• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP PRODUKSI SUSU

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produksi susu nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional, sehingga impor susu dan produksi susu tetap dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan terhadap susu. Upaya peningkatan populasi dan efisiensi produksi susu serta diversifikasi ternak perah dalam memenuhi kebutuhan terhadap susu nasional tetap dilaksanakan.

Salah satu diversifikasi usaha di bidang peternakan adalah beternak kambing perah. Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing perah yang telah banyak di wilayah Indonesia. Kambing PE memiliki kelebihan sebagai penghasil susu adalah modal yang dibutuhkan lebih sedikit, cara pemeliharaannya lebih mudah dan reproduksi lebih cepat dibandingkan dengan sapi perah.

Kambing perah mempunyai produktivitas yang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, manajemen pemeliharaan dan lingkungan yang saling berkaitan. Perbaikan genetik telah dilakukan melalui seleksi bibit unggul sebagai indukan. Ternak bibit unggul sebagai induk diharapkan dapat memberikan hasil produksi maksimal.

Kambing PE sebagai bibit unggul dapat dilakukan berdasarkan ciri-ciri fisik Pengetahuan mengenai penampilan ternak kambing PE bibit unggul menjadi suatu hal yang mutlak dalam rangka meningkatkan daya produksi ternak selanjutnya. Taksiran kemampuan seekor ternak dalam berproduksi susu dapat diketahui melalui pemanfaatan kriteria ukuran-ukuran tubuh.

Hubungan nyata antara produksi susu dengan ukuran-ukuran tubuh yang telah diketahui pada sapi perah diharapkan dapat ditemukan pula pada kambing PE, sehingga dapat membantu menentukan kriteria kambing PE yang berkemampuan produksi susu yang baik. Ukuran-ukuran tubuh menjadi penting dilakukan sebagai kriteria dalam mendapatkan kambing PE yang berkualitas baik.

Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui ukuran-ukuran tubuh kambing PE betina sebagai penghasil susu. Ukuran-ukuran tubuh tersebut dapat dijadikan dasar untuk penentuan kriteria kambing PE bibit unggul melalui pendugaan hubungan

2 antara ukuran-ukuran tubuh dengan kemampuan ternak kambing dalam menghasilkan susu.

Manfaat

Penelitian diharapkan dapat memberi informasi tentang hubungan antara ukuran-ukuran tubuh dengan kemampuan produksi susu sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk praktis dalam penduga sifat produksi ternak. Ukuran-ukuran tubuh dapat membantu dalam menentukan kriteria untuk memilih kambing PE yang bersifat unggul akan produksi susu.

Hipotesis

RINGKASAN

YUDHI KRISMANTO. 2011. Hubungan Ukuran-ukuran Tubuh Ternak

Kambing Peranakan Etawah Betina terhadap Produksi Susu. Skripsi. Program Alih Jenis, Departemen Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Afton Atabany ,M.Si Pembimbing Anggota : Ir. Sri Darwati, M.Si

Induk kambing Peranakan Etawah (PE) memiliki produktivitas yang dipengaruhi oleh factor genetik, pakan, manajemen pemeliharaan dan lingkungan yang saling berkaitan. Produksi dan reproduksi memiliki peranan penting dalam berjalannya suatu usaha peternakan. Pengamatan terhadap produksi dapat dilakukan berdasarkan informasi sifat morfologik pada ternak dan kemampuannya dalam menghasilkan susu. Pencatatan produksi susu sangat penting dilakukan untuk mengetahui tingkat produksi susu yang dihasilkan oleh ternak perah. Ukuran-ukuran tubuh dapat dimanfaatkan untuk menaksir kemampuan ternak dalam memproduksi susu.

Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi penampilan ternak kambing PE dari beberapa lokasi peternakan yang berbeda melalui pengamatan sifat produksi serta ukuran tubuh yang tepat untuk digunakan dalam menduga produksi susu melalui model matematika terbaik untuk menunjukkan hubungan tersebut. Penelitian dilaksanakan di lima lokasi Peternakan yang terletak di empat lokasi di Kabupaten Tasikmalaya (desa Sukaharja, desa Karsa Menak, desa Malaganti dan desa Sariwangi) dan desa Bojong Kantong, Kabupaten Banjar, Jawa Barat pada bulan Februari 2011 sampai dengan Maret 2011. Materi yang digunakan adalah induk kambing PE laktasi ke-2 sebanyak 20 ekor setiap lokasi peternakan. Data dianalisis secara deskriptif dan menggunakan Analisis Korelasi dan Regresi. Penggunaan factor penduga dalam persamaan Regresi Linier Ganda hanya pada dua peubah dari beberapa peubah yang ada berdasarkan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan tingkat keakurasian hasil pendugaan yang terbaik dari seluruh percobaan antar peubah-peubah lain yang digunakan sebagai factor penduga. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penghitungan dan pengukuran factor penduga di lapangan. Peubah-peubah yang diamati pada penelitian ini adalah 1) ukuran-ukuran tubuh, meliputi : lingkar dada, dalam dada, lebar dada, panjang telinga, tinggi badan, panjang badan, volume kelenjar susu, volume puting, volume ambing, dalam ambing, lingkar ambing, panjang puting, lingkar puting, bobot badan, lingkar metatarsus; 2) produksi susudan 3) efisiensi pakan terhadap produksi susu.

Ukuran tubuh yang dimiliki tidak semua mempunyai tingkat keeratan yang tinggi terhadap produksi susu.Tingkat keeratan hubungan yang tinggi hanya ditunjukkan pada volume ambing, lingkar dada, lebar dada, dalam dada dan lingkar ambing. Performa produksi ternak kambing PE memberikan hasil yang berbeda pada setiap peternakan yang diamati, akan tetapi memiliki kecenderungan yang sama untuk ukuran tubuh yang dapat digunakan sebagai factor penduga produksi susu.

Nilai keragaman produksi susu pada kelima peternakan masih tinggi, sehingga masih dapat dilakukan seleksi terhadap ternak tersebut. Nilai korelasi tertinggi pada KTMRSM (0,992), KTKM (0,965), KTTKSM (0,905), PBA (0,984) dan UPTDPTM (0,889) terdapat hubungan antara produksi susu dengan volume ambing.

Ukuran-ukuran tubuh meliputi panjang telinga, tinggi badan, bobot badan dan lingkar

metatarsus dari penelitian di kelima farm tidak memiliki pengaruh terhadap produksi susu.

Model yang paling sesuai untuk menduga produksi susu pada kelompok pemeliharaan ternak yang berbeda, yaitu persamaan Regresi Linier. Penggunaan persamaan tersebut didasarkan pada akurasi hasil dugaan yang paling mendekati dengan hasil pencatatan yang sebenarnya. Keeratan hubungan antara produksi susu dengan ukuran-ukuran tubuh tersebut adalah dimensi ambing memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap produksi susu yang dihasilkan induk kambing perah. Nilai regresi terhadap produksi susu dibanding faktor penduga lainnya dengan persamaan Linier yaitu Produksi Susu = -34,5 + 0,870 Volume Ambing dengan nilai determinasi 98,3% dan persamaan Linier Ganda yaitu Produksi Susu = -756 + 0,501 Volume Ambing + 0,216 Volume Puting + 35,2 Lingkar Puting dengan nilai determinasi 99,0%.

Volume ambing, volume puting dan lingkar puting memiliki korelasi yang positif dan nyata terhadap produksi susu. Ukuran tubuh yang dapat digunakan dalam menilai produksi susu seekor ternak kambing yaitu volume ambing, volume puting, lingkar puting, dalam ambing dan lingkar dada.

ABSTRACT

Livestock Body Measure Relationship of FemaleEtawah Grade Goat to Milk Production

Krismanto, Y., A. Atabany and S. Darwati

Etawah Grade goats productivity will influenced by genetic factors, environmental and their interaction. This can be demonstrated from the performance of production and reproduction. This research aimed to complete the information of Etawah Grade goat performance from several different locations, through the observation of production and to determine the proper size for use in milk production. The results showed that the milk production and body size have a positive relationship. Not all of body sizes have a high level of proximity to the milk production. Udder volume, chest circumference, chest length, and chest circumference in the udder have a high of affinity relationship to milk production. There is high score of correlation analysis was found in the relationship between milk production with udder volume that showed on KTMRSM Farm (0.992) , KTKM Farm (0.965), KTTKSM Farm (0.905), PBA Farm (0.984), and UPTDPTM Farm (0.889).

3 TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Perah di Indonesia

Kambing termasuk ternak ruminansia kecil yang bertanduk dari ordo

Artiodactyla, sub-ordo Ruminantia, family Bovidae, genus capra dan bangsa Caprini

(Gall, 1981). Tujuan pemeliharaan kambing yang dilakukan di Indonesia adalah 90% untuk menghasilkan daging (Sodiq dan Abidin, 2009). Sebanyak minimal 99% peternakan ruminansia kecil yang ada di Indonesia dipelihara pada peternakan rakyat (Sodiq dan Sumaryadi, 2002), yang umumnya dilakukan oleh petani penggarap

dengan jumlah 2 – 10 ekor (Devendra dan Burns, 1994).

Waluyo (2009) menyatakan, bahwa ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besar bagi rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak. Ditinjau dari aspek pengembangannya ternak kambing sangat potensial bila diusahakan secara komersial, hal ini disebabkan ternak kambing memiliki beberapa kelebihan dan potensi ekonomi antara lain : tubuhnya relatif kecil, cepat mencapai dewasa kelamin, pemeliharaannya relatif mudah, tidak membutuhkan lahan yang luas, investasi modal usaha relatif kecil, mudah dipasarkan sehingga modal usaha cepat berputar. Ternak kambing juga memiliki kelebihan lain yaitu : reproduksinya efisien dan dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun, memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, tahan terhadap panas dan beberapa penyakit serta prospek pemasaran yang baik.

Permasalahan utama dalam pengembangan ternak ruminansia menurut Sehabudin dan Agustian (2001) adalah peningkatan produksi dan produktivitas, serta tingkat pemotongan yang tinggi (Setiadi, 1996). Populasi kambing di Indonesia pada tahun 2004 sebesar 12.780.961 ekor dan pada tahun 2008 sebesar 15.147.432 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008), hal ini menunjukkan adanya peningkatan populasi sebesar 18,52% selama empat tahun atau 4,63% per tahun. Peningkatan populasi ini memberi sumbangan yang berarti dalam memenuhi permintaan pasar terhadap produk hasil ternak kambing saperti daging dan susu.

Pemeliharaan kambing oleh peternak di pedesaan berfungsi sebagai tabungan, tambahan penghasilan, pengisi waktu luang, merangsang pemanfaatan pekarangan dan penggunaan kotoran sebagai pupuk kandang (Devendra, 1993), selain juga untuk menanggulangi kebutuhan akan protein hewani dan mengurangi langkah

4 pengimporan susu (Ayuningsih, 1994). Apabila ternak ini dikembangkan secara luas akan dapat meningkatkan gizi masyarakat di pedesaan melalui konsumsi susu kambing (Chaniago dan Hastono, 2001).

Djajanegara et al. (1993) menyebutkan, karena tingginya kegiatan

pengimporan susu dan masih rendahnya produksi susu sapi di dalam negeri, serta kurangnya toleransi saluran pencernaan sebagian masyarakat terhadap susu sapi, maka peningkatan produksi susu kambing menjadi penting dilakukan. Perwujudan itu semua tidak terlepas dari halangan yang ada, seperti belum populernya kambing perah, ketidaksukaan akan bau dan rasa susu, kurangnya pengetahuan teknis pemeliharaan kambing perah dan bila ternak ini dikomersilkan menjadi kurang efisien dibandingkan dengan ternak sapi perah, karena dengan ukuran tubuhnya yang kecil akan menyerap biaya untuk tenaga kerja yang lebih besar dan kebutuhan hidup

pokok yang harus dipenuhi pun menjadi lebih banyak (Stemmer et al., 1998).

Kambing Etawah

Kambing Etawah berasal dari India yaitu di wilayah Jamnapari. Kambing Etawah masuk ke Indonesia sejak tahun 1908 dibawa oleh Pemerintah Hindia

Belanda dengan tujuan grading-up terhadap kambing lokal Indonesia. Kambing ini

termasuk kambing jenis besar, tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Kambing Etawah memiliki postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung serta bulu yang panjang di bagian paha belakang (Sodiq dan Abidin, 2009). Rata-rata produksi susu yang dihasilkan kambing Etawah 3,8 kg/ekor/hari atau 235 kg/masa laktasi selama 261 hari dengan kandungan lemak susu 4,2 % (Diem dan Lentner, 1994).

(a) Jantan (b) Betina

5 Performa kambing Etawah memiliki panjang telinga 25-41 cm (Widagdo, 2010). Tinggi kambing jantan 90-127 cm, sedangkan betina 70-92 cm. Berat badan pejantan dapat mencapai 68-120 kg, sedangkan betina 60-80 kg. Lingkar testis kambing jantan dapat mencapai 23 cm (Widagdo, 2010). Kambing jantan berjenggot dengan rahang bawah menonjol. Pola warna bulu dominan putih bervariasi dengan

hitam, merah, coklat kekuningan atau kombinasi keduanya (Subandriyo et al., 1995).

Kambing Kacang

Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dan Malaysia (Davendra dan Burns, 1994). Performa kambing Kacang menurut Widagdo (2010) adalah badan kecil dengan tinggi gumba pada jantan 60-65 cm dan betina 50-56 cm, bobot badan dapat mencapai 25 kg untuk jantan dan 20 kg untuk betina, telinga tegak, berbulu lurus dan pendek, baik betina maupun jantan memiliki tanduk yang pendek.

Kambing Kacang merupakan bangsa kambing yang tahan derita, lincah, mampu beradaptasi dengan baik, serta tersebar luas di wilayah kambing itu berada (Devendra dan Burns, 1994). Di Indonesia, kambing Kacang merupakan bangsa kambing yang tersebar di seluruh pelosok pedesaan dan merupakan kambing yang pertama kali dipelihara oleh orang pribumi (Sudono dan Abdulgani, 2002).

(a) Jantan (b) Betina

Gambar 2. Kambing Kacang

Kegunaan utama kambing Kacang adalah sebagai penghasil daging (Devendra dan Burns, 1994) dan kulit (Gall, 1981). Meskipun ambingnya berkembang dengan baik akan tetapi produksi susunya relatif sedikit, yaitu hanya 0,1 – 0,4 ℓ/ekor/hari (Sodiq dan Abidin, 2009). Kambing Kacang merupakan ternak potong yang bermutu tinggi, subur dan cocok untuk daerah pedesaan yang masih

6 jarang penduduknya dangan pola peternakan ekstensif (Sudono dan Abdulgani, 2002).

Kambing Peranakan Etawah (PE)

Kambing PE merupakan hasil kawin tatar (grading-up) antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, sehingga mempunyai sifat di antara tetuanya (Atabany, 2001). Menurut Devendra dan Burns (1994) persilangan kambing PE telah dilakukan sejak kurang lebih 80 tahun lalu dengan tujuan memperbaiki mutu kambing lokal dan sekarang keturunannya sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Produksi susu yang dihasilkan kambing PE adalah 0,452-2,2 kg/ekor/hari dengan masa laktasi cukup beragam yaitu antara 92-256 hari dengan rataan 156 hari (Sodiq dan Abidin, 2009), peneliti lain Sutama dan Budiarsana (1997) mengatakan, bahwa masa laktasi kambing PE antara 210-300 hari.

(a) Jantan (b) Betina

Gambar 3. Kambing Peranakan Etawah Ukuran-Ukuran Tubuh Kambing PE

Jenis kambing PE bentuk fisiknya lebih mirip dengan kambing Etawah, jika bentuk fisiknya lebih mendekati kambing Kacang dan ukurannya lebih kecil maka disebutkambing Bligon atau lebih dikenal dengan nama Jawarandu. Performa kambing PE diantaranya yaitu bobot badan kambing PE jantan 35-40 kg dan betina 30-35 kg (Ludgate, 1989). Tinggi badan kambing PE jantan adalah antara 65-70 cm sedangkan betina 55-60 cm (Hardjosubroto, 1994). Panjang telinga kambing PE adalah 18-19 cm (Markel dan Subandriyo, 1997). Warna kambing PE mempunyai kombinasi coklat sampai hitam atau abu-abu (Sudono dan Abdulgani, 2002).

7 Produksi susu kambing PE adalah 1,5-3,7 liter/ekor/hari dengan masa laktasi selama 7-10 bulan (Blakely dan Bade, 1998).

Lembah Gogoniti Farm (2008), performa kambing PE yaitu badan besar, tinggi gumba pada jantan 90-110 cm, sedangkan betina 70-90 cm. Bobot badan hidup jantan adalah antara 65-90 kg, untuk betina 45-70 kg. Panjang badan pada ternak jantan yaitu antara 85-105 cm, sedangkan untuk betina 65-85 cm. mempunyai kepala yang tegak dengan garis profil tubuh melengkung, dengan tanduk mengarah ke belakang dan ujung sedikit melingkar serta telinga lebar menggantung panjang terkulai, lembek serta melipat ke dalam pada ujungnya. Panjang telinga pada jantan adalah antara 25-41 cm, sedangkan untuk betina 8-14 cm. Bentuk muka adalah cembung dan dagu berjanggut serta terdapat gelambir di bawah leher. Warna bulu pada umumnya dominan putih dengan belang hitam, coklat, coklat totol putih atau hitam totol putih. Produksi susu induk adalah antara 0,5-3 liter/ekor/hari.

Produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak (perkandangan, pakan, kesehatan), iklim setempat, daya adaptasi, aktivitas pemerahan, ukuran besar ambing nyata meningkatkan produksi susu (Phalepi, 2004). Parameter mutu genetik meliputi reproduksi ternak dan produksi ternak serta karakteristik fisik ternak meliputi bobot badan, panjang badan, lingkar dada, tinggi badan (Departemen Pertanian, 2004).

Kelenjar Ambing

Sekresi susu merupakan fungsi faali kelenjar ambing (mammary gland) dan yang dimaksud dengan susu adalah cairan fisiologis yang mengandung zat-zat makanan yang berkualitas tinggi dan dikeluarkan oleh ternak betina (Frandson, 1993). Kelenjar ambing ternak betina mulai berkembang pada waktu kehidupan feotal. Puting-puting susunya terlihat pada waktu dilahirkan. Bila hewan betina tumbuh, ambingnya membesar sebanding dengan besarnya tubuh (Padmadewi, 1993).

Di dalam tubuh sapi, air susu dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing. Ambing sapi terbagi dua yaitu ambing kiri dan ambing kanan, selanjutnya masing-masing ambing terbagi dua yaitu kuartir depan dan kuartir belakang (Widyastuti,2000). Tiap-tiap kuartir mempunyai satu puting susu. Kelenjar susu

8 tersusun dari gelembung-gelembung susu sehingga berbentuk seperti setandan buah anggur. Dinding gelembung merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu. Bahan pembentuk air susu berasal dari darah (Frandson, 1993). Air susu mengalir melalui

saluran – saluran halus dari gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang puting susu.

Dalam keadaan normal, lubang puting susu akan tertutup. Lubang puting menjadi terbuka akibat rangsangan syaraf atau tekanan sehingga air susu dari ruang kisterna dapat mengalir keluar (Hensel, 1981).

Sudono (2002) mengatakan, bahwa gerakan menyusui dari pedet, usapan atau basuhan air hangat pada ambing merupakan rangsangan pada otak melalui jaringan syaraf. Selanjutnya otak akan mengeluarkan hormon oksitosin ke dalam darah. Hormon oksitosin menyebabkan otot-otot pada kelenjar susu bergerak dan lubang puting membuka sehingga susu mengalir keluar. Hormon oksitosin hanya bekerja selama 6-8 menit, oleh karena itu pemerahan pada seekor sapi harus dilakukan

dengan cepat dan selesai dalam waktu 7 menit (Sagi et al, 1980).

Bentuk dan ukuran ambing kambing seperti bentuk telur, dengan puting susu berbentuk silinder atau corong. Kambing dengan ambing yang terjumbai memiliki kecenderungan untuk menghasilkan susu yang tinggi (Sudono, 2002). Volume ambing memiliki hubungan yang erat dengan jumlah susu yang dihasilkan Maylinda

dan Basori (2004).

Produksi Susu

Beberapa hewan yang menunjukkan kemampuan memproduksi susu digolongkan sebagai ternak perah. Atabany (2002) mendefinisikan ternak perah sebagai ternak yang mampu memproduksi susu melebihi kebutuhan anaknya dan dapat mempertahankan produksi susu sampai jangka waktu tertentu, meskipun anaknya sudah disapih atau lepas susu. Jenis ternak perah yang ada, antara lain sapi perah, kambing perah dan kerbau perah.

Pembentukan susu disebutkan oleh Toelihere (1985) berasal dari konstituen-konstituen darah dan beberapa diantaranya yang terdapat di dalam susu memiliki bentuk yang serupa dengan yang terdapat di dalam darah. Pengaliran susu dapt terjadi secara tiba-tiba sekitar 1-2 menit sesudah permulaan penyusunan. Penampilan produksi susu kambing dari beberapa pengamatan, tertera pada Tabel 1.

9 Menurut Sudono (1999), produksi susu induk, selain dipengaruhi oleh fektor genetik, kemungkinan juga oleh pengaruh tatalaksana, makanan dan iklim. Devendra dan Burns (1994) menyatakan, tahun musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak secara nyata mempengaruhi produksi susu.

Tabel 1. Penampilan Produksi Susu Kambing pada Beberapa Pengamatan

Bangsa Produksi Susu Harian Produksi Susu Total Lama Laktasi Lama Kering Kandang Sumber

(kg/ekor/hari) (kg/laktasi) ---(hari)---

PE - - 162.30 40,00-60,00 Widyandari (2002) PE 0,99 166,53 170,07 104,61 Saanen 1,29 355,99 267,42 63,18 Atabany (2001) PE 0,90-1,50 - 188,00 45,00-60,00 Ardia (2000) PE - - 192,00 - Diwyanto dan Inounu (2001) - - - 210-300 60,00 Blakely dan Bade (1998) PE 0,76-1,026 257,49 251,8 - Subhagiana (1998)

Subhagiana (1998) menyebutkan produksi susu total kambing PE selama laktasi dari penelitiannya terjadi pada tingkat produksi rendah 136,05 kg, sedang 198,07 kg, dan tinggi 253,37 kg. Tingkat produksi susu tinggi yang terjadi, kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan ambing yang lebih besar selama kebuntingan dan kelebihannya dalam mengorbankan bobot tubuh selama laktasi untuk menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi.

Produksi susu kambing PE mencapai puncaknya hari ke-11 setelah beranak, sedangkan pada Saanen dicapai hari ke-35 setelah beranak (Atabany et al., 2001). Sementara itu, pada kambing Kacang dari pengamatan Silitonga dan Kuswandi (1994) di kandang penelitian Cilebut, melaporkan bahwa produksi susu maksimumnya dicapai pada minggu ke-3-4 setelah beranak dan minggu berikutnya akan menurun kembali. Widyandari (2002) melaporkan, puncak produksi susu kambing PE dari pengamatannya terjadi antara minggu ke- 2-5 masa laktasi dan akan menurun sampai laktasi berakhir.

10 Pakan

Kambing merupakan hewan ruminansia dengan saluran pencernaan yang sama dengan domba dalam hal ukuran, anatomi dan fungsinya. Kambing merupakan jenis ruminansia yang lebih efisien daripada domba atau sapi. Kambing dapat mengkonsumsi bahan kering yang relatif lebih banyak untuk ukuran tubuhnya (5-7% dari berat badan), bila dibandingkan dengan konsumsi bahan kering sapi yang hanya sebesar 2-3% dari berat badannya. Kambing juga lebih efisien dalam mencerna pakan yang mengandung serat kasar dibandingkan dengan domba atau sapi. Seekor kambing memerlukan 1-1,5 kg daun-daunan atau jerami setiap hari yang berkualitas baik, ditambah 0,25 kg ransum konsentrat berkadar protein 16% untuk setiap liter susu yang dihasilkan (Blakely dan Bade, 1998).

Sudono dan Abdulgani (2002), menyatakan bahwa ransum yang dimakan oleh kambing tergantung dari ukuran tubuh, bangsa kambing, umur, serta jenis kelaminnya. Campuran hijauan makanan yang terdiri atas berbagai macam dedaunan dan rerumputan, lebih baik daripada hijauan pakan ternak yang hanya terdiri atas satu jenis hijauan saja. Hal ini bertujuan agar kekurangan zat makanan dari bahan pakan ternak yang satu dapat dipenuhi oleh bahan pakan yang lainnya. Hijauan pakan ternak untuk kambing dewasa tanpa diberi konsentrat berkisar antara 5-8 kg per ekor per hari.

Korelasi dan Regresi

Menurut Sudjana (1996), analisis korelasi adalah studi yang membahas tentang derajat hubungan antara peubah-peubah, sedangkan ukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat hubungan tersebut, disebut koefisien korelasi. Steel dan Torrie (1995) menyebutkan korelasi sebagai suatu ukuran derajat bervariasinya dua peubah secara bersama-sama atau ukuran keeratan hubungan antara kedua peubah tersebut yang penggunaannya (X dan Y) tidak lagi dimaksudkan berimplikasi adanya peubah bebas dan tidak bebas.

Menurut Steel dan Torrie (1995), korelasi yang ada antara dua ciri (X dan Y) sangat mungkin bukan akibat saling pengaruh-mempengaruhi secara langsung, akan tetapi satu atau lebih faktor lain yang mempengaruhi kedua ciri tersebut. Korelasi linier yang sempurna (bernilai +1 atau -1) dari hubungan fungsional antara kedua

11 peubah kemungkinan terjadi karena kekurang hati-hatian dalam melakukan analisis dan kesalahan pembulatan (Steel dan Torrie, 1995).

Cara lain untuk melihat hubungan X dan Y, dijelaskan oleh Steel dan Torrie (1995) adalah melalui sebuah garis lurus yang disebut garis regresi. Garis lurus ini berhubungan dalam titik-titik dalam diagram korelasi, sehingga pendugaan Y dari X ditentukan dengan menggunakan garis regresi ini. Sudjana (1996) menjelaskan tentang analisis regresi sebagai studi yang menyangkut hubungan fungsional antara peubah-peubah yang dinyatakan dalam bentuk persamaan matematika.

Dokumen terkait