BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.6 Instrumentasi
Katalis yang telah dibuat perlu diuji apakah struktur katalis tersebut sudah sesuai dengan struktur yang diinginkan sewaktu rancangan katalis dibuat atau tidak. Struktur katalis ini secara ilmiah dirancang berdasarkan kinerja yang diharapkan pada saat penggunaan katalis untuk proses reaksi tertentu. Apabila telah sesuai maka proses pembuatan katalis dapat dikatakan berhasil, namun bila sebaliknya yang terjadi maka katalis tersebut perlu penanganan untuk perbaikan lebih lanjut atau mengubah teknik preparasinya (Nasikin dan Susanto, 2014).
16
2.6.1 Thermogravimetric Analysis (TGA)
Analisis termogravimetri (TGA) adalah teknik analisis yang digunakan untuk menentukan stabilitas termal material dan fraksinya dari komponen yang mudah menguap oleh memantau perubahan berat yang terjadi ketika sampel dipanaskan. Pengukuran biasanya dilakukan di udara atau di atmosfer inert seperti helium atau argon, dan berat dicatat sebagai fungsi peningkatan suhu. Metode ini dapat mengarakterisasi suatu bahan atau cuplikan yang dilihat dari kehilangan massa atau terjadinya dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi (Sudrajad, 2015).
Mekanisme perubahan massa pada TGA adalah bahan yang kehilangan massa maupun kenaikan massa. Proses kehilangan massa terjadi karena adanya proses dekomposisi yaitu pemutusan ikatan kimia, evaporasi yaitu kehilangan zat volatil, reduksi yaitu interaksi bahan dengan pereduksi dan desorpsi. Kenaikan massa terjadi karena adanya proses oksidasi yaitu interaksi bahan dengan suasana pengoksidasi dan absorsi (Sudrajad, 2015).
Analisis termogravimetri telah hadir sebagai instrumen analisis yang murah, cepat dan mudah untuk menganalisis komposisi dari suatu material. TGA telah digunakan juga dalam analisis komposisi biokimia dan bermanfaat karena akurasinya yang tinggi, sangat ideal untuk menilai material anorganik, organik maupun polimer (Apuzzo et al., 2018).
2.6.2 Temperature Programmed Desorption (TPD)
Teknik TPD, kemampuan kemisorpsi untuk senyawa-senyawa diuji untuk mendapatkan sifat-sifat katalis tertentu, seperti: kekuatan keasaman dan kebasaan katalis, menentukan jumlah situs asam atau basa di dalam katalis (Istadi, 2011). Dasar dari teknik ini adalah chemisorption (adsorpsi kimia) dan physisorption
17
(adsorpsi fisika). Chemisorption dikarakterisasi dengan ikatan kuat seperti ikatan kovalen ataupun ikatan elektrostatik yang kuat antara gas dan permukaan suatu padatan (katalis) sementara physisorption dikarakterisasi dengan ikatan lemah seperti gaya van der Waals, gaya dipol-dipol, dan ikatan hidrogen antara gas dan permukaan padatan (Verhaverbeke, 2007).
Teknik TPD dapat dilakukan dengan CO2 dan NH3. Untuk katalis yang bersifat basa, dilakukan menggunakan CO2-TPD. Kaitannya dengan CO2-TPD, jika CO2 terdesorpsi pada suhu tinggi maka tingkat kebasaan katalis juga tinggi, karena CO2 sebagai senyawa yang bersifat asam, sebaliknya jika CO2 terdesorpsi pada suhu rendah, maka tingkat kebasaan katalis juga rendah. Pengukuran dalam pengujian CO2-TPD dapat dilakukan di dalam sebuah reaktor kuarsa menggunakan gas helium sebagai gas carrier. Karakterisasi CO2-TPD ini biasanya dilakukan di dalam sebuah unit TPD/TPR yang dilengkapi dengan TCD (Thermal Conductivety Detector) (Istadi, 2011).
NH3-TPD memiliki prinsip yang hampir sama dengan CO2-TPD, maka metode TPD juga dapat digunakan untuk karakterisasi tingkat keasaman dan jumlah situs asam dari katalis dengan perbedaan penggunaan gas yaitu gas NH3 (amonia) sebagai adsorbatnya. Jumlah situs asam dapat ditentukan dari jumlah molekul amonia yang teradsorpsi di situs asam. Distribusi tingkat kekuatan keasaman katalis menggunakan prinsip yang sama dengan CO2-TPD di atas (Istadi, 2011).
2.6.3 X-Ray Diffraction
Karakterisasi katalis dengan X-Ray Diffraction (XRD) dimaksudkan untuk mengidentifikasi fasa bulk suatu katalis dan untuk menentukan sifat kristal atau kristalinitas dari suatu katalis. Kebanyakan dari katalis adalah berbentuk padatan
18
kristal seperti oksida logam, zeolit, dan logam yang berpenyangga. XRD menjadi teknik yang mendasar untuk mengevaluasi sifat-sifat fasa katalis dan ukuran kristal. Metode ini tidak cocok serta tidak mampu menampilkan sifat-sifat pada katalis yang bersifat bukan kristal (Leofanti et al., 1997).
Pada analisis XRD, kristal katalis memantulkan sinar X yang dikirimkan dari sumber dan diterima oleh detektor. Dengan melakukan sudut kedatangan sinar X maka spektrum pantulan adalah spesifik yang berhubungan langsung dengan lattice spacing dari kristal yang dianalisis. Pola difraksi diplotkan berdasarkan intensitas peak yang menyatakan peta parameter kisi kristal atau indeks Miller (hkl) sebagai fungsi 2θ, di mana θ menyatakan sudut difraksi berdasarkan persamaan Bragg. Interpretasi Hukum Bragg dilakukan berdasarkan asumsi bahwa permukaan darimana sinar X dipantulkan adalah datar.
nλ = 2d sin θ …... (1)
dimana d menyatakan jarak antar lapisan atom atau ion yang berdekatan, λ menyatakan panjang gelombang radiasi sinar X, dan n adalah urutan pantulan (Richardson, 1989). Skema uji kristalinitas menggunakan XRD dapat dilihat pada Gambar 4.
19
Kristalinitas juga dapat ditentukan dengan XRD melalui perbandingan intensitas atau luasan peak sampel dengan intensitas atau luasan peak standar, dengan rumus berikut:
Kristalinitas = Intensitas 𝑝𝑒𝑎𝑘 hkl sampel
Intensitas 𝑝𝑒𝑎𝑘 hkl standar𝑥 100% … . . (2)
Lebar peak XRD merupakan fungsi dari ukuran partikel, maka ukuran kristal (crystallite size) dinyatakan dalam persamaan Scherrer berikut (Richardson, 1989):
di mana K = 1.000, B adalah lebar peak untuk jalur difraksi pada sudut 2θ, b adalah instrument peak broadening (0,1o), dan λ adalah panjang gelombang pada 0,154 nm.
2.6.4 X-ray fluoresence (XRF)
X-ray fluoresence (XRF) merupakan salah satu analisa yang didasari dengan perilaku atom yang terkena radiasi sinar. Ketika materi terkena cahaya yang memiliki energi tinggi, elektron akan terpantul ke tingkat energi yang paling rendah mengakibatkan atom menjadi tidak stabil sehingga elektron yang berada di tingkat energi yang tinggi akan berpindah ke tempat elektron yang terpantul tadi. Proses penggantian posisi elektron ini disebut deeksitasi.
Proses deeksitasi disertai dengan pemancaran cahaya dengan energi yang lebih kecil dari energi berpindahnya elektron. Energi ini yang disebut dengan radiasi flouresensi. Radiasi ini memiliki energi yang khas tergantung elektron yang tereksitasi dan terdeteksi pada atom penyusun materi. Kekhasan radiasi flouresensi
20
ini memungkinkan dapat dilakukannya sebuah analisa kualitatif untuk menganalisa suatu unsur. Sedangkan analisa kuantitatif untuk menentukan konsentrasi dari unsur yang dianalisis dilakukan berdasarkan intensitas radiasi flouresensi yang dihasilkan (Setiabudi et al., 2012).
2.6.5 Surface Area Analyzer (SAA)
Surface Area Analyzer (SAA) adalah instrumentasi yang mengarakterisasi material padat yang menentukan total luas permukaan per massa. Metode yang digunakan pada instrumen ini adalah metode Brunauer Emmett Teller (BET) karena telah dipopulerkan oleh tiga ilmuwan yakni Stephen Brunauer, Paul Emmett dan Edward Teller pada tahun 1938 yang kemudian diperluas oleh Langmuir mengenai adsorpsi gas pada sampel (Maria, 2012).
Gambar 5 menjelaskan tentang situs aktif pada sampel memiliki energi yang sama untuk mengadsorpsi gas seperti Ar, Kr atau N2 yang mana adsorpsi terjadi secara independen (tidak terpengaruh oleh situs aktif dan pori dari tetangganya). Aktivitas adsorbat berbanding lurus dengan konsentrasinya. Prinsip kerja instrumen SAA adalah melekatnya atom atau molekul pada permukaan material (tidak terserap ke dalam) yang dipengaruhi oleh pori permukaan atau situs aktif, suhu dan tekanan gas (Hwang dan Baron, 2015).
Gambar 5. Skema adsorpsi molekul gas ke permukaan sampel
(a) model adsorpsi monolayer yang diasumsikan oleh teori Langmuir; dan (b) model adsorpsi multilayer yang diasumsikan oleh teori BET (Hwang dan Barron, 2015)
21
Karakterisasi SAA biasanya gas yang digunakan adalah gas nitrogen karena ikatannya yang kuat terhadap berbagai jenis material sehingga tidak cepat menguap saat dideteksi. Jumlah gas nitrogen yang diketahui kemudian dimasukkan secara bertahap ke dalam sample cell, tekanan diatur kurang dari tekanan atmosfer agar kondisi vakum parsial, setelah tekanan mencapai kesetimbangan tidak lagi terjadi proses adsorpsi pada sampel dari peningkatan tekanan lebih lanjut. Pengubahan tekanan yang tepat dapat memantau proses adsorpsi. Lapisan yang terbentuk pada sampel dikeluarkan dari atmosfer nitrogen dengan memanaskan sampel. Data ditampilkan dalam bentuk isoterm BET yang memplot jumlah gas yang teradsorpsi sebagai fungsi dari tekanan relatif (Maria, 2012).
2.6.6 Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM (Scanning Electron Microscope) termasuk ke dalam salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang sedang dianalisis. Pada instrumen SEM, berkas elektron ditembakkan ke permukaan sampel kemudian akan dipantulkan kembali berkas elektron yang disebut dengan berkas elektron sekunder. Dari beberapa berkas elektron sekunder yang dipantulkan kembali, detektor pada SEM akan mendeteksi berkas elektron yang memiliki intensitas tertinggi.
Elektron sekunder berasal dari permukaan sampel yang memiliki energi rendah sekitar 5-50 eV. Elektron yang dipantulkan kembali berasal dari bagian sampel yang lebih dalam yang akan memberikan informasi tentang komposisi sampel karena elektron yang lebih berat akan memantul balik secara lebih kuat dan tampak lebih terang pada gambar yang dihasilkan. Skema instrumen SEM dapat dilihat pada Gambar 6 (Setiabudi et al., 2012)
22
Gambar 6. Skema alat SEM (Setiabudi et al., 2012)
2.6.7 Gas Chromatography Flame Ionization Detector (GC-FID)
Instrumen ini menggunakan instrumen gas chromatography (GC) dengan alat deteksi/detektor berupa ionisasi nyala atau flame ionization detector (FID). Respon detektor ini hampir mencakup senyawa-senyawa organik (umumnya volatil) dengan rentang respon linear yang luas. Respon FID dihasilkan dari pembakaran senyawa-senyawa organik dalam difusi nyala hidrogen-udara untuk menjadi ion-ion yang pembentukannya setara dengan konsentrasi spesies organik dalam sampel (Ojanperä, 2008). Dalam instrumen GC-FID, tentu saja dibutuhkan gas pembawa yang bebas pengotor agar gas tersebut tidak bereaksi dengan sampel. Instrumen GC-FID mempunyai sensitivitas yang tinggi dan noise yang rendah. Walaupun demikian, teknik ini memerlukan gas yang mudah terbakar dan akan membakar habis sampel.
Pada detektor (FID), konsentrasi ion-ion dalam ruang antara elektroda dan besarnya arus bergantung pada laju dimana molekul-molekul zat terlarut dikirim ke nyala. Berat zat terlarut yang mencapai nyala pada satuan waktu akan menghasilkan respon detektor yang sama berapapun tingkat pengencerannya oleh gas pembawa.
23
Ini adalah dasar untuk menyatakan bahwa detektor memberikan respons bukan pada konsentrasi zat terlarut, tetapi pada laju alir pada gas tersebut. Detektor pengion nyala bersifat menghancurkan komponen-komponen sampel, berlawanan dengan detektor-detektor seperti sel konduktivitas termal yang memberi respons terhadap beberapa sifat fisika gas pembawa yang berhubungan dengan konsentrasi gas terlarut (Day dan Underwood, 1999).
FID merupakan detektor yang paling stabil terutama oleh pengaruh fluktuasi suhu dan aliran gas pembawa. Sensitivitas detektor berkurang jika sampel yang dianalisis mengandung unsur halogen serta terbentuknya deposit atau pengotor pada detektor. FID digunakan untuk analisis senyawa organik (responnya akan meningkat sesuai dengan kenaikan atom karbon), komponen dalam jumlah kecil, senyawa dengan titik didih tinggi yang disuntikkannya dalam konsentrasi rendah (Nastiti, 1999). Pengukuran kuantitatif untuk konversi etanol dan yield n-butanol dalam penelitian ini dilakukan dengan GC-FID melalui pengukuran luas area kedua senyawa tersebut. Pengukuran ini dilakukan karena kedua senyawa bersifat volatil.
24