• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGUNG MAULANA. Pengelolaan Sagu (Metroxylon spp) di PT.

National Sago Prima, Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi

Riau : Seleksi Bibit Sagu Berdasarkan Jenis, Tinggi Pohon Induk

dan Bobot Bibit Sagu Terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu di

Persemaian. (Di bawah bimbingan M.H.BINTORO DJOEFRIE)

Kegiatan magang yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan keteram-pilan dan pengalaman kerja di sektor perkebunan sagu serta memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai tanaman sagu. Kegiatan magang dilaksanakan pada 18 Febuari 2010 hingga 18 Agustus 2010 yang bertempat di PT. National Sago Prima, Kab. Kep. Meranti, Provinsi Riau. Metode magang yang digunakan adalah metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung dilaksanakan dengan cara mengikuti kegiatan teknis di lapang seperti pembibitan, penyulaman dan perawatan. Perawatan yang dilakukan di perkebunan sagu meliputi pengenda-lian gulma, pemupukan, penjarangan anakan dan pengelolaan air. Metode tidak langsung dilaksanakan dengan melakukan studi pustaka serta diskusi dengan pengelola kebun yang terdapat di perusahaan.

Kegiatan khusus yang dilakukan yaitu seleksi bibit sagu berdasarkan jenis, tinggi pohon induk dan bobot bibit sagu terhadap pertumbuhan bibit sagu di persemaian. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih lan-jut mengenai kriteria bibit yang memiliki pertumbuhan yang paling baik di persemaian. Bibit yang digunakan PT. National Sagu Prima untuk persemaian selama ini yaitu : bibit tua, daun berwarna hijau, bobot 2-4 kg, banir keras, perakaran cukup dan banir berbentuk ‘L’. Penentuan kriteria bibit yang tepat da-pat meningkatkan persentase bibit hidup baik dipersemaian maupun di lahan.

Kegiatan persemaian yang dilakukan PT. National Sago Prima menguna-kan sistem persemaian menguna-kanal. Sistem persemaian tersebut dapat menghasilmenguna-kan sekitar 70-90% bibit hidup. Jenis sagu yang terdapat di PT. National Sago Prima yaitu jenis sagu berduri dan tidak berduri. Bibit jenis sagu tidak berduri umumnya lebih toleran terhadap cuaca panas. Pohon induk yang telah dipanen dan bobot bibit 3,5-4,5 kg memiliki pertumbuhan dan persentase bibit hidup tertinggi.

Height of Mother Plant sago and Weight of Seed In Nursery.

Abstract

Sago nursery is a special factor that performed during the internship activities at PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. The experiment was conducted to obtain information in a nursery on the effects of this type of sago, height of mother plant sago and weight of sucker. The type of sago used was spiny sago (S1) and sago without spiny (S2). Height of mother plant used was 3.3 m - 4.6 m (T1), 4.6 m - 6.6 m (T2), more than 6.6 m (T3) and mother plant that have been harvested (T4). Sucker Weight used was 0,5 kg 1,5 kg (B1), 2 kg 3 kg (B2) dan 3,5 kg 4,5 kg (B3). The results shown sago without spiny is better than spiny sago, height of mother plant is not effect significantly and sucker weight 3,5 kg 4,5 kg is better than two other sucker weight. During the internship activities, sago cultivation activities conducted to obtain primary data. Secondary data were obtained by conducting interviews, discussions and reading of literature contained in the company.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sagu (Metroxylonspp.) sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia se-bagai tanaman asli Indonesia. Sagu menjadi bahan pangan utama bagi sebagian masyarakat Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya budidaya padi. Sagu saat ini tetap sebagai makanan pokok bagi sebagian masyarakat wilayah Indonesia Timur dan sebagian kecil daerah Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan, namun statusnya hanya menjadi bahan pangan pengganti jika bahan pangan utama (beras) sulit didapat. Pada sebagian masyarakat Indonesia, sagu hanya digunakan sebagai bahan baku industri. Pati sagu dapat dikonversi menjadi bioenergi (etanol), poli-laktat (bahan baku plastik), gula cair, glutamat dan bahan perekat (Bintoro, 2008)

Tanaman sagu dapat dibudidayakan pada daerah atau lahan marginal se-perti tanah gambut dan daerah tergenang atau rawa. Sagu masih dibudidayakan secara sederhana dan tidak intensif. Sagu umumnya tumbuh secara liar di alam sebagai hamparan hutan sagu (Haryanto & Pangloli, 1994). Sagu yang dibu-didayakan secara intensif akan memiliki produksi pati yang tinggi dibanding de-ngan yang hanya dibiarkan liar di alam tanpa perawatan. Menurut Bintoro (2008) bobot batang sagu tuni yang tidak dibudidayakan di Seram Barat sekitar 1.057 kg dengan kandungan pati 263 kg.

Pembudidayaan sagu secara intensif meliputi kegiatan pembukaan lahan, pembuatan kanal, pembuatan plot tanam, pembibitan, pemupukan, pemangkasan, pemisahan anakan dan pengendalian gulma. Perkebunan sagu agar berproduksi pati sagu yang tinggi baik kuantitas maupun kualitas, memerlukan manajemen pengelolaan yang baik. Pengelolaan perkebunan sagu meliputi aspek teknis dan manajerial.

Sagu dapat diperbanyak secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan generatif dilakukan dengan mengunakan benih yang diperoleh dari pohon sagu yang sudah berumur lebih dari 8 tahun. Bibit sagu yang berasal dari benih lambat pertumbuhannya dan tidak efisien dari segi pemeliharaan dan waktu. Perbanyakan vegetatif dilakukan dengan mengunakan anakan sagu atau bibit banyak diguna-kan petani sagu di Indonesia. Penentuan bibit yang baik merupadiguna-kan langkah awal

dalam budidaya sagu. Pohon sagu yang menghasilkan pati sagu yang baik berasal dari tanaman yang baik dan awalnya dari bibit yang baik pula.

Karakteristik induk sagu dapat dijadikan sebagai acuan dalam mencari abut yang memiliki pertumbuhan dan produksi yang baik. Karakteristik pohon sa-gu yang dapat disa-gunakan sebagai acuan dalam memilih abut adalah jenis atau spe-sies sagu, umur induk sagu, umur abut, tinggi induk sagu dan bobot bibit.

Saat ini, petani sagu masih mengunakan bibit sagu (abut) sebagai bahan ta-nam yang baik dalam menata-nam sagu. Kriteria abut yang dapat dijadikan bibit oleh masyarakat yaitu berasal dari induk yang tua atau sudah dipanen, memiliki bobot antara 2-3 kg dan memiliki banir berbentuk ‘L’.

Tujuan Tujuan umum dari kegiatan magang adalah :

1. Mengetahui teknis budidaya sagu dalam skala perkebunan. 2. Memberikan pengalaman kerja dalam sektor perkebunan. 3. Memperoleh pengetahuan dan ilmu mengenai tanaman sagu.

Tujuan khusus dari penelitian yang dilakukan adalah :

1. Mengetahui karakteristik jenis, tinggi induk dan bobot bibit sagu yang digunakan yang memiliki pertumbuhan yang baik dalam persemaian. 2. Mengetahui perbedaan pertumbuhan yang didapat dari perbedaan

karak-teristik jenis, induk dan bobot bibit sagu.

3. Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit sagu yang baik.

Botani Sagu

Metroxylon berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yaitu

Metro/Metradan Xylon. Metra berarti pith (isi batang atau empulur) dan Xylon

berarti Xylem. Kata sago atau sagu memiliki arti pati yang terkandung dalam batang palma sagu (Flach, 1997). Di Indonesia, ada beberapa nama daerah untuk tanaman sagu seperti rumbia; kirai (Sunda); ambulung kersulu(Jawa) dan lapia

(Ambon). Di Malaysia sagu dikenal dengan nama rumbia dan balau, lumbia

(Philiphina), thagu bin (Myanmar), sakuu (Kamboja) dan sakhu (Thailand) (Ruddle.,et al1976).

Menurut Suryana (2007), dikenal dua jenis sagu, yaituMetroxylon sp dan

Arengasp.Metroxylonsp umumnya tumbuh pada daerah rawa dan lahan marginal sedangkanArengasp tumbuh pada daerah kering dan lahan kritis. Sagu merupa-kan tanaman monokotil dari Famili Palmae. Menurut Uhl dan Dransfield (1987)

dalam Flach (1997) tanaman sagu termasuk dalam Famili Palmae, subfamili Calamoideae, genus Metroxylon dan spesies Metroxylon sp. Batang sagu merupakan bagian yang mengandung pati. Sagu hanya memiliki satu batang dan tidak bercabang karena sagu adalah tanaman monokotil yang hanya mempunyai satu titik tumbuh. Batang sagu berbentuk silinder dengan diameter 50-90 cm (Haryanto dan Pangloli, 1992). Batang sagu bebas daun dapat mencapai tinggi 16-20 m pada saat masa panen.

Batang sagu digunakan sebagai tempat penyimpan pati sagu selama masa pertumbuhan, sehingga semakin berat dan panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung di dalamnya. Pada umur panen 10-12 tahun, bobot batang sagu dapat mencapai 1.2 ton (Rumalatu, 1981). Bobot kulit batang sagu sekitar 17-25 % sedangkan bobot empulurnya sekitar 75-83 % dari bobot batang. Pada umur 3-5 tahun, empulur batang sagu sedikit mengandung pati, akan tetapi pada umur 11 tahun empulur sagu mengandung 15-20 % pati sagu.

Daun sagu merupakan bagian yang sangat penting karena merupakan tem-pat terjadinya fotosintesis. Daun sagu muda berwarna hijau muda yang berangsur-angsur menjadi hijau tua, kemudian berubah lagi menjadi coklat kemerahan bila

sudah tua. Sagu memiliki daun sirip yang menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada atau pelepah (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pohon sagu dewasa memiliki sekitar 18 pelepah daun dengan panjang 5-7 m. Dalam setiap pelepah terdapat 50 pasang anak daun dengan panjang 60-180 cm dan lebar 5 cm (Flach, 1983). Sagu mengeluarkan satu pelepah daun sekitar satu bulan dengan umur daun mencapai 18 bulan (Flach, 1983). Pelepah daun yang sudah tua akan jatuh dan meninggal-kan bekas pada batang. Apabila pertumbuhan dan perkembangan daun berlang-sung baik, maka secara keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan baik pula sehingga proses pembentukan pati dari daun yang disimpan dalam batang akan berlangsung secara maksimal (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Sagu dapat berbunga dan berbuah pada umur 10-15 tahun tergantung jenis dan kondisi lingkungan. Kemunculan bunga sebagai tanda bahwa sagu akan me-ngalami akhir dari siklus hidupnya. Bunga sagu berbentuk majemuk yang keluar dari pangkal atas. Bunga sagu berwarna coklat dan bercabang seperti tanduk rusa yang terdiri atas cabang-cabang primer, sekunder dan tersier (Flach dalam

Haryanto dan Pangloli, 1992). Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan betina. Bunga jantan masak dan mengeluarkan serbuk sari lebih awal dari pada bunga betina pada pohon yang sama sehingga pembuahan terjadi secara silang. Putik bunga sagu memiliki 3 sel telur, tetapi hanya satu yang dapat berkecambah (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Buah sagu terbentuk setelah terjadi pembuahan. Buah sagu berbentuk bu-lat dan terdapat benih didalamnya. Waktu antara bunga muncul hingga fase pembentukan buah dan buah matang berlangsung selama 2 tahun. Sagu mengha-silkan pati tertinggi pada saat fase berbunga (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Ekologi Sagu

Sagu umumnya tumbuh baik di daerah 10° LS- 15° LU dan 90° - 180° BT dengan ketinggian 0-700 mdpl. Pertumbuhan optimum sagu terjadi pada ketinggi-an 400 mdpl kebawah (Mketinggi-anketinggi-an et al., 1984). Sagu dapat tumbuh di tempat yang tanaman pertanian lain tidak dapat tumbuh. Lingkungan yang baik untuk sagu adalah yang berlumpur, akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan agak asam (Flach, 1983). Sagu dapat

tumbuh pada berbagai kondisi hidrologi dari yang terendam sepanjang tahun sampai lahan yang tidak terendam (Bintoro, 2008).

Sagu di pesisir Timur Privinsi Riau, sebagian besar tumbuh di lahan gam-but. Lahan gambut merupakan areal yang cocok untuk pertumbuhan sagu karena terdapat banyak bahan organik. Pertumbuhan sagu pada tanah mineral dengan tanah gambut berbeda. Hal tersebut karena lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda baik fisik maupun kimia tanah dengan lahan mineral.

Gambut merupakan penumpukan bahan organik yang tertimbun dalam ke-adaan basah atau jenuh air, sehingga hanya sedikit sekali mengalami perombakan (Noor dalam Bintoro et al., 2010). Gambut memiliki karakteristik jenuh air kurang dari 30 hari/tahun dengan kandungan C-organik mencapai 20 % atau jenuh air lebih dari 30 hari/tahun dengan kandungan C-organik 18 %. Bobot isi gambut berkisar antara 0,01-0,02 g/cm3dan untuk wilayah kabupaten Meranti sekitar 0,05 g/cm3(Bintoroet al., 2010).

Lahan gambut umumnya memiliki tingkat keasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5 (Noor dalam Bintoro et al., 2010). Lahan gambut mengandung sedikit unsur hara yang dapat diserap tanaman. Rasio kadar karbon per nitrogen (C/N) pada lahan gambut >30 %. Jika C/N > 30 %, maka N dalam tanah akan termobilisasi oleh mikroorganisme sehingga meskipun banyak N da-lam tanah namun ketersediaanya untuk tanaman sangat sedikit. Pada tanah gambut, pohon sagu memperlihatkan gejala kahat hara yang ditandai dengan kurangnya jumlah daun (Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1992 ).

Sebagian besar lahan gambut memiliki kesesuaian lahan untuk pertanian sangat rendah. Lahan gambut dengan ketebalan > 1 m termasuk lahan marginal dengan kelas kesesuaian lahan S3 (Bintoro et al., 2010). Pengelolaan drainase pada lahan gambut berbeda dengan lahan mineral. Jika pada lahan mineral diperlukan saluran drainase yang besar maka pada lahan gambut saluran drainase kecil. Hal ini karena tingkat kehilangan air pada lahan gambut cukup tinggi. Ta-naman yang cocok dibudidayakan di lahan gambut sangat sedikit dan umumnya tanaman tahunan. Sagu dapat tumbuh baik di lahan gambut.

Jenis-Jenis Sagu

Keragaman sagu di Indonesia sangat luas. Menurut Flach dan Schuling (1985) Sagu yang cukup dikenal dua tipe yaiturumphii Mart, dan M saguRottb sisanya hasil dari persilangan tersebut Sagu digolongkan menjadi dua jenis, yaitu sagu yang hanya berbunga dan berbuah sekali dalam fase hidupmya dan sagu yang berbunga dan berbuah dua kali atau lebih (Haryanto dan Pangloli, 1992). Tanaman Sagu yang berbunga dan berbuah sekali terdiri atas sagu berduri dan tidak berduri (Bintoro, 2008). Sagu berduri antara lain M rumphii Mart, M microcanthumMartM silvestreMart danM longispinumMart. Sagu tidak berduri adalah M sagu Rottb. Tanaman sagu yang berbunga dan berbuah dua kali atau lebih terdiri atas M filarae Mart dan M elatum Mart. Pada wilayah Indonesia bagian timur, sagu memiliki banyak jenis yang ditentukan berdasarkan ada tidaknya duri, panjang duri, banyaknya duri, tingkat kelenturan duri, panjang daun, lebar daun, warna daun dan rasa sagunya. (LubisdalamDjumadi 1989)

Jenis sagu berbunga sekali umumnya banyak dibudidayakan karena banyak mengandung pati sagu dibanding dengan yang berbuah dua kali. Saat ini terdapat sagu hasil persilangan dari spesies yang ada sehingga ditemukan jenis sagu yang lain. Persilangan tersebut terjadi secara alamiah yang terjadi dalam waktu yang lama. Pengarahan persilangan untuk tanaman sagu belum banyak dilakukan karena sulit untuk menyilangkan tanaman sagu.

Pembiakan Sagu

Sagu dapat berkembang biak secara generatif dengan biji maupun vegeta-tif dengan anakan. Namun, umumnya dilakukan secara vegetavegeta-tif (anakan). Anak-an sagu muncul membentuk batAnak-ang pada umur 4-5 tahun. Pohon sagu dAnak-an anakannya akan membentuk rumpun (Gambar 1). Setiap rumpun terdapat 1-3 pohon dewasa, beberapa pohon muda, dan puluhan anakan. Pada satu rumpun sagu biasanya hanya terdapat 1 pohon yang dapat dipanen tiap tahun. Dalam awal pertumbuhan sebelum mampu berfotosintesa sendiri dan belum mampu memben-tuk perakaran yang sempurna, anakan memperoleh kebutuhan karbohidrat dari pohon induk (Kurnia, 1991).

Gambar 1. Rumpun sagu (Flach, 1983)

Pembiakan generatif tanaman sagu mengunakan biji hasil fertilisasi, se-dangkan pembiakan vegetatif mengunakan anakan yang keluar dari pangkal ta-naman induk. Saat ini, pembiakan secara vegetatif banyak dilakukan, karena lebih efisien dan tidak lama dalam pengadaannya. Pembiakan sagu mengunakan anakan telah berkembang lebih pesat dibanding dengan cara generatif.

Pembiakan secara generatif masih belum banyak dilakukan karena benih sagu belum tentu dapat berkecambah dengan baik. Benih sagu dikumpulkan dari buah yang sudah tua atau telah matang. Buah didapat dari tanaman sagu yang telah berumur 10-12 tahun. Benih tersebut dikecambahkan, lalu setelah 2 bulan dipindahkan ke persemaian. Pembiakan dengan benih umumnya dilakukan seba-gai hasil dari proses persilangan dari beberapa jenis sagu. Benih hasil persilangan menjadi suatu jenis baru yang memiliki sifat yang berbeda.

Bibit sagu yang digunakan untuk pembiakan vegetatif diambil dari induk yang menghasilkan pati yang tinggi. Anakan sagu untuk bibit sebaiknya diambil dari rumpun yang sudah pernah dipanen (Flach, 1983). Bobot anakan yang baik untuk bibit berkisar antara 2-3 Kg, karena lebih efisien dalam pengangkutan. Namun semakin berat bobotnya, semakin baik karena bibit yang berat banyak mengandung pati untuk energi pertumbuhan.

Bibit sagu dibedakan berdasarkan bentuk dari bibit sagu tersebut dan tem-pat keluarnya anakan. Berdasarkan bentuk anakan, datem-pat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu keladi, tapal kuda dan bentuk ‘L’.Bentuk keladi merupakan anakan dengan posisi banir lurus dengan pucuk dan pelepah daun.Tapal kuda merupakan bentuk anakan dengan banir dan pucuk daun membentuk Sudut 90° sampai 180° dan bentuk ‘L’ merupakan bibit denganbanir dan pucuk membentuk Sudut ± 90°

Bibit sagu berdasarkan tempat tumbuhnya dibedakan menjadi anakan aerial dan basal. Anakan aerial adalah anakan yang tumbuh atau keluar dari ba-tang yang terdapat di atas permukaan tanah. Anakan jenis aerial, banir dan akar-nya dapat dilihat. Anakan basal adalah anakan yang tumbuh di bawah permukaan tanah dan banir tidak dapat dilihat.

Bobot bibit mempengaruhi pertumbuhan bibit selama di persemaian. Pada saat awal persemaian, jumlah dan ukuran daun bibit sagu masih sangat minim, oleh karena pati dalam banir diperlukan untuk pembentukan daun saat persemai-an. Pati tersebut berasal dari banir bibit sagu (WahiddalamBintoro.,et al.2008).

Pembibitan tanaman sagu umumnya mengunakan sistem kanal. Bibit yang direndam dalam kanal lebih baik dibandingkan dengan yang mengunakan media polibag dan media lumpur (Bintoro., et al. 2008). Penanaman sagu pada polibag memilki kelemahan diantaranya penyiraman dan pemberian hara harus lebih in-tensif dan rawan terhadap penyakit (Bintoro, 2008). Pada kanal ketersediaan air melimpah dan seluruh banirnya terendam. Menurut Suryana (2007), agar mendapatkan persentase bibit hidup yang tinggi (>80%) dilakukan perendaman pangkal batang bawah pada air yang mengalir. Penanaman dalam kolam, tinggi air di kolam terkadang macak-macak. Hal tersebut membuat bibit sagu stres dan pertumbuhan terhambat (Pinem, 2008).

Waktu dan Tempat

Kegiatan magang ini dilakukan selama enam bulan, dimulai dari 18 Febu-ari 2010 sampai 18 Agustus 2010. Kegiatan magang bertempat di perkebunan sagu PT. National Sago Prima, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.

Metode Magang

Metode yang dilakukan meliputi metode langsung dan tidak langsung. Me-tode langsung yaitu kegiatan yang dilakukan berupa kegiatan teknis di lapang. Pelaksanaan kegiatan teknis budidaya yaitu dengan mengikuti seluruh kegiatan sebagai pakerja dan pengawas. Kegiatan teknis di lapang yang diikuti seperti pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Kegiatan teknis lapang dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan instruksi dan arahan dari asisten divisi dan mandor. Seluruh teknis kegiatan magang yang dilakukan berdasarkan prosedur kerja yang diterapkan oleh perusahaan.

Pelaksanaan metode langsung dengan mengikuti kegiatan teknis budidaya dan memperoleh data primer. Data primer didapat setelah melaksanakan langsung seluruh kegiatan magang. Data primer berupa prestasi kerja dan hambatan yang terjadi selama kegiatan. Data primer akan dibandingkan dengan standar kerja yang berlaku di perusahaan.

Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan melakukan studi pustaka yang ada di perusahaan, diskusi dan wawancara kepada karyawan yang ada di per-usahaan. Kegiatan tersebut dilakukan baik saat jam kerja maupun di luar jam kerja para karyawan. Data yang didapat dari kegiatan tersebut berupa data sekunder yakni informasi tentang perusahaan. Informasi tersebut antara lain sejarah perusa-haan, lokasi, kondisi kebun, iklim, ketenagakerjaan dan informasi administrasi.

Aspek khusus yang dilakukan selama kegiatan magang yakni teknis perse-maian bibit sagu. Kegiatan perseperse-maian bibit sagu meliputi pencarian anakan, persemaian dan perawatan bibit dalam persemaian. Untuk mengetahui informasi

lebih lanjut mengenai kriteria bibit yang baik digunakan dalam persemaian, dilakukanlah suatu percobaan penyeleksian bibit selama di persemaian.

Percobaan ini mengunakan tiga faktor sebagai kombinasi percobaan, anta-ra lain jenis Sagu, tinggi pohon tnduk dan bobot bibit sagu. Jenis sagu yang digunakan antara lain sagu berduri (S1) dan sagu tidak berduri (S2). Pohon induk sagu yang digunakan dibedakan menjadi 3 kelompok tinggi pohon induk dan satu induk yang sudah dipanen, antara lain tinggi pohon induk 3,3–4,6 m (T1), 4,6– 6,6 m (T2), > 6,6 m (T3) dan Induk sudah dipanen (T4). Bobot yang digunakan antara lain bobot 0,5–1,5 kg (B1), bobot 2 - 3 kg (B2) dan bobot 3,5 – 4.5 kg (B3). Alat yang digunakan yaitu meteran, gunting atau golok, rakit persemaian, dan timbangan. Bahan yang digunakan adalah anakan sagu, pestisida, fungisida (Dithane M-45) dan label percobaan.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak-Petak Terbagi (Split-Split Plot) dimana Jenis sagu menjadi petak utama, tinggi pohon indukan menjadi anak petak dan bobot bibit menjadi anak-anak petak. Pada percobaan ini terdapat 24 kombinasi perlakuan dan 3 ulangan. Setiap kombinasi percobaan terdiri atas 10 bibit sagu. Percobaan ini mengunakan 720 bibit sagu yang diamati semua bibitnya. Percobaan dilakukan di dalam kanal dengan mengu-nakan rakit. Penyusunan letak abut dalam rakit yang sesuai dengan rancangan dapat dilihat dalam Lampiran 1.

Pengambilan anakan sagu dipisahkan antara sagu yang berduri dan sagu yang tidak berduri. Penentuan ada tidaknya duri sagu dilakukan sebagai salah satu faktor pertama dalam percobaan. Rumpun sagu yang akan diambil anakannya terlebih dahulu diukur tinggi pohon induknya atau pohon utamanya. Tinggi pohon induk diukur dari batas pangkal batang bawah bebas akar hingga ujung batang atas bebas daun. Penentuan tinggi pohon induk dilakukan sebagai faktor kedua. Anakan yang telah dipilih kemudian ditimbang bobotnya setelah dipangkas daunnya 30-40 cm. Bibit yang sudah dipilih direndam dalam larutan fungisida selama ± 1 menit. Bibit kemudian diberi label sesuai jenis, tinggi dan bobotnya. Bibit diletakan dalam rakit yang telah disusun sesuai petak percobaan. Pengamat-an dilakukPengamat-an setiap minggu dari minggu 0 (pengamatPengamat-an awal) hingga minggu ke

11. Peubah yang diamati selama pengamatan antara lain Prosentase bibit hidup, jumlah daun, panjang daun 1, 2, 3 dan jumlah anak daun 1, 2, 3.

Analisis Data

Data yang didapat selma kegiatan magang baik data primer maupun data

Dokumen terkait