• Tidak ada hasil yang ditemukan

trampilan serta kemampuan aspek teknis dan manajerial budidaya sagu ( Metrox-ylons spp.) khususnya aspek persemaian. Metode magang yang digunakan adalah metode langsung untuk mendapatkan data primer dan metode tidak langsung untuk mendapatkan data sekunder. Data sekunder didapatkan dengan melakukan studi pustaka, diskusi, dan wawancara karyawan yang terdapat di perusahaan. Data primer diperoleh dari kegiatan aspek teknis yang dilakukan di lapangan seperti penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, penyulaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

Kegiatan khusus yang dilakukan yaitu pemangkasan dan aplikasi hormon organik pada petiol bibit sagu di persemaian. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemangkasan petiol dan aplikasi hormon organik terhadap tingkat pertumbuhan bibit di persemaian sehingga mampu menjadi solusi dalam mengatasi kekeringan petiol yang menghambat pertumbuhan bibit. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (split plot). Petak utama yang dicobakan adalah taraf pemangkasan dengan 3 taraf yaitu P0 = tanpa pemangkasan, P1 = pemangkasan 20 cm dari atas banir, P2 = pemangkasan 30 cm dari atas banir, dan anak petaknya yaitu pemberian zat pengatur tumbuh berupa hormon organik dengan 4 taraf yaitu H0 = tanpa hormon organik, H1 = konsentrasi hormon organik 1 ml/l, H2 = konsentrasi hormon organik 3 ml/l, dan H3 = konsentrasi hormon organik 5 ml/l.

Pemangkasan berpengaruh terhadap persentase kehidupan bibit dan pertumbuhan vegetatif bibit. Perlakuan pemangkasan yang paling baik yaitu

pemangkasan 20 cm dari atas banir (P1). Secara umum pemberian hormon orga-nik tidak berpengaruh terhadap peubah yang diamati, namun pemberian hormon organik dengan konsentrasi 5 ml/l (H3) berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang daun baru, dan lebar anak daun pangkasan. Interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah panjang daun pangkasan dan jumlah anak daun baru. Berdasarkan nilai rataan perlakuan P1H0 (pemangkasan 20 cm dari atas banir dengan tanpa hormon organik) menunjukkan hasil yang paling baik pada persentase kehidupan bibit dan jumlah daun. Kemunculan akar nafas berkorelasi positif dengan presentase kehidupan bibit. Semakin banyakakar nafas, akan semakin besar presentase kehidupan bibit.

Yanti Jayanti1, M.H. Bintoro2 1

Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB, A24070023 2

Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB, Prof. Dr. Ir. M.Agr.

Abstract

The study was conducted in PT National Sago Prima, Selat Panjang, Riau on February to June 2011. The study aimed to provide knowledge, skills, technique capability and management of sago palm especially in sago nursery. The method are direct for getting primary data and indirect for secondary data. Secondary data takes from interviewing and discussing with the company staff and literacy study to get more information. Generally, the primary data could get from technique activity in the field but the focus case in sago nursery. The experiment was conducted to obtain information in a nursery on the effects of trimming and organic hormone application. The experiment was arranged in Split-plot design, where the main plot was trimming on sucker petiole with three factors (without trimming (P0), trimming 20 cm above baneer (P1), and trimming 30 cm above baneer (P2)) and the subplot was four factors of application of organic hormone (without concentration (H0), concentration 1ml/l (H1), concentration 3 ml/l (H2), and concentration 5 ml/l (H3)). The result showed trimming on sucker petiole was significant difference in presentation survival rate and vegetative growth. Trimming 20 cm above baneer (P1) better than trimming 30 cm above baneer (P2) and without trimming (P0). Generally, organic hormone application didn’t show any significant difference, but organic hormone application concentration 5 ml/l (H3) was significant difference in number of sucker leaves, new leaf length, and trimming leaf wide. The interaction between treatments was significant difference in trimming leaf length and number of sucker new leaflet. Based on average value trimming 20 cm above baneer and without concentration (P1H0) showed the best result in survival rate and number of sucker leaves. The survival rate of sucker was positively correlated with the emergence of breath root. The results of this experiment showed that the hight survival rate of sucker displayed higher percentage of emergence breath root.

Latar Belakang

Tanaman sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman pangan penghasil karbohidrat, selain itu memiliki multi fungsi bila dikembangkan secara luas antara lain, pengaman lingkungan melalui absorbsi emisi gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan gambut ke udara, jumlah emisi gas CO2 yang diabsorbsi oleh sagu lebih banyak bila dibandingkan dengan tanaman lain seperti sawit, selain itu tanaman sagu dapat mempertahankan air tanah dan tidak pernah diremajakan. Menurut Djoefrie (1999) tanaman sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ba-han pangan alternatif dan baba-han baku industri dalam rangka ketaba-hanan pangan na-sional.

Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang produktif jika dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 20-40 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun (Bintoro et al., 2010). Berdasarkan catatan BPPT (2008) produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Akibatnya, kebutuhan industri yang mencapai sekitar 200 ribu ton setiap tahun harus diimpor.

Pada masa yang akan datang tanaman sagu dapat menjadi alternatif komoditas pangan nasional yang dapat digunakan sebagai sumber pangan pokok. Pati sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri makanan, bahan baku penyedap masakan (monosodium glutamat), bahan baku plastik ramah lingkungan yang dapat terurai di dalam tanah, bahan baku gula cair dan bahan bakar (etanol) . Oleh karena itu perlu dilakukan upaya budidaya yang baik sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi. Peningkatan pertumbuhan dan per-kembangan sagu perlu dilakukan secara optimal dengan pengelolaan secara intensif. Pengelolaan sagu tersebut meliputi pengadaan bahan tanam, persiapan tanam dan penanaman, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pengelolaan pascapanen (Haryanto dan Pangloli, 1992).

dengan sistem kanal yaitu terhindar dari serangan hama ulat sagu yang menyerang titik tumbuh bibit sagu sewaktu bibit dalam persemaian, pemeliharaan yang dilakukan lebih sedikit, selain itu ketersediaan air merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan tanaman sagu, sehingga akan menghasilkan nilai kemampuan tumbuh yang lebih tinggi (Asmara, 2005). Menurut Wibisono (2011) persemaian kanal dengan jenis sagu tidak berduri memiliki rata-rata tingkat kematian paling rendah dibandingkan dengan persemaian kolam dan polybag.

Listio (2007) menyatakan bahwa bibit yang disemai pada musim hujan menghasilkan presentase bibit yang hidup lebih besar dibandingkan persemaian pada musim kemarau. Hal ini diakibatkan banyaknya pucuk yang mengering akibat suhu yang terlalu panas, sehingga pertumbuhan bibit sagu sering dijumpai tidak seragam. Perbedaan pertumbuhan tiap-tiap bibit dipersemaian selain ditentu-kan oleh baik tidaknya suatu bibit, juga ditentuditentu-kan oleh ukuran dan bobot bibit, perlakuan sebelum persemaian (pemangkasan pucuk), umur bibit, lama pe-nyimpanan dan musim.

Pupuk dapat menjadi tambahan nutrisi untuk meningkatkan daya hidup bagi tanaman sagu terutama saat persemaian. Pemberian tambahan hara tersebut dapat berupa pupuk cair, pupuk padat organik maupun nonorganik, atau zat pengatur tumbuh (Bintoro et al., 2010). Penggunaan zat pengatur pertumbuhan dan pengaturan ukuran pangkas tunas sebelum bibit disemai diharapkan dapat mempersingkat waktu bibit di persemaian dan menyeragamkan pertumbuhan bibit sehingga dapat menghindari persemaian bibit pada musim kemarau dan menye-ragamkan pertumbuhan bibit saat di lapangan.

Bibit berumur 3 bulan di rakit masih ada 24,7 % bibit yang belum membentuk daun (masih tumbuh berbentuk petiol memanjang), sehingga pada saat panen bibit (memindahkan bibit ke areal) masih membutuhkan seleksi yang membutuhkan tenaga kerja, rakit baru dan waktu yang lebih panjang. Percobaan pemangkasan dan aplikasi zat pengatur tumbuh berupa hormon dibutuhkan agar waktu panen bibit seragam.

Tujuan Kegiatan magang ini dilakukan untuk :

1. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta kemampuan aspek teknis dan manajerial budidaya sagu (Metroxylons spp.) di PT National Sago Prima, Selat Panjang, Riau.

2. Mempelajari teknis budidaya sagu (Metroxylons spp.) dari penyiapan lahan sampai dengan pemanenan khususnya aspek persemaian.

3. Mengetahui pengaruh pemangkasan petiol dan aplikasi hormon organik terhadap tingkat pertumbuhan bibit di persemaian sehingga mampu menjadi solusi dalam mengatasi kekeringan petiol yang menghambat pertumbuhan bibit.

Mart). Jenis sagu tidak berduri yaitu sagu Molat (M. sagu Rottb).

Selain ada tidaknya duri, suatu pengelompokan yang biasa digunakan untuk membedakan jenis-jenis sagu adalah frekuensi pembungaannya, yaitu yang berbunga sekali (Hepaxanthic) yang mempunyai nilai ekonomis penting karena kandungan patinya lebih banyak dan berbunga dua kali atau lebih (Pleonanthic) dengan kandungan pati rendah. Jenis sagu yang termasuk dalam golongan Hepaxanthic terdiri atas 5 aksesi penting yaitu M. rumphii Martius (Sagu Tuni),

M. sagus Rottboi (Sagu Molat), M. silvester Martius (sagu Ihur), M. longispinum

Martius (sagu Makanaru), dan M. micracantum Martius (sagu Rotan). Dari kelima aksesi tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tuni, dan Molat. Jenis sagu yang termasuk dalam golongan Pleonanthic adalah M. filarae

Mart. dan M. elatum Mart. (Bintoro et al., 2010).

Ekologi dan Penyebaran Sagu

Tanaman sagu dapat tumbuh baik di daerah khatulistiwa, yaitu pada garis lintang 100 LU dan 100 LS, ketinggian tempat terbaik yaitu 400 m di atas permukaan laut (dpl). Lebih dari 400 m dpl pertumbuhannya lambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian di atas 600 m dpl, tinggi tanaman sagu sekitar 6 m. Tegakan sagu secara alamiah ditemukan sampai 1 000 m dpl (Bintoro, 2008). Hasil penelitian Flach et al., (1986) menyatakan bahwa tanaman sagu dapat tumbuh dan berproduksi baik pada suhu rata-rata lebih dari 25 0C, kelembaban

udara 90%, radiasi matahari sekurang-kurangnya 900 J cm-2hari-1 dan suhu terendah adalah 150 C.

Sagu dapat tumbuh dan membentuk kolone di daerah-daerah berrawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan daerah-daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi (Haryanto dan Pangloli, 1992). Menurut Notohadipawiro dan Louhenapessy (1993) dalam Bintoro (2008), habitat asli tanaman sagu adalah tepi parit/sungai yang becek serta berlumpur tetapi secara berkala mengering. Tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat > 70 % dan bahan organik 30 % baik untuk pertumbuhan sagu.

Tanaman sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu tersebar luas di dataran rendah Asia Tenggara dan MELANESIA. Di Indonesia sagu banyak ditemukan di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan terutama banyak terdapat di Maluku dan Papua (Bintoro, 2008).

Budidaya Sagu Persiapan Bahan Tanam

Persiapan bahan tanam merupakan kegiatan pengadaan bahan tanam yang dibutuhkan oleh kebun. Bahan tanam berupa bibit sagu (abut) untuk budidaya di PT National Sago Prima diperoleh dengan membeli dari kebun sagu masyarakat sekitar seperti daerah Teluk Kepau, Kampung Baru, Bungur, Centai, Selat Akar dan Sawang dengan harga Rp 2 000/abut (Bintoro, 2008). Kegiatan persiapan bahan tanam meliputi seleksi bibit, perlakuan terhadap bibit, dan persemaian. Tujuan dari seluruh kegiatan tersebut yaitu untuk mendapatkan bibit yang berkualitas baik, bebas hama dan penyakit tanaman sehingga bibit tersebut dapat ditanam di lapangan dengan persentase hidup yang lebih tinggi (Bintoro et al., 2010).

Bibit yang diambil sebagai bahan tanam adalah bibit yang masih baru (segar), telah matang atau tua, mempunyai pelepah dengan pucuk yang masih berwarna hijau segar, bibit mudah bergerak jika digoyang-goyangkan, posisi bibit tersebut tidak tumbuh menempel pada induk sagu, tidak terserang hama dan

Gambar 1. Bentuk-bentuk Bibit Sagu (Kanan ke Kiri) “L”, Keladi, dan Tapal Kuda

Perlakuan sebelum persemaian yaitu pemangkasan dari atas banir 30 cm dan konsentrasi Rootone-F 1500 ppm menunjukkan hasil pertumbuhan yang baik (Listio, 2007). Selain itu, penelitian Asmara (2005) menunjukkan bahwa peren-daman bibit menggunakan Rootone-F selama 4 jam berpengaruh terhadap panjang akar tetapi tidak berpengaruh terhadap panjang, jumlah, dan lebar daun. Tujuan pemangkasan yaitu agar evaporasi dapat ditekan dan mempercepat pemunculan tunas.

Persemaian merupakan satu tindakan budidaya tanaman yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif suatu bibit atau bahan tanam di dalam suatu wadah tertentu dengan suatu wadah atau tempat tertentu dengan suatu tindakan pemeliharaan tertentu. Persemaian bibit sagu dilakukan dengan meng-gunakan sistem kanal (Irawan, 2004). Bibit ditata dalam rakit yang terbuat dari tulang daun sagu (gaba-gaba) atau dari bambu/kayu yang berukuran 3 m x 0.5 m.

Bibit sagu

Rakit tersebut sangat ringan sehingga mengapung di air dan mudah dilangsir ke lokasi penanaman. Setiap rakit dapat menampung 70 – 80 bibit. Bibit dalam rakit diletakkan dalam kanal sampai batangnya terendam, setelah 3 bulan akan ada 2-3 helai daun baru dan perakarannya sudah berkembang dengan baik, saat itu bibit sagu dapat dipindahkan ke lapangan (Bintoro, 2008).

Penanaman di Lapangan

Penanaman bibit tanaman sagu dilakukan setelah bibit disemai tiga bulan dan telah memiliki 2 - 3 helai daun baru serta memiliki perakaran yang baik (Bintoro, 2008). Berdasarkan penelitian Tajuddin et al (2009) perendaman bibit sagu ke dalam IBA dan BAP selama dua jam menghsailkan 60% bibit sagu yang mempunyai akar baru dan daun muda setelah 120 hari.

Cara penanaman menurut Bintoro et al (2010) yaitu dilakukan dengan membenamkan banir ke dalam lubang tanam. Bagian pangkal banir ditutup de-ngan tanah remah bercampur gambut. Tanah penutup ditekan dan diatur sehingga banir tidak sampai bergerak. Tanah lapisan atas dimasukkan sampai separuh lu-bang tanam. Akar-akar dibenamkan pada tanah penutup lulu-bang dan pangkalnya agak ditekan sedikit ke dalam tanah. Pada bibit kemudian diberi dua batang kayu yang diletakkan secara bersilangan pada bibit (sampiang). Pemasangan kayu tersebut dimaksudkan agar bibit lurus dan tegak, sehingga pada saat tanaman sudah dewasa, tanaman menjadi kokoh dan tidak mudah tumbang.

Jarak tanam yang digunakan menurut Bintoro (2008) yaitu jarak antar pancang 10 m x 10 m bila kebun akan ditanami sagu secara monokultur, tetapi bila akan ditumpangsarikan dengan tanaman lain, maka jarak antar pancang dapat 10 m x 15 m. Populasi tanaman apabila menggunakan jarak tanam 10 m x 10 m dalam bentuk persegi yaitu 100 tanaman/ha, sedangkan bila jarak tanamnya segitiga sama sisi maka populasinya 115 tanaman/ha. Lubang tanam yang digunakan yaitu 30 cm x 30 cm x 30 cm, kedalaman lubang yang ideal yaitu bila sudah mencapai permukaan air tanah. Bibit sagu akan cepat beraklimatisasi dan beradaptasi bila akar bibit sagu menyentuh permukaan air tanah, tetapi bila air tanah sangat dalam, maka kedalaman lubang maksimal 60 cm.

sagu dan gulma di sekitar rumpun sagu dalam pengambilan air, unsur hara, sinar matahari, dan ruang tumbuh dan berkembang (Bintoro, 2008). Bintoro et al

(2010) menyatakan pengendalian gulma di perkebunan sagu menggunakan metode manual, mekanis dan kimia.

Pemupukan

Tanaman sagu akan tumbuh dengan baik apabila hara di dalam tanah dalam keadaan cukup. Menurut Flach (1984) apabila dalam 1 ha dipanen 136 batang sagu maka hara yang terangkat panen sebanyak 100 kg N, 70 kg P2O5, 240 kg K2O, 280 kg CaO, dan 80 kg MgO, serta berbagai unsur mikro. Dosis pemupukan sangat tergantung pada kesuburan tanah tempat sagu tersebut tumbuh dan dosis untuk tanah mineral akan berbeda dengan di tanah gambut (Bintoro, 2008).

Pengendalian Hama dan Penyakit

Keberadaan hama dan penyakit tidak terlalu mengganggu pertumbuhan tanaman sagu. Menurut pengamatan yang dilaksanakan oleh Gumbek dan Jong

dalam Djoefrie (1999) pada tanaman sagu yang diusahakan secara intensif di

Serawak dijumpai Botryonopa grandis Blay yang menyerang daun muda,

Coptotermes spp. (rayap) di kawasan gambut dan serangga Rhynchophorus spp.

yang menyerang daun sagu. Hama lain yang menyerang adalah tikus, kera dan babi yang sering kali menyerang tanaman sagu muda.

Penjarangan Anakan Sagu

Penjarangan anakan sagu berfungsi untuk mengurangi persaingan pertumbuhan antar anakan untuk meningkatkan produktivitasnya, dengan me-ngeluarkan anakan tidak produktif dan mengurangi anakan yang kurang produktif, sehingga pada setiap rumpun tumbuh sebanyak 4 tegakan sagu (Suryana, 2007). Sejalan dengan hal itu Bintoro (2008) menyatakan tanpa penjarangan anakan per-tumbuhan tanaman sagu akan lambat, kadar patinya rendah, pemeliharaan tanam-an khususnya pemupuktanam-an tidak efisien dtanam-an pemtanam-anentanam-an sulit dilakuktanam-an. Berdasar-kan laporan Andany (2009) banyaknya jumlah anaBerdasar-kan tidak mempengaruhi pertumbuhan anakan baru, sehingga perlu adanya metode pemangkasan anakan agar tidak memicu pertumbuhan anakan baru setelah tanaman dipangkas.

Menurut Flach (1984) pohon sagu yang dalam satu rumpun diusahakan hanya ada 5 anakan dari berbagai umur dan selang waktu setiap umur 1.5 tahun atau dapat juga dilakukan penanaman bibit sagu dalam 1 areal dengan jarak tanam teratur.

Metode Pemangkasan

Menurut Atminingsih (2006) pada awal pertumbuhan, luas daun yang dipangkas menurun kemudian meningkat. Berdasarkan laporan Listio (2007) dan Bintoro et al., (2008) perlakuan pemangkasan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan anakan yang akan menjadi bibit sagu. Bibit yang dipotong 30 cm, hasilnya lebih baik daripada yang dipotong 40 cm dan 50 cm.

Zat Pengatur Tumbuh

Hormon organik mengandung zat pengatur tumbuh organik terutama auksin, giberelin dan sitokinin serta diformulasikan dari bahan alami yang di-butuhkan oleh semua jenis tanaman. Fungsi utama hormon organik yaitu mem-percepat proses pertumbuhan tanaman, memacu dan meningkatkan pembungaan serta pembuahan, mengurangi kerontokan bunga dan buah, membantu pertumbuh-an tunas, membpertumbuh-antu pertumbuhpertumbuh-an akar, memacu pembesarpertumbuh-an umbi, dpertumbuh-an me-ningkatkan keawetan hasil panen.

ekspresi kelamin pada tumbuhan hermafrodit (Arteca, 1996).

Giberelin adalah suatu golongan ZPT dengan rangka ent-gibberellins yang berfungsi merangsang pembelahan sel, pemanjangan sel, dan fungsi pengaturan lain. Giberelin disintesis lewat lintas asam melavonik dalam pucuk yang sedang aktif tumbuh dan biji-biji yang sedang berkembang. Respon yang diatur oleh giberelin yaitu pertumbuhan batang, bolting/pembungaan, perkecambahan biji, dormansi, senescens, partenokarpi, pembentukan buah, menunda pematangan, dan pematangan buah (Arteca, 1996).

Sitokinin merupakan substansi pengganti adenine yang meningkatkan pembelahan sel dan fungsi pengaturan tumbuhan. Cara kerjanya sama dengan kinetin (6-furfurylaminopurine). Sitokinin ditemukan paling banyak di daerah meristem dan arena dengan potensi tumbuh berkesinambungan termasuk akar, daun muda, buah yang berkembang, dan biji. Sitokinin diduga diproduksi dalam akar dan diangkut ke pucuk, karena zat tersebut ditemukan dalam larutan xylem. Namun, sitokinin ditemukan dalam jumlah banyak pada jaringan buah dan biji, kemungkinan diproduksi di kedua lokasi tersebut (Arteca, 1996).

Fungsi utama sitokinin yaitu memacu pembelahan sel (sitokinesis). Proses sitokinesis pada kalus yang merupakan massa sel yang tak terspesialisasi, tak beraturan, dan khususnya poliploid sangat terpacu (Salisbury and Ross, 1995). Sitokinin banyak ditemukan dalam tumbuhan, perannya dalam tumbuhan yaitu mengatur pembelahan sel, pembentukan organ, pembesaran sel dan organ, pencegahan kerusakan klorofil, pembentukan kloroplas, penundaan senescens, pembukaan dan penutupan stomata, serta perkembangan mata tunas dan pucuk (Arteca, 1996).

Sitokinin terdiri atas sitokinin alami dan tiruan. Sitokinin alami yaitu zeatin yang pada tahun 1964 sitokinin tersebut dipisahkan dari tumbuhan tinggi dalam endosperm seperti susu pada biji jagung muda (Gardner et al., 1985). Stokinin tiruan diantaranya yaitu kinetin furfurylaminopurine), BA (6-benzylaminopurine), dan BPA (6-bensylamino)-9-(2-tetrahydropyranyl)-9H purine (Arteca, 1996).

dan tidak langsung. Metode langsung yaitu melaksanakan kegiatan berupa aspek teknis di lapangan, sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan mela-kukan studi pustaka, diskusi, dan wawancara dengan karyawan yang ada di perusahaan. Metode tidak langsung dilakukan baik saat jam kerja maupun di luar jam kerja.

Kegiatan teknis di lapangan meliputi pembukaan lahan, pembibitan, pe-nanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Kegiatan aspek teknis di lapangan di-lakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan instruksi dan arahan dari asisten divisi. Seluruh teknis kegiatan magang yang dilakukan berdasarkan prosedur kerja yang diterapkan oleh perusahaan. Pelaksanaan metode langsung dengan meng-ikuti kegiatan teknis budidaya dan memperoleh data primer. Kegiatan aspek khusus yang dilakukan yaitu pemangkasan dan aplikasi hormon organik pada petiol bibit sagu di persemaian. Hasil percobaan digunakan sebagai saran bagi kegiatan budidaya di perusahaan.

Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot). Petak utama yang dicobakan adalah taraf pemangkasan dengan 3 taraf yaitu P0 = tanpa pemangkasan, P1 = pemangkasan 20 cm dari atas banir, P2 = pemangkasan 30 cm dari atas banir, dan anak petaknya yaitu pemberian zat pengatur tumbuh berupa hormon organik dengan 4 taraf yaitu H0 = tanpa hormon organik, H1 = konsentrasi hormon organik 1 ml/l, H2 = konsentrasi hormon organik 3 ml/l, dan H3 = konsentrasi hormon organik 5 ml/l. Petak utama ditempatkan pada rakit dengan ukuran 3 x 1 m2 dan anak petak ditempatkan pada bagian dari rakit dengan

ukurannya 1 x 1 m2, sehingga dalam tempat petak utama terdapat tiga bagian. Namun hanya bagian kanan dan kiri yang digunakan. Tata letak petak percobaan tertera pada Lampiran 1.

Total kombinasi perlakuan terdapat 3 x 4 = 12. Tiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 3 x 12 = 36 petak percobaan. Setiap anak petak disemai sebanyak 30 bibit dengan bobot bibit berkisar 2-5 kg. Bagian rakit yang digunakan hanya kanan dan kiri dalam setiap rakit, sehingga terdapat 60 bibit dalam setiap rakit. Jumlah rakit yang digunakan yaitu 18 rakit dengan jumlah keseluruhan bibit yaitu 1 080 bibit. Pengamatan dilakukan pada 15 bibit dalam setiap anak petak, sehingga jumlah bibit yang diamati yaitu 540 bibit.

Aplikasi pemangkasan petiol dan pemberian hormon organik berupa pengolesan dilakukan satu kali (± satu bulan setelah semai). Pengamatan dilaku-kan setiap dua minggu sekali selama dua bulan.

Pengamatan dan Pengumpulan Data

Data sekunder yang didapat yakni informasi tentang perusahaan. Informasi tersebut antara lain sejarah perusahaan, letak geografis dan wilayah administratif,

Dokumen terkait