• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI PEREBUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI PEREBUTAN "

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI

PEREBUTAN SUMBERDAYA ALAM DI

JAMBI

MARAHALIM SIAGIAN

(Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)

(2)

Naskah ini dimodifikasi dari naskah tesis berjudul “ Orang Rimba Dalam’ dan ‘Orang Rimba Luar’: Studi Tentang Dampak Deforestasi Pada Mode Produksi,

(3)

ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI PEREBUTAN SUMBERDAYA ALAM

DI JAMBI

IN T IS A R I

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak deforestasi pada mode produksi, mode reproduksi, dan hubungan suku bangsa, Orang Rimba di luar dan di dalam hutan di Jambi. Penelitian didasarkan pada kerja lapangan serta didukung dengan penelitian kepustakaan menggunakan pendekatan materialisme budaya. Teknik pengumpulan data adalah: observasi partisipasi, wawancara mendalam, focus group discussion dan penggunaan informasi media massa. Data dianalisis secara kualitatif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yaitu Das Terab, Taman Nasional Bukit 12, Kabupaten Batang Hari dan Desa Pematang Kancil, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mode produksi Orang Rimba di hutan sedang bertransformasi ke bentuk baru yaitu, budidaya karet yang berorientasi pasar, sebagai respon atas terjadinya deforestasi di habiatat mereka. Namun, mode produksi berburu-meramu dengan kombinasi perladangan berpindah tanaman pangan, masih yang utama. Diterimanya budidaya karet telah mempengaruhi dua aspek kebudayaan Orang Rimba. Pertama, pola pemanfaatan sumberdaya milik besama menjadi pola pemanfaatan rumah tangga/individual. Kedua, budidaya karet meningkatkan penghargaan atas tanah dan ukuran kemakmuran baru. Ukuran populasi cenderung diperbesar sebagai bentuk adaptasi terhadap budidaya karet, tetapi sistem dan pola kerja yang mendukung hal itu belum terbentuk. Senjata-senjata berburu mengalami modernisasi sebagai adaptasi dampak deforestasi, tetapi sistem perburuan mengarah pada perburuan tidak lestari.

Dalam kasus Orang Rimba di luar hutan, mode produksinya hampir seluruhnya teritegrasi ke pasar. Bentuk yang tersisa adalah penggarapan sumberdaya dari sungai, sementara sumber pendapatan yang terpenting saat ini adalah produksi daging babi dari perburuan di perkebunan, getah karet dari budidaya pertanian, dan gumpulan bibit karet liar untuk okulasi. Berburu dan mengunpulkan bibit karet liar adalah sumberdaya yang tidak digarap penduduk transmigran di lingkungan perkebunan dan keterampilan berburu faktor yang pendukung monopoli perburuan. Namun, permintaan pasar yang cenderung berubah atas permintaan daging babi dan karet liar untuk okulasi membuat sumber pendapatan teracam. Terbatasnya sumber-sumber pangan dan pendapatan, membuat ukuran populasi diperkecil. Kontrol populasi dilakukan dengan penggunaan alat kontrasepsi. Akses terhadap pos pelayanan kesehatan relatif dekat tetapi ada hambatan berpartisipasi, sehingga tidak ada korelasinya pada derajat kesehatan. Angka kematian tinggi dan usia harapan hidup rendah, hal itu turut mengoreksi jumlah populasi.

Perluasan perkebunan dan pertanian di satu sisi dan lonjakan jumlah penduduk transmigrasi di sisi yang lain menekan lahan dan hutan tersisa. Struktur sosial dan ekonomi juga berubah, lalu menimbulkan konflik sumberdaya alam dan konflik sosial-budaya dalam berbagai bentuknya. Integrasi pendatang dengan penduduk lokal tidak terjadi, hal itu menjadi potensi konflik saat ini dan dimasa mendatang.

(4)

OR A NG RI M B A

Nama sebuah suku bangsa bukan sekedar susunan huruf-huruf tanpa makna. Sebaliknya, nama seringkali menjadi sangat penting karena membawa serta identitas budaya masyarakat yang bersangkutan. Bila mendengar sebutan ”Orang Rimba”, paling tidak nama itu merujuk pada tempat tinggal dan kelompok sosialnya. Namun selain sebutan Orang Rimba, dikenal pula sebutan-sebutan berikut untuk suku bangsa yang sama: Kubu, Suku Anak Dalam, Orang Rimbo, Orang Rimba, Sanak, dan Dulur. Perlu kirannya meninjau penggunaan nama itu satu persatu, sebagai dasar justifikasi atas penggunaan nama ”Orang Rimba” yang digunakan.

Nama “Kubu” atau ”Koeboe” dipopulerkan oleh pegawai pemerintah Belanda (Winter, Van Dongen, Marsden) pada abad XX, para etnografer/antropolog awal (Hagen, Schebesta, Sandbukt, Parson), serta para missionaris. Human Relation Area Files Press yang menerbitkan daftar suku-suku bangsa di Madagaskar, Andaman-Nicobar, dan Indonesia di bawah tajuk Etnic Groups of Insular Southeast Asia (1972) juga menggunakan kata Kubu sebagai istilah resmi untuk suku bangsa ini. Disebutkan, kata ”kubu” diduga berasal dari kata ngubu. Dalam bahasa Inggris kata itu sepadan dengan kata elusive yang berarti; mengasingkan diri, sukar dipahami, dan sulit untuk ditangkap.

Penduduk Palembang dan Jambi juga memakai istilah generik itu untuk masyarakat primitif. Pada konteks berbeda, kata kubu dipergunakan untuk mempermalukan anak-anak mereka yang tidak mau mandi, atau kata ejekan bagi orang yang berperangai negatif. Sementara itu, nama resmi suku bangsa ini di pemerintahan adalah “Suku Anak Dalam”. Departemen Sosial menggunakan nama itu untuk mengindentifikasikan masyarakat-masyarakat yang hidup di pedalaman Jambi. Sebelumnya, pemerintah telah mempopulerkan nama ”suku terasing”, kemudian ”masyarakat terasing” dan belakangan ”komunitas adat terpencil”. Penggunaan nama ”suku terasing” dipergunakan pemerintah dari tahun 1951-1966, kemudian ”masyarakat terasing” dari tahun 1970-1999, dan sekarang ”komunitas adat terpencil” (Departemen Sosial, 2001). Pergantian istilah itu mengacu pada pasal 1 Keputusan Presiden R.I nomor 111 tahun 1999 yang mendefinisikan komunitas adat terpencil atau masyarakat terasing sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi, maupun politik. Mereka adalah masyarakat dengan ciri-ciri: (i) berbentuk komunitas kecil, (ii) tertututup dan homogen, (iii) pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan, (iv) pada umumnya pemukimannya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau, (v) masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten (vi) peralatan dan teknologinya sederhana, (vii) ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi (viii) serta ditandai oleh terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.

(5)

istilah ”tandingan” itu mungkin diinspirasi oleh ”persekutuan hukum adat”, istilah yang populer dalam wacana antropologi dekade yang lalu.

Nama ”Orang Rimbo” dikenal dari disertasi Muntholib Soetomo (1995) Muntholib tidak menjelaskan asal usul dan pengertian istilah ini. Diduga nama ini berasal dari masyarakat Melayu yang tinggal di pedalaman, seperti Desa Tanah Garo, dimana penelitian Muntholib dilakukan. Istilah Orang Rimbo juga dirujuk I Nyoman Nurjaya (2003) dalam satu bab buku persembahan untuk T.O. Ihromi, pakar antropologi hukum Indonesia. Berdasar kajian linguistik pada bahasa Melayu Jambi, vocal “a” akan berubah menjadi vokal “o” seperti pada kata “kemana” menjadi “kemano” atau kata “Orang Rimba” akan menjadi kata “Orang Rimbo”. Sama halnya dengan istilah Kubu, Suku Anak Dalam, dan Orang Rimbo yang dipakai selama ini adalah ciptan orang luar atau exoname.

Nama ”Orang Rimba” muncul dalam beberapa publikasi mutahir: Sandbukt (1998); Amilda Sani (2003); Siagian (2003); Manurung (2007), dan beberapa penulis lain. Nama ini mengacu pada sebutan yang dipergunakan suku bangsa itu sendiri (by native speaker), dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam perkenalan resmi mereka. Hutan atau rimba sebagai kata benda tidak dapat dilepaskan dari hutan sebagai identitas budaya. Disebutkan, ”tidak mungkin hidup tanpa hutan, hutan adalah adat, habis hutan maka habis adat”, begitu jawaban informan ketika perbedaan nama ini dikonfirmasikan. Ditambahkannya, ”mereka yang hidup di luar hutan adalah ’orang terang’ kami adalah ’Orang Rimba’ tetapi kalau ada dari kami ke luar dari hutan/rimba lalu hidup seperti orang desa, maka kami juga menyebutnya ’orang terang’.

Kata ”sanak” atau ”dulur” merupakan bahasa sapaan sopan santun oleh penduduk yang bertetangga (Melayu dan transmigran) dengan Orang Rimba. Terkait dengan sebutan sanak atau dulur, penduduk Desa Tanah Garo mempercayai folklor yang mengatakan, pada generasi yang lampau, ada dua orang yang bersaudara memutuskan untuk berpisah, seorang mendirikan kampung dan memeluk agama Islam dan seorang lagi tetap di hutan dengan adat-istiadatnya. Salah seorang menjadi Melayu dan seorang lagi Orang Rimba. Dalam folklore yang dipercayai itu disebutkan, kedua orang ini bersumpah untuk tidak mencampuradukkan adat di rimba dengan adat di desa, barang siapa melanggar sumpah itu, yang melanggar akan ditimpa kutukan.

Setelah menelaah istilah-istilah di atas satu persatu, tibalah pada kesimpulan bahwa nama yang tepat untuk dipergunakan adalah ”Orang Rimba”. Sebutan ”Kubu” mengandung konotasi negatif dan cenderung merendahkan kebudayaan suku bangsa ini. Sebutan ”Suku Anak Dalam” menekankan ciri-ciri keterisolasian geografis dan keterbatasan akses pada pelayanan umum, suatu istilah yang dilandasi obsesi pemerintah untuk memodernisasi Orang Rimba. Sebutan ”Orang Rimbo” merupakan ”kecelakaan linguistik” karena menggunakan penyebutan dalam dialek Melayu. Sebutan ”dulur” dan ”sanak” tidak dapat memberikan acuan masyarakat mana yang dimaksudkannya. Dua kata ini kabur dan bermakna jamak, sehingga sulit untuk dipergunakan sebagai istilah baku dalam penulisan.

(6)

SM. Sampai sejauh ini, ilmu genetika mengatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba berasal dari Afrika.

Ada baiknya juga dikemukakan pendapat yang muncul dalam tulisan-tulisan terdahulu. Van Dongen (1906:1) mengatakan: ”satu-satunya perkiraan adalah penduduk pertama daerah-daerah ini tidak semuanya mau menyerahkan diri pada kekuatan Jawa yang menguasai Palembang selama kurang lebih tiga abad. Sebahagian dari mereka (penduduk pertama Jambi) melarikan diri ke hutan yang sukar ditembus. Di sana mereka terpaksa mengembara dan hidup sengsara, meninggalkan cara hidup yang lebih beradab. Akhirnya mereka berubah sama sekali seperti keadaannya yang sekarang”. Dalam naskah berjudul ”Een Bezoek Aan de Tamme Koeboes”, Winter (1901:7) menulis kisah masyarakat Kubu yang ditemuinya di Batu Licin: ”akhir-akhir ini mereka sering sekali diganggu orang-orang Jambi, sehingga sudah lama mereka tidak aman di kampung sendiri. Oleh karena itu mereka tinggal saja di hutan”. Lebih lanjut dikatakan ”mula-mula orang-orang Jambi menculik beberapa orang Kubu, dan dibawa ke negerinya untuk dijadikan budak. Setelah beberapa orang Kubu berhasil melarikan diri dan kembali ke kampung, orang-orang Jambi datang menuntut mereka dengan alasan mereka berhutang untuk makanan dan pakaian, namun mereka tidak mau kembali ke Jambi dan melarikan diri ke hutan”.

Versi lain tentang asal-usul Orang Rimba terangkum dalam buku ”Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit 12” (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi, 2004) berisi beberapa keterangan sebagai berikut: (i) mereka adalah sisa laskar raja Pagaruyung dari Minangkabau yaitu, kelompok laskar yang tersesat dalam perjalanan menuju Jambi sewaktu mereka pulang membantu Ratu Jambi untuk peperangan. Laskar dari Pagaruyung tersebut akhirnya memutuskan untuk tinggal dan mengisolasi diri di hutan, (ii) Masyarakat asal Desa Kubu Karambia yakni, kelompok masyarakat Desa Kubu Karambia, anggota Kerajaan Pagaruyung yang menolak untuk menerima ajaran Agama Islam yang kemudian melarikan diri ke kawasan hutan di Jambi, (iii) Keturunan Bujang Perantau melalui perkawinannya dengan seorang wanita jelmaan buah Kelumpang. Kedua orang ini kemudian kawin dan beranak pinak di dalam hutan menurunkan orang Kubu sekarang. Sejauh ini, belum ada tinjauan yang memuaskan tentang asal-usul Orang Rimba.

Etnografi terdahulu menyebutkan Orang Rimba adalah masyarakat perburu dan peramu nomaden (Winter, 1901; van Dogen, 1906; Lebar, 1972; Handini, 2005) dan petani ladang sederhana (Muntholib, 1995; Sandbukt, 1998; Sani, 2003). Pemenuhan kebutuhan subsistensi bertumpu pada hasil berburu dan meramu, sementara untuk kebutuhan karbohidrat bersumber dari padi atau umbi-umbian yang ditanam di ladang. Sandbukt lebih jauh menginformasikan bahwa pada situasi tertentu, Orang Rimba dapat hidup sebagai foraging.

Øyvind Sandbukt (1998) juga menulis tinjauan yang luas tentang kesulitan-kesulitan mendasar Orang Rimba sebagai dampak pembangunan di Jambi. Berbeda dengan Sandbukt, Muntholib menulis sebuah disertasi yang mengulas sistem kekerabatan Orang Rimba dengan menggunakan pendekatan struktural fungsional. Sedangkan fokus kajian Nurjana (2001) memberikan gambaran menarik bagaimana proses penyelesaian sengketa antara Orang Rimba dengan perusahaan HPH dengan menggunakan pendekatan antropologi hukum. Nurjaya menyebutkan, penebangan kayu oleh HPH ternyata turut merusak dan menghilangkan sumberdaya yang dilindungi Orang Rimba. Diantaranya adalah, tanaman buah-buahan, pohon tempat bersarangnya lebah penghasil madu (sialang) dan kayu tertentu yang disakralkan.

(7)

meramu nomaden atau foraging pada kelompok Orang Rimba di kawasan Air Hitam dan di kawasan Muara Bungo yang dinilai belum banyak berubah sejak ratusan tahun yang lalu. Selanjutnya, Adi Prasetijo (2006), membahas tentang dominasi orang Melayu pada Orang Rimba di Jambi. Studi ini terutama memfokuskan perhatian pada asimilasi Orang Rimba yang dimukimkan pemerintah di Air Panas, Desa Pematang Kabau, Kabupaten Merangin.

Studi literatur yang dikemukakan di atas memperlihatkan, belum memadainya kajian tentang pengaruh deforestasi dan pengaruh perkembangan demografi terhadap mode produksi dan mode reproduksi Orang Rimba. Kajian Handini sedikit banyak memang menyinggung kegiatan produksi Orang Rimba, terutama kelompok yang berada di Das Air Hitam dan kelompok yang berada di Kabupaten Bungo. Namun Handini tidak membedakan secara tegas kegiatan produksi Orang Rimba yang berada di hutan dan yang di luar hutan. Departemen Sosial (1992) menyebutkan bahwa kelompok yang berada di luar hutan telah mendapat bantuan perumahan dan pembinaan melalui proyek pemukiman ”komunitas adat terpencil” (Kat) pada kelompok-kelompok Orang Rimba di luar hutan dan juga pada sebagian yang berada di dalam hutan. Dengan informasi itu, diasumsikan sebahagian dari kelompok-kelompok yang mendapat pembinaan pemerintah telah mengalami banyak perubahan.

MAT ER I L IS M E BU D AYA

Marvin Harris (1979) mengemukakan ada tiga pola universal yang dihadapi setiap masyarakat. Pertama, setiap masyarakat selalu menghadapi masalah-masalah produksi, bagaimana mewujudkan perilaku untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. Kedua, setiap masyarakat juga selalu menghadapi masalah reproduksi, bagaimana menghadapi pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk yang bersifat menggangu atau merusak. Ketiga, setiap masyarakat harus menghadapi perlunya memelihara hubungan-hubungan perilaku yang teratur dan aman dikalangan masyarakat penyusunnya dengan masyarakat lainnya. Berangkat dari tiga persoalan universal di atas, Harris memelopori teori materialisme budaya (cultural materialism).

Akar dari teori materialisme budaya paling tidak harus berpaling pada materialisme-dialektisnya Marx dan Engels, sebuah teori yang telah memikat banyak ilmuwan sosial dan mempengaruhi jalannya sejarah masyarakat dunia. Menurut J.W Stalin (1936), adalah filsuf Feuerbach yang mengembalikan materialisme pada kedudukannya yang bersifat idealis-religiustik, tetapi di tangan Karl Marx dan Engels, materialisme dimodifikasi menjadi filsafat-ilmiah (menghilangkan sifat metafisiknya). Materialisme-dialektis adalah cara mendekati, mempelajari, memahami, gejala-gejala alam secara dialektis, sementara interpretasinya atau teorinya mengenai gejala alam itu adalah meterialis. Stalin melanjutkan, prinsip-prinsip dasar materialisme melahirkan materialisme historis, suatu studi mengenai kehidupan masyarakat dan sejarahnya. Sejarah produksi masyarakat berkembang dari tahapan berburu dan meramu (hanting and gathering), hortikultura (holticulture), pastoral (pastoral), agraris (agrarian), industri (industrial), dan hiper industri (hyper industrial).

(8)

mendapatkan energi dari lingkungannya. Asumsi ketiga, lingkungan memiliki keterbatasan dalam menyediakan energi, lingkungan juga tidak toleran terhadap polusi dan setiap kebutuhan energi berasal dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhan biologis atau kebutuhan pokok. Mengutip Harris (1979: 20): all human societies are patterned along similar lines. Based on an environment, all can be classified as having: infrastructure, structure , superstructure.

Komponen utama infrastuktur terdiri atas teknologi (mode of production), populasi (mode of reproduction), dan hubungan antara teknologi-lingkungan (relasionship technological-environmental). Infrastruktur (mode produksi dan mode reproduksi) akan menentukan bagaimana bentuk ekonomi domestik dan ekonomi politik masyarakat (structure). Selanjutnya struktur (political economic and domestic economic) akan mempengaruhi superstruktur (seni, musik, tari-tarian, sastra, dan religi). Ketiganya dapat diformulasikan sebagai berikut: infrastruktur akan membentuk struktur dan struktur akan membentuk superstruktur.

Mode produksi adalah konsep yang menjelaskan teknologi dan praktik-praktik yang digunakan suatu masyarakat untuk memperluas atau membatasi produksi subsistensi dasar, khususnya produksi makanan dan energi lainnya. Dengan demikian mode produksi meliputi; teknologi subsistensi, hubungan teknologi lingkungan, ekosistem, dan pola-pola kerja. Mode reproduksi menjelaskan teknologi dan praktik -praktik yang diterapkan suatu masyarakat untuk memperluas, membatasi, dan mempertahankan ukuran populasinya. Dengan demikian, mode reproduksi meliputi aspek demografi, pola-pola perkawinan, kelahiran, kematian, pengasuhan anak, pengendalian medis atas pola-pola demografi, kontrasepsi, dan aborsi. {(Harris dalam Saifuddin, 2005: 246; Kodiran (tanpa tahun): 5}.

Dengan dasar itu, digunakan pendekatan ini sebagai alat analisis untuk melihat bagaimana deforestasi (konversi hutan menjadi pemukiman, perkebunan, pertanian) dan ledakan penduduk yang dipicu penempatan transmigrasi dan dinamika populasi internal Orang Rimba di dua site penelitian: di dalam dan di luar hutan, untuk melihat perbedaan mode produksi dan mode reproduksi kelompok yang dibandingkan. Lebih lanjut akan dilihat hubungan suku bangsa yang terjalin antara Orang Rimba atau penduduk setempat dengan transmigran atau pendatang.

Dalam tiga dekade yang lalu (1970-2000) telah terjadi deforestasi1 yang parah di

Sumatera2 (lihat peta 1), ditandai dengan merosotnya keragaman hayati hutan hujan

dataran rendah Sumatera serta sumber kebutuhan hidup masyarakat lokal yang bergantung pada hutan, seperti halnya Orang Rimba. Rusaknya habitat masyarakat lokal ini sebenarnya cukup mengejutkan, karena kawasan3 yang mereka diami adalah

hutan-hutan di pedalaman Jambi atau hulu-hulu sungai yang jauh. Fenomena ini belum mendapat perhatian yang memadai dari kalangan antropolog, paling tidak sampai pertengahan tahun 90an. Beberapa aspek dari keadaan ini muncul ke permukaan atas publikasi peneliti asing dan lembaga swadaya masyarakat (Lsm) di Jambi. Penelitian

1 Deforestasi didefinisikan sebagai penebangan hutan dan konversi lahan secara permanen untuk berbagai

manfaat lainnya. Menurut definisi tata guna lahan yang digunakan oleh FAO (2000) dan diterima oleh pemerintah, lahan hutan yang telah ditebang, bahkan ditebang habis, tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau ditanami kembali. Suatu kawasan hutan dapat disebut terdeforestasi hanya setelah lahan dikonversi secara permanen untuk kepentingan lain yang bukan hutan, seperti pemukiman dan perkebunan.

2 Witten (2000), lebih luas menyajikan informasi tentang keadaan ekologi Sumatera dalam The Ecology of

Sumatera.

3 Hagen (1908), menyebutnya koeboestreken, yaitu kawasan di antara Sungai Musi dan Sungai Batang Hari.

(9)

mengenai masalah pembangunan dan sumberdaya masyarakat lokal yang terpengaruh pembangunan di Jambi antara lain disampaikan dalam lokakarya Jambi Regional Develompment Project tahun 1998 oleh Øyvind Sandbukt bersama tim dari Komunitas Konservasi Indonesia-Warsi4. Butir dalam laporannya menyebutkan bahwa kawasan hidup

utama Orang Rimba telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan yang parah. Kawasan dimaksud adalah: antara Sumatera Selatan dan Sungai Tembesi; antara Sungai Tembesi dan Merangin; antara Sungai Merangin dan perbatasan Sarko; antara perbatasan Sarolangun dengan Bute; utara Batang Hari, Bukit Tigapuluh; dan sekitar Bukit Duabelas.

Merunut ke belakang, sejarah deforestasi di Jambi mulai pada akhir tahun 70an. Kala itu pemerintah Orde Baru sedang membangun jalan lintas tengah Sumatera untuk melengkapi jaringan jalan lintas timur dan barat yang dibangun pada masa pemerintahan Soekarno. Jalan lintas barat Sumatera merupakan ruas jalan provinsi yang menghubungkan Banda Aceh (utara) dengan Lampung (Selatan) via Tarutung - Padang Sidempuan - Bukit Tinggi - Padang. Jalan lintas timur Sumatera adalah jalan yang menghubungkan Banda Aceh dengan Lampung via Medan - Tebing Tinggi - Kisaran - Kota Pinang - Duri - Pekanbaru - Rengat - Jambi - Palembang - Lampung. Dalam biografi Soekarno yang ditulis bersama Cindy Adam (1965) disebutkan, jalan lintas Sumatera akan dapat mempersatukan penduduk pulau Sumatera yang majemuk, dalam kerangka ideologi nasionalisme.

Di Sumatera terdapat suku bangsa yang beragam: Aceh, Gayo, Alas, Melayu Deli, dan Batak, yang persebarannya kira-kira sampai ke Sumatera bagian tengah. Melayu Inderagiri, Orang Petalangan, Talang Mamak, Bonai, Akit, Melayu Jambi, Bathin IX, Orang Rimba, Palembang, dan Semendo, yang mendiami bagian tengah Sumatera. Minangkabau, Muko-Muko dan suku-suku bangsa setempat lainnya menempati sisi sebelah barat, serta komunitas transmigrasi Jawa di Lampung di ujung pulau Sumatera itu. Merupakan pandangan yang tepat jika Soekarno mengibaratkan jalan trans Sumatera sebagai ”tusuk sate” yang mengintegrasikan daerah dan suku bangsa dari ujung ke ujung pulau Sumatera itu.

Pada masa pemerintahan Soeharto trans Sumatera diperluas lagi. Berpangkal dari Solok bersambung ke Lubuk Linggau - Sungai Dareh - Muara Bungo – Bangko -Sarolangun. Lintas tegah trans Sumatera di atas, dibangun dalam rangka mendukung kegiatan pembangunan Orde Baru, di bawah ideologi pembangunan. Ruas jalan baru itu mulai dikerjakan tahun 1979 dan selesai satu tahun kemudian. Dengan tambahan ruas jalan itu, lalu lintas dari utara ke selatan, termasuk melalui jalan lintas tengah (lewat Jambi) membawa perubahan mode transportasi di Jambi. Sebelumnya, mode transportasi di Jambi sangat bergantung pada Sungai Batang Hari. Kapal sungai harus keluar-masuk melalui cabang-cabang Sungai Batang Hari ke pedalaman Jambi guna mengangkut hasil bumi atau barang-barang kebutuhan penduduk. Tersedianya jalan darat turut meningkatkan kemampuan transportasi sungai sekaligus mengintegrasikan Jambi dalam ekonomi regional Sumatera.

Perhatian terhadap infrastruktur di Sumatera pada tahun-tahun berikutnya semakin meningkat, berbarengan dengan program-program pembangunan yang mengikutinya. Patrice Levang (2003:389) menyebutkan, sampai tahun 1985, Provinsi Aceh membangun jalan provinsi sepanjang 9.982 km; Sumatera Utara sepanjang 15.132 km; Sumatera Barat sepanjang 8.632 km; Riau sepanjang 7.262 km; Jambi sepanjang 4.580 km; Sumatera Selatan sepanjang 9.692 km; Bengkulu sepanjang 3.527 km; dan

4 Yayasan Warsi, dahulu merupakan kepanjangan dari warung informasi konservasi. Yayasan Warsi merubah

(10)

Lampung sepanjang 4.596 km. Dengan tambahan ruas jalan untuk keperluan proyek transmigrasi 12.801 km, panjang ruas jalan provinsi di Sumatera adalah 63.403 km.

Pengembangan jalan trans Sumatera kemudian jaringan jalan baru ke pedalaman ternyata berdampak pada meningkatnya eksploitasi hutan. Jalan membuat hutan terfragmentasi sehingga lebih mudah untuk dieksploitasi. Pada waktu bersamaan kondisi hutan Jambi telah menunjukkan penyusutan yang cepat, buah dari beberapa HPH (hak penguasaan hutan) yang sedang beroperasi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengemukakan, setengah dari luas hutan di Indonesia (luas hutan Indonesia secara resmi versi pemerintah 120 juta ha atau 90 juta ha berdasarkan koreksi Otto Sumarwoto: 2003:i) diberikan oleh Presiden Soeharto dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya. Hal itu menghambat pengawasan pada konsesi-konsesi HPH yang dioperasikan untuk tujuan untung semata atau mengabaikan aspek kelestarian hutan. Kebijakan HPH Orde Baru bertujuan untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada kas negara. Dalam kerangka itulah menurut Walhi, 16 juta ha hutan alam disetujui untuk keperluan hutan tanaman industri (HTI) dan pada saat yang sama mendorong pengembangan industri pulp dan kertas. Konsekuensinya, permintaan serat kayu meningkat. Terjadi defisit pasokan kayu legal sebanyak 35-40 juta meter kubik per kapita. Defisit kayu legal ini ditutupi dengan menampung kayu ilegal. Statistik Departemen Kehutanan5

memperlihatkan, pencurian kayu telah merusak hutan Indonesia sekitar 10 juta hektar dan penebangan hutan di areal legal dilakukan dengan cara yang tidak berkelanjutan.

Dari 17 juta meter kubik produksi kayu pada tahun 1995, produksinya tinggal hanya kurang dari 8 juta meter kubik pada tahun 2000.

Bagaimana dengan hutan di Jambi? Kevin Boehmer (1998) mengemukakan, pada tahun 1985, Departemen Kehutanan mengusulkan 50% dataran Jambi untuk hutan produksi. Sepuluh tahun kemudian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jambi menetapkan porsi untuk areal hutan tinggal hanya 25% dari luas provinsi. Pada akhir 1997 perkebunan (sawit 80% dan karet 20%) telah mencapai 40% dari areal bukan kawasan hutan. Setiap 10-12 tahun, Mahendra Taher (2004) menyebutkan, penyusutan hutan di Jambi sebesar 67.000 km persegi. Sampai akhir tahun 2002, konsesi HTI pulp masih aktif beroperasi di atas lahan 191.130 ha dan konversi hutan untuk perkebunan sawit pada tahun yang sama sebesar 344.932 ha. Perluasan areal perkebunan merupakan komponen transmigrasi ditambah proyek transmigrasi juga nyata menyebabkan deforestasi6. Menurut Walhi, antara tahun 1960-1999, hutan yang dibuka

secara nasional untuk proyek transmigrasi tidak kurang dari dua juta ha. Dalam rentang waktu yang sama, tepatnya antara 1980-1990, ada enam unit pemukiman transmigrasi baru di Jambi, dengan luas pemukiman7 37.000 ha sampai 50.000 ha. Pemukiman

transmigrasi dimaksud berturut-turut adalah: Transmigrasi Rimbo Bujang, Transmigrasi Kuamang Kuning, Transmigrasi Pamenang, Transmigrasi Kubang Ujo, Transmigrasi Tanah Garo, dan Transmigrasi Tebing Tinggi. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk penempatan transmigrasi dimaksud pada tahun anggaran 1979-1982 sebesar Rp.28.367,- miliar dan untuk proyek yang sama di Sumatera sebesar Rp.259.629,- miliar (Levang, 2003:345).

Penyebab deforestasi berikutnya adalah perkebunan kelapa sawit (Enanois oleifera) skala besar yang dikelola perusahaan berikut: PT Astra-Agro Lestari Tbk melalui

5 Lihat www.dephut.go.id, diakses 30 Oktober 2007

6 Kolonisatie dan transmigrasi adalah dua istilah berbeda namun artinya kurang lebih sama yaitu, kegiatan

pemerataan penduduk dengan cara pemindahan penduduk dari yang padat penduduknya ke tempat yang jarang pendudukanya. Kolonistaie telah berlangsung selama 36 tahun pada masa kolonial, dari tahun 1905 sampai tahun 1941. Transmigrasi adalah kelanjutan kolonisatie yang pada masa pemerintahan Soekarno berlangsung 18 tahun, dari tahun 1951 sampai tahun 1969. Kemudian, pada masa Orde Baru berlangsung dari tahun 1970 sampai tahun 1998, dan pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berlansung dari tahun 2004-sekarang (2008).

(11)

anak perusahaannya PT Sari Aditya Loka; PT Sinar Mas Group; PT Jambi Agro Wisesa; PT Era Mitra Lestari; dan PT Gudang Garam melalui anak perusahaan PT Makin Group. Keberadaan perkebunan sawit ini sebagian besar pada awalnya dimaksudkan untuk mendukung proyek transmigrasi. Periode awal transmigrasi di Jambi diharapkan dapat meningkatkan produksi pangan, tetapi tujuan itu meleset dari rancangan. Peserta transmigrasi justru berhadapan dengan kelaparan. Lahan pertanian kering yang tidak didukung jaringan irigasi merupakan kendala utama. Bila pertanian pangan di lahan kering tetap dipertahankan, ganguan hama babi mustahil dibendung, populasi babi justru bertambah dengan terbukanya hutan sebab kebun pangan penduduk menjadi sumber makanan babi. Seorang transmigran asal Jawa Timur yang ditempatkan di Tanah Garo mengatakan ”kami dilarang petugas transmigran menanam karet, padahal, tanaman padi, ubi, dan sayuran kami habis dirusak babi dan kami terancam kelaparan”. Seorang warga transmigran lain yang ditempatkan di Pamenang mengatakan ”banyak yang tidak tahan di sini sehingga menjual rumah dan tanahnya untuk ongkos pulang kembali ke Jawa”. Terang bahwa, perkebunan sawitlah yang menjadi katup pengaman proyek transmigrasi di Jambi.

Pengembangan jaringan jalan trans Sumatera, transmigrasi, industri kehutanan dan perkebunan sawit skala besar adalah empat penyebab utama deforestasi di Jambi. Seperti disinggung di atas, deforestasi mempengaruhi sumberdaya Orang Rimba yang bergantung pada hutan. Disamping itu, peningkatan populasi sebagai akibat penempatan transmigrasi memunculkan perebutan sumberdaya serta menekan lahan pertanian dan hutan tersisa.

.

LO K A S I ST U D I

(12)

Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Kelompok kedua ini mendiami kawasan sepanjang jalan lintas tengah Sumatera yang lingkungannya sudah berubah total menjadi pemukiman transmigrasi dan perkebunan. Secara administratif kelompok kedua ini berada di Kabupaten Merangin.

TEK N I K P E NG U M P U L A N D ATA

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dibantu dengan data-data kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:

 Observasi partisipasi (participant observation), tinggal di lingkungan hidup subyek penelitian dan berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari mereka. Hal-hal yang di obeservasi adalah; kehidupan sehari-hari, kegiatan produksi dan reproduksi serta hubungan antar suku bangsa.

 Wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara terbuka (open interview) dimana peneliti dapat mengembangkan pertanyaan terus-menerus dalam rentang waktu penelitian guna mencapai kedalaman informasi. Cara ini juga diharapkan memberikan ruang yang lebih luas bagi informan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan.

 Studi literatur dimaksudkan untuk mengumpulkan data demografi, pemberitaan koran lokal/nasional yang berhubungan dengan topik hubungan sosial ekonomi, politik Orang Rimba dengan transmigran.

VAR I A B E L P E N E LI T I A N ekosistem

teknologi subsistensi

hubungan teknologi lingkungan pola-pola kerja

demografi: fertilitas, mortalitas, karakteristik penyakit, dan pengendalian populasi pola-pola perkawinan

pola pengasuhan anak

IN F OR M A N

Informan adalah kelompok Temenggung Maritua yang terdiri 15 rumah tangga dan kelompok Nungkai di Satuan Pemukiman C dan D Desa Pematang Kancil. Selain dua kelompok di atas, wawancara juga dilakukan dengan masyarakat transmigrasi di sekitar pemukiman mereka, kepala desa, anak-anak, remaja, bidan, pedagang, aktivis LSM, peneliti dari perguruan tinggi khususnya mereka yang pernah melakukan penelitian di lokasi dan mengetahui masalah-masalah yang diteliti.

AN A LI S IS D ATA

Data demografi dianalisis dengan statistik (software microsoft exel), hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, sementara analisis data kualitatif dilakukan secara on going analysis, dimana peneliti mengembangkan pemahaman secara terus-menerus dalam proses pengumpulan data dan proses analisis data guna tercapai pengertian yang jelas dan tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data disajikan dalam bentuk tulisan yang deskriptif analitis, sebagaimana ciri umum etnografi.

JA L A N N YA P E NE L I T I A N

(13)

lapangan dilakukan bersama di Desa Pematang Kancil, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Dalam proses pengumpulan data, data didesiminasikan dan didiskusikan.

Kerja lapangan dimulai pada akhir Juni 2006, waktu itu kemarau sudah mencapai suhu puncaknya. Setiba di Jambi, sejumlah contact person dihubungi dengan berkunjung ke Komunitas Konservasi Indonesia-Warsi (KKI-Warsi), tempat bekerja antara tahun 2001-2005. Beberapa hari sebelumnya, direktur baru KKI Warsi baru saja berganti, waktu yang tepat untuk memberi ucapan selamat. Sayang, beliau rupanya sedang sakit dan menjalani rawat inap. Besok paginya baru ada waktu membesuk dengan membawa sedikit oleh-oleh. Sikap beliau masih seperti yang dulu ketika masih menjabat deputi direktur, antusias kalau berbicara. Kira-kira satu jam lamanya berbincang-bincang, pembicaraan diakhiri karena harus kembali penginapan untuk memasukkan sejumlah surat izin penelitian ke instansi - instansi tekait. Dengan nada bercanda beliau mengatakan, ”apa sudah banyak uang makanya tinggal hotel?, menginap saja di mess!”, sambungnya. Usul yang baik itu disetujui. Maka minggu pertama, tinggal bersama teman-teman di mess KKI Warsi, mengumpulkan data yang diperlukan, mempersiapkan logistik, sambil menunggu izin penelitian turun.

Memasuki minggu kedua, izin penelitian sudah turun dan siap berangkat ke lokasi penelitian. Cuaca tidak begitu bersahabat karena kabut asap dari pembakaran lahan di musim kemarau sudah sampai ke jantung kota Jambi. Minggu-minggu berikutnya kabut asap semakin akut, sekolah sampai diliburkan dan jadwal pesat di bandara Sultan Thaha tidak menentu. Bersama seorang staf KKI Warsi diputuskan untuk berangkat ke lokasi penelitian menggunakan sepeda motor Suzuki TS 150, kendaraan ber geer 6 itu disebut juga dengan nama motor trail. Lokasi pertama yang dituju adalah Das Terab pada Kelompok Temenggung Maritua di Taman Nasional Bukit 12 (TNB 12). Pada hari yang sama rupaya sejumlah jurnalis foto dari kantor berita ANTARA berencana masuk ke beberapa lokasi Orang Rimba di TNB 12, satu rombongan dari mereka ingin mengunjungi lokasi yang akan dituju. Namun, diambil kesepakatan untuk berangkat tanpa mereka, karena perlengkapan dan kendaraan sudah siap hari itu.

Sungguh gagah memang di atas Suzuki trail 6 gear itu, kendaraan itu sudah pernah dipergunakan beberapa waktu yang lalu. Dalam medan berat seperti ke TNB 12 dan di sekitarnya, kendaraan itulah yang tepat, tidak diragukan lagi. Dalam kondisi hujan sekalipun, dimana lumpur membenamkan setengah badan motor di eks jalan logging yang telah rusak, motor jenis itu bisa lolos. Umumnya akses masuk ke lokasi TNB 12 adalah eks jalan logging atau jalan yang sering becek miliki perkebunan sawit di sekitar taman nasional itu. Jarak yang akan ditempuh untuk sampai ke lokasi penelitian paling tidak satu hari. Hari sudah menjelang siang, ketika berangkat dari Jambi. Tandem peneliti memilih membawa motor terlebih dahulu, peneliti duduk manis di belakang, terhimpit antara tubuh pengemudi dengan tas logistik yang terikat di jok belakang. Tidak begitu nyaman tetapi semangat sedang di puncaknya. Sebelum masuk hutan, perlu transit di desa terdekat, Desa Jelutih namanya. Hari itu, berharap tiba di Desa Jelutih dan menginap di rumah kepala desa dengan harapan esok harinya mendapat perahu penyeberangan di Sungai Tembesi. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke desa dimaksud kira-kira masih dua atau tiga jam lagi.

(14)

Muara Tembesi adalah bagian dari wilayah Kabupaten Batang Hari. Tepat di jantung kota kecamatan itu, terdapat pertigaan yang menghubungkan Jambi dengan Kabupaten Tebo dan ruas jalan lainnya menuju Kabupaten Sarolangun. Setelah cukup beristirahat, perjalanan dilanjutkan. Kemudi motor diambil alih, hal itu sudah perjanjian. Kesempatan yang baik untuk menunjukkan bahwa peneliti belum menjadi anak manja setelah tinggal di kota Yogyakarta. Sepertinya rekan peneliti agak ragu dengan kemampuan untuk mengendalikan motor trailnya. Awalnya memang sedikit gugup, hal itu terasa ketika menaikkan geer pertama ke geer ke dua. Tetapi kuda mesin itu perlahan-lahan semakin jinak. Pukul 4.20, tiba di pintu masuk desa, masih kira-kira tiga kilo meter lagi untuk sampai di rumah kepala desa. Hari sudah agak sore, maka disepakati, seperti rencana awal, untuk menginap terlebih dahulu di desa Melayu itu.

Malam harinya digelar diskusi dengan kepala desa. Para tetangga turut hadir untuk berdiskusi, duduk lesehan di ruang tamu kepala desa. Sebagian dari tetangga kepala desa masih peneliti kenal. Beberapa kali, sewaktu masih bekerja di KKI Warsi, peneliti masuk dari desa ini, yaitu sisi timur taman nasional yang akan dituju. Dari mereka didapat cerita bahwa Orang Rimbo-begitu mereka menyebutnya, sebagian berada di Das Jelutih. Mereka melangun (ada anggota kelompok yang meninggal), sambung kepala desa. Salah seorang menambahkan lagi, banyak dari orang kami bertemu dengan mereka di dekat kebun karet. Mendegar cerita itu, sedikit gembira karena besoknya bisa sampai di lokasi penelitian sebelum siang hari. Malam itu dirundingkan lagi untuk menambah logistik: gula, tembakau (Nicotiana tabacum l), dan beras tambahan. Merupakan kebiasaan bagi Orang Rimba untuk menumpang makan dan minum dalam kondisi remayow (paceklik), sedikit tambahan logistik nantinya berguna untuk makan minum bersama.

Malam harinya, hujan turun sejadi-jadinya, baru reda menjelang pukul 10 pagi. Terlalu nekat untuk memaksakan diri masuk pagi itu. Setelah hujan reda, berangkat berbelanja barang-barang tambahan. Berselang satu jam kemudian, rombongan jurnalis foto ANTARA sudah tiba, ada delapan orang jumlahnya. Mereka membawa pesan dari kantor KKI Warsi agar Abdi, tandem peneliti memfasilitasi kegiatan mereka. Namun, hari itu mereka belum siap masuk hutan, maka tertundalah rencana untuk masuk hutan hari itu. Jalan sendiri-sendiri dengan membawa logistik seberat 30 kg dengan berjalan kaki terlalu berat, kecuali menyewa porter. Sayangnya, tidak ada biaya untuk sewa porter dan kalau sewa porter berarti juga harus tambah logistik untuk makanannya.

Melihat banyaknya barang bawaan jurnalis foto ANTARA itu, seperti melihat tumpukan masalah. Bagaimana barang-barang itu akan diangkut? Sementara motor hanya satu. Apakah rombongan sebanyak ini tidak akan membuat heboh di rimba? Setelah berdiskusi dengan mereka, solusi transportasi kemudian disepakati menggunakan jasa ojek. Jumlah tas besar yang akan diangkut motor mulai dihitung, sementara tas kecil disepakati disandang masing-masing pemiliknya. Kesimpulannya, diperlukan 10 motor lagi. Gila, itu seperti wisatawan yang sedang pelesiran ke hutan. Sore harinya beberapa dari rombongan sibuk mencari motor ojek. Pak Kades pun terpaksa turun tangan. Sebenarnya mudah mendapatkan motor di desa itu, tetapi harga menjadi masalah, ditambah hujan tadi malam, pastilah mereka pasang harga tinggi. Setelah ojek dikumpulkan, dilakukan perundingan harga, disepakati harga Rp.80.000,-untuk setiap motor.

(15)

Sebuah perahu penyeberangan telah tersandar di dermaga Sungai Tembesi. Lebar sungai itu tidak kurang dari 300 meter. Sungai itu sedikit pasang dan warnanya bertambah coklat akibat hujan sebelumnya. Dua jam kemudian rombongan tiba di sebuah kebun karet, tepatnya di hulu Sungai Jelutih. Beberapa anak Orang Rimba menyembul dari semak-semak setelah mendengar konvoi motor. Ada perasaan heran dan takut terbaca dalam raut muka mereka. Abdi dan peneliti mendekati mereka. Satu bungkus roti dikeluarkan sebagai bahan kontak, wajah mereka berubah ceria menerima kepingan-kepingan roti yang dibagikan. Beberapa saat kemudian, mereka berhasil dibujuk untuk memberitahukan kedatangan rombongan ke rerayo (tetua) mereka. Seorang yang tertua dari anak-anak berlari menemui rerayo, anak-anak yang tinggal memberitahukan pada rombongan bahwa pemukiman mereka tidak jauh dari posisi rombongan berdiri, ”tidak sampai sebatang rokok kakak dari sini” ucap salah seorang, memberi ilustrasi jarak. Sambil menunggu, rombongan mencari lokasi yang baik untuk mendirikan tenda dan sebagian melepas ikatan tas dari motor. Berselang 10 menit, rerayo dan anak-anak menghampiri rombongan. Kesibukan lalu berhenti sebentar, beberapa orang memilih tempat duduk yang kering dan nyaman untuk berbicara, Abdi mengambil inisiatif memulai pembicaraan. Dia memperkenalkan rombongan dan menjelaskan maksud kedatangan.

Minggu pertama, tidak banyak data yang terkumpul, para jurnalis foto ANTARA menyita sebahagian besar waktu Orang Rimba. Namun rapport sudah terbangun. Jurnalis foto itu memang sedang bersemangat membidik objek fotonya. Apa yang mereka lakukan tidak semata-mata untuk kesenangan mereka sendiri. Foto-foto terbaik dari mereka akan dipamerkan di galeri foto ANTARA. Dengan demikian, mereka sebenarnya turut membatu Orang Rimba lewat bahasa fotografi. Pada minggu kedua, setelah rombongan jurnalis foto ANTARA kembali ke Jambi, barulah dapat dijelaskan lebih baik maksud penelitian. Kedatangan peneliti kali ini rupa-rupanya masih mereka anggap sebagai kelanjutan pekerjaan dari KKI Warsi sebelumnya. Dalam artian tertentu memang sama saja. Dilakukan pengumpulan data untuk laporan observasi disamping memfasilitasi berbagai proyek KKI Warsi. Satu bulan di hutan dengan makanan yang monoton, telah merongrong semangat dan stamina kami. Guna mengatasinya, kami turut mencari ikan, berburu, dan mengikuti sidang adat.

Paruh kedua (1,5 bulan berikutnya) kerja lapangan di habiskan di Desa Pematang Kancil, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Site ke dua lokasi penelitian. Mitra peneliti sudah turun lapangan ketika kerja lapangan di kelompok ini dimulai. Selesai dengan survai singkat (3 hari) peneliti kembali ke Jambi. Kembali lagi ke lokasi penelitian bersama mitra pada dua hari berikutnya. Pengumpulan data dimulai dari kabupaten, antara lain untuk memperoleh data sekunder (data dari BPS dan semacamnya). Kemudian melakukan wawancara dengan Erinaldi Ramli, seorang insinyur pertanian, yang bersangkutan memiliki pemahaman yang luas tentang kelompok - kelompok Orang Rimba di sepanjang jalan lintas Sumatera. Data lahan Orang Rimba Luar dalam laporannya, digunakan dalam penyusunan sub bab ketiga tesis ini.

(16)

menjerumuskan kami dalam masalah, ketika tindakannya itu diprotes, tukang ojek memberitahu dengan wajah minta dimengerti bahwa ia tidak punya surat apapun dan kartu anggota ojeknya pun sudah mati. Sial, kali ini akan berurusan dengan Polisi. Buru-buru motor disembunyikan di rerimbunan sawit. Sambil duduk, tepatnya bersembunyi di sebuah rumah milik orang Jawa. Sebelum tuan rumah bertanya, buru-buru tukang ojek menceritakan soal razia dan minta izin bersembunyi di pekarangannya.

Setelah menenangkan diri, dicoba untuk menghubungi mitra ke telepon selulernya. Peneliti berbicara dengan mitra beberapa saat, kemudian Polisi minta ikut bicara, tetapi suara Polisi tidak segalak yang diduga. Diputuskan untuk menunggu, cukup lama menunggu. Tidak sabar lagi diputuskan untuk menyusul mereka, tetapi ditengah jalan, kira-kira satu kilo meter dari tempat kami bersembunyi, mereka tampak di depan. Rupa-rupanya mereka telah lepas dari razia Polisi. Kami penasaran mendengar kejadian yang menimpa mereka, untuk itu, motor dijauhkan lagi dari Polisi dan berhenti untuk mendapat cerita mereka. Disebutkan, setelah di bentak-bentak, Polisi meminta kartu identitas. Mitra peneliti mengeluarkan kartu nama yang terbukti sakti. Di kartu itu tertulis ”Staf Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada”. Tercetak pula sebuah nama yang hebat: ”Ekoningtyas Margu Wardhani, M.Si”. Polisi mungkin terpengaruh dengan asal lembaga dan embel-embel gelar itu. Pelajaran berharga: jika memakai jasa ojek, tanyakan dulu kelengkapan surat-surat kendaraannya.

Kira-kira jam dua siang, ojek yang ditumpangi tiba di Balai Desa Pematang Kancil. Tempat paling lazim untuk menemui aparat desa. Sesuai dugaan, Pak Kades sedang berada di kantor balai desa. Diutarakan kepada kepala desa maksud penelitian sambil menunjukkan surat izin. Diutarakan juga keperluan untuk memperoleh pemondokan. Kepala desa menanyakan asal dan agama kami. Beliau akhirnya memutuskan menempatkan kami di rumah seorang transmigran asal Bandung. Rumah transmigran tempat akan mondok adalah miliki seorang janda beretnis Batak. Pertimbangan Pak Kades menempatkan kami di rumah itu karena penghuninya hanya berjumlah dua orang saja serta tersedia cukup kamar untuk digunakan. Tuan rumah sangat fasih berbahasa Sunda, sama fasihnya dengan kepala desa yang juga seorang Sunda. Kefasihan ibu itu berbahasa Sunda mungkin lebih fasih dari bahasa ibunya. Di depan tuan rumah, Pak Kades menerangkan kembali maksud kedatangan kami dan menyampaikan bahwa kami akan tinggal satu bulan lebih dalam rangka penelitian. Ibu itu berusia 55 tahun, dipanggil Ibu Juntak, mengikuti marga almarhum suaminya. Ia tinggal bersama putrinya yang belum menikah tetapi sudah cukup berumur. Kami diperlakukan seperti layaknya anak sendiri. Di akhir penelitian, ketika ingin berpisah, muncul kesulitan. Bagaimana menunjukkan rasa terimakasih atas semua kebaikan keluarga itu? Memberi uang makan akan menimbulkan perasaan tidak enak. Sebelumnya hal itu sudah ditegaskan, bahwa kami tidak perlu membayar uang makan. Lalu diambil cara paling umum, membelikan batik Jogja sebagai kenang-kenangan.

(17)

(2)

DAERAH PENELITIAN

1. TAM A N NAS I O N A L BU K IT 12

Taman Nasional Bukit 12 adalah suatu kawasan hutan alam tropis, kira-kira berada di tengah Provinsi Jambi. Kawasan ini membentang di tiga kabupaten yakni: Kabupaten Sarolangun di bagian selatan, Kabupaten Tebo di bagian timur, dan Kabupaten Batang Hari di bagian barat-utara. Ketiga kabupaten tersebut saling berbatasan di ”tali bukit” 12, sebuah perbukitan yang memanjang dari timur ke barat. Kawasan ini dapat dikunjungi dengan menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua. Pertama, melalui ruas jalan darat yang terhubung dari jalan lintas tengah Sumatera ke pedalaman. Saat ini kendaraan roda dua dan empat dapat masuk hingga ke tepi hutan bagian selatan dan barat taman nasional itu, sedangkan ke bagian utara dan timur, kendaraan bermotor hanya sampai di desa pinggir hutan. Cara kedua, menggunakan perahu mesin yang disebut penduduk setempat dengan nama kepompong dan ketek. Perahu yang lebih besar disebut kepompong. Barangkali namanya diambil dari bunyi yang dikeluarkan mesin perahu itu, pong...pong...pong...pong. Perahu yang lebih kecil disebut ketek. Bunyi perahu ini mirip namanya, tek...tek...tek..tek.

(18)

sejauh 3-4 km atau kira-kira 1,5 jam perjalanan. Masih dapat juga menggunakan perahu, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil, karena sungai itu semakin ke hulu semakin sempit dan dangkal. Rute dari Sungai Rengas, perahu mudik Sungai Batang Hari, Sungai Tabir, dan Sungai Kejasung (besar dan kecil). Rute melalui Kejasung Besar lebih mudah karena sungainya lebih lebar. Perahu mesin masih dapat menjangkau lokasi yang di sebut penduduk kem tengah. Perusahaan HPH yang beroperasi dimasa lalu, menyebut lokasi dimaksud dengan camp tengah (tempat pengumpulan log sementara). Sejak saat itu sampai sekarang, namanya berubah menjadi kem tengah. Dari kem tengah, kelompok-kelompok Orang Rimba di sepanjang Sungai Kejasung telah cukup dekat untuk dijangkau, kira-kira satu jam perjalanan untuk lokasi kelompok Orang Rimba terdekat.

Cara ke tiga menjangkau pemukiman Orang Rimba, masuk dari sisi timur Taman Nasional Bukit 12 (TNB 12), melalui Desa Baru. Dari desa ini perjalanan dapat dilanjutkan berjalan kaki atau menggunakan motor trail (SUZUKI TS 150), melalui eks jalan logging yang dibangun perusahaan HPH di masa lalu. Dahulu, ketika jalan masih terpelihara, hampir semua kawasan di TNB 12 dapat dijangkau dengan mobil. Sekarang kondisi jalan telah ditutupi semak belukar dan permukaan jalan berlubang-lubang digenangi air. Rute ini dapat menjangkau pemukiman Orang Rimba Sungai Bangkai Anjing (sub Das Terab) dan sekitarnya. Karena Orang Rimba sering berpindah-pindah pemukiman, informasi keberadaan mereka diperlukan terlebih dahulu, agar dapat memilih rute masuk yang terdekat. Masih di sebelah timur TNB 12, pemukiman Orang Rimba juga dapat di jangkau dari Desa Jelutih dan Desa Hajran. Dua desa ini masuk administrasi Kecamatan Bathin 12, Kabupeten Batang Hari. Desa Jelutih berada di seberang Sungai Tembesi (anak Sungai Batang Hari) sehingga diperlukan perahu penyeberangan. Perjalanan kaki dapat dilanjutkan atau dengan kendaraan bermotor pada musim kemarau ke pemukiman Orang Rimba di sepanjang Sungai Terab dan sekitarnya. Jalan yang tersedia melalui Desa Jelutuh adalah jalan setapak yang menghubungkan petak-petak kebun karet penduduk yang luasnya sejauh mata memandang. Bila musim hujan, berjalan kaki adalah cara paling tepat. Demikian juga halnya bila masuk dari Desa Hajran. Bedanya, desa ini berada di seberang Sungai Tembesi, terhubung langsung dengan lokasi yang akan dituju.

Taman Nasional Bukit 12 dapat lihat sebagai sumber pasokan air bagi Das Batang Hari. Survai dan identifikasi sungai yang pernah dilakukan (KKI Warsi, 2000) dan konfirmasi lapangan (Siagian, 2004 & 2006) menemukan ada sekitar 300 anak sungai yang berhulu ke Bukit 12. Peta topografi dan peta sungai menggambarkan adanya jaringan sungai yang menyerupai akar serabut dari hulu ke hilir, sungai-sungai itu turun ke bawah membentuk cabang-cabangnya membagi-bagi daratan dalam petak-petak yang sempit, sehingga kawasan seluas 60 ribu hektar itu rata mendapat air. Dari segi itu, kerusakan hutan di kawasan dimaksud akan mempercepat pencucian hara, pendangkalan sungai, dan penyusutan volume air sungai. Di samping karena fungsí hidrologinya, kawasan TNB12 merupakan “rumah terakhir” bagi 1.500 jiwa Orang Rimba. Sebagian atas alasan di atas, pemerintah daerah Jambi mengusulkan perbukitan Bukit 12 untuk cagar biosfer8 di masa lalu.

SE J AR A H KAWA S A N

Pada tahun 1984 Bupati Sarolangun Bangko mengusulkan dengan surat nomor 522/182/1984 kepada Gubernur Provinsi Jambi agar perbukitan 12 dijadikan hutan lindung atau cagar biosfer. Kepala sub balai bagian PPA kemudian memfasilitasi usulan

8 Cagar biosfer dirancang untuk menjawab salah satu dari pertanyaan-pertanyaan terpenting yang dihadapi

(19)

itu dengan surat nomor 163/V/813 PPA/1984. Ditindaklanjuti oleh Gubernur Provinsi Jambi dengan surat nomor 522.51/863/84 kepada Menteri Kehutanan agar kawasan Bukit 12 seluas 28.707 ha diperuntukkan sebagai cagar biosfer, cagar budaya, kepentingan penelitian, dan pendidikan. Di tingkat provinsi usulan ini kemudian diakomodasi dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan luas 29.485 ha. Pada tahun berikutnya, Menteri Kehutanan menetapkan kawasan Bukit 12 sebagai kawasan cagar biosfer dengan luas 26.788 ha. Luas itu dikonfirmasi dengan pengukuran dan tata batas tahun 1989, namun angka yang diacu dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah adalah 26.800 ha.

Kelanjutan, penetapan kawasan ini sebagai cagar biosfer menjadi dasar pembentukan TNB 12. Sayangnya, luasanya terlalu kecil untuk populasi Orang Rimba yang hidup sebagai perburu, peramu, dan petani ladang sederhana. Topografinya kurang mendukung untuk bercocok tanam karena dominasi perbukitan. Perbukitan itu memanjang bersambung-sambung dari barat ke timur: Bukit Kuaran, Bukit Punai Banyak, Bukit Berumbung, Bukit Lubuk Semah, Bukit Sungai Keruh Mati, Bukit Panggang, Bukit Enau, Bukit Teregang, Bukit Pal, Bukit Suban, Bukit Tiga Beradik, dan Bukit Betimpo. Daerah perbukitan seperti itu tidak dapat mendukung kehidupan Orang Rimba. Kawasan yang mendukung justru di bagian utara cagar biosfer tersebut karena topografinya lebih datar bergelombang. Berdasarkan survai sumberdaya tradisional Orang Rimba ditemukan berpusat di lokasi ini: buah-buahan, umbi-umbian, rotan, damar, jelutung, dan obat-obatan. Penelitian biota medika9 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,

Universitas Indonesia, Departemen Kesehatan, dan Institut Pertanian Bogor, menemukan tidak kurang dari 100 jenis tumbuhan yang berhasiat obat, 21 dari jenis cendawan, dan 13 dari jenis satwa. Dari 100 jenis tumbuhan yang ditemukan, beberapa diantaranya sudah langka; akar kunyit (Arcangelisia flava) yang digunakan secara tradisional untuk pengobatan penyakit hepatitis, empedu tanah (Eurycona longifulia) yang berkhasiat untuk obat malaria, dan merajakane (Ficus deltoida) yang berkhasiat sebagai sari rapet bagi perempuan bersalin. Dari jenis cendawan yang terpenting untuk disebutkan adalah cendawan jantung (Dictyophora indusiata) untuk obat sakit jantung, cendawan mangkuk beruk (Micrastoma sp) untuk mengatasi impotensi, dan cendawan kaos (Dictyopora sp ) untuk hepatitis. Sementara dari jenis satwa yang berkhasiat secara tradisional; kijang (Anodonta woodiana) untuk penyakit beri-beri, empedu beruang untuk obat disentri, dan ikan kaliuh untuk sakit maag. Potensi penting lainnya dari kawasan ini adalah hasil hutan non kayunya (non timber forest).

Rotan (Calamus ciliaris) adalah bahan utama kerajinan yang dipergunakan untuk peralatan rumah tangga. Rotan juga merupakan komoditas yang diperdagangkan sejak dahulu, diantaranya: rotan manau (Callamus mannan), rotan sego (Unidentifield), rotan cacing (Unidentifiled), dan rotan balam (Unidentifield). Perlu pula ditambahkan, di kawasan ini tersebar ratusan pohon tempat lebah bersarang (sialang). Madu hutan adalah sumber protein penting bagi Orang Rimba dan jika produksinya surplus menjadi sumber pendapatan tambahan. Ironisnya, bagian utara yang disebutkan di atas telah ditetapkan sebagai konsesi HPH Inhutani V, milik pemerintah. Dalam peta pemerintah, kawasan ini berstatus hutan produksi Serenggam Hulu. Rencananya, setelah kayu dalam konsesi habis, lahan konsesi akan diubah menjadi perkebunan rotan. Rencana ini menjadi ancaman serius bagi Orang Rimba, dan memicu konflik10. Sedemikian sering konflik

terjadi menarik perhatian publik.

(20)

Pada tahun 1997, KKI Warsi mulai menaruh perhatian terhadap permasalahan ini. Mereka kemudian melakukan berbagai macam kajian berdasarkan penelitian lapangan sambil mengupayakan pendampingan kepada Orang Rimba. Tiga tahun kemudian (2000), KKI Warsi mencoba meyakinkan pemerintah agar areal kawasan PT Inhutani V dan mitranya PT Sumber Hutan Lestari dibekukan, eksploitasi kayu menyebabkan siklus banjir semakin cepat, mengenangi pemukiman-pemukiman penduduk di sekitarnya. Di samping itu Orang Rimba yang berada dalam konsesi menderita banyak kerugian, termasuk di dalamnya hewan buruan, buah-buahan yang rusak, dan lokasi berladang yang semakin sempit.

Advokasi KKI Warsi akhirnya berhasil mendorong Menteri Kehutanan untuk melakukan kajian terpadu kawasan, meliputi pemukiman penduduk di sekitarnya. Tim terpadu itu kemudian merekomendasikan agar sisi utara cagar biosfer dijadikan kawasan

lindung. Hasil tim itu diperkuat lagi oleh usulan Gubernur Jambi dengan surat nomor 525/0496/Perek yang mengusulkan pembatalan percadangan lahan PT Inhutani V dan mitranya PT Sumber Hutan Lestari seluas 38.500 ha. Pembekuan areal inilah yang menjadi tambahan cagar biosfer yang semula 26.800 ha menjadi 65.300 ha. Pada 23 Juni 2000, Menteri Kehutanan dan Menteri Perkebunan sepakat untuk mengubah status kawasan itu menjadi TNB 12, dengan surat keputusan bersama nomor 258/Kpts-II/2000 dan penetapannya diresmikan Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid, pada 26 Januari 2001 di Jambi.

(21)

(WP) seluas 6.900 ha, dan PT Limbah Kayu Utama (LKU) seluas 20.000 Ha di sisi sebelah timur TNB 12. Letaknya yang strategis juga menjadi areal perebutan kayu dan lahan bagi 23 desa di sekitarnya. Situasi Taman Nasional Bukit 12 ini11 dapat dilihat pada peta

penggunaan lahan (peta 2) dan peta tekanan perladangan dari desa-desa sekitar.

KEA D A A N PEN D U D U K

Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba di TNB 12 secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Sungai Tabir di sebelah barat, Sugai Tembesi di sebelah timur, Sungai Batang Hari di sebelah utara, dan Sungai Merangin di sebelah selatan. Sementara kawasan yang disebut “Bukit 12” adalah sebuah perbukitan yang menjadi pusat dari kawasan tersebut. Sensus penduduk yang dilakukan KKI Warsi pada 2005, menginformasikan bahwa jumlah Orang Rimba di kawasan TNB 12 adalah 1.524 jiwa. Persebaran populasi berdasarkan lokasi sungai adalah: Air Hitam 256 jiwa; Makekal 872 jiwa; Kejasung (kecil dan besar) 221 jiwa; dan Terab-Serenggam 175 jiwa. Konsentarsi populasi Orang Rimba berada di Sungai Makekal dengan jumlah populasi 872 jiwa dari 1.524 jiwa total populasi (lihat grafik 1).

Ciri umum penyebaran pemukiman Orang Rimba adalah mengikuti daerah aliran sungai (Das). Sungai juga mereka gunakan sebagai rujukan nama kelompok-kelompoknya. Misalnya, mereka yang berada di sepanjang Das Air Hitam menyebut dirinya “Orang Rimba Air Hitam”, mereka yang bermukim disepanjang Das Makekal menyebut dirinya “Orang Rimba Makekal” dan seterusnya.

Populasi Orang Rimba berdasarkan sungai

Sumber: data lapangan, 2006; KKI Warsi, 2005

Komposisi dan persebaran mereka umumnya kecil-kecil yaitu antara 10 jiwa sampai 60 jiwa. Dengan bentuk kelompok yang kecil-kecil, mereka dapat mengorganisasi kelompoknya lebih mandiri. Namun walaupun mandiri, Orang Rimba terikat dalam norma hukum yang sama sebagai dasar rujukan jika terjadi konflik atau persengketaan di antara mereka.

2. K

AWASAN

P

AMENANG

Kawasan Pamenang adalah sebuah kawasan pemukiman transmigrasi, perkebunan sawit (Elaeis Oleifera), dan karet (Ficus lastica nois exlb). Kawasan ini dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua dari ibukota

(22)

kabupaten (Sarolangun dan Banko). Menurut statistik kabupaten, luas perkebunan di kecamatan ini adalah 30.538 ha, terdiri atas 20.750 ha kelapa sawit dan 9.788 ha karet. Lokasinya berada di perbatasan antara Kabupaten Merangin dengan Kabupaten Sarolangun sehingga mudah dijangkau dari dua pusat kota tersebut. Secara administratif Pamenang adalah bagian dari tujuh kecamatan di wilayah administratif Kabupaten Merangin. Kabupaten Merangin sendiri adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi yang letaknya berada di sebelah timur provinsi itu, luasnya 7.679 km atau 15,17 % dari luas propinsi.

Kecamatan Pamenang memiliki luas 665 km2 atau 8,66 % dari luas wilayah Kabupaten Merangin. Topografinya didominasi dataran rendah, rata-rata pada ketinggian 46 meter dpl (di atas permukaan laut). Daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah bertopografi rendah dan subur jika dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Untuk perbandingan, Kecamatan Jangkat berada pada ketinggian 1.206 meter dpl, Muara Siau 255 meter dpl, Lembah Masurai 255 meter d.p.l, Bangko 90 meter dpl, Sungai Manau 150 meter dpl, Tabir 85 meter dpl, Tabir Ulu, 74 meter dpl, dan Tabir Selatan 85 meter dpl. Dengan topografi yang demikian kawasan ini memang sesuai untuk areal pemukiman penduduk dan perkebunan. Kawasan yang lebih sempit, tetapi masih bagian dari Pamenang adalah Desa Pematang Kancil, tempat penelitian dilakukan. Luas desa ini 1.178 ha (monografi desa, 1996) terdiri atas 1.055 ha perkebunan, 98 ha pemukiman, 18 ha tanah kas desa, 4 ha lapangan/tanah kosong, dan 3 ha perkantoran pemerintah. Total jumlah penduduk yang tercatat berjumlah 1968 jiwa atau 581 keluarga (angka ini tidak termasuk jumlah keluarga Orang Rimba). Perbandingan penduduk menurut gender adalah: laki-laki 1041 jiwa dan perempuan 917 jiwa. Desa ini merepresentasikan campuran pemukiman transmigran dengan Orang Rimba. Letak desa seperti garis demarkasi antara Kabupaten Sarolangun dengan Kabupaten Merangin. Orbitasinya 15 km ke ibukota kecamatan dengan lama tempuh ½ jam. Jarak ke ibukota kabupaten 45 km dengan lama tempuh kira-kira 1,5 jam. Desa berada pada ketinggian 200 m dpl, dengan curah hujan rat-rata 200 mm per tahun. Hujan turun kira-kira sembilan bulan lamanya, dan suhu rata-rata harian 23 derajat celcius.

Dengan luas penggunaan lahan sebesar 1.055 ha untuk perkebunan dari total luas desa 1.178 ha, sangat jelas kehidupan penduduk ditopang oleh hasil perkebunan. Generasi pertama tranmigran di desa ini adalah petani, memiliki lahan rata-rata tiga hektar per rumah tangga, dua hektar diantaranya merupakan lahan perkebunan sawit. Pada tahun 2006, diversifikasi tenaga kerja terlihat lebih beragam dibandingkan sebelumnya: petani perkebunan sebanyak 380 orang, buruh tani 170 orang, buruh swasta 20 orang, pegawai negeri 28 orang, pengrajin 8 orang, pedagang 21 orang, peternak 50 orang, dan montir 4 orang.

Generasi kedua penduduk memperlihatkan penciutan lahan tanaman pangan. Sebanyak 50 rumah tangga memiliki lahan kurang dari ½ ha dan ½ ha sampai 10 ha dimiliki oleh 75 rumah tangga. Sementara untuk lahan perkebunan, 392 rumah tangga memiliki lahan perkebunan dan tidak memiliki 147 rumah tangga. Pemeliharaan ternak dapat dilakukan dengan baik karena tersedia rumput di perkebunan, 200 ekor sapi dan 100 ekor kambing dipelihara penduduk tanpa digembalakan.

SE J AR A H SI N G K AT KAWA S AN

(23)

Jalan lintas tengah Sumatera yang dibangun setahun sebelumnya turut pula mempengaruhi harga lahan di kawasan ini. Hal itu membawa implikasi pada pertumbuhan pasar dan pangkalan perdagangan di sepanjang jalan lintas Sumatera itu. Maka dalam waktu yang relatif singkat kawasan ini telah tumbuh menjadi salah satu pemukiman terpadat di Kabupaten Merangin.

KEA D A A N PEN D U D U K

Statistik kabupaten mencatat penduduk Pamenang adalah 57.898 jiwa atau 15.733 rumah tangga (BPS Kabupaten Merangin, 2005). Dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan kecamatan, Pamenang merupakan salah satu kawasan yang berpenduduk paling besar dan juga dari segi kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk di Pamenang adalah 87 jiwa per km2, merupakan daerah kedua paling padat di Kabupaten Merangin, sedikit lebih padat dari ibu kota kabupaten (Bangko) yang berpenduduk 85 jiwa per km2.

Penduduk menurut kecamatan di Kab. Merangin

Sumber: diolah dari BPS Merangin, 2005

Populasi Orang Rimba di kawasan ini berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan KKI-Warsi (1999) sebanyak 1.259 jiwa. Pemukiman mereka tersebar di sepanjang anak-anak Sungai Merangin dan kawasan yang dilalui jalan lintas tengah Sumatera (lihat peta lokasi penelitian). Tetapi bagian terbesar dari populasi Orang Rimba ditemukan di sekitar perkebunan sawit, kebun karet, dan disekitar pemukiman transmigrasi. Seperti di Sungai Kejumat, Desa Pematang Kancil; Desa Lantak Seribu, Sungai Musa; Desa Rejo Sari; dan Bukit Bungkul, Desa Bukit Beringin.

(3)

MOD

E

PRODUKSI DAN MOD

E

REPRODUKSI

(24)

sudah barang tentu kehilangan maknanya. Secara kategoris Orang Rimba menyebut orang yang hidup di luar hutan adalah “orang terang”, istilah yang umumnya ditujukan pada orang yang ingin hidup dengan cara Melayu yang dengan demikian identik dengan beragama Islam. Sebutan “orang terang” juga berlaku bagi Orang Rimba yang memilih hidup berdiom (hidup menetap di desa) atau bagi mereka yang tunduk pada program resettlement pemerintah (dimukimkan).

Memperhatikan kategori sosial yang dikemukakan di atas, Orang Rimba yang sekarang hidup di luar rimba sebenarnya tidak masuk dalam kategori “orang terang”, walaupun mereka sebagian besar sudah memeluk agama tertentu, seperti di Desa Pematang Kancil. Motif yang melatarbelakangi mereka memeluk agama tertentu adalah untuk kepentingan praktis, misalnya untuk mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP). KTP saat ini perlu bila ingin membeli sepeda motor secara kredit. Baik agama, pemukiman, dan seterusnya merupakan intervensi negara, bukan keinginan mereka, maka dari sudut itu, beralasan jika mereka tetap menyebut dirinya “Orang Rimba” atau “Orang Rimba Luar” untuk kepentingan kategori sosial ini.

MO D E PR O D U K S I OR A NG RI M B A DA L AM

EKOSISTEM

Ekosistem hutan TNB 12 berdasar surat keputusan menteri seluas 60.500 ha. Adanya rasionalisasi (pengurangan dengan penyesuaian keadaan faktual) pada tahun berikutnya menjadi kurang dari 60.000 ha. Kawasan ini dibatasi oleh: Das Tabir di sebelah barat, Das Tembesi di sebelah timur, Das Batang Hari di sebelah Utara, dan Das Merangin di sebelah Selatan. Merunut “peta” tradisional Orang Rimba (disebutkan dalam tambo adat) luas TNB 12 dalam bentuknya sekarang lebih kecil dari luas yang di klaim berdasar batas hutan adat. Muhammad Sidiq (1999) mengkonfimasikan hal itu dengan survai lapangan menggunakan global position system (GPS-tipe 12 XL). Wilayah yuridiksi Orang Rimba itu sekarang dipertegas lagi oleh batas TNB 12. Walaupun saling menguatkan, de facto perluasan kebun karet (Ficus elastica nois exbl) dan sawit (Elaeis oleifera) penduduk Melayu dan transmigran telah memasuki kawasan taman nasional.

Kelompok Temenggung Maritua menempati hutan dataran rendah bergelombang yang dikandung oleh dua sungai; Terab dan Serenggam. Berbagi dengan kelompok-kelompok Orang Rimba lainnya di wilayah yang lebih luas berdasarkan cabang-cabang sungai. Ekosistem kelompok-kelompok di bagian utara TNB 12 ini umumnya berupa hutan sekunder. Berdasarkan analisis penggunaan lahan dan tata ruang (Adi, 2000) hutan alam yang tersisa di daerah ini pada tahun 2000 sekitar 70.701,4 ha, dan telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan (lihat peta 3).

(25)

pada peta citra dengan adanya alur-alur jalan dan drainase yang lebih teratur. Perkebunan sawit plasma

yang dikelola secara

kemitraan antara perusahaan

dengan masyarakat,

lokasinya bersebelahan

dengan permukiman

transmigrasi. Areal sawit juga terlihat di beberapa tempat secara sporadis yang ditanami oleh masyarakat desa dan transmigran secara swadaya.

Untuk pemukiman, yang dikenali dari peta citra, terdapat dua jenis yaitu: permukiman transmigrasi dan permukiman masyarakat

desa. Permukiman

transmigrasi terdiri dari

komponen, bangunan

perumahan dan pekarangan yang ditanami tanaman tahunan seperti, buah-buahan, dan tanaman-tanaman semusim. Permukiman Melayu terlihat lebih sempit dan menyebar tidak teratur, kenampakannya di citra lebih sulit dikenali karena lebih menyatu dengan kebun karet. Seperti halnya permukiman transmigrasi, masyarakat desa juga mempunyai pekarangan dan ladang yang tidak terlalu luas.

Lahan terbuka adalah lahan kosong tanpa vegetasi atau penggunaan lainnya. Berdasarkan hasil interpretasi, lahan kosong menyebar di beberapa lokasi dalam luasan yang bervariasi. Luasan terbesar yang ditemukan pada citra tahun 1998 adalah 355 ha. Areal ini merupakan perambahan hutan kawasan Bukit 12 di sebelah barat. Berdasarkan hasil survai lapangan, lahan-lahan terbuka yang teridentifikasi pada tahun 2007 sudah ditanami dengan sawit dan karet milik penduduk Melayu.

Untuk perladangan yang teridentifikasi, dibedakan menjadi dua jenis: perladangan tetap di lokasi transmigrasi dan perladangan berpindah di dalam hutan. Perladangan transmigran ditanami palawija pada musim penghujan yang dibiarkan pada musim kemarau, tetapi karena kesuburan tanahnya semakin rendah, sekarang (2007) telah ditanami dengan karet atau sawit, sedangkan perladangan berpindah milik Orang Rimba ditanami ketela pohon (Menihot uthilissima), ubi rambat (Hamoea batatas), keladi (Calosisi sp), pisang (Musa), tebu (Saccerum sp), cabe rawit (Capsiae), dan tembakau (Nicotiana tabucum l) diselang-selingi dengan karet (Ficus elasticanois exbl).

Pada kawasan yang sama, studi deforestasi yang dilakukan Indu Mogi (2002) menggunakan peta citra (1996, 1998, 2000, dan 2002), memperlihatkan adanya penurunan vegetasi hutan dari tahun 1996 sampai tahun 2002. Penurunan itu terlihat jelas pada beberapa area di selatan dan barat TNB 12. Tahun 1996, batas TNB 12 di dibagian barat masih tampak memiliki sabuk hijau berupa vegetasi hutan tersisa. Namun setelah tahun 2002, pembukaan ladang masyarakat semakin mendekati batas taman hingga melewati batas taman. Hal ini juga terlihat di daerah selatan, pada area sekitar Pematang Kabau, Lubuk Jering dan Satuan Pemukiman-I (SP-I) Desa Bukit Suban.

Gambar

Tabel 13). Di luar belanja barang konsumsi sehari-hari, porsi penggunaan Orang Rimba

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fenomena yang terjadi, meliputi pola aliran dan distribusi temperatur pada permasalahan Konveksi alami, pada kotak 2D

Prosedur dalam penelitian ini yaitu perencanaan tindakan (Planning), penerapan tindakan (Action), dan mengevaluasi hasil tindakan (Evaluation). Dari populasi yang ada

Kemudian dilakukan plot antara ketinggian kolom liquid dan factor rate sehingga dari grafik ini dapat dilihat persebaran sumur yang dikategorikan sebagai sumur

Penghujung tulisan, banyaknya perawat di indonesia merupakan suatu aset yang di miliki oleh tenaga kesehatan untuk bisa mewujudkan pelayanan yang baik yang mampu

<30> Ulurkanlah tanganMu untuk menyembuhkan orang, dan adakanlah tanda-tanda dan mujizat-mujizat oleh Nama Yesus, HambaMu yang kudus." <31> Dan ketika mereka

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.01/2008 Tentang Perubahan Kedua atas PMK No 132/PMK/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal

Sistem Absensi Siswa Berbasis Bot Telegram dan SMS, [online].. Penjelasan Singkat Tentang Hasil Ping,

Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap sistem yang telah ada dengan mengidentifikasi permasalahan, penentuan tujuan dari perbaikan sebuah sistem,