• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI PENGGUNAAN GEN SITOKROM B DENGAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus (Rattus norvegicus)

Tikus termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang terdapat di Pulau Jawa yaitu Bandicota indica, Mus caroli, kelompok Mus musculus, Rattus argentiventer (tikus sawah), R. rattus (tikus rumah), R. exulans, R. tiomanicus (tikus pohon), dan R. norvegicus (Aplin et al., 2003). Berdasarkan ukuran dan akses, R. argentiventer, R. rattus, dan R. norvegicus ialah spesies-spesies yang berpotensi untuk dimanfaatkan dagingnya. Tikus-tikus ini memiliki bobot yang dapat mencapai 200 g, bahkan R. norvegicus dapat mencapai 500 g (Myers dan Armitage, 2004).

R. norvegicus dikenal sebagai tikus got, tikus coklat, tikus rumah besar, atau tikus laboratorium. Jenis tikus ini paling banyak ditemukan di perkotaan, di antara tempat-tempat tinggal manusia. Tikus ini juga dapat ditemukan di daerah persawahan, terutama saat masa panen tiba (Prakash, 1988). Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan (dikenal sebagai tikus putih) dan sebagai hewan peliharaan dengan warna bervariasi (Baker et al., 1979).

Tubuh R. norvegicusdiliputi oleh kulit dan rambut kasar berwarna kecoklatan (terkadang disertai titik-titik hitam atau putih) yang warnanya semakin terang mendekati tubuh bagian bawah. R. norvegicusmemiliki telinga dan ekor yang tebal, dengan ukuran panjang ekor lebih pendek dibanding panjang badan. Tikus jenis ini sering salah dikenali sebagai tikus hitam (Rattus rattus) karena kemiripannya. Akan tetapi bila diperiksa lebih lanjut, kedua tikus ini dapat dibedakan berdasarkan kelenturan punggungnya. R. norvegicus memiliki punggung yang kuat dan cenderung kaku, sementara Rattus rattuslentur (Myers dan Armitage, 2004).

Gen Sitokrom b

Sitokrom b (Cyt-b) adalah bagian dari sitokrom pada transpor elektron yang terletak di rantai respirasi mitokondria dan dikodekan oleh DNA (Deoxyribonucleic Acid) mitokondria. Setiap sel mitokondria memiliki ratusan salinan DNA dan diturunkan secara penuh oleh induk betina sehingga bebas dari efek heterozigositas (Lockley dan Bardsley, 2000; Unseld et al., 1995). DNA mitokondria berevolusi lebih cepat dan mempunyai keragaman sekuen yang lebih tinggi dibanding DNA inti.

Gen Cyt-b telah banyak digunakan dalam studi yang terkait dengan identifikasi spesies daging mentah maupun daging yang telah mengalami proses pemanasan (Matsunaga et al., 1999; Martinez dan Daníelsdόttir, 2000; Dooley et al., 2004; Schwägele et al., 2007).

Sekuen gen Cyt-b yang berasal dari tikus spesies Rattus norvegicus mempunyai panjang sekuen 1146 pb (NCBI, 2000). Sekuen tersebut bersifat spesifik pada masing-masing spesies walaupun berada dalam satu genus. Hasil uji homologi sekuen gen Cyt-b Rattus norvegicus dengan beberapa spesies tikus lain disajikan dalam Tabel 1. Reich et al. (1984) menyatakan bahwa kemiripan sekuen merupakan hasil pengukuran derajat munculnya basa pada sebuah sekuen, dimana pada keadaan tertentu disebut sebagai homolog dan dinyatakan dalam skor. Tingkat homologi digunakan untuk mengetahui proses evolusi atau melihat hubungan kekerabatan. Tabel 1. Hasil Uji Homologi Sekuen Gen Sitokrom b (Cyt-b)

Spesies No. Akses Derajat Kemiripan (%)

Rattus argentiventer AB033701.1 88

Rattus rattus AJ005780.1

AB033702.1 AB211039.1

96 89 88

Mus musculus EF108342.1

EF108343.1 DQ874614.1 EF108345.1 AY675564.1 95 94 94 95 95 Sumber : Program BLAST (www.ncbi.nlm.nih.gov/blast/Blastn)

Teknik Polymerase Chain Reaction(PCR)

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan prosedur efektif untuk sintesa DNA secara in vitro dengan bantuan enzim polymerase dan oligonukleotida sebagai primer untuk menggandakan jumlah molekul DNA secara spesifik melalui mekanisme perubahan suhu (Muladno, 2010). Spychaj et al. (2009) menyatakan bahwa teknik PCR yang menggunakan primer spesies spesifik memungkinkan untuk digunakan sebagai alat identifikasi berbagai spesies hewan atau ternak, baik dalam

5 keadaan mentah maupun telah mengalami proses pemanasan. Hal ini dibuktikan oleh Pascoal et al. (2004) yang berhasil melakukan identifikasi dari 50 daging komersial secara spesifik. Sembilan di antara daging-daging tersebut adalah daging mentah, sementara sisanya ialah daging yang telah mengalami berbagai proses pengolahan antara lain pemanasan awal, pembekuan, pemasakan, pengasapan, dehidrasi dan sterilisasi. Primer yang digunakan ialah primer universal yang mengamplifikasi DNA mitokondria pada daerah yang mengkodekan gen sitokrom b. Teknik ini juga mampu mengidentifikasi keberadaan daging pencemar (kuda, keledai, babi, domba) dalam produk olahan daging terfermentasi (sucuk) pada tingkat pencemaran 0,1% (Kesmen et al., 2010).

Teknik PCR dilakukan dengan cara menginkubasi DNA pada tiga macam suhu yang bertujuan untuk: 1) Denaturasi potongan DNA; 2) Penempelan primer (annealing) pada cetakan DNA; serta 3) Perpanjangan primer (extension) yang telah tergabung dengan cetakan, yang dilakukan dalam satu siklus amplifikasi (Sambrook et al., 1989). Untai ganda DNA akan terdenaturasi dengan memanaskan sampel secara cepat pada suhu 95 oC. Selanjutnya primer akan menempel dengan DNA komplemennya pada suhu 50-60oC, kemudian enzim polimerase mulai mensintesis molekul DNA baru pada suhu 72 oC. Suhu penempelan bergantung pada panjang pendeknya primer, sementara waktu inkubasi bergantung pada panjang DNA yang akan diamplifikasi. Produk DNA pada amplifikasi pertama akan menjadi cetakan pada siklus berikutnya (Muladno, 2010).

Visualisasi produk PCR dapat dilakukan melalui elektroforesis, dengan memanfaatkan gel agarose. Elektroforesis gel agarose menurut Sambrook et al. (1989) merupakan metode standar untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen DNA. Gel agarose sering digunakan dalam analisa PCR karena lebih mudah dalam persiapan dan pemantauan selama elektroforesis. Gel ini dapat lebih cepat memisahkan, mengidentifikasi kemurnian dan konsentrasi produk PCR disamping harganya yang memang lebih murah (Harwood, 1996). Gel agarose memiliki rentang pemisahan molekul yang lebar, sehingga lebih banyak senyawa dengan ukuran bervariasi yang dapat dipisahkan (Nicholl, 1994). Rentang pemisahan molekul DNA dalam gel agarose disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rentang Pemisahan Molekul DNA dalam Gel Agarose

Konsentrasi Agarose (%) Rentang Pemisahan (pasang basa/pb) 0,3 0,7 1,4 1000-50000 300-20000 300-6000 Sumber : Nicholl (1994)

Pergerakan DNA dalam gel agarose dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: (a) Ukuran molekul DNA. Molekul DNA dengan ukuran lebih besar akan bermigrasi lebih lambat; (b) Konsentrasi gel agarose. Gel agarose dengan konsentrasi lebih besar akan semakin rapat pori-porinya, sehingga pemisahan molekul menjadi lebih selektif; (c) Besarnya tegangan listrik. Tegangan listrik yang lebih rendah akan menyebabkan laju migrasi DNA lebih lambat; (d) Kontinuitas arus listrik. Jika kontinuitas arus listrik lebih rendah, maka laju migrasi DNA lebih lambat; dan (e) Komposisi larutan penyangga (buffer) elektroforesis. Buffer dan kekuatan ion yang tinggi akan menyebabkan konduksi listrik sangat efisien sehingga DNA bermigrasi

lebih cepat (Sambrook et al., 1989). Pengaruh Pemanasan terhadap Daging dan DNA

Proses pemanasan akan menyebabkan protein terdenaturasi, yaitu penguraian struktur sekunder dan tertier protein tanpa memecah ikatan peptidanya. Kondisi ini mengakibatkan bagian hidrofilik dan hidrofobik protein terpapar. Bagian hidrofilik akan berikatan dengan molekul air sedangkan bagian hidrofobik yang tidak stabil berasosiasi dengan bagian hidrofobik dari molekul protein lain yang berada di dekatnya. Asosiasi ini bersifat acak sehingga pada akhirnya akan terbentuk massa molekul besar yang memiliki molekul air terikat namun tidak larut dalam air. Peristiwa ini bersifat irreversibleatau tidak dapat balik (Raven, 2005). Perubahan ini pula yang membuat protein terdenaturasi tidak dapat diidentifikasi dengan metode sodium doudesil sulphate polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan imunodifusi ganda.

Pemanasan juga menyebabkan perubahan pada aroma daging. Hal ini berkaitan dengan perubahan dalam jumlah dan tipe komponen volatil yang terkandung dalam daging. Komponen-komponen volatil yang dimaksud antara lain beberapa varian sulfur, nitrogen, hidrokarbon, aldehid, keton, alkohol, dan asam

7 (Aberle et al., 2001). Hal ini mengakibatkan teknik gas kromatografi tidak dapat digunakan dalam identifikasi pemalsuan pada daging yang sudah dimasak.

DNA jauh lebih stabil terhadap panas dibandingkan protein. Hal ini dikarenakan molekul DNA lebih terlindung dibandingkan protein, karena berada di dalam sel. Arslan et al. (2006) membuktikan hal ini melalui hasil penelitiannya mengenai ketahanan DNA dari daging sapi terhadap suhu tinggi. Molekul DNA dapat teramplifikasi dengan baik pada sampel yang dimasak pada suhu 97,5 oC selama 230 menit, dipanggang selama 150 menit, dimasukkan dalam autoclave bersuhu 120 oC selama 90 menit, ataupun digoreng selama 45 menit (suhu minyak 173 oC).

Bakso

Bakso daging dalam SNI Nomor 01-3818-1995 didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari campuran daging (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan (DSN, 1995). Pembuatan bakso mencakup beberapa tahap yaitu persiapan bahan, penghancuran daging, pembentukan adonan dan pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan mencacah, mencincang, atau menggiling (Koswara et al., 2000) dengan tujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam akan mudah terdispersi. Pemasakan dapat dilakukan dalam dua tahap, agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Perendaman bakso pada suhu 50-60oC bertujuan untuk membentuk bakso, lalu perebusan dalam air dengan suhu 100oC untuk mematangkan (Wilson et al., 1981).

Bahan tambahan yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah bahan pengisi dan garam. Bahan pengisi berfungsi memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki sifat irisan, mengurangi penyusutan selama proses pemasakan, peningkatan citarasa dan mereduksi biaya produksi. Bahan pengisi yang paling umum digunakan untuk pembuatan bakso adalah tepung tapioka. Garam yang ditambahkan pada daging giling akan meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi, sekaligus berfungsi untuk meningkatkan citarasa (Aberle et al., 2001).

Dokumen terkait