• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi cabai merah segar akhir-akhir ini terus mengalami peningkatan hingga daerah-daerah yang merupakan sentra penanaman cabai merah lokal tidak mampu memenuhi permintaan untuk skala nasional yang terus bertambah dari tahun ke tahun (Agroindonesia, 2009). Pada tahun 2008, produktivitas cabai merah besar adalah 6.44 ton/ha sedangkan cabai rawit 4.28 ton/ha (Ditjen Hortikultura, 2009).

Saat ini banyak kultivar hibrida yang mulai ditanam petani dalam skala luas seperti Wonder Hot, Hot Chili, Hot Beauty, TM99, TM88, dan CTH-01 yang diimpor dari Korea Selatan dan Thailand. Sekalipun potensi produksinya lebih tinggi dibanding kultivar yang banyak ditanam petani pada umumnya, benih impor tersebut memiliki beberapa aspek negatif antara lain harga benih sangat mahal, memerlukan input produksi yang tinggi, menimbulkan ketergantungan terhadap benih impor, dan sebagian besar rentan terhadap cekaman biotik dan abiotik yang ada di Indonesia (Herison et al., 2001).

Ketergantungan terhadap benih impor harus dikurangi karena dapat merugikan petani dan produsen benih dalam negeri. Permasalahan ini dapat diatasi melalui perakitan varietas cabai yang mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan keadaan di Indonesia. Lahan-lahan bercekaman yang terdapat di Indonesia di antaranya adalah tanah masam (cekaman Al), tanah salin, lahan kering, lahan ternaungi, lahan gambut, dan lahan yang kurang subur. Adanya varietas yang toleran cekaman lingkungan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan produksi dan produkstivitas cabai merah dalam negeri melalui pemanfaatan lahan-lahan marginal/sub-optimum.

Menurut Trikoesoemaningtyas (2006), lingkungan sub-optimum merupakan lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Pendekatan alternatif dengan menyesuaikan tanaman dengan lingkungan tumbuhnya, yaitu dengan menanam varietas yang berdaya hasil tinggi dan adaptif terhadap cekaman lingkungan spesifik di lahan sub-optimum dengan pendekatan low input. Teknologi pemuliaan tanaman telah mengembangkan varietas-varietas

dengan potensi hasil tinggi dan toleran terhadap berbagai cekaman abiotik. Ketersediaan lahan subur yang terbatas menyebabkan perluasan lahan pertanian akan mencakup lahan-lahan sub-optimum.

Salah satu tipe lahan marginal/sub-optimum yang dapat dimanfaatkan untuk areal penanaman cabai adalah lahan yang ternaungi tegakan tanaman tahunan atau tanaman perkebunan dalam fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM). Penanaman cabai berfungsi untuk pemanfaatan lahan kosong di bawah tegakan tanaman perkebunan sekaligus sebagai pemberi nilai tambah bagi para petani yang menanam cabai sebagai tanaman sela di antara tanaman perkebunan pada masa TBM. Menurut Sunarto (2001), varietas tanaman yang toleran sangat cocok bila ditanam di antara tanaman perkebunan atau kehutanan pada saat peremajaan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menduga daya gabung tetua dan nilai heterosis genotipe cabai hasil persilangan half diallel dalam rangka perakitan varietas cabai hibrida toleran naungan.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Terdapat nilai heterosis yang tinggi pada karakter hibrida cabai yang

diuji di bawah naungan

2. Terdapat genotipe tetua yang memiliki daya gabung umum terbaik pada kondisi di bawah naungan

3. Terdapat hibrida yang memiliki daya gabung khusus terbaik pada kondisi di bawah naungan

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi Cabai

Capsicum annuum L. merupakan tanaman annual berbentuk semak dengan tinggi mencapai 0.5-1.5 cm, memiliki akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang. Tanaman cabai memiliki batang berkayu dengan tipe percabangan tegak atau menyebar, diameter batang mencapai 1 cm, berwarna hijau sampai hijau kecoklatan dan umumnya terdapat bercak ungu di dekat node. Daun berbentuk ovate dengan ukuran 10x5 cm hingga 16x8 cm, berwarna hijau muda sampai hijau tua. Mahkota bunga berbentuk campanulate hingga rotate dengan 5-7 helai, dan berwarna putih. Memiliki 5-7 benangsari berwarna biru hingga keunguan. Panjang buah mencapai 30 cm, berwarna hijau, kuning, krim, atau keunguan ketika muda dan berwarna merah, oranye, kuning, hingga cokelat ketika tua (Siemonsma dan Piluek, 1994).

Cabai merah (Capsicum annuum) merupakan anggota dari famili Solanaceae. Capsicum annuum memiliki tangkai daun panjang, agak kaku, daun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, berwarna hijau sampai hijau tua dengan tepi rata. Daun tumbuh pada tunas-tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang utama daun tunggal tersebut tersusun secara spiral. Daun berbulu lebat atau jarang tergantung spesiesnya. Bunga tunggal pada setiap ruas, kadang-kadang fasciculate dan berkelompok pada setiap ruas. Saat anthesis umumnya tangkai bunga merunduk. Setiap bunga memiliki lima helai daun buah dan lima atau enam helai mahkota bunga yang berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu tergantung kultivarnya. Tidak terdapat bintik kuning pada dasar cuping, cuping pada helai bunga umumnya tegak. Bunga cabai memiliki satu kepala putik berbentuk bulat dan benangsari berjumlah enam buah berbentuk lonjong. Daging buah umumnya renyah, kadang-kadang lunak pada kultivar tertentu. Biji cabai berwarna kuning jerami (Kusandriani, 1996).

Lingkungan Tumbuh

Menurut Siemonsma dan Piluek (1994), cabai dapat tumbuh pada tipe tanah liat dengan drainase yang baik pada pH tanah 5.5-6.8 dan curah hujan 600-

1250 mm/tahun. Cabai mencapai produksi optimum pada suhu 18-300C dan pada suhu malam 150C. Bunga akan gugur jika suhu rata-rata malam hari mencapai lebih dari 300C.

Cabai dapat ditanam 0-13 000 m dpl. Tanaman peka terhadap bunga es dan memerlukan cuaca panas dan periode pertumbuhan panjang untuk menjadi produktif. Suhu siang yang ideal rata-rata 20-250C. Pertumbuhan meningkat ketika suhu malam tidak melebihi 200C. Tanaman dan buah rentan terhadap suhu dingin. Suhu rendah cenderung membatasi perkembangan aroma dan warna buah. Cabai lebih toleran terhadap suhu tinggi dibanding tomat, namun bunga tidak terbuahi pada suhu di bawah 160C atau di atas 320C karena produksi tepung sari yang tidak baik. Penyerbukan dan pembuahan optimum pada suhu antara 20- 250C. Cabai harus ditanam dalam keadaan tanah berdrainase baik karena tanaman cabai sangat peka terhadap genangan. Tanaman yang tergenang cenderung mengalami kerontokan daun dan terserang penyakit akar. Keasaman tanah yang sesuai berkisar antara 6.5-7.0 (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999).

Menurut Bosland dan Votava (2000), tipe tanah yang sesuai untuk cabai adalah tanah dalam berdrainase baik, tanah liat berpasir yang dapat menjaga kelembaban tanah dan bahan organik tanah, serta pH antara 7.0-8.5. Hasil yang tinggi akan diperoleh jika suhu rata-rata harian antara 18-320C sejak pembentukan buah.

Cabai merah tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit, terutama yang disebabkan oleh cendawan. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah sekitar 600-1250 mm/tahun.

Pemuliaan Cabai

Menurut Kusandriani dan Permadi (1996), cabai termasuk tanaman yang kebanyakan menyerbuk sendiri, sehingga metode pemuliaannya sesuai dengan metode-metode yang berlaku umum bagi tanaman menyerbuk sendiri. Metode yang paling banyak digunakan adalah seleksi massa, seleksi galur murni, silang balik (back cross), seleksi pedigree, dan single seed descent (SSD). Kegiatan pemuliaan tanaman cabai sudah banyak dilakukan. Tujuan pemuliaan cabai pada

umumnya untuk memperbaiki daya dan kualitas hasil, perbaikan daya resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu, perbaikan sifat-sifat hortikultura, maupun perbaikan terhadap kemampuan untuk mengatasi cekaman lingkungan tertentu.

Heterosis

Langkah awal dalam perakitan kultivar hibrida adalah mempelajari dan mencari pasangan-pasangan tetua yang mampu menghasilkan hibrida berdaya hasil tinggi. Potensi heterobeltiosis sangat penting dalam perakitan kultivar hibrida karena merupakan indikator diperolehnya daya hasil hibrida yang lebih tinggi dari tetuanya (Herison et al., 2001).

Heterosis (hybrid vigor) adalah perbaikan karakter F1 dibanding dengan karakter induk terbaiknya. Heterosis terjadi karena adanya akumulasi alela dominan yang baik pada F1 dan sebagian alela tersebut berasal dari induk- induknya (Welsh, 1981).

Menurut Crowder (1986), hybrid vigor terjadi apabila galur inbred tanaman disilangkan untuk menghasilkan individu atau populasi F1. Heterosis adalah peningkatan yang terlihat apabila dua galur inbred atau varietas disilangkan. Heterosis diukur dengan menghitung perbedaan F1 dari Mid Parent atau dari nilai tetua superior (heterobeltiosis).

Persilangan Diallel dan Daya Gabung

Menurut Setiamiharja (2000), persilangan diallel merupakan rancangan persilangan yang memungkinkan semua kombinasi persilangan genotipe dilakukan, atau semua persilangan yang memungkinkan di antara genotipe termasuk persilangan resiproknya tetapi tidak termasuk persilangan sendiri (selfing). Tujuan utama persilangan adalah untuk menggabungkan karakter baik, memperluas variabilitas genetik, dan memanfaatkan vigor hibrida.

Cara yang umum dilakukan dalam menilai hasil persilangan antar galur adalah mengevaluasi daya gabung umum dan daya gabung khusus. Informasi ini diperlukan untuk mendapatkan kombinasi tetua yang akan menghasilkan keturunan yang berpotensi hasil tinggi (Yunianti et al., 2006).

Kemampuan berkombinasi adalah suatu ekspresi heterosis yang berasal dari setiap individu induk inbred pada hibridanya (Brewbaker, 1993). Kemampuan bergabung umum (Daya Gabung Umum) dari suatu galur inbred atau galur murni (galur silang dalam) yang disilangkan dengan berbagai galur lainnya, terutama merupakan hasil dari aksi gen aditif. Kemampuan bergabung spesifik (Daya Gabung Khusus) merupakan penampilan ekspresi antara dua galur inbred, ini merupakan aksi gen dominan, epistasi, dan aditif. Kedua kemampuan bergabung ini penting untuk mengidentifikasi galur murni yang akan digunakan sebagai tetua untuk membentuk hibrida. Identifikasi kemampuan bergabung berbagai galur murni ini merupakan suatu tahapan penting dalam program pemuliaan membentuk varietas hibrida (Welsh, 1981).

Menurut Setiamiharja (2000), evaluasi daya gabung merupakan uji keturunan (progeny test), untuk menilai kemampuan hibrida dalam menghasilkan tanaman yang unggul. Evaluasi daya gabung penting dilakukan terutama dalam pembentukan varietas hibrida F1, untuk memilih tetua-tetua atau genotipe- genotipe yang akan dijadikan tetua hibrida. Daya gabung umum adalah nilai rata- rata dari galur-galur dalam kombinasi persilangannya. Daya gabung khusus adalah penampilan suatu kombinasi persilangan galur tertentu. Nilai daya gabung umum yang baik adalah nilai rata-rata semua kombinasi persilangan yang mendekati nilai rata-rata persilangan yang tertentu. Daya gabung khusus yang baik apabila dalam persilangan dari genotipe tertentu hasilnya lebih baik dibandingkan dengan keseluruhan kombinasi persilangan.

Cahaya dan Tanaman

Intensitas cahaya di bawah optimum akan menyebabkan pertumbuhan, perkembanngan dan hasil panen tanaman relatif kecil. Kurangnya intensitas cahaya menyebabkan jumlah energi yang tersedia untuk penggabungan CO2 dan

H2O sangat rendah, akibatnya pembentukan karbohidrat yang digunakan untuk

pembentukan senyawa lain juga menurun. Berkurangnya intensitas cahaya dari a ke x menyebabkan laju fotosintesis menurun. Pada titik x dapat dianggap fotosintesis sama dengan laju respirasi dan karbohidrat untuk pertumbuhan mencapai nol (Harjadi, 1989).

Laju fotosintesis berbanding lurus dengan intensitas cahaya sampai kira- kira 1200 footcandle (fc). Klorofil hanya dapat menggunakan sebagian saja dari energi cahaya secara efisien pada hari-hari cerah yang dapat mencapai lebih dari 10 000 fc. Akan tetapi karena efek naungan, diperlukan jumlah maksimal dari intensitas cahaya untuk memberikan jumlah energi optimum pada semua daun dalam satu tanaman. Laju fotosintesis sangat berkurang selama cahaya suram pada waktu langit mendung (Harjadi, 2005).

Menurut Sunarto (2001), energi matahari sangat diperlukan tanaman dalam proses fotosintesis, oleh karena itu tanaman yang terkena naungan selama proses tumbuhnya akan mengalami penurunan produksi yang cukup nyata. Terdapat keragaman respon varietas tanaman terhadap naungan, ada varietas yang peka dan ada varietas yang toleran. Tanaman toleran cekaman lingkungan yaitu tanaman yang masih mampu berproduksi dengan baik walaupun ditanam pada kondisi tercekam, sedangkan tanaman peka adalah tanaman yang mengalami stress bila ditanam pada kondisi tercekam sehingga produksinya sangat menurun.

Menurut Siemonsma dan Piluek (1994), cabai memiliki toleransi terhadap kondisi naungan hingga 45%, namun penaungan dapat menghambat pembungaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningrum (2009), genotipe cabai dikatakan toleran naungan jika nilai MP (hasil rata-rata), GMP (rata-rata hasil geometrik), dan STI (indeks toleransi terhadap cekaman) tinggi.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Percobaan berlangsung pada bulan Desember 2008 sampai dengan Juni 2009. Lokasi percobaan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), serta di Kebun Percobaan Leuwikopo, Dramaga. Lokasi percobaan terletak pada ketinggian 190 m dpl.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah enam (6) galur cabai koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB yaitu IPB C2, IPB C5, IPB C10, IPB C15, IPB C20, IPB C110 (Tabel 1), dan 15 hasil persilangan half diallel (Tabel 2).

Tabel 1. Deskripsi 6 Genotipe Tetua Persilangan Genotipe

(IPB C-)

Kode

Genotipe Asal Tipe Karakteristik

2 PSPT C-11 AGH IPB cabe besar

Produksi tinggi, tahan Phytopthora ras 1, toleran naungan

5 PSPT C-05 Malaysia cabe besar

toleran anthraknosa, CVMV dan Phytopthora ras 1, toleran naungan

10 PBC 495 AVRDC cabe rawit tahan CMV dan geminivirus, agak toleran naungan

15 0209-4 AVRDC cabe

besar

tahan anthraknosa dan layu bakteri, agak toleran naungan 20 CA-MAZ Eksplorasi cabe rawit cabe hias, kadar capsaicin

tinggi 110 Keriting Sumatera Surya Mentari cabe

keriting cabe keriting

Pupuk yang digunakan antara lain kapur pertanian dengan dosis aplikasi 2 ton/ha, pupuk kandang dengan dosis aplikasi 0.5 kg/lubang tanam, SP-18 dengan dosis aplikasi 20 g/lubang tanam, ZA 10 g/lubang tanam, KCl 10 g/lubang tanam, NPK Mutiara 250 ml/tanaman, Gandasil D dan Gandasil B masing-masing 2 g/liter air diaplikasikan dengan cara disemprot.

Tabel 2. Bagan Persilangan Half Diallel Genotipe (IPB C-) 10 15 5 2 110 20 10 - 15 15 x 10 - 5 5 x 10 5 x 15 - 2 2 x 10 2 x 15 2 x 5 - 110 110 x 10 110 x 15 110 x 5 110 x 2 - 20 20 x 10 20 x 15 20 x 5 20 x 2 20 x 110 -

Pestisida yang digunakan antara lain insektisida Curacron, Canon, Kelthane, dan Winder dengan dosis aplikasi 2 cc/liter air, Fungisida Antrachol dan Dithane sebanyak 2 g/liter air, dan bakterisida Agrept. Alat yang digunakan meliputi alat budidaya pertanian, jangka sorong, timbangan analitik, timbangan bobot, meteran, paranet 50%, cemplongan (alat pelubang mulsa), dan mulsa plastik hitam perak.

Metode Penelitian

Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan 21 genotipe cabai sebagai perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua (2) kali sehingga terdapat 42 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 16 tanaman sehingga total terdapat 672 tanaman. Setiap satuan percobaan diambil maksimal 10 tanaman contoh.

Analisis statistik yang digunakan adalah Rancanngan Acak Kelompok dengan persamaan linear sebagai berikut :

terdiri dari campuran humus, tanah, dan pupuk kandang. Sebelum digunakan, media tanam disterilisasi terlebih dahulu dalam oven dengan suhu 600C selama 3- 4 jam untuk membersihkan media dari penyakit.

Sebelum ditanami, lahan diberakan selama satu (1) bulan untuk mencegah penularan penyakit dari penanaman sebelumnya. Tanah diolah dan dibuat dalam bentuk bedengan-bedengan dengan panjang 4 m dan lebar 1 m. Tinggi bedengan 30-40 cm dengan lebar parit 50 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 50 cm x 50 cm. Kapur pertanian diaplikasikan bersamaan dengan pengolahan tanah, sedangkan pupuk kandang dan pupuk kimia diaplikasikan setelah lubang tanam dibuat.

Pemasangan mulsa dilakukan pada siang hari agar mulsa terpasang kuat. Mulsa yang digunakan adalah mulsa hitam perak dengan panjang 1.2 m. Pembuatan lubang tanam dilakukan menggunakan alat cemplongan dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm. Pupuk kandang dan pupuk kimia diaplikasikan pada lubang tanam sesuai dosis yang dibutuhkan tanaman.

Penanaman di lapangan dilakukan setelah bibit berumur 5-6 minggu setelah semai di tray atau saat bibit telah memiliki minimal dua helai daun. Penanaman dilakukan sebanyak satu bibit/lubang tanam. Penanaman dilakukan pada pagi dan sore hari agar bibit tanaman cabai tidak mengalami stress.

Pemupukan susulan dilakukan satu minggu setelah pindah tanam (1 MST). Pemupukan dengan menggunakan pupuk kocor (NPK Mutiara) diaplikasikan sebanyak 250 ml/tanaman. Untuk mencegah jamur/cendawan, pupuk kocor dicampur dengan fungisida Antrachol dan Dithane secara bergantian. Pada masa vegetatif, tanaman disemprot dengan Gandasil D sebanyak 2 g/liter air, sedangkan pada masa generatif tanaman disemprot dengan Gandasil B sebanyak 2 g/liter air. Penyemprotan Gandasil dapat dilakukan bersamaan dengan pestisida jika dibutuhkan.

Pewiwilan dilakukan 2 minggu setelah pindah tanam (2 MST). Pewiwilan dilakukan terhadap tunas-tunas yang berada di bawah dikotomus tanaman cabai. Pemasangan ajir dilakukan pada 1 MST dengan mengikatkan batang tanaman pada ajir menggunakan tali plastik. Penyiraman dilakukan pada pagi atau sore hari setiap hari. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan tangan.

Aplikasi insektisida dan fungisisda dilakukan dengan pencampuran dan secara bergantian, misalnya Curacron + Antrachol atau Canon + Dithane, dan sebaliknya tergantung kondisi hama dan penyakit di lapangan. Jika terjadi hujan saat penyemprotan, aplikasi pestisida ditambah dengan perekat agar pestisida merekat pada tanaman dan tidak terbawa air hujan.

Panen dilakukan ketika buah telah 50-100% berwarna merah. Umur panen pada beberapa genotipe yang ditanam berbeda-beda, berkisar antara 70-100 hari setelah tanam (HST). Tanaman cabai dipanen setiap satu minggu.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif yang diamati meliputi posisi bunga, tipe tajuk, warna mahkota bunga, warna putik, warna anther, bentuk buah, orientasi buah, warna buah muda dan buah masak, dan bentuk daun.

Karakter kuantitatif yang diamati antara lain :

1. Umur berbunga (HST) dihitung ketika 50% populasi tanaman telah berbunga

2. Tinggi dikotomus (cm), diukur dari pangkal batang sampai percabangan utama setelah panen kedua

3. Tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi setelah panen pertama

4. Lebar tajuk (cm), diukur dari ujung tajuk yang saling berseberangan dan membentuk kanopi tanaman

5. Diameter batang (mm) diukur pada bagian terlebar batang setelah tanaman dewasa

6. Bobot brangkasan (g), ditimbang setelah panen 8 minggu

7. Panjang daun (cm), diukur pada daun-daun yang berada pada buku pertama setelah dikotomus

8. Lebar daun (cm), diukur pada daun-daun yang sama pada karakter panjang daun

9. Bobot per buah (g), diukur 10 buah cabai masak (per genotipe) yang diambil dari panen kedua

10. Panjang buah (cm), diukur dari pangkal hingga ujung buah

11. Panjang tangkai buah (cm) diukur dari pangkal buah hingga ujung tangkai buah

12. Diameter buah (mm) diukur pada bagian terlebar buah

13. Tebal kulit buah (mm) diukur dengan cara memotong buah secara membujur untuk kemudian diukur menggunakan mikrometer sekrup 14. Umur panen (HST) dihitung ketika 50% populasi telah memiliki buah

merah

15. Bobot buah per tanaman (g), ditimbang buah yang dipanen masak selama 8 minggu panen

Analisis Data

Analisis data dilakukan terhadap nilai heterosis, heterobeltiosis, daya gabung umum dan daya gabung khusus. Dilakukan uji F untuk melihat adanya perbedaan nilai tengah pada genotipe-genotipe yang diuji, jika terdapat perbedaan yang nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Analisis heterosis dan heterobeltiosis Heterosis = [ (

Keterangan :

gi = daya gabung umum galur ke-i

sij = daya gabung khusus dari hibrida persilangan galur ke-I dan ke-j Yij = nilai rataan dari hibrida persilangan galur ke-I dan ke-j

n = jumlah galur

Yi. = jumlah nilai rataan galur ke-i Yii = nilai selfing galur ke-i Y.j = nilai selfing galur ke-j Y.. = Total keseluruhan nilai galur

H

ASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Lahan penanaman cabai diberi naungan 50%. Intensitas radiasi matahari selama penelitian berlangsung berkisar antara 203.2 kal/cm2pada bulan Januari 2009 (terendah) dan 306.7 kal/cm2pada bulan Maret (tertinggi). Suhu udara rata- rata per bulan saat penelitian berlangsung adalah 25.70C, curah hujan rata-rata 338 mm/bulan, dan kelembaban udara rata-rata 88% per bulan (Stasiun Klimatologi Darmaga, 2009).

Gulma yang ditemukan pada lahan percobaan antara lain Axonopus compresus, Melastoma malabatricum, Ageratum conyzoides, Cleome rutidospermae, Phylanthus niruri, Graminae, talas-talasan dan teki (Gambar Lampiran 2). Hama yang ditemukan antara lain belalang, kepik, kumbang badak, keong, ulat, kutu daun, lalat buah, dan thrips (Gambar Lampiran 3).

Penyakit pada tanaman cabai yang ditemukan antara lain layu bakteri, layu fusarium, busuk buah, dan antrkanosa (Gambar Lampiran 4). Pertanaman cabai banyak mengalami layu disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sangat lembab. Lingkungan yang lembab disebabkan oleh lebarnya tajuk tanaman sehingga saling berhimpitan dan kondisi cuaca yang didominasi oleh hujan sehingga lahan selalu becek.

Pada awal penanaman, bibit-bibit muda banyak mengalami patah batang yang disebabkan oleh serangan hama keong, penyakit layu, dan serangan terhadap daun oleh hama belalang. Genotipe yang mengalami intensitas serangan penyakit antraknosa cukup tinggi adalah genotipe 5x15 dan genotipe 20, sedangkan penyakit busuk buah yang disebabkan oleh lalat buah dialami oleh hampir semua genotipe.

Karakter Kuantitatif

Berdasarkan rekapitulasi hasil sidik ragam (Tabel 3), perlakuan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap karakter lebar tajuk, tinggi tanaman, bobot brangkasan, tinggi dikotomus, panjang daun, lebar daun, diameter buah, panjang buah, bobot per tanaman, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan hari panen.

Perlakuan berpengaruh nyata pada karakter diameter batang, tebal kulit buah, dan hari berbunga.

Karakter vegetatif dan generatif tanaman dalam naungan dapat menunjukkan tingkat toleransi genotipe tanaman terhadap kondisi naungan. Berdasarkan penelitian Wahyuningrum (2009), naungan atau intensitas cahaya rendah dapat meningkatkan tinggi tanaman, tinggi dikotomus, diameter batang, panjang tajuk, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, bobot buah, tebal kulit buah, dan bobot brangkasan serta menyebabkan penurunan produksi buah per tanaman dan panjang buah. Efek naungan tidak nyata meningkatkan panjang tangkai buah dan diameter buah.

Tabel 3. Rekapitulasi Sidik Ragam Karakter Kuantitatif Tetua dan Hibrida Cabai Hasil Persilangan Half Diallel

Karakter KK (%) F Hitung Lebar Tajuk 17.18 6.37** Tinggi Tanaman 10.29 10.27** Bobot Brangkasan 10.65 11.77** Tinggi Dikotomus 9.01 11.99** Diameter Batang 7.27 3.69* Panjang Daun 4.32 15.81** Lebar Daun 5.39 11.17** Diameter Buah 11.88 9.98** Panjang Buah 6.54 78.38**

Bobot per tanaman 20.08 10.36**

Bobot per buah 18.07 16.93**

Tebal kulit buah 25.91 2.23*

Panjang Tangkai Buah 9.80 10.59**

Hari Panen 6.33 8.58**

Hari Berbunga 13.59 2.59*

Keterangan : ** berpengaruh nyata pada taraf 1%, * berpengaruh nyata pada taraf 5% Heterosis

Secara umum terjadi peningkatan nilai tengah karakter-karakter kuantitatif pada hibrida-hibrida yang diuji dibandingkan rataan nilai tengah kedua tetuanya

Dokumen terkait