• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUNING TYAS ANWAR. Aplikasi Formulasi Insektisida Nabati Campuran Ekstrak Piper retrofractum Vahl. dan Annona squamosa L. pada Pertanaman Tomat Organik. Dibimbing oleh DADANG.

Tomat adalah tanaman hortikultura yang sudah banyak dibudidayakan secara intensif di Indonesia. Komoditas ini mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi pasar yang sangat baik. Budidaya tanaman tomat tidak akan terbebas dari permasalahan yang disebabkan oleh serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi. Salah satunya disebabkan oleh OPT di lahan pertanaman tomat adalah hama ulat penggerek buah tomat, Helicoverpa armigera, dengan angka perkiraan kehilangan hasil produksi tomat akibat serangannya berkisar 27–55,3 %.

Sampai saat ini usaha pengendalian hama tomat masih tergantung pada penggunaan insektisida sintetik yang kurang bijaksana, hal ini dapat berpengaruh buruk pada ekosistem, sehingga perlu dicari alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan. Salah satu teknologi alternatifnya dilakukan dengan membuat formulasi insektisida nabati dengan memanfaatkan metabolit sekunder yang terkandung dalam buah cabai jawa (Piper retrofractum Vahl) dan biji srikaya (Annona squamosa L) – yang dapat memberikan pengaruh negatif pada kehidupan serangga hama berupa pengaruh terhadap tingkah laku ataupun fisiologi serangga.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas formulasi insektisida nabati campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa untuk pengendalian hama H. armigera pada pertanaman tomat organik. Formulasi insektisida nabati ini diberi kode RSA1. Insektisida sintetik Bactospeine WP berbahan aktif Bacillus thuringiensis (Bt) dijadikan sebagai pembanding. Uji efektifitas formulasi insektisida nabati dilakukan dengan menyemprotkan formulasi RSA1 pada setiap tanaman tomat sesuai dengan blok-blok yang telah ditentukan, dengan interval penyemprotan satu minggu.

Dalam lima kali pengamatan pada tanaman tomat, blok perlakuan RSA1 menunjukkan persentase kerusakan buah tomat rata-rata sebesar 1,5%. Blok perlakuan Bt menunjukkan persentase kerusakan buah tomat hanya sebesar 3,7%, sedangkan pada blok kontrol mencapai 27,1%. Persentase kerusakan buah juga berkorelasi dengan bobot buah yang dipanen. Blok perlakuan RSA1 menghasilkan bobot buah tomat yang paling tinggi dibandingkan dengan bobot buah tomat pasca perlakuan Bt dan kontrol yaitu 141,2 kg, lalu diikuti oleh blok perlakuan Bt

sebesar 137,0 kg, dan yang paling rendah adalah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 100,7 kg.

Formulasi insektisida nabati campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa efektif dalam upaya menekan persentase kehilangan hasil tomat dan serangan H. armigera. Insektisida nabati pada pertanaman tomat ini dapat menjadi penunjang perkembangan pertanian organik.

Latar Belakang

Pembangunan di Indonesia dilakukan pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya pada bidang hortikultura yang memiliki peran penting dalam mendukung tercapainya target pembangunan ekonomi dan pertanian (Suryana 2006). Subsektor hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias, kini tengah menjadi salah satu sumber pemenuhan kebutuhan gizi, nutrisi, dan estetika yang sangat penting bagi manusia. Oleh sebab itu, subsektor ini menjadi fokus kedua dalam bidang pertanian setelah subsektor pangan yang sangat diutamakan oleh para petani Indonesia.

Dalam bahasan khusus mengenai sayuran, permasalahan yang sering muncul biasanya diakibatkan oleh sifat sayuran yang mudah rusak, tidak tahan disimpan lama, dan berpola produksi musiman. Kriteria mudah rusak disebabkan oleh kandungan air yang tinggi dalam tanaman, yang berimplikasi pada kulit buah yang lunak sehingga kulit buahnya sangat mudah ditembus oleh alat-alat pertanian ataupun hama dan penyakit tanaman. Serangan hama dan penyakit pada tanaman sayuran menyebabkan kehilangan hasil panen yang lebih besar dibandingkan dengan kehilangan hasil panen pada tanaman perkebunan dan tanaman pertanian lainnya (Sastrosiswojo 1995).

Tomat adalah tanaman hortikultura yang sudah banyak dibudidayakan secara intensif di Indonesia (Tugiyono 1995). Komoditas ini mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi pasar yang sangat baik. Tomat merupakan salah satu spesies dari famili Solanaceae dengan nama latin Lycopersicon esculentum Mill. Budidaya tanaman tomat tidak akan terbebas dari permasalahan yang disebabkan oleh keberadaan organisme pengganggu tanaman (OPT). Keberadaan OPT di lahan pertanaman tomat dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi. Salah satu OPT di lahan pertanaman tomat adalah hama ulat penggerek buah tomat, Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae). Perkiraan kehilangan hasil produksi tomat akibat serangan H. armigera ini berkisar 27–55,3 % (Aminah 1987).

Pengendalian H. armigera harus dilakukan secara optimal dengan tujuan utama agar tidak terjadi peningkatan nilai kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut, baik itu dari segi kuantitas maupun kualitas hasil panen. Sampai saat ini petani masih mengandalkan insektisida sintetik, yang sering kali menimbulkan dampak negatif, seperti resistensi, resurjensi hama, dan pencemaran lingkungan. Bahkan banyak petani yang sengaja mencampurkan beberapa jenis insektisida sintetik dalam satu kali aplikasi, dengan asumsi semakin banyak jenis insektisida yang digunakan secara sekaligus, maka akan semakin efektif pengendaliannya terhadap serangga hama. Teknik aplikasi yang seperti ini tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang menyatakan bahwa perlindungan tanaman di Indonesia menggunakan sistem pengendalian hama terpadu (PHT).

Oleh sebab itu, perlindungan terhadap tanaman budidaya perlu dipertimbangkan, sehingga dilakukan teknologi alternatif insektisida yang lebih aman dan ramah lingkungan serta dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan insektisida sintetik. Teknologi alternatif ini dilakukan dengan mencoba membuat suatu formulasi insektisida nabati dengan memanfaatkan beberapa spesies tumbuhan yang mengandung metabolit sekunder yang dapat memberikan pengaruh negatif pada kehidupan serangga hama. Pengaruh negatif ini dapat berupa pengaruh terhadap tingkah laku ataupun fisiologi serangga. Tumbuhan yang memiliki kandungan metabolit sekunder tersebut antara lain tanaman cabai jawa (Piper retrofractum Vahl) dan srikaya (Annona squamosa L).

Morgan & Wilson (1999) menyatakan bahwa bahan aktif insektisida dari famili Piperaceae termasuk ke dalam senyawa golongan isobutilamida yaitu piperine, sedangkan Dadang et al. (2007a) mengemukakan bahwa Annonaceae

diketahui mengandung bahan aktif berupa senyawa kimia dari golongan asetogenin, yang meliputi senyawa squamosin dan asimin. Campuran senyawa golongan isobutilamida dan asetogenin diharapkan bersifat sinergis dan dapat memperlihatkan pengaruh negatif terhadap tingkah laku maupun fisiologi serangga hama dan tidak menimbulkan pengaruh samping yang berbahaya bagi lingkungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas formulasi insektisida nabati campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa untuk pengendalian hama H. armigera pada pertanaman tomat organik.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam usaha pengendalian H. armigera pada pertanaman tomat dan dapat menunjang perkembangan pertanian organik.

Hipotesis

Formulasi insektisida nabati campuran ekstrak P. retrofractum dan

A. squamosa yang diaplikasikan di lahan pertanaman tomat dapat mengendalikan populasi H. armigera secara efektif dan efisien.

Tomat (Lycopersicon esculentum Mill)

Sejarah dan Taksonomi Tanaman

Tanaman tomat adalah anggota dari famili Solanaceae genus Lycopersicon

spesies Lycopersicon esculentum Mill., yang berasal dari wilayah tropis di Mexico hingga Peru. Semua varietas tomat yang tumbuh di wilayah Eropa dan Asia merupakan tanaman yang benihnya didatangkan dari Amerika Latin, benih-benih ini dibawa oleh para pedagang dari Spanyol dan Portugal, sedangkan tomat yang saat ini tumbuh di wilayah Afrika, benihnya didatangkan oleh para pedagang Eropa dan koloninya (Villareal 1980).

Tomat merupakan salah satu jenis sayuran buah yang sangat dikenal masyarakat. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman sayuran utama di dunia dengan 4,4 juta Ha lahan produksi dan 115 juta total produksi seluruh dunia di tahun 2004 (FAOSTAT data 2004). Rasanya yang manis dan segar dapat memberikan kesegaran pada tubuh, karena cita rasa yang khas inilah banyak orang yang menggemarinya. Selain itu, tomat juga merupakan sumber nutrisi dan metabolit sekunder yang sangat penting bagi kesehatan manusia, misalnya

senyawa folat, vitamin C dan E, flavonoid, klorofil, β-karotin dan likopen (Wilcox

et al. 2003).

Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), tomat diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Tubiflorae, famili Solanaceae, dan genus Lycopersicon. Tanaman ini termasuk tanaman semusim (berumur pendek) yang artinya tanaman hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tomat dapat dibudidayakan baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, namun usaha budidaya ini umumnya dilakukan secara perorangan dalam luasan yang terbatas dan hasilnya kurang memuaskan (Cahyono 1998). Hasil panen yang optimal dapat diperoleh apabila ditanam di dataran tinggi yang sejuk dan kering, karena suhu optimal untuk pertumbuhannya adalah 23°C pada siang hari dan 17°C pada malam hari (IPTEK 2005).

Morfologi Tanaman

Tanaman tomat berbentuk perdu yang panjangnya mencapai lebih kurang dua meter, berbatang lemah dan basah. Oleh karena itu, tanaman tomat perlu diberi penyangga atau ajir dari turus bambu atau kayu, agar tanaman tidak roboh di tanah dan tetap tumbuh vertikal ke atas (Cahyono 1998).

Akar tanaman tomat berupa akar tunggang yang tumbuh menembus tanah, dan adapula akar serabut yang tumbuh menyebar ke arah samping secara horizontal tetapi tidak cukup dalam menembus tanah. Berdasarkan sifat perakarannya yang seperti inilah, tanaman ini sangat baik jika ditanam pada lahan yang gembur dan porous (Harjadi 1989).

Batang tanaman tomat berbentuk persegi empat dan terkadang membulat, lunak namun cukup kuat. Permukaan batangnya berambut halus, di antara rambut-rambut halus itu terdapat rambut-rambut kelenjar. Batang tanaman tomat berwarna hijau, pada tiap ruas batangnya mengalami penebalan. Tanaman tomat dapat memiliki cabang pada batang utamanya, jika tidak dilakukan pemangkasan secara berkala, maka akan banyak percabangan yang tumbuh secara merata (Cahyono 1998).

Daun tomat berbentuk segitiga dan hampir oval, dengan bagian tepi yang bergerigi dan membentuk celah-celah minyirip agak melengkung ke dalam. Daun berwarna hijau, ukuran daun sekitar (15 – 30 cm) x (10 – 25 cm) dan panjang tangkai sekitar 3 – 6 cm. Di antara daun yang berukuran besar, biasanya tumbuh 1 – 2 daun yang berukuran kecil. Daun majemuk ganjil pada tanaman tomat biasanya berjumlah 5 – 7 daun, tumbuh secara berselang-seling atau tersusun spiral mengelilingi batang tanaman (Cahyono 1998).

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Cahyono (1998), bunganya berwarna kuning, berukuran kecil dengan diameter sekitar 2 cm. Kelopak bunganya berjumlah 5 buah. Bunga tomat merupakan bunga sempurna, karena putik dan benang sarinya terdapat pada satu bunga yang sama (berumah satu). Bunga tomat ini biasanya tumbuh pada batang ataupun cabang yang masih muda.

Buahnya buah buni, hijau waktu muda dan kuning atau merah waktu tua. Berbiji banyak, berbentuk bulat pipih, putih atau krem, kulit biji berbulu. Perbanyakan dengan biji, kadang-kadang dengan stek batang cabang yang telah tua (Anonim 2005). Ukuran buah tomat sangat bervariasi, yang berukuran paling

kecil memiliki bobot hanya 8 gram, sedangkan yang berukuran besar bisa mencapai bobot sekitar 180 gram (Cahyono 1998).

Ekstrak

Sekian banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, sehingga diketahui bahwa tumbuhan memiliki cara pertahanan diri yang salah satu bentuk pertahanannya adalah dengan memproduksi berbagai jenis senyawa metabolit sekunder, seperti flavonoid, terpenoid, alkaloid, dan lain sebagainya (Bernays & Chapman 1994). Jika ditelaah lebih jauh, seharusnya metabolit sekunder ini dapat dikatakan berpotensi sebagai agens pengendalian serangga hama. Jacobson (1988) menyatakan bahwa ada enam famili tumbuhan yang dapat dikembangkan menjadi insektisida botani untuk mengendalikan populasi serangga hama, yaitu Meliaceae,

Asteraceae, Annonaceae, Rutaceae, Cannelaceae, dan Labiatae. Berdasarkan pengujian kandungan senyawa metabolit sekunder dalam tumbuhan, Dadang et al.

(2007b) mengemukakan bahwa tumbuhan dari famili Piperaceae pun memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendalian serangga hama.

Dadang et al. (2007b) melakukan pengujian kompatibilitas dua ekstrak yaitu P. retrofractum dan A. squamosa. Hasil dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa terdapat efek sinergis antara kedua ekstrak tersebut, namun pada perbandingan 1:1 dan 2:1 (w/w), campuran ekstrak ini memberikan nilai

lethal concentration (LC) yang rendah, selain itu persistensi campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada konsentrasi 0,1% menunjukkan efektifitas yang tinggi hingga pemaparan hari ke-7 yang masih memberikan mortalitas larva rata-rata di atas 80%. Oleh karena itu, pengujian lapangan dilakukan untuk mengetahui tingkat efektifitasnya dalam mengendalikan populasi serangga hama di area pertanaman.

Cabai Jawa (Piper retrofractum Vahl.) Deskripsi Tumbuhan

Cabai jawa termasuk dalam genus Piper, famili Piperaceae, ordo Piperales, subkelas Monoklamidae, kelas Dikotiledon, subdivisi Angiospermae, dan divisi Spermatophyta (Tjitrosoepomo 1998). Beberapa spesies dari famili ini

antara lain P. longum BI., P. officinarum (Mig.) DC., Chavica officinarum Mig., dan C. maritima Mig. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli Indonesia. Di Sumatera, tumbuhan ini disebut lada panjang, cabai jawa, ataupun cabai pajang. Di Jawa, namanya cabean, cabe alas, cabe areuy, cabe jawa, atau cabe sula. Di Madura dinamai cabhi jhamo, cabhi ongghu, atau cabhi solah, sedangkan di Sulawesi, namanya adalah cabia (Makasar).

P. retrofractum tumbuh di pekarangan rumah ataupun tumbuh liar di tempat-tempat yang tanahnya lembab dan berpasir seperti di dekat pantai atau di hutan sampai pada ketinggian 600 m dpl (Heyne 1987), tumbuh memanjat, menjalar atau melilit, dengan panjang sulurnya bisa mencapai 10 m. Akar melekat pada pohon lain. Batang utamanya berwarna hijau, dengan bagian bawah yang agak berkayu (Syukur 1999). Daun tunggal dengan pertulangan menyirip, bertangkai bundar dengan panjang 1,5 – 2 mm, berwarna hijau, berbentuk bulat telur sampai lonjong, ujung daun runcing dengan bintik-bintik kelenjar, panjang helaian daunnya 8,5 – 30 cm dan lebar 3 – 13 cm, tepi daun rata, permukaan atas mengkilat (Heyne 1987). Bunga berkelamin tunggal, berbentuk bulir memanjang dan tegak, bulir jantan lebih pendek dari yang betina, bertangkai 0,5 – 2 cm, dan melekat pada tangkai yang hanya satu titik (Syukur 1999).

Buah majemuk, berupa bulir bulat memanjang atau silinder dengan panjang lebih kurang 2 – 7 cm, mengecil di bagian atas, ketika muda berwarna hijau kemudian menjadi merah. Butuh waktu lama (lebih kurang 6,5 bulan) untuk proses pemasakannya. Dalam waktu yang lama, buahnya berwarna hijau dan keras, beraroma tajam dan pedas, kemudian berturut-turut berubah warna menjadi kuning gading, dan akhirnya menjadi merah dan lunak untuk diremas-remas sampai daging buahnya lepas (Heyne 1987). Perbanyaan tumbuhan ini dapat dilakukan dengan biji atau stek batang.

Potensi sebagai Insektisida Nabati

Famili Piperaceae telah lama diketahui mengandung senyawa isobutilamida tak jenuh dengan aktifitas insektisida yang cukup tinggi. Inflorescens P. retrofractum pada konsentrasi 0,5% memberikan efek insektisida yang sangat tinggi yaitu kematian 100% serangga uji (Prijono et al. 2004). Menurut Dadang (1999), sifat insektisida yang ditunjukkan oleh ekstrak

Piperaceae adalah efek knock down yang cepat muncul dan aktifitas mematikan pada serangga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan anggota famili

Meliaceae.

Senyawa aktif yang berhasil diisolasi dari P. retrofractum adalah senyawa-senyawa golongan amida, yang juga sering disebut dengan nama piperamida (Scott et al. 2008). Jenis dari senyawa ini tidak kurang dari dua puluh senyawa (Ahn et al. 1992; Kikuzaki et al. 1993; Parmer et al. 1997), antara lain filfilin, guininsin, pelitorin, piperikosalidin, piperisida, piperin, piperlonguminin, piperoktadekalidin, piplartin, retrofraktamida A, retrofraktamida C, retrofraktamida D, silvatin, dan lain sebagainya. Piperin mempunyai daya antipiretik, analgesik, antiinflamasi, dan menekan susunan saraf pusat. Menurut Utami dan Jansen (1999), bagian akar tumbuhan P. retrofractum mengandung piperine, piplartine, dan piperlonguminine. Miyakado et al. (1989) mengemukakan bahwa senyawa piperamida yang memiliki gugus isobutil amida dan metilendioksifenil, seperti guininsin dan piperisida, memiliki aktifitas insektisida yang kuat bekerja sebagai racun saraf dengan menghambat aliran impuls saraf pada akson. Scott et al. (2008) menambahkan bahwa berbagai senyawa piperamida memiliki gugus metilendioksifenil yang dapat menghambat fungsi enzim sitokrom P450 yang berfungsi untuk mengoksidasi senyawa asing di dalam tubuh serangga.

Srikaya (Annona squamosa L.)

Deskripsi Tumbuhan

Srikaya merupakan tanaman buah yang termasuk ke dalam famili

Annonaceae, genus Annona, dan spesies Annona squamosa L. Di wilayah Sumatera, tanaman ini lebih dikenal sebagai delima bintang (Aceh), seraikaya (Lampung), sarikaya (Padang), sedang di wilayah Jawa, masyarakat sering menyebutnya sebagai srikaya (Jawa Barat dan Jawa Tengah), sarkaya (Madura).

Menurut Heyne (1987), A. squamosa merupakan tumbuhan perdu tegak, berumur panjang (perenial), tinggi 2 – 5 meter. Tanaman berakar tunggang, batang berkayu, silindris, tegak, warna keabu-abuan, kulit tipis, permukaan kasar, percabangan simpodial, arah cabang miring ke atas. Daun tunggal, bertangkai

pendek, tersusun berseling (alternate), warna hijau, bentuk memanjang (oblongus), panjang 6 – 17 cm, lebar 2,5 – 7,5 cm, helaian daun tipis dan kaku, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip (pinatte), permukaan halus. Bunga tunggal, muncul di ketiak daun dan ujung batang, bertangkai, kelopak tebal berwarna hijau kekuningan. Buah semu, bulat mengerucut, warna hijau berbedak putih, permukaan buah benjol-benjol, biji berbentuk kepingan kecil berwarna hitam mengkilat dan memiliki kulit yang tidak mengering dan berwarna kuning. Perbanyakan generatif dengan biji. Bijinya memiliki kulit yang keras, berwarna kuning, dan mengandung 45% minyak (Heyne 1987).

Potensi sebagai Insektisida Nabati

Dadang et al. (2007a) mengemukakan bahwa banyak anggota famili

Annonaceae yang menunjukkan aktifitas mematikan pada berbagai spesies serangga. Salah satu genus dari famili Annonaceae yang paling banyak mendapat perhatian yaitu Annona. Menurut Rupprecht et al. (1990), uvarisin dari akar

Uvaria acuminate merupakan senyawa asetogenin yang diidentifikasi pertama kali. Akarnya mengandung senyawa saponin, tanin, polifenol dan alkaloida.

Bahan aktif dari tanaman famili Annonaceae umumnya bersifat sebagai racun yang bekerja relatif cepat terhadap serangga (Kardinan 2002). Beberapa spesies dari famili Annonaceae memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Senyawa aktif utama dalam A. squamosa adalah squamosin dan asimin yang termasuk golongan asetogenin (Mitsui et al. 1991).

Bahan tepung yang terbuat dari biji Annona sp. telah lama digunakan dalam upaya pengendalian serangga hama secara tradisional (Secoy & Smith 1983). Laporan lain menyatakan bahwa 1% tepung biji srikaya yang dicampurkan dalam biji kacang hijau dapat mengendalikan hama gudang Callosobruchus analis

dan dapat menghambat proses peletakan telur serangga hama pada biji kacang hijau (Kardinan 2001). Londershausen et al. (1991) mengemukakan bahwa senyawa squamosin yang terkandung dalam biji tumbuhan A. squamosa dapat mempengaruhi perilaku serangga dan dapat menghambat aktifitas makan serangga pada konsentrasi tinggi. A. squamosa juga digunakan sebagai obat penyakit kudis pada kentang yang disebabkan oleh Streptomyces scabies. Daun dan bijinya

digunakan untuk mencuci anjing agar bebas dari binatang-binatang kecil yang merugikan (Heyne 1987).

Bacillus thuringiensis (Bt)

Bacillus thuringiensis (Bt) yang tersebar luas di alam adalah bakteri tanah gram positif yang masuk ke dalam famili yang sama dengan Bacillus cerus. Pada tahun 1901, seorang bakteriologis Jepang bernama S. Ishiwata menemukan bakteri ini pertama kali pada cairan tubuh dari ulat sutera yang sakit, dan diberi nama Bacillus sotto, namun bakteri ini tidak bertahan hidup pada waktu itu (Shirong et al. 2004). Kemudian Berliner et al. (1915) kembali mengisolasi bakteri ini dari tubuh cendawan tepung Mediterania pada tahun 1911 and memberi namanya sebagai Bacillus thuringiensis (Bt) nov. sp.. Berliner pun menganjurkan untuk mengaplikasikan pemanfaatan mikroorganisme patogenik untuk mengendalikan hama-hama pertanian. Pada tahun 1920-an, Bt pertama kali digunakan sebagai pestisida di wilayah Eropa Tenggara. Produk dagang Bt

pertama (bermerk Sporéne) dibuat di Prancis pada tahun 1938. Sejak saat itu, produk Bt telah digunakan sebagai agens biologis pengendali hama yang mendunia (Shirong et al. 2004).

Entwistle (1993) mengemukakan bahwa produk-produk Bt yang telah banyak beredar mencakup lima subspesies Bt yaitu kurstaki, morrisoni,

israelensis, aizawai , dan terakhir adalah tenebrionis, yang disebut juga subspesies

san diego. Menurut Feitelson et al. (1992), telah ditemukan pula strain Bt yang menunjukkan aktifitas pestisida dalam menyerang nematoda, cacing pipih, dan protozoa.

Bt hidup di tempat yang kaya akan nutrien, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif, namun bila suplai makanannya menurun maka Bt akan membentuk spora dorman yang mengandung satu atau lebih jenis kristal protein (Bahagiawati 2002). Kristal ini mengandung protein yang disebut δ-endotoksin atau ICP (insecticidal crystal protein) yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka terhadap senyawa ini (Bahagiawati 2002).

Dalam satu jenis strain Bt, dapat terkandung beberapa jenis kristal protein. Gen yang mengkode kristal protein yang dihasilkan oleh Bt biasanya dikenal dengan sebutan gen 'Cry' yang berasal dari kata crystal. Kristal δ-endotoksin Bt ini

telah dikelompokkan menjadi delapan kelas utama, yaitu Cry1A sampai CryX, yang berdasar pada homologi sekuen asam amino di N-terminalnya, berat molekulnya, dan aktifitas insektisidanya (Margino & Mangundihardjo 2002). Delapan kelas tersebut adalah (1) CryI yang menyerang serangga ordo Lepidoptera; (2) CryII yang menyerang Lepidoptera dan Diptera; (3) CryIII yang menyerang Coleoptera; (4) CryIV yang menyerang Diptera; (5) CryV yang menyerang Lepidoptera dan Coleoptera; (6) CryVI yang menyerang nematoda; (7)

CryIXF yang menyerang Lepidoptera; dan (8) CryX yang menyerang Lepidoptera (Margino & Mangundihardjo 2002).

Menurut Bahagiawati (2002), mekanisme daya kerja dari δ-endotoksin ini perlu diketahui untuk menentukan proses kunci (key process) yang nantinya akan berimplikasi pada spesifikasi dari sebuah kristal protein. Faktor utama yang menjadi penentu kisaran inang dari krital protein tersebut adalah perbedaan pada fase pertumbuhan larva yang mempengaruhi proses kelarutan dan aktivasi kristal protein, dan lokasi spesifik bagi protoksin di dalam midgut dari spesies-spesies serangga.

Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada dasarnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, namun karena adanya aktifitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga, protoksin berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif bereaksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga, ini menyebabkan terbentuknya pori-pori pada sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Ketidak-seimbangan osmotik inilah yang menyebabkan sel-sel tersebut membengkak dan pecah (lisis), sehingga menyebabkan kematian pada serangga tersebut (Hofte & Whiteley 1989).

Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae)

Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan organisme yang

Dokumen terkait