• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI PENGGUNAAN GEN SITOKROM B DENGAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B DENGAN

(PCR)

DAGING

RINGKASAN

Citra Dewi. D14062229. 2011. Aplikasi Penggunaan Gen Sitokrom b dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai Pendeteksi Campuran Daging Tikus pada Produk Bakso. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Pembimbing Anggota : Irma Isnafia A., S.Pt., M.Si

Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Setiap orang berhak untuk memperoleh pangan yang aman, sehat, utuh dan halal. Produsen sering kali menyiasati biaya produksi yang tinggi dengan memberikan bahan campuran ke dalam produk atau menggantinya dengan bahan yang lebih murah. Hal ini menjadi masalah saat sebuah produk pangan dipalsukan atau dicampur dengan bahan yang tidak dicantumkan dalam label produk. Beberapa metode seperti sodium doudesil sulphate polyacrylamid gel electrophoresis dan imunodifusi ganda telah dikembangkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, namun metode-metode ini kurang optimal apabila digunakan untuk sampel yang telah mengalami proses pemanasan. Primer tikus telah dikembangkan dari sequence gen sitokrom b mitokondria untuk digunakan sebagai sebagai media pendeteksi cemaran daging tikus dalam aplikasi teknik polymerase chain reaction (PCR). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan identifikasi primer tikus dan tingkat sensitivitasnya pada produk bakso dengan teknik PCR, serta mendeteksi keberadaan campuran daging tikus pada beberapa bakso yang dijual di daerah Kota Bogor.

Prosedur isolasi bahan dilakukan dengan metode Sambrook et al. (1989) yang sudah mengalami modifikasi. Pengujian DNA hasil isolasi dilakukan secara kualitatif dengan spektrofotometer, dan secara kualitatif dengan metode elektroforesis dalam gel agarose 1%. Pengujian batas kemampuan identifikasi campuran menggunakan level cemaran 1, 5, 10, 15, 20 dan 25%. Pengambilan sampel di pasar dilakukan dengan metode proportional random sampling.

Materi DNA hasil isolasi memiliki rentangan nilai konsentrasi antara 20 µg/µl hingga 1410 µg/µl dengan tingkat kemurnian 1,429 hingga 3,000. Campuran daging tikus teridentifikasi dengan tingkat kepercayaan 100% pada level 15%. Kemampuan identifikasi dipengaruhi oleh kehomogenan bahan dalam produk dan komposisi nutrien dari bahan campuran. Hasil aplikasi penggunaan primer pada bakso pasar tidak memberikan hasil positif atau dengan kata lain, bakso yang berada di tiga pasar besar di Kota Bogor (Pasar Anyar, Pasar Bogor dan Pasar Jambu Dua) bebas dari campuran daging tikus.

ABSTRACT

Application of cytochrome b gene in polymerase chain reaction(PCR) technique as the contamination detector of rat meat on meatball products

Dewi, C., Nuraini, H and Arief, I.I

Polymerase chain reaction (PCR) technique was developed as a precise and quick method to identify meat species in both of raw meat and meat products. Rat primer has been developed from mitochondrial cytochrome b gene sequence. The aim of this study was to find out the ability and sensitivity level from this primer as contamination detector in meatball, and also to indentify the contamination of rat meats in meatball products which are sold in the Bogor City. Meatball samples were prepared from both mixtures rat meat and beef at different levels (1, 5, 10, 15, 20 and 25%) in meatball. As the result, rat’s meat could be identified start from 5% level and were amplified definitely at level contamination 15%. There were no rat meat found in the market samples or in other words, meatball sold in three big markets in Bogor City (Pasar Anyar, Pasar Bogor dan Pasar Jambu Dua) were free from rat contamination.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu aspek kebutuhan dasar setiap individu. Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 dengan jelas menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Setiap konsumen pangan berhak untuk memperoleh pangan yang aman, utuh, sehat, dan bagi beberapa kalangan, halal. Kemurnian dan kejelasan label menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam pemenuhan hak tersebut.

Salah satu pangan hasil olahan daging yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia ialah bakso. Komoditi ini dianggap menjanjikan pasar yang cukup besar, sehingga banyak individu masyarakat yang menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Hal ini tercermin dari banyaknya jumlah pedagang bakso di sentra-sentra daerah dan mudahnya konsumen untuk membeli produk tersebut hingga di pelosok desa. Namun demikian, kepopuleran ini tidak lepas dari fenomena pemalsuan. Tahun 2006, kasus pemalsuan bakso dengan daging tikus di salah satu daerah Jawa Barat diungkap dan disebarluaskan oleh media Trans TV. Terungkapnya kasus ini dengan segera berdampak pada turunnya omset penjualan para tukang bakso. Masyarakat menjadi takut dan enggan mengkonsumsi produk pangan tersebut. Hal ini juga berdampak pada menurunnya omset para penjual daging yang biasa menjual daging untuk bakso. Fenomena ini tentunya menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi berbagai kalangan terkait selain juga tidak sesuai dengan undang- undang pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari terulangnya kasus seperti di atas.

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menggunakan gas kromatografi untuk analisis asam lemak, serta metode sodium doudesil sulphate polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan imunodifusi ganda untuk analisis protein daging sebagai alat uji pemalsuan makanan. Namun demikian, metode-metode ini kurang optimal untuk sampel yang telah dimasak atau mengalami proses pemasakan, sehingga sulit apabila diterapkan pada produk-produk pangan olahan daging yang telah diolah dengan pemanasan, seperti bakso.

Teknik polymerase chain reaction (PCR) telah menjadi alat penting untuk mengidentifikasi daging dari berbagai spesies hewan dalam beberapa tahun ini. Teknik yang memanfaatkan informasi spesifik dari DNA ini memungkinkan identifikasi spesies daging dalam jumlah kecil dengan akurat, baik dalam keadaan mentah ataupun telah menerima proses pemanasan. Hasil penelitian Matsunaga et al. (1999) menunjukkan bahwa sejumlah daging (mentah ataupun telah dipanaskan pada suhu 100 oC dan 120 oC selama 30 menit) dapat diidentifikasi secara spesifik dengan menggunakan sebuah campuran primer yang dikembangkan dari gen sitokrom b mitokondria. Maryatni (2000) juga telah berhasil mendeteksi daging babi pada produk olahan daging yang mengalami proses pemanasan dalam pengolahannya, menggunakan teknik PCR. Primer yang digunakan yaitu P408 dan P131 yang keduanya dapat mengamplifikasi DNA pada lokus porcine repetitive element(PRE- 1) pada babi, tetapi tidak pada daging sapi.

Prinsip yang sama akan diterapkan untuk mengetahui dapat tidaknya teknik ini mengidentifikasi campuran daging tikus dalam produk olahan daging yang umum dikonsumsi masyarakat dan telah mengalami proses pemanasan dalam pengolahannya seperti bakso, dengan menggunakan satu campuran primer. Salah satu primer yang akan digunakan ialah primer tikus yang telah disusun dari sequence gen sitokrom b (Cyt-b) mitokondria. Primer ini diharapkan dapat mengamplifikasi campuran daging tikus secara spesifik dalam produk bakso, seperti halnya kespesifikan P408 dan P131 pada produk olahan daging babi.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan identifikasi primer tikus yang dikembangkan dari gen sitokrom b sebagai pendeteksi campuran daging tikus dan tingkat sensitivitasnya pada produk bakso dengan teknik polymerase chain reaction(PCR), serta mendeteksi ada tidaknya campuran daging tikus pada beberapa bakso yang dijual di daerah Kota Bogor.

Dokumen terkait