• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Institutional Wheels

Institutional Wheels menggambarkan hubungan antar kelompok masyarakat serta lembaga atau organisasi dalam komunitas perikanan tangkap. Khususnya berguna dalam mengidentifikasi potensi konflik antar grup yang berkepentingan. Institutional Wheels juga dapat menjelaskan peran individu dan kelompok. Berikut ini merupakan hubungan interaksi antar komunitas perikanan tangkap di Teluk Banten.

(Sumber: hasil wawancara, dimodifikasi dari Bannet dan Jolley 2002)

Gambar 4 Hubungan interaksi antar lembaga dan kelompok di Teluk Banten Berdasarkan diagram Hubungan interaksi antar lembaga dan kelompok di Teluk Banten (Gambar 4), terlihat bahwa terjadi interaksi antara nelayan dengan lembaga serta kelompok yang terdapat di Teluk Banten. Terdapat tiga sifat

13 hubungan yang terdapat diantara lembaga dan kelompok, yaitu positif, negatif dan netral. Interaksi yang bersifat positif menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi saling menguntungkan berbagai pihak yang berkaitan. Interaksi yang bersifat negatif menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi hanya menguntungkan salah satu pihak, sementara pihak yang lain dirugikan.

Interaksi positif terjadi pada nelayan dan lembaga-lembaga yang berada di Teluk Banten. Nelayan dengan bantuan Forum Kebangkitan Petani dan Nelayan (FKPN), Kelompok Pengawal Masyarakat (POKMASWAS) dan Himpunan Nelayan Selruh Indonesia (HNSI) menyampaikan pendapatnya kepada Pemerintah Kabupaten Serang mengenai aktivitas penambangan pasir yang terjadi di Teluk Banten. Keberadaan koperasi dan BANK bermanfaat untuk peminjaman modal melaut.

Interaksi negatif yang terjadi yaitu nelayan dirugikan dengan adanya penambangan pasir karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap daerah penangkapan ikan, sehingga akan terjadi penurunan hasil tangkapan bila kegiatan tersebut dilakukan pada daerah penangkapan ikan. Terdapatnya industri akan meningkatkan resiko terjadinya pencemaran yang akan berdampak pada aktivitas perikanan yang berada di pesisir Teluk Banten. Keberadaan tengkulak dapat membantu nelayan dalam hal peminjaman modal untuk melaut, namun kerugian yang dirasakan oleh nelayan lebih besar dibandingkan keuntungannya. Besarnya bunga yang harus ditanggung dalam setiap peminjaman uang serta hasil tangkapan yang harus dijual kepada tengkulak dengan harga dibawah harga pasar membuat keuntungan yang didapatkan oleh nelayan sangat kecil sehingga ketergantungan nelayan akan tengkulak akan terus berlanjut.

Persepsi Nelayan terhadap Daerah Penangkapan Ikan

Persepsi merupakan suatu proses seseorang menyeleksi dan menginterpretasi stimulus untuk membentuk deskripsi menyeluruh. Sifat abstrak dari persepsi menyebabkan deskripsi yang digambarkan oleh seorang pemersepsi tidak objektif tetapi subjektif (Simamora 2005). Persepsi nelayan terhadap sumberdaya perikanan merupakan proses pengorganisasian potensi daya yang dimiliki nelayan dalam menafsirkan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan. Mulyadi (2007) mengemukakan bahwa wilayah perairan yang ditafsirkan atau dianggap bebas untuk dieksploitasi oleh nelayan menimbulkan kecenderungan terjadinya eksploitasi berlebih. Individu yang memiliki akses terbaik pada modal dan teknologi, cenderung memperoleh manfaat terbanyak.

Robbins (2002) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut:

1. Orang yang mempersepsikan, yaitu nelayan tradisional yang terdapat di PPN Karangantu dan TPI Wadas.

2. Objek atau sasaran yang dipersepsikan, yaitu daerah penangkapan ikan di Teluk Banten.

3. Konteks dimana persepsi dibuat, yaitu waktu dimana keberadaan industri dan penambangan pasir dapat mempengaruhi kegiatan perikanan tangkap yang terjadi di Teluk Banten.

14

Perikanan tangkap di Teluk Banten merupakan kegiatan yang diusahakan oleh masyarakat (artisanal fisheries) dengan beragam alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan yang multi spesies (Resmiati et al 2002). Armada penangkapan didominasi oleh perahu dengan motor tempel, perahu papan kecil dan kapal motor < 5 GT (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan PT. Plarenco 2007).

Hasil wawancara nelayan Teluk Banten menunjukkan bahwa penurunan hasil tangkapan memberikan pengaruh besar terhadap persepsi mereka dalam menilai daerah penangkapan ikan (60%). Penurunan hasil tangkapan dengan berbagai sebab akan mendorong nelayan bergerak meluaskan kegiatannya ke luar daerah kabupaten atau bahkan ke wilayah pengelolaan provinsi lainnya menjadi nelayan andon.

Gambar 5 Persentase penilaian nelayan terhadap daerah penangkapan ikan Pada Gambar 5 terlihat bahwa selain penurunan hasil tangkapan, keadaan perairan yang keruh berdampak pada kegiatan penangkapan ikan. Kekeruhan perairan yang terjadi diakibatkan karena adanya kegiatan penambangan pasir. Proses penambangan pasir laut menyebabkan endapan lumpur yang bercampur dengan pasir laut ikut tersedot dan dikembalikan ke laut. Material lumpur yang bercampur dengan air laut akan menimbulkan padatan terlarut. Lamanya padatan ini menyebar menyebabkan kekeruhan (Parluhutan 2007). Kondisi perairan dengan kadar kekeruhan yang tinggi akan mengganggu biota perairan. Meningkatnya kekeruhan perairan akan menyebabkan bermigrasinya populasi ikan dan rusaknya ekosistem terumbu karang.

Berdasarkan data yang didapatkan dari nelayan yang berada di Karangantu dan Wadas, sebagian besar responden mengatakan bahwa terjadinya penambangan pasir diperairan Teluk Banten merupakan faktor utama yang mengganggu keberlangsungan kegiatan penangkapan ikan di Teluk Banten (47%). Dampak dari penambangan pasir ini mengakibatkan perairan laut menjadi keruh sehingga ikan-ikan bermigrasi dan akhirnya nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan. Selain itu terjadi kerusakan sarana produksi nelayan, yaitu alat tangkap yang akan menyebabkan menurunnya kesejahteraan nelayan.

60%

40% Penurunan hasil

tangkapan

15 Penambangan pasir laut juga telah memunculkan dampak sosial berupa terjadinya konflik baik antara masyarakat dengan pemda, masyarakat dengan pengusaha penambangan pasir laut serta konflik internal dalam masyarakat. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah berujung pada demonstrasi yang menuntut dihentikannya penambangan pasir laut. Konflik internal yang terjadi di masyarakat ditandai dengan adanya ketidakpercayaan antar anggota masyarakat. Masyarakat terbagi menjadi kelompok yang pro dan kelompok yang kontra terhadap penambangan pasir laut.

Pada Gambar 6 terlihat bahwa selain penambangan pasir, keberadaan industri yang berada di pesisir Bojonegara berdampak pada kegiatan penangkapan ikan yang terjadi di pesisir Teluk Banten. Pabrik-pabrik atau industri membuang limbah ke laut melalui sungai-sungai terdekat, mengakibatkan sumberdaya hayati yang ada rusak dan punah, sehingga meningkatkan biaya operasi karena terjadi pergeseran daerah penangkapan ikan yang semula di pesisir Teluk Banten menjadi pesisir Pulau Panjang dan Pulau Tunda (Gambar 2).

Gambar 6 Persentase penilaian nelayan terhadap faktor yang mempengaruhi daerah penangkapan ikan

Keruangan

Wilayah pada prinsipnya merupakan suatu sistem, yaitu meliputi keseluruhan sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia beserta kegiatannya dalam wilayah tersebut atau suatu tata ruang wilayah. Kawasan pesisir merupakan ruang daratan yang terikat erat dengan ruang lautan.

Pemerintah Provinsi Banten berencana menetapkan kawasan industri yang meliputi 3% dari wilayah provinsi. Sekitar 152 651 ha area akan dikembangkan menjadi daerah industri serta pemukiman dan pariwisata yaitu sekitar 17.65% dari wilyah Provinsi Banten. Diharapkan daerah perkotaan akan meningkat sebanyak 52% sampai tahun 2030 bila dibandingkan dengan kondisi saat ini. Salah satu wilayah yang direncanakan akan dijadikan zona industri besar yaitu Bojonegara dan Kabupaten Serang (Nicholson et al 2012).

47% 43% 7% 3% Penambangan Pasir Industri

Abrasi dan Sedimentasi

16

Ernaningsih (2012) menyatakan bahwa dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional yang bersifat kewilayahan maka upaya pengembangan wilayah ditempuh melalui proses penataan ruang (spatial planning process), yang terdiri atas 3 hal, yaitu :

1. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai guidance of future actions RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).

2. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

Berdasarkan Perda Provinsi Banten No. 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten 2010-2030, Kabupaten dan Kota Serang masuk ke dalam wilayah kerja pembangunan (WKP II) bersama dengan Kota Cilegon yang diarahkan untuk pengembangan kegiatan pemerintahan, pendidikan, kehutanan, pertanian, industri, pelabuhan, pergudangan, pariwisata, jasa, perdagangan, dan pertambangan.

Kebijakan dan strategi penataan ruang daerah meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang; pola ruang kawasan lindung; pola ruang kawasan budi daya; kawasan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil; serta kawasan strategis. Struktur ruang Provinsi Banten direncanakan sebagai (1) penghubung antara Pulau Jawa bagian barat dengan Pulau Sumatera; (2) menetapkan Banten sebagai simpul transportasi nasional (pusat penyebaran primer) Bandara Soekarno-Hatta dan pelabuhan internasional Bojonegara sebagai kesatuan sistem dengan Tanjung Priok (DKI Jakarta); dan (3) menetapkan pusat kegiatan nasional (PKN): Tangerang, Tangerang Selatan, Serang dan Cilegon, dan pusat kegiatan wilayah (PKW): Rangkasbitung dan Pandeglang.

Bersarkan pola ruang yang telah ditetapkan, zona industri direncanakan berada disepanjang pesisir Teluk Banten (Gambar 7). Keadaan ini akan berdampak pada aktivitas perikanan yang berada di pesisir Teluk Banten. Resiko terjadinya pencemaran semakin besar, mengingat limbah industri semuanya dibuang ke perairan Teluk Banten. Hal ini akan mengakibatkan rusaknya kelangsungan hidup biota yang ada di laut. Reklamasi pantai menyebabkan hilangnya hutan bakau dan padang lamun sebagai habitat berbagai jenis ikan, termasuk udang.

Selain itu, dampak rusaknya perairan akan dirasakan oleh nelayan tradisional yang umumnya melakukan kegiatan penangkapan ikan di pesisir Teluk Banten yaitu terjadinya penurunan hasil tangkapan nelayan dan lokasi daerah penangkapan ikan yang semakin jauh. Terjadi penurunan hasil tangkapan di PPN Karangantu dan TPI Wadas yang dibuktikan dari data poduksi hasil tangkapan tahun 2009 dan 2011 (Tabel 4). Penurunan hasil tangkapan tersebut akan menyebabkan nelayan meluaskan kegiatan penangkapan ikan ke wilayah

17 pengelolaan perikanan lainnya, seperti daerah Kepulauan Seribu dan perairan Lampung.

(Sumber: Ernaningsih 2012)

Gambar 7 Peta pola ruang kawasan pesisir Teluk Banten Lingkungan dan Ancaman terhadap Keberlanjutan Perikanan

Rencana Tata Ruang menunjukkan sejumlah perkembangan penggunaan lahan yang direncanakan berada di dekat kawasan konservasi laut, terutama di Teluk Banten dimana zona industri ini direncanakan. Zona industri ini akan berada dalam konflik langsung dengan kawasan konservasi laut Teluk Banten. Sehubungan dengan adanya industri dan perencanaan kota, konflik lingkungan yang signifikan telah dievaluasi sebagai isu utama. Gabungan pembuangan air limbah tidak hanya akan mempengaruhi perikanan di daerah, juga akan berdampak kesehatan manusia karena pencemaran air dan dampak terkait.

18

Kondisi kualitas lingkungan terkadang ditutupi untuk kepentingan industri. Berdasarkan hasil uji sampel air laut di Teluk Banten pada bulan Desember 2009 yang dilakukan oleh BPLH Kabupaten Serang, menunjukkan tidak mengalami pencemaran. Terdapat kejanggalan dalam Parameter yang diuji meliputi parameter fisika (bau, zat padat tersuspensi, suhu) dan parameter kimia (pH, NH3N, H2S, dan Cu) semuanya menunjukkan di bawah batas ambang baku mutu (Kepmen LH no. 51 tahun 2004).

Keadaan ini bertolak belakang dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan, diantaranya adalah Simanjuntak (2007) yang mengatakan kondisi perairan Teluk Banten tercemar ringan, kadar oksigen terlarut yang tertinggi ditemukan di lapisan permukaan (0 m), kadar oksigen terlarut menurun dengan bertambahnya kedalaman dan perbedaan antar penurunan oksigen terlarut antar kedalaman sebesar 0,07 mg/l. Muchtar (2002), mengatakan bahwa kandungan fosfat dan nitrat di dekat pantai Bojonegara lebih tinggi pada bulan April dan Oktober tahun 2001.

Wijaya dan Ismail (2007) menyatakan bahwa produktivitas primer perairan teluk yang terdapat di Kecamatan Bojonegara, Cilegon, dan Serang relatif lebih rendah daripada kawasan-kawasan lainnya, hal ini dikarenakan di kecamatan-kecamatan tersebut mempunyai limbah yang diakibatkan baik industri dan domestik yang hampir 100% mengalir ke dalam Teluk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Van Den Bergh et al, (2003) diacu dalam

Ernaningsih (2012), kecamatan Bojonegara mempunyai limbah domestik 1 049 996 m3/tahun dan limbah industri 1 759 700 m3/tahun; Kecamatan Cilegon

masing-masing mempunyai limbah domestik sebesar 1 156 886 m3/tahun dan limbah industry 4 354 849 m3/tahun, sedangkan kecamatan Serang mempunyai limbah domestik 752 922 m3/tahun dan limbah industri 352 095 m3/tahun yang seluruhnya masuk ke dalam Teluk Banten.

Tabel 6 Kualitas perairan Teluk Banten

No Lokasi DO BOD COD Fenol Zinc Amonia Merkuri 1 Bojonegara 9.3 5.1 48.90 0.080 NA Tidak sesuai NA 2 Pulau Panjang 1.5 6.7 44.83 0.009 NA Tidak sesuai NA (Sumber : Nicholson et. al 2012)

Simanjuntak (2007) menyatakan bahwa hasil penelitian kadar fosfat, silikat dan nitrat sebelum adanya penambangan pasir laut di menunjukkan bahwa Teluk Banten perairan sekitarnya dikategorikan sebagai perairan yang subur dan kualitas air laut masih baik sehingga layak digunakan untuk usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Berdasarkan peta pola ruang kawasan pesisir Teluk Banten (Gambar 7), terlihat bahwa terdapat dua wilayah yang akan dikembangkan menjadi daerah industri, yaitu sebelah timur oleh Pemerintah Kabupaten Serang dan sebelah barat oleh Pemerintah Provinsi. Dengan dikembangkannya wilayah tersebut untuk industri, terdapat ancaman yang muncul di wilayah Teluk Banten, yaitu rusaknya terumbu karang, penurunan kualitas air, serta degradasi mangrove. Perencanaan tata ruang zona-zona industri dan ekonomi belum mempertimbangkan dengan

19 baik konflik spasial lingkungan hidup yang terkait dengan akumulasi pencemaran udara dan air. Perencanaan pemanfaatan lahan industri gabungan dan pemekaran perkotaan akan menghasilkan pencemaran udara dan air yang tertimbun.

(Sumber : Wiryawan et. al 2012)

Gambar 8 Distribusi spasial permasalahan lingkungan hidup strategis utama Distribusi spasial umum permasalahan lingkungan hidup strategis yang teridentifikasi diilustrasikan dalam Gambar 8, dengan adanya rencana-rencana tata ruang yang akan diterapkan di Teluk Banten, terdapat beberapa kawasan tertentu dimana dampak-dampak yang ditimbulkan oleh rencana-rencana tata ruang terhadap kondisi-kondisi Fisika-Kimia teridentifikasi. Dalam hal sumber daya ekologi, tekanan pembangunan yang terkait dengan Kawasan Strategis Nasional terhadap habitat dan keanekaragaman hayati yang terdapat di perairan Teluk Banten diidentifikasi berdampak terhadapi kualitas lingkungan di perairan tersebut.

Selain pencemaran air dan udara, dampak lain dari rencana tata ruang ini adalah rusaknya terumbu karang yang terdapat di wilayah perairan Teluk Banten (Gambar 9). Terumbu karang yang berada di wilayah Teluk Banten sebagian besar dalam kondisi yang buruk. Degradasi mangrove di Teluk Banten disebabkan oleh konversi lahan mangrove menjadi tambak dan industri, serta pelabuhan. Keterbatasan lahan untuk kepentingan industri memicu kegiatan reklamasi, khususnya di Kecamatan Puloampel dan Kecamatan Bojonegara yang mengakibatkan hilangnya mangrove pada kawasan tersebut. Laporan terakhir menunjukkan bahwa sekitar tiga puluh ribu tanaman bakau mati di Kecamatan Kasemen (Kota Serang), yang diduga sebagai akibat adanya aktivitas penambangan pasir di Teluk Banten (Nicholson et al 2012). Selain itu, dengan adanya kegiatan industri berupa industri baja, konstruksi baja, industri kimia,

20

pertambangan, perminyakan dan docking kapal akan mengalirkan limbahnya ke perairan Teluk Banten.

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten yang diacu dalam

Nicholson et al 2012, kawasan mangrove secara umum mengalami penurunan dari sekitar 180 ha menjadi di bawah 170 ha antara tahun 2000 dan 2009. Kawasan mangrove di Bojonegara turun dari 224 ha menjadi 16 ha pada periode yang sama. Peningkatan kawasan mangrove hanya terjadi di Kasemen dari 31 ha menjadi 137 ha.

(Sumber: Nicholson et al 2012 dengan modifikasi)

Gambar 9 Kawasan ekologi kritis Teluk Banten

Dengan adanya permasalahan diatas, terdapat beberapa rekomendasi terkait permasalahan yang terjadi, yaitu perlu ditinjau ulang peta pola ruang kawasan pesisir Teluk Banten yang ditetapkan Provinsi Banten, dengan merubah lahan pesisir sebagai lahan industri (Gambar 10). Tekanan bertambah besar di daerah pesisir akan berdampak pada kondisi perikanan Teluk Banten. Model pengelolaan perikanan tangkap yang memperhatikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, jenis teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, zonasi pemanfaatan kawasan, serta pengembangan kawasan berdasarkan komoditas unggulan diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada kawasan Teluk Banten.

21 Tingginya pencemaran Teluk Banten dapat dikendalikan dengan peran Pemda setempat dalam membuat regulasi terkait dengan pendirian industri di sepanjang pesisir pantai Bojonegara, dan regulasi pengolahan limbah sebelum dibuang ke laut. Dengan demikian kerusakan lingkungan di daerah pesisir dapat ditekan, yang pada akhirnya biota-biota di pesisir pantai dapat membentuk ekosistem alami kembali sehingga kelestarian sumber daya perikanan dapat terjaga.

(Sumber: Nicholson et al 2012)

Gambar 10 Kawasan Teluk Banten Timur yang diusulkan untuk peninjauan kembali

Dokumen terkait