• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJUAN PUSTAKA

2.2 Insidensi Endometriosis

Secara umum prevalensi endometriosis terjadi pada 6-10% populasi wanita. Angka kejadian endometriosis ini meningkat, pada 60 – 80 % penderita dismenorea, 30 – 50 % penderita nyeri perut, 25 – 40 % penderita dengan keluhan dispareunia, 30 – 40 % pasutri infertilitas, dan 10 – 20 % pada penderita dengan siklus menstruasi tidak teratur. Dalam 2 dekade terakhir ini kelihatanya insiden endometriosis cenderung

27

meningkat, terutama dengan semakin meluasnya penggunaan laparoskopi. Pada wanita yang dilakukan tindakan laparoskopi diagnostik ternyata 10 – 15 % didiagnosa sebagai endometriosis. (3), (11)

Di Indonesia ditemukan 15 – 25 % wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis, sedang infertilitas idiopatik mencapai 70 – 80 %. Sedangkan angka kejadian kista coklat ini adalah sebesar 30 – 40 % dari semua populasi endometriosis. (21)

2.3 Klasifikasi Endometriosis

Sangat penting dalam menentukan stadium endometriosis terutama untuk menetapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Ada beberapa klasifikasi yang dianjurkan dalam menentukan stadium endometriosis, seperti klasifikasi yang dianjurkan oleh American Fertility Society (AFS) dan klasifikasi yang dianjurkan oleh Kurt Semm berupa Endoscopic Endometriosis Clasification (EEC).

Klasifikasi endometriosis pada awalnya yang dibuat oleh American Fertility Society (AFS) yang kemudian diganti namanya menjadi American Society for Reproductive Medicine (ASRM) pada tahun 1979 kemudian direvisi pada tahun 1985. Revisi ini memberikan gambaran endometriosis secara tiga dimensi dan dapat membedakan antara lesi yang superfisial ataupun lesi yang invasif. Namun klasifikasi ini tidak memberikan manfaat untuk memberikan prognostik berkaitan dengan fertilitas dan derajat nyeri.

(20), (22)

Kemudian klasifikasi ini direvisi kembali tahun 1997 yang sekarang banyak digunakan untuk menentukan stadium endometriosis, dimana klasifikasi endometriosis dibagi pada empat klasifikasi. (2), (20), (23)

Tabel 2.1. Klassifikasi Endometriosis Menurut American Fertility Society (AFS) / Revisi American Society for Reproductive Medicine (ASRM)

Endometriosis NILAI 1 cm 1-3 cm 3 cm Peritoneum - Superfisial 1 2 4 - Dalam 2 4 6 Ovarium

Kanan dan kiri

- Superfisial 1 2 4 - Dalam 4 16 20

Ovarium perlengketan 1/3 bagian 1/3-2/3 bagian 2/3 bagian Kanan ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16 Kiri ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16 Tuba Kanan ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16 Kiri ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16

Kavum Douglas Sebagian Seluruhnya 4 40

- Berdasarkan hasil laparoskopi diagnostik (LD) / laparatomi didapatkan jumlah skor :

(1) stadium I (minimal) : 1-5 (2) stadium II (mild ) : 6-15 (3) stadium III (moderate) : 16-40 (4) stadium IV (severe) : > 40

29

Gambar 3. Lembar klasifikasi endometriosis berdasarkan klasifikasi American Society for Reproductive Medicine yang direvisi. (20)

2.4 Diagnosis Endometriosis

Diagnosis endometriosis secara pasti ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium yang berasal dari jaringan diluar kavum uteri. Namun secara klinis, endometriosis dapat dikenali berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan. Salah satu keluhan umum para wanita yang menderita gejala endometriosis adalah nyeri pelvik. Gejala-gejala mencakup dismenore, nyeri intermenstruasi, dan dyspareunia. Dismenore merupakan gejala yang paling umum dilaporkan, tetapi bukan alat prediksi endometriosis yang terpercaya. Dismenore yang berkaitan dengan endometriosis seringkali dimulai sebelum aliran menstruasi muncul dan biasanya bertahan selama menstruasi berlangsung, bahkan terkadang lebih lama dari itu. Nyeri biasanya menyebar, berada dalam pelvik, dan dapat menjalar ke punggung, paha, atau berhubungan dengan tekanan usus, kegelisahan, dan diare episodik. Dyspareunia terkait endometriosis biasanya terjadi sebelum menstruasi, lalu terasa semakin nyeri tepat di awal menstruasi. Nyeri ini seringkali berhubungan dengan penyakit yang melibatkan cul-de-sac dan sekat rektovagina. (14), (20)

Dari data cross-sectional survey pada tahun 2008 dari 1000 wanita dengan endometriosis ditemukan gejala dismenore pada 79%, nyeri pelvik 69%. Dengan membandingkan derajat minimal-ringan dengan derajar sedang-berat, dispareunia lebih banyak ditemukan dengan 51% pada derajat sedang-berat dan 31% pada derajat minimal-ringan. Sedangkan berdasarkan pasien dengan infertilitas ditemukan 22% pada derajat

31

minimal-ringan dan 30% pada derajat sedang-berat dan dengan adanya massa diovarium ditemukan 7% pada derajat minimal-ringan dan 29% pada derajat sedang-berat. (24)

Nyeri pelvik kronik 70 – 80 % disebabkan endometriosis. Yang dimaksud nyeri pelvik kronik adalah nyeri pelvik hebat yang dialami lebih 6 bulan. Siklik maupun asiklik, tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari dan memerlukan pengobatan. Mekanisme terjadinya nyeri mungkin disebabkan peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan. (2), (14), (20) Sementara itu, endometriosis ekstrapelvik dapat berkaitan dengan bermacam-macam gejala siklik yang merefleksikan organ-organ terkait: parut (goresan bekas luka) abdominal, saluran gastrointestinal dan urinaria, diafragma, pleura, dan saraf perifer. (14)

Sebesar 50% wanita yang infertil ditemukan endometriosis. Dan pada 15% wanita dengan infertilitas sekunder ditemukan adanya endometriosis. (2) Infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis dapat dikaitkan pada tiga mekanisme yakni: (14)

- Gangguan secara anatomi pada adnexa yang menghalangi atau mengaggu proses penangkapan ovum pada saat ovulasi.

- Mempengaruhi pada perkembangan oosit atau saat embriogenesis.

Pemeriksaan fisik pada genitalia eksterna biasanya tidak ditemukan kelainan terutama pada derajat minimal-ringan biasanya tidak ditemukan kelainan apapun. Pada pemeriksaan spekulum terkadang bisa tampak implant yang khas berwarna biru atau lesi proliferatif merah yang berdarah bila terkena sentuhan, biasanya pada forniks posterior. Sementara endometriosis pada wanita dengan endometriosis yang menginfiltrasi dalam yang mengenai septum rektovagina sering dapat diraba, tetapi sangat jarang terlihat. Uterus seringkali terfiksasi atau terjadi peneurunan mobilitas uterus. Wanita dengan endometrioma mungkin memiliki massa adneksa yang terfiksasi. Nyeri tekan lokal dan nodularitas ligamentum uterosakral menyokong kuat ke arah diagnosis endometriosis dan sering menjadi satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas diagnostik tertinggi bila dilakukan selama menstruasi tetapi tidak selalu dapat menyingkirkan diagnosa endometriosis pada hasil pemeriksaan fisik adalah normal. Secara keseluruhan dibandingkan dengan baku emas diagnosa endometriosis dengan pembedahan, pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga yang yang lebih rendah. (14), (20)

Ultrasonografi transvaginal mungkin sangat membantu mendiagnosis endometriosis tahap lanjut yang biasanya digunakan untuk mendeteksi endometrioma ovarium, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau superficial peritoneal foci dari penyakit. Endometrioma dapat menghasilkan berbagai citra ultrasonografi, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kista dengan internal berdifusi rendah

33

yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp echogenic capsule). Beberapa mungkin mempunyai sekat internal atau dinding nodular yang menebal. Ketika keberadaan karakteristik gejala ditemukan, ultrasound transvaginal diketahui mempunyai sensitivitas 90% bahkan lebih dan hampir mempunyai spesifisitas 100% untuk mendeteksi endometrioma.

(14), (20)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari massa ovarium kistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi pencitraan lesi kecil peritoneum. Untuk deteksi implan peritoneum, MRI lebih baik terhadap ultrasonografi transvaginal, namun hanya dapat mengidentifikasi 30% - 40% lesi yang teramati pada saat operasi. Untuk deteksi penyakit yang terdokumentasi oleh histopatologi, MRI mempunyai sensitivitas mendekati 70% dan spesifisitas mendekati 75%. (14)

Gambar 4. Gambaran Ultrasound Transvaginal pada endometrioma ovarium. (20)

Gambar 5. Gambaran endometrioma ovarium pada pemeriksaan MRI. (25) Saat ini tidak ada biomarker terpercaya untuk diagnosa dan prognosa endometriosis. Berbagai marker yang berbeda pada cairan serum dan peritoneum, termasuk cancer antigen 125 (CA-125) dan sitokin seperti interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosi factor (TNF)-α telah

diusulkan. Walaupun hasil yang menjanjikan telah ditunjukkan, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi relevansi biomarker ini untuk diagnosis. Pada penelitian baru-baru ini, Cytokeratin-19 urin mungkin bisa menjadi biomarker untuk endometriosis. (7)

Secara umum, sensitivitas CA-125 terlalu rendah sebagai uji seleksi yang efektif bagi diagnosis endometriosis. Kadar CA-125 seringkali meningkat pada para wanita penderita endometriosis tingkat lanjut. Akan tetapi kenaikan kadar juga dapat diamati di tahap awal kehamilan selama menstruasi normal, dan pada para wanita dengan penyakit radang pelvik akut atau leiomyoma. Kadar CA-125 serum bervariasi hingga terkadang melewati siklus menstruasi. CA-125 serum telah dianjurkan sebagai uji selektif bagi diagnosis endometriosis. Akan tetapi meta-analisis yang meliputi 23 penelitian terpisah menggunakan penyakit terdiagnosis

35

dengan operasi sebagai standar emas, mengarahkan pada kesimpulan bahwa CA-125 tidak begitu akurat. Cut off value yang memberikan 90% spesifisitas mempunyai sensitivitas kurang dari 30%, dan jika disesuaikan dapat mencapai sensitivitas 50% dengan spesifisitas 70%. Sebagai uji selektif bagi tahap endometriosis lanjutan, nilai-nilai yang berkaitan dengan spesifisitas 90% mempunyai sensitivitas kurang dari 50%. (14) Ekspresi mRNA aromatase p450 juga dapat digunakan dalam mendukung diagnosis endometriosis meskipun pemeriksaan dapat juga terjadi peningkatan pada adenomiosis, leiomioma dan karsinoma endometrium.

(20)

Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosa pasti suatu endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen. Disini akan tampak lesi endometriosis yang berwarna merah atau kebiruan dan berkapsul, juga terlihat lesi endometriosis yang minimal. Implan peritoneum klasik merupakan lesi “bubuk mesiu” biru-hitam (mengandung deposit hemisoderin dari darah yang terperangkap) dengan berbagai jumlah fibrosis di sekelilingnya, tetapi sebagian besar implan tidak biasa (athypical) dan tampak putih pekat, merah seperti api, atau vesikular. Penyakit ini tidak umum ditemui dalam adhesi ovarium, bercak kuning-coklat, atau dalam kerusakan peritoneum. Lesi merah sangat kaya pembuluh darah, proliferatif, dan menandakan tahap awal penyakit. Lesi terpigmentasi merepresentasikan penyakit dalam tahap yang lebih lanjut. Keduanya aktif secara metabolisme dan umumnya berkaitan dengan gejala. Lesi putih kurang

kaya pembuluh darah dan kurang aktif, serta kurang menimbulkan gejala. Endometrioma biasanya tampak sebagai kista halus dan gelap, khususnya berkaitan dengan adhesi dan mengandung cairan berwarna coklat pekat. Endometrioma yang lebih besar seringkali multilokular. Pemeriksaan visual secara langsung pada ovarium biasanya sangat terpercaya untuk mengenali endometrioma, tetapi ketika dugaan penyakit sangat tinggi dan gejala tidak terlalu tampak, eksplorasi secara cermat dengan penusukan ovarium dan aspirasi dapat dilakukan. Endometrioma ovarium biasanya disertai sejumlah lesi pada peritoneum. Sebaliknya, endometriosis yang menginfiltrasi dalam seringkali tidak tampak dan terisolasi. (2), (14), (25)

Dokumen terkait