalnya SAD menyandera mobil warga karena ditunding menabrak anjing milik mereka. Sebagai kelanjutan dari kejadian ini, Jambi Indepedent memuat berita pada 29 Juli 2004 di bawah. Jambi Independent, Kamis, 29 Juli 2004 menulis judul berita: “Perundingan Dengan SAD Berjalan Alot, Ngotot Minta Ganti Rugi Monyet yang Hilang”. Disebutkan dalam isi berita, seperti diketahui, sabtu malam (24/7) akibat dari pembakaran pemukiman SAD sejumlah harta benda SAD hilang dan rusak. Bahkan seorang warganya menderita luka-luka dan sampai kini masih dirawat di rumah sakit umum daerah (RSUD) Bungo. Perundingan yang dimulai pukul 10.30 Wib baru berakhir pukul 14.30 Wib dan sempat diskors hingga dua kali. Keputusan kasus ini dimuat dalam Jambi Ekspres, Selasa, 3 Agustus 2004. Koran ini menulis judul berita: “Tiga Desa Didenda Rp 36,5 Juta, Buntut Penyerangan Terhadap SAD”.

Jambi Independent, Sabtu, 14 Agustus 2004 menulis berita dengan judul: “Warga SAD Laporkan Kades ke Polisi”. Disebutkan dalam isi berita, Kepala Desa Lubuk Sepuh, Kecamatan Pelawan Singkut dilaporkan ke polisi karena merampas karet SAD seluas 5 ha, perampasan ini dilakukan sebagai dalih pembayaran denda atas warga SAD yang dituduh memperkosa warga Lubuk Sepuh bulan April 2004.

Jambi Ekspres, Selasa, 14 Januari 2003, menulis berita dengan judul: “Puluhan Kubu Demo Kantor Bupati”. Disebutkan dalam isi berita, aksi demostrasi dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan penyelesaian tanah yang dipakai perusahaan PT Sari Adytia Loka. Sebelumnya Bupati Merangin berjanji akan menyelesaian kasus tersebut, tetapi tidak ada tindak lanjut sama sekali.

Jambi Independent, Sabtu, 1 Maret 2003, menulis berita dengan judul: “Ditembak, SAD Serbu Polres Merangin, Bawa Kecepek dan Parang”. Disebutkan dalam isi berita, puluhan warga dari satuan pemukiman C2, Kecamatan Bangko menyerbu Polres Bangko lengkap dengan parang, senjata kecepek (senjata api rakitan), dan senapan angin. Penyerbuan itu buntut dari penembakan Junai, anak Temenggung Kitab ketika berupaya melarikan diri saat polisi memergoki pelaku melakukan pemalakan di jalan Talangkawo.

SI N T E R K L AS PA L S U

Bentuk simpati masyarakat luar terhadap keadaan Orang Rimba tak ubahnya seperti sinterklas, lebih tepatnya sinterklas palsu. Umum diketahui, beragam ormas memberikan pakaian bekas berkarung-karung untuk menunjukkan kepedulian mereka, hal itu mendapat bayaran setimpal dengan publikasi media yang memuji-muji kebaikan mereka. Bila pejabat dari Jakarta datang mengunjungi pemukiman Orang Rimba, media meliput dan memberitakan dengan menonjolkan segi kedermawanan pejabat pemerintah pusat itu. Bantuan mereka lebih sering berupa sabun dan mie-instan. Tidak kurang dari turis, misionaris, bahkan pemerintah setempat juga melakukan hal yang sama. Mereka berbangga hati karena telah menyumbangkan sekarung kain bekas, padahal sering bantuan itu tidak berguna sama sekali. Seorang informan pernah mengemukakan, pakaian bekas yang dia terima telah membuatnya menderita gatal-gatal.

Bentuk pemberdayaan dari pemerintah berputar-putar soal resetlemen dan pengislaman. Keluhan dari Orang Rimba bahwa rumah tidak berguna bagi mereka sudah sering dikemukakan. Disebutkan “rumah tanpa penghidupan mana bisa hidup?”. Mungkin pemerintah tidak menyadari sungguh-sungguh bahwa dengan resetlemen ex situ menghadapkan Orang Rimba dalam persaingan yang tak sepadan dengan masyarakat luar, dan yang tentu saja turut mencabut mereka dari akar budayanya. Walaupun proyek pemukiman kerap gagal, pemerintah terus mengagendakan program yang sama, tanpa evaluasi yang berarti. Cukup bukti untuk mengatakan bahwa proyek ini menjadi ajang pengelapan uang, baik oleh pemerintah dan kalangan lembaga swadaya masyarakat.

Jambi Independent, Selasa, 11 Januari 2005, menulis judul berita: “Kejari Diminta Tuntaskan Kasus Penyimpangan”. Disebutkan dalam isi berita, pegawai Dinas Sosial Merangin Engkos Kosasih dan kontraktor Eleksyah melakukan penggelembungan (mark up) dana 50 unit rumah Suku Anak Dalam. Berita media yang sama pada Sabtu, 13 November 2004 menyebutkan, pegawai Dinas Sosial Merangin dan kontraktor tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka. Jambi Ekspres, Selasa, 22 Juni 2004 melansir berita, “Direktur LSM KOPSAD Diperiksa Jaksa”. Alasan pemeriksaan itu terkait dengan mark up yang dilakukan Budi, direktur lembaga swadaya masyarakat bernama Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (KOPSAD) dalam proyek pemukiman Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin.

Departemen Agama bersama lembaga swadaya masyarakat yang disponsori pemerintah juga gencar melakukan pengislaman. Jambi Ekspres, 15 Juni 2004, menulis judul berita berikut, “Depad Programkan Pendidikan Agama Bagi SAD”. Berita terkait, “Melirik Warga SAD Setelah Masuk Islam, Mereka Butuh Sarana Ibadah dan Bapak Angkat”. Berita ini disertai dengan foto Gubernur Jambi yang tersenyum sambil menggendong balita yang setengah bugil. Berita sejenis di muat dalam Jambi Indepedent, Senin, 15 Maret 2004, “Tiga Warga SAD Masuk Islam”. Lima hari kemudian Jambi Ekspres, Sabtu 20 Maret 2004 menulis berita, “Yang Tercecer Dari MTQ ke 34 Merangin, 15 SAD Resmi Masuk Islam”. Muncul kembali berita dalam Jambi Independent,

Kamis, 25 Maret 2004, yang diberi judul, “Lagi, SAD Masuk Islam”, dalam berita ini disebutkan 13 orang SAD secara massal menyatakan masuk Islam. Dengan pemberitaan seperti itu, baik Depag (departemen agama) maupun LSM KOPSAD telah memperoleh keuntungan dari publikasi itu. Dengan publikasi itu LSM KOPSAD sebagai tangan pemerintah memiliki dasar untuk membuat proposal pendanaan bagi proyek mereka, baik dari pemerintah maupun para dermawan. Kenyataan dari pemberitaan itu sungguh di luar dugaan. Orang Rimba tetap makan dan berburu babi, tidak sholat, tidak ibadah, kecuali kolom pada kartu tanda penduduk mereka telah dituliskan Agama: ISLAM atau Agama: KRISTEN (untuk mereka yang dipengaruhi missionaris). Satu-satunya manfaat KTP bagi mereka adalah sebagai syarat memperoleh kredit motor. Saat ini sepeda motor penting untuk sarana berburu (mengangkut buruan dan menjangkau lokasi-lokasi perburuan yang jauh) di perkebunan. Fenomena ini ditemukan dari observasi dan wawancara dengan Orang Rimba di Pemukiman Air Panas, Desa Pematang Kabau; Satuan Pemukiman C dan D, Desa Pematang Kancil; Desa Bukit Bungkul; dan Pamenang. Di pemukiman Air Panas, ditemukan kasus seorang bapak telah menganti agamanya sebanyak tiga kali. Pertama kali ia telah masuk Islam karena diberi bantuan sembako, lalu missionaris dengan cara yang sama menarik mereka menjadi Kristen. Setelah bantuan itu habis, bapak ini kembali masuk Islam karena mendapat bantuan lagi dan akhirnya kembali pagan (ia mengikuti cara hidup kerabatnya di hutan dan hidup dengan cara lama).

Di Bukit 12 (Orang Rimba Dalam) beberapa tahun yang lalu diketahui seorang pengusaha membentuk koperasi bernama “Ruan Putra Anak Dalam” guna mendapatkan Izin Pemanfaatan Kayu di areal hutan Batang Hari. Pengusaha ini menyogok beberapa tokoh adat di Desa Sungai Ruan (penduduk Melayu) dan tokoh-tokoh berpengaruh dari Orang Rimba. Kepada warga desa ia mengiming-imingi membangun sebuah Mesjid. Usaha mendapatkan ijin pemanfaatan kayu berhasil dan memberinya dasar membabat hutan dan menguras semua kayu-kayu yang berharga di kawasan itu. Namun setelah kayu habis dan areal itu rusak, pengusaha tersebut ingkar janji dan lari dari tanggungjawabnya.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa para dermawan yang suka membagi-bagi hadiah itu, baik pemerintah daerah, pengusaha, LSM, dan misionaris Kristen, hanya ingin mendapatkan keuntungan semata. Publikasi media bagi sebahagian pihak, membantu mereka agar dapat melanjutkan proyek-proyek “tipuan” itu. Tidak ditemukan adanya usaha yang sungguh-sungguh dari pihak-pihak yang disebut di atas untuk memperbaiki nasib Orang Rimba.

MAS A DE PA N HU B U NG A N SU KU BA NG S A

Bentuk-bentuk yang dipilih suku bangsa minoritas dalam dominasi suku bangsa mayoritas menurut Louis Wirt (1945) dapat terjadi dalam beberapa bentuk: (i) kelompok minoritas akan mengasimilasi diri pada kelompok yang dominan, dengan cara menghilangkan atributnya, (ii) melakukan sececion (pengucilan diri) secara fisik dan simbolik, (iii) berusaha menjadi kekuatan dominan dengan cara pemberontakan atau kekerasan, (iv) pengakuan atas budaya minoritas yang ditoleransi oleh kelompok dominan. Mengacu pada bentuk yang dikemukakan Wirt, kelompok Orang Rimba di Taman Nasional Bukit 12 mengambil bentuk ke dua, yaitu pengucilan diri. Walaupun wilayah mereka semakin terbuka dan didominasi suku mayoritas semakin hebat, mereka masih terus berusaha membentengi dirinya dari budaya luar, ditunjukkan dengan merancang berbagai macam tabu dan larangan dari adat untuk berbaur dengan masyarakat dominan. Pemerintah bahkan telah berpuluh tahun memaksakan kehendaknya dengan merelokasi mereka ke luar hutan, toh mereka kebali juga ke habitat asalnya. Pada batas-batas tertentu, tidak muncul sikap agresi dari Orang Rimba Dalam dalam bentuk yang vulgar pada suku bangsa dominan. Berbeda dengan kelompok Orang

Rimba Luar, mereka mencoba melakukan bentuk ke tiga, yaitu berusaha menjadi kelompok dominan dengan cara pemberontakan dan kekerasan, seperti yang ditunjukkan dalam kasus-kasus belakangan ini.

Suku Bangsa Jawa atau transmigran umumnya masih memperlihatkan toleransinya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu, seperti yang terlihat di satuan pemukiman D di Desa Pematang Kancil mereka berusaha berempati pada Orang Rimba dengan memerankan diri sebagai mediator jika terjadi konflik. Hubungan yang positif juga dapat terjadi dengan suku bangsa Batak yang kristen, melalui mereka babi hasil buruan Orang Rimba dapat dijual ke luar daerah yang membutuhkannya. Namun, dalam konteks hubungan sosial budaya yang lebih luas faktor bahasa dan lingkup pergaulan sehari-hari yang tertutup merupakan kendala terjalinya hubungan yang lebih baik. Komuinitas transmigran yang berasal dari Jawa merasa nyaman dengan mengunakan nama desa mereka di Sumatera menurut nama-nama Jawa: Desa Rejo Sari, Desa Margo Yasa atau memberi nama-nama jalan mengikuti asal mereka; Jalan Singosari, Jalan Kediri, Jalan Kalingga, dan sebagainya. Hubungan yang terbangun saat ini terbatas dalam hal niaga, niaga karet dengan Orang Melayu dan niaga babi dengan Orang Batak.

Apakah Orang Rimba telah menyadari posisinya secara kolektif? Terutama dalam konteks marginalitas ekonomi, sosial, dan politik? Kesimpulan yang diambil, mereka telah menyadari marginalitasnya, bahkan kadang kala dipakai sebagai alat yang menguntungkan mereka. Dalam soal surat-surat kendaraan bermotor dan tertib berlalau lintas misalanya, mereka mengatakan tidak tahu membaca dan tidak tahu peraturan, sebagai cara untuk mengelabui Polisi. Dalam soal penerapan hukum, mereka menggunakan hukum ganda (hukum adat dan hukum negara). Suatu kecelakaan lalu lintas di masa lalu, sebagai contoh, diselesaikan dengan menggunakan dua macam hukum itu. Seorang pria Rimba yang telah beristri suatu waktu tewas dalam tabrakan motor di Desa Bukit Suban. Keluaraga korban yang meninggal, menuntut pembayaran denda adat kepada warga desa yang malang itu. Warga desa itu, yang juga mengalami luka-luka, dipaksa membayar bangun (denda adat kematian) berupa kain yang diuangkan. Tambahannya, ia dituntut membiayai anak istri korban, biaya kerusakan motor, dan sisa kredit motor. Pihak keluarga juga memaksa Polisi untuk memenjarakan orang desa yang malang itu.

Dalam kaitan itu, peran serta pihak luar berpengaruh pada kuat tidaknya posisi mereka dalam perkara hukum. Diketahui ada kasus pembunuhan yang menimpa warga mereka tetapi pelakunya tidak ditangkap. Hal itu semata-mata karena operasional polisi untuk mengusut kasus tidak memadai. KKI Warsi, Lsm yang mengklaim mendampingi anggota kelompok yang dibunuh tersebut tidak bersungguh-sungguh mengusut kasus itu, padahal cukup dana agar polisi dapat bekerja mengungkap pelaku pembunuhan.

Kasus-kasus di atas memperlihatkan kerapuhan hubungan suku bangsa. Menilik persoalan ini ke dalam internal Orang Rimba, kekacauan sehari-hari yang mereka buat lebih condong pada sikap frustasi. Jika aksi-aksi pemalakan dan pemblokiran jalan dilihat sebagai bentuk pemberontakan kelas yang marginal, pemberontakan itu dilakukan dalam skala kecil yang tidak terorganisasi. Bukan karena tidak ada kesadaran kelas sebagai landasan bersama untuk memberontak namun dilihat lebih pada ketidakmampuan mengorganisasikan diri untuk melakukan pemberontakan skala besar. Dengan kata lain ada kesadaran kelas, tetapi tidak ada perjuangan kelas (kolektif).

Dalam kaitan membangun dasar hubungan suku bangsa yang lebih baik, pemerintah diharapkan dapat membantu menyediakan dasar penghidupan Orang Rimba, terutama bagi Orang Rimba Luar. Tanpa dasar penghidupan, yang telah dirampas dari mereka, mustahil tercipta hubungan suku bangsa yang baik. Konflik-konflik sejenis akan terus berlangsung, sangat mungkin meningkat, melihat rapuhnya sumber pendapatan Orang Rimba Luar saat ini. Pada bab lima, dikemukakan beberapa saran untuk

pemerintah, pengusaha perkebunan, dan lembaga-lembaga terkait sebagai pokok-pokok pikiran mengatasi konflik suku bangsa di Jambi.

RE F LE K S I

Seorang mahasiswa psikologi pernah mengajukan pertanyaan berikut, “apakah Orang Rimba orang-orang yang sejahtera”? Untuk menjawab pertanyaan itu dia menginventarisasi kata-kata emosi yang dikandung bahasa Rimba dan emosi apa saja yang dominan muncul. Hasil penelitiannya menunjukkan, dari 189 kata emosi yang mereka miliki, 66 diantaranya adalah emosi netral, 44 emosi positif, dan 75 emosi negatif. Marah adalah salah satu kata emosi negatif, yakin adalah contoh dari emosi positif, dan terkejut adalah contoh dari emosi netral. Hipotesisnya, seorang yang banyak mengalami emosi positif adalah orang yang puas akan hidupnya dan memiliki derajat tinggi akan perasaan sejahtera, demikian sebaliknya. Mengapa emosi negatif lebih dominan? Disebutkan, karena keadaan tidak memiliki uang, tidak memiliki makanan, dan semacamnya. Mereka juga mengungkapkan keirian hati pada warga transmigran yang hidupnya lebih baik. Lima dari emosi negatif yang paling dominan adalah, marah, kesal, jengkel, gelisah, dan cemas (Ahmanto, 200).

Penelitian lintas budaya dan hasil penelitian ini membawa pada refleksi berikut: Orang Rimba di Taman Nasional Bukit 12 berada dalam dilema budaya. Jika melebur pada budaya mainstream, mereka tetap marginal. Mempertahankan budaya sendiri, hutan terus menyusut. Dilema ke dua, konservasi membutuhkan pengawetan keragaman hayati dan dalam pengertian ini perlindungan bagi satwa langka. Kontradiksinya, berburu hewan liar (termasuk yang langka) adalah kebutuhan subsitensi Orang Rimba. Keadaan yang kurang lebih sama dialami Orang Rimba di sepanjang jalan lintas Sumatera. Mereka ini marginal in situ atau terlantar di tanah sendiri. Sikap yang mereka kembangkan pada pemerintah dan warga transmigran cukup negatif; demonstrasi, mencuri ternak transmigran, merampok, memblokade jalan, dan memalak orang. Semua aksi negatif itu berlangsung dalam tensi yang tinggi. Maginalitas mereka juga dijadikan komoditas beberapa pihak: pembenaran proyek pemukiman bagi Dinas Sosial, walaupun dana itu tersia-sia; tarik menarik pengaruh agama; proyek untuk Lsm gadungan; dan berita yang laris untuk media massa. Betapapun ada niat baik yang melandasi semua itu, faktanya kehidupan mereka tidak terangkat, hal ini patut direnungkan dan disadari.

KES IM P U L A N

Pertama, mode produksi Orang Rimba Dalam sedang bertransformasi ke bentuk baru yaitu, dari perburu peramu kombinasi pertanian ladang tanaman pangan ke bentuk budidaya karet yang berorientasi pasar. Budidaya karet diterima sebagai respon atas deforestasi. Diterimanya budidaya karet mempengaruhi dua aspek kebudayaan Orang Rimba: (i) perubahan pada pola pemanfaatan sumberdaya milik bersama menjadi pola pemanfaatan rumah tangga/individual. Perubahan itu sekaligus mengurangi kemampuan ekosistem hutan untuk mendukung mode produksi berburu-meramu, (ii) perluasan budidaya karet membawa konsekuensi meningkatnya penghargaan atas tanah dan kebun karet, hal itu menjadi faktor pengikat untuk hidup menetap. Perubahan itu juga membawa nilai baru yaitu, karet dan tanah menjadi ukuran kemakmuran baru.

Adopsi teknologi chain saw mendukung usaha perluasan budidaya karet, namun budaya yang mendukung budidaya karet belum terbentuk. Senjata api (kecepek) sebagai diadopsi tekhologi baru mampu meningkatkan produktivitas berburu namun muncul konflik dengan perlindungan satwa langka di Taman Nasional Bukit 12. Penggunaan senjata api juga turut mengurangi kempampuan satwa buruan untuk pulih kembali

Dalam dokumen ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI PEREBUTAN (Halaman 57-64)

Dokumen terkait