KONVERSI ETANOL MENJADI n-BUTANOL SEBAGAI ENERGI
ALTERNATIF MENGGUNAKAN KATALIS Ni/MgO
SKRIPSI
INDIRA PUSPADEWANTY
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/ 1442 H
KONVERSI ETANOL MENJADI n-BUTANOL SEBAGAI ENERGI
ALTERNATIF MENGGUNAKAN KATALIS Ni/MgO
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
INDIRA PUSPADEWANTY
NIM: 11140960000065
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KONVERSI ETANOL MENJADI n-BUTANOL SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF MENGGUNAKAN KATALIS Ni/MgO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta
Oleh:
INDIRA PUSPADEWANTY NIM. 11140960000065
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Adid Adep Dwiatmoko, M.Eng, Ph.D Dr. Siti Nurbayti, M.Si NIP. 19840101 200801 1 009 NIP. 19740721 200212 2 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kimia
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 19750918 200801 1 007
Penguji I
Nanda Saridewi, M.Si NIP. 19841021 2009122 004
Penguji II
Ahmad Fathoni, M.Si NIP. 19911113 2018011 002
Ketua Program Studi Kimia
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 19750918 200801 1 007 Pembimbing I
Dr. Siti Nurbayti, M.Si NIP. 19740721 200212 2 002
Pembimbing II
Adid Adep Dwiatmoko, M.Eng, Ph.D NIP. 19840101 200801 1 009
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Konversi Etanol Menjadi n-Butanol Sebagai Energi Alternatif Menggunakan Katalis Ni/MgO” yang ditulis oleh Indira Puspadewanty, NIM 11140960000065 telah dinyatakan LULUS pada Sidang Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, 26 Juli 2021. Skripsi ini teiah diierima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains (SI) Program Studi Kimia.
Menyetujui
Mengetahui
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Ir. Nashrul Hakiem, Ph. D NIP. 19710608 200501 . 005
PERNYATAAN
DENGAN INI SAMENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Jakarta, Agustus 2021
INDIRA PUSPADEWANTY 11140960000065
ABSTRAK
INDIRA PUSPADEWANTY. Konversi Etanol Menjadi n-Butanol Sebagai
Energi Alternatif Menggunakan Katalis Ni/MgO. Dibimbing oleh ADID ADEP
DWIATMOKO dan SITI NURBAYTI.
Biobutanol adalah sumber energi alternatif yang sangat potensial karena tidak menyebabkan korosi, tidak menyerap air, dan mempunyai angka oktan yang hampir sama dengan bensin apabila dibandingkan bioetanol. Penelitian ini dilakukan konversi etanol menjadi n-butanol menggunakan katalis Ni/MgO melalui reaksi Guerbet. Penyangga MgO disintesis menggunakan metode presipitasi. Penelitian dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi Ni (5, 10 dan 20%) yang diimpregnasi dengan MgO, lama reaksi (2, 4 dan 6 jam) dan suhu reaksi (200, 300, 350 dan 375 oC). Hasil TGA menunjukkan katalis Ni/MgO mulai stabil pada suhu kisaran 500 oC dan MgO stabil pada suhu 700 oC sebagai acuan untuk suhu kalsinasi. Karakterisasi sifat basa dan asam katalis diuji menggunakan TPD, kebasaan tertinggi diperoleh katalis dengan variasi Ni 10% dan keasaman tertinggi terdapat pada MgO. Karakterisasi menggunakan XRD menunjukkan terbentuknya puncak-puncak oksida pada 2θ 38,453; 38,366 dan 38,399; Ni diidentifikasi pada 2θ 44,27°, 51,59° dan 75,89°. SAA menunjukkan adanya penurunan luas permukaan katalis, berkisar 36,26-66,97 m2/g bila dibandingkan dengan MgO. Persentase hasil butanol tertinggi sebesar 7,735 % diperoleh dengan katalis Ni 10%, waktu reaksi terbaik 6 jam dan suhu reaksi optimum 375 oC.
ABSTRACT
INDIRA PUSPADEWANTY. Conversion of Ethanol to n-Butanol as Alternative
Energy using Ni/MgO Catalysts. Supervised by ADID ADEP DWIATMOKO and
SITI NURBAYTI.
Biobutanol is an alternative energy source with huge potential because it does not cause corrosion, does not absorb water, and has an octane number that is almost the same with gasoline if compared to bioethanol. This research will be carried out the conversion of ethanol to n-butanol using the catalyst Ni/MgO via the reaction of the Guerbet. MgO was synthesized using precipitation method. Research carried out by varying the concentration of Ni (5, 10 and 20%) impregnated with MgO, reaction (2, 4 and 6 h) and reaction temperature (200, 300, 350 dan 375 oC) the conversion of ethanol to butanol. The results of TGA shows the catalyst Ni/MgO is stabilizing at a temperature range of 500 oC and the catalyst of MgO is stable at a temperature of 700 oCas a reference to the calcination temperature. The characterization of the properties of alkaline and acid catalysts tested using TPD, the highest alkalinity was obtained a catalyst with a variation of 10% Ni and the acidity was highest at the catalyst MgO. Characterization using XRD shows the formation of peaks of the oxide at 2θ 38,453; 38,366 and 38,399, Ni are identified at 2θ 44,27°, 51,59° and 75,89°. The SAA showed a decrease in the surface area of the catalyst, ranging from 36.26 to 66.97 m2/g when compared to MgO. The catalyst has a yield of butanol was highest on the Ni 10% amounting to 7,735%, the best reaction time was 6 hours and the optimum reaction temperature was 350 oC.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Penelitian berjudul “Konversi Etanol Menjadi n-Butanol sebagai Energi
Alternatif Menggunakan Katalis Ni/MgO” dapat diselesaikan dengan bantuan
banyak pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada:
1. Adid Adep Dwiatmoko M.Eng, Ph.D selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, nasihat serta arahan dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Dr. Siti Nurbayti, M.Si selaku pembimbing II dan dosen pembimbing akademik yang telah membimbing, memberikan saran, arahan dan memberi ilmu pengetahuan selama penulisan skripsi dan pengerjaan penelitian.
3. Nanda Saridewi, M.Si selaku penguji I yang telah membantu dan memberikan saran selama pengerjaan skripsi.
4. Ahmad Fathoni, M.Si Si selaku penguji II yang telah memberi masukan, arahan dan membantu mengoreksi pengerjaan skripsi.
5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
7. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa dan selalu mendukung baik moril maupun materil.
8. Seluruh staff laboratorium kimia katalis LIPI PUSPIPTEK Serpong yang telah membantu, memberi pengetahuan dan memberi arahan selama proses pengerjaan skripsi.
9. Teman–teman Program Studi Kimia angkatan 2014 atas dukungan dan kerjasama selama penulis belajar pada Progran Studi Kimia.
10. Keluarga besar Komunitas Muda Nuklir Nasional yang selama ini memberi semangat kepada penulis.
11. Teman-teman di laboratorium kimia LIPI yang telah membantu selama penelitian.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Wassalaamu’alaikum, Wr. Wb.
Serpong, Desember 2020
viii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Hipotesis ... 5 1.4 Tujuan Penelitian ... 5 1.5 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Katalis ... 7
2.2 Nikel ... 8
2.3 Magnesium Oksida ... 9
2.4 Reaksi Guerbet ... 10
2.5 Deposisi Komponen aktif ... 13
2.5.1 Presipitasi ... 13
2.5.2 Impregnasi ... 14
2.6 Instrumentasi ... 15
2.6.1 Thermogravimetric Analysis (TGA) ... 16
2.6.2 Temperature Programmed Desorption (TPD) ... 16
2.6.3 X-Ray Diffraction ... 17
2.6.4 X-ray fluoresence (XRF) ... 19
2.6.5 Surface Area Analyzer (SAA) ... 20
2.6.6 Scanning Electron Microscope (SEM) ... 21
2.6.7 Gas Chromatography Flame Ionization Detector (GC-FID) ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 24
ix
3.2 Alat dan Bahan ... 24
3.3 Diagram Alir Penelitian ... 25
3.4 Cara Kerja ... 26
3.4.1 Preparasi Magnesium Oksida ... 26
3.4.2 Impregnasi Nikel dalam Magnesium Oksida (Ni/MgO) ... 26
3.4.3 Karakterisasi Katalis Hasil Sintesis ... 29
3.4.4 Reaksi Konversi Etanol menjadi Butanol ... Error! Bookmark not defined. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1 Preparasi Katalis... 31
4.2 Karakteristik Katalis... 33
4.2.1 Hasil Analisis dengan TGA ... 33
4.2.2 Hasil Analisis dengan CO2-TPD dan NH3-TPD ... 35
4.2.3 Hasil Analisis dengan SAA ... 41
4.2.4 Hasil Analisis dengan XRD ... 42
4.2.5 Hasil Analisis dengan XRF ... 47
4.2.6 Hasil Analisis dengan SEM-EDX ... 48
4.3 Hasil Uji Aktivitas Katalis Ni/MgO ... 50
4.3.1 Penentuan Persen Konversi Etanol ... 50
4.3.2 Penentuan Persen Yield n-Butanol ... 54
BAB V PENUTUP ... 57
5.1 Simpulan ... 57
5.2 Saran ... 57
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur magnesium oksida ... 9
Gambar 2. Tahapan reaksi sintesis n-butanol dari etanol. ... 11
Gambar 3. Mekanisme reaksi etanol menjadi n-butanol dengan MgO ... 12
Gambar 4. Skema alat XRD ... 18
Gambar 5. Skema adsorpsi molekul gas ke permukaan sampel ... 21
Gambar 6. Skema alat SEM ... 22
Gambar 7. Diagram alir penelitian ... 25
Gambar 8. Katalis Ni/MgO ... 34
Gambar 9. Hasil karakterisasi TGA ... 34
Gambar 10. CO2-TPD berbagai katalis ... Error! Bookmark not defined. Gambar 11. Grafik NH3-TPD ... 39
Gambar 12. Grafik isoterm adsorpsi desorpsi ... 42
Gambar 13. Pola difraksi katalis sebelum dikalsinasi ... 43
Gambar 14. Pola difraksi katalis setelah dikalsinasi ... 44
Gambar 15. Morfologi katalis Ni/MgO ... 49
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Sifat fisik logam nikel ... 8
Tabel 2. Data kuantitatif TPD perbandingan asam dan basa katalis ... 40
Tabel 3. Hasil karakterisasi SAA ... 41
Tabel 4. Ukuran kristalit berbagai katalis sebelum kalsinasi ... 45
Tabel 5. Ukuran kristalit berbagai katalis setelah kalsinasi ... 46
Tabel 6. Hasil karakterisasi XRF ... 47
Tabel 7. Data hasil karakterisasi EDX ... 47
Tabel 8. Variasi larutan standar n-butanol ... 51
Tabel 9. Persen konversi etanol hasil GC-FID ... 52
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan preparasi katalis ... 60
Lampiran 2. Dokumentasi ... 61
Lampiran 3. Hasil analisis TGA ... 63
Lampiran 4. Grafik persen selisih penurunan suhu ... 65
Lampiran 5. Grafik hasil analisis SAA ... 66
Lampiran 6. Grafik CO2-TPD ... 68
Lampiran 7. Grafik NH3-TPD ... 70
Lampiran 8. Hasil analisis morfologi menggunakan SEM-EDX ... 72
Lampiran 9. Hasil analisis GC-FID larutan standar dan hasil reaksi ... 74
Lampiran 10. Hasil analisis GC-FID larutan standar ... 76
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Produksi minyak bumi semakin menurun sehingga menyebabkan harga minyak bumi melambung tinggi, sedangkan jumlah pengguna bahan bakar semakin tahun semakin meningkat. Salah satu cara untuk mengurangi keterbatasan bahan bakar fosil, perlu adanya energi alternatif yang dapat diproduksi secara masal dan kontinyu. Biofuel merupakan salah satu contoh energi terbarukan yang paling mudah untuk diimplementasikan, diantaranya adalah biobutanol dan bioetanol (Fajariah dan Hadi, 2014).
Allah berfirman pada surat Yasin ayat 80 mengenai sumber energi:
Artinya: Tuhan yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan api dari kayu itu. (Q.S. Yasin: 80)
Ayat tersebut menjelaskan mengenai sumber energi yaitu biomassa yang dapat ditemukan di kayu atau zat organik, seperti halnya bioetanol dan biobutanol. Menurut Aiman (2016), bioetanol dan biobutanol menjadi bahan bakar terbarukan yang berasal dari berbagai limbah pertanian, perkebunan, pengolahan hasil hutan, industri, dan sampah kota. Istilah bioetanol dan biobutanol muncul karena bahan dasar yang digunakan berasal dari bahan alam yang mengandung glukosa dan proses fermentasi mengubah bahan yang terbarukan (sustainable) menjadi etanol secara hayati (Gozan, 2014).
2
Biomassa adalah bahan organik yang diproduksi melalui proses fotosintesis dan dapat digunakan sebagai sumber energi. Secara umum, biomassa digunakan sebagai bahan bakar alternatif dianggap karena memiliki nilai ekonomi yang relatif murah karena berasal dari limbah di sekitar. Selain itu, biomassa adalah salah satu cara untuk mengurangi masalah limbah di masyarakat, seperti pertanian, ternak dan tempat pembuangan lainnya dimana limbah tersebut tidak dapat dikelola dengan baik dan dapat memiliki efek merugikan pada lingkungan (Yokotama, 2008).
Konversi energi adalah perubahan energi dari satu jenis energi ke jenis energi lain, jadi konversi energi biomassa ini mengkonversi biomassa energi menjadi energi lain di mana bahan baku digunakan berasal dari limbah. Konversi energi biomass sangat menguntungkan bagi banyak sektor, seperti sabut kelapa yang dapat diubah menjadi energi panas dan menguntungkan; kotoran binatang, terutama ternak yang dapat diubah menjadi energi termal atau biogas dan dapat menguntungkan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, konversi dari energi biomassa ini memberikan dampak positif pada lingkungan untuk saat ini dan tahun yang akan datang (Prasetia, 2018).
Bioetanol telah digunakan menjadi bahan pencampur Bahan Bakar Minyak (BBM), oleh karena itu industri bioetanol terus berkembang. Kelemahan bioetanol yaitu bersifat higroskopis sehingga menyerap air dari udara akan mengakibatkan korosi, serta panas pembakaran yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan BBM. Sifat-sifat tersebut menyebabkan terbatasnya jumlah etanol yang mungkin dicampur dengan BBM, tanpa mengubah mesin kendaraan, hanya sampai 10% (Fajariah dan Hadi, 2014).
3
Pembuatan biobutanol dari biomassa untuk pencampur BBM menjadi perhatian dalam dekade terakhir, karena kandungan energi butanol yang lebih tinggi dari etanol, massa jenis yang hampir mirip dengan bensin, tidak higroskopis serta dapat dicampurkan dengan BBM dalam jumlah yang lebih banyak, sampai dengan 16%, tanpa mengubah mesin kendaraan. Hal ini menyebabkan biobutanol sebagai bahan bakar, jauh lebih prospektif dibandingkan bioetanol. Kelebihan lain dari butanol adalah tekanan uap yang lebih rendah yang menyebabkan volatilitas juga lebih rendah, dan lebih sedikit emisi. Sifat-sifat ini membuat biobutanol lebih mudah dicampurkan dengan BBM (Aiman, 2016).
Beberapa penelitian telah melakukan pembuatan butanol dari biomassa melalui fermentasi dengan bantuan bakteri Clostridium (Apuzzo et al., 2018). Konversi etanol menjadi n-butanol melibatkan reaksi Guerbet melalui konversi alkohol alifatik primer menjadi bentuk alkohol dimer β-teralkilasi-nya dengan kehilangan satu mol air. Reaksi penggabungan alkohol ini adalah reaksi yang penting untuk meningkatkan nilai alkohol rantai pendek karena dapat memberikan selektivitas produk yang tinggi dan proses sintesis yang dapat dikontrol (Pang et al., 2016).
Cimino et al. (2017) mengonversi etanol menjadi butanol dengan penyangga ɣ-Al2O3, hidroksiapatit dan MgO. Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa konversi etanol menggunakan katalis yang di-support oleh alumina dan hidroksiapatit dapat dilakukan pada kisaran temperatur 200-500 oC, namun hasil terbanyak yang diperoleh adalah etilena dan dietieter. MgO adalah satu-satunya bahan yang menghasilkan butanol dengan hasil yang cukup tinggi karena didominasi oleh pusat basa.
4
Penelitian yang dilakukan oleh Apuzzo et al. (2018) melakukan reaksi konversi etanol menjadi butanol menggunakan katalis MgO/ɣ-Al2O3 dengan penambahan Ni dan Ru untuk meningkatkan situs basa untuk memproduksi butanol lebih banyak. Variasi metode pembuatan MgO sebagai penyangga katalis untuk mengonversi etanol menjadi butanol telah dilakukan oleh Susanto (2018). Metode yang dilakukan ialah metode kalsinasi, presipitasi serta membandingkan dengan MgO komersil. Hasil terbaik yang diperoleh ialah dengan MgO metode presipitasi karena faktor-faktor seperti luas permukaan, kebasaan, dan ukuran kristalit molekul MgO pada katalis yang telah dibuat mempengaruhi aktivitas katalitik reaksi.
Sun et al. (2016) melakukan reaksi konversi dari etanol menjadi butanol dengan variasi suhu dan penambahan logam Ni, hasilnya memiliki kenaikan persen yield sebesar 22% apabila dibandingkan dengan yield butanol sebelum penambahan logam Ni. Olmos (2019) dalam penelitiannya menambahkan logam nikel sebagai katalis pada MnO. Logam Ni menunjukkan kinerja katalitik terbaik dalam hal selektivitas 1-butanol (39%), mungkin karena efek sinergis dari situs asam lemah dan situs basa kuat yang terkait dengannya. Logam nikel membantu hidgrogenasi dan dehidrogenasi pada reaksi Guerbert.
Pang et al. (2016) melakukan penelitian dengan memvariasikan loading nikel pada MgAlO dan suhu reaksi konversi etanol menjadi n-butanol. Kadar nikel dalam penelitian tersebut sebesar 4,2; 6,5; 11,6; 19,5; dan 45,2%, sedangkan suhu reaksi divariasikan pada suhu 200, 225, 250, 275, dan 300 oC. Penelitian ini dirujuk sebagai landasan pemilihan variasi rasio nikel pada penyangga MgO dan suhu reaksi.
5
Dalam penelitian ini dilakukan konversi etanol menjadi butanol dengan MgO yang dibuat menggunakan metode presipitasi. Katalis diimpregnasi dengan Ni kemudian reaksi dilakukan di dalam reaktor batch dengan variasi waktu reaksi (2, 4 dan 6 jam), suhu (200, 300, 350 dan 375 oC) dan konsentrasi Ni (5, 10 dan 20%). Katalis dikarakterisasi dengan TGA, TPD, SAA, XRD, XRF, dan SEM EDX.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi logam Ni terhadap karakteristik katalis Ni/MgO?
2. Bagaimana pengaruh konsentrasi katalis, suhu dan waktu reaksi terhadap yield produk yang dihasilkan pada reaksi konversi etanol menjadi n-butanol?
1.3 Hipotesis
1. Variasi konsentrasi logam Ni mempengaruhi karakteristik katalis Ni/MgO. 2. Konsentrasi katalis, suhu dan waktu reaksi berpengaruh terhadap yield
produk yang dihasilkan pada reaksi konversi etanol menjadi n-butanol.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Menentukan pengaruh karakteristik katalis Ni/MgO
2. Menentukan konsentrasi katalis, suhu dan waktu optimum untuk konversi etanol menjadi butanol.
6
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan sumber energi alternatif yang melimpah menggunakan reaksi konversi etanol menjadi n-butanol.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Katalis berperan dalam reaksi tapi bukan sebagai pereaksi ataupun produk (Nasikin dan Susanto, 2014). Kemampuan suatu katalis dalam mempercepat laju reaksi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi performa katalis antara lain adalah sifat fisika dan kimia katalis; kondisi operasi seperti temperatur, tekanan, laju alir, waktu kontak; jenis umpan yang digunakan; dan jenis padatan pendukung yang digunakan. Katalis yang dipreparasi dengan cara yang berbeda akan menghasilkan aktivitas dan selektivitas yang berbeda (Lestari, 2012). Katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi. Katalis menyediakan suatu jalur pilihan dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi. Katalis dapat dibedakan ke dalam dua golongan utama yaitu katalis homogen dan katalis heterogen (Wardana dan Veronika, 2015).
Katalis heterogen adalah katalis yang memiliki fase berbeda dengan fase reaktan atau produknya. Katalis heterogen yang digunakan bersifat padat seperti oksida logam atau logam. Katalis heterogen memiliki banyak keunggulan diantaranya harganya murah, mudah didapatkan, mudah dipisahkan, non-korosif dan dapat digunakan berkali-kali. Katalis heterogen biasanya memiliki yield yang lebih rendah, sehingga penelitian akhir-akhir ini berfokus pada pengembangan
8
katalis padat agar menghasilkan yield yang lebih optimal. Salah satu diantaranya adalah pengembangan katalis oksida (metal oxide) (Rahmawati et al., 2013). Sedangkan katalis homogen adalah katalis yang memiliki fase yang sama dengan fase reaktannya (Nasikin dan Susanto, 2014).
2.2 Nikel
Nikel adalah logam putih perak dan bentuknya kristal kubik, mudah dibentuk, duchile, kuat dan tidak mudah korosi. Logam ini memiliki sifat konduktor panas, listrik, dan magnetik di bawah 345 oC. Nikel adalah logam transisi yang memiliki konfigurasi elektron [Ar] 3d⁸ 4s². Sifat fisik logam nikel ditampilkan dalam Tabel 1 (Kretsinger et al., 2013).
Serbuk nikel adalah hasil endapan dari larutan sulfat oleh hidrogen pada suhu dan tekanan tinggi:
Ni2+ + H2 → Ni + 2H+
Logam nikel larut dalam larutan ammonia dan dengan adanya oksigen membentuk kompleks amina:
Ni + ½ O2 + 2NH3 + H2O → [Ni (NH3)2] 2+ + 2OH-
Tabel 1. Sifat fisik logam nikel (Kretsinger et al., 2013)
Nomor Atom 28
Massa Atom Relatif 58,69
Titik Leleh, ◦ C 1,455 Titik Didih, ◦ C 2,730 Densitas (g/cm3) 8,9 Konduktivitas Panas (0-100◦ C), W m-1K-1 88,5 Kapasitas Panas 0,452 2.3 Magnesium Oksida
Magnesium Oksida (MgO) atau magnesia adalah garam oksida dengan magnesium yang memiliki potensi di berbagai aplikasi kimia dan elektronik karena memiliki sifat magnetik, optik, elektronik, termal, mekanik, dan kimia yang unik.
9
Aplikasi serbuk MgO dapat ditemukan di bidang lainnya seperti farmasi, semikonduktor dan pelapis antirefleksi, remediasi limbah beracun, dan sebagai katalis. Penelitian di bidang katalis dapat menggunakan keuntungan dari sifat MgO karena reaktivitas dan fleksibilitasnya yang tinggi. MgO dipilih sebagai salah satu pendukung katalis yang menjanjikan dan dapat direduksi (Julkapli dan Bagheri, 2015). MgO mempunyai struktur kristal yang sama dengan struktur kristal natrium klorida yaitu rocksalt (Gambar 1). (NCBI, 2018).
Gambar 1. Struktur magnesium oksida (NCBI, 2018)
MgO mempunyai titik didih yang tinggi yaitu 3.600 °C; titik leleh 2.800 °C dan juga merupakan bahan dasar bersifat basa yang dapat meningkatkan reaksi yang melibatkan suasana basa (NCBI, 2018). MgO juga mempunyai kecenderungan untuk membentuk gel berair yang dapat membentuk suatu struktur dengan ukuran pori yang kecil namun memiliki luas permukaan yang besar. Karakteristik ini membuat MgO dapat berperan sebagai katalis penyangga yang dapat bertahan pada suhu yang tinggi (Julkapli dan Bagheri, 2015). Dalam reaksi konversi etanol menjadi n-butanol, peran penyangga MgO adalah pada saat reaksi kondensasi aldol yang membutuhkan ion hidroksida atau katalis basa karena magnesia merupakan oksida logam basa, maka oksida ini cocok untuk reaksi konversi tersebut.
MgO dapat dikatakan memiliki potensi sebagai katalis yang reuseable karena tidak berkurang kadarnya pada proses pencucian maupun dalam reaksi.
10
MgO mudah diperoleh, harganya murah, serta aplikasinya sangat luas di segala macam sektor. Sifat-sifat yang dimiliki MgO menunjukkan bahwa MgO berpotensial digunakan dalam berbagai aplikasi dalam jumlah besar dan kecil pada sintesis kimia (Bartley et al., 2012).
Secara umum, MgO sangat dipengaruhi dari cara pembuatannya dan implementasi pada reaksi konversi ini masih sedikit yang menggunakan (Bartley et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Susanto (2018) mengenai cara pembuatan MgO dapat memengaruhi hasil reaksi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa katalis MgO yang paling baik aktivitasnya dan luas permukaannya ditunjukkan oleh MgO yang dibuat dengan metode presipitasi. MgO adalah material yang menjanjikan karena memiliki luas area yang tinggi dapat digunakan sebagai penyangga katalis dan promotor pada berbagai jenis reaksi kimia.
2.4 Reaksi Guerbet
Reaksi Guerbet diakui sebagai reaksi yang baik untuk mendapatkan alkohol dengan rantai karbon yang lebih tinggi dari alkohol dengan rantai C yang lebih rendah. Konversi etanol menjadi n-butanol dilakukan menggunakan katalis basa padat dan katalis logam dalam reaksi Guerbet dapat menghasilkan yield yang besar sampai dengan 99% (Chakraborty et al., 2015).
Reaksi Guerbet sudah berkembang menjadi jalur industri yang terkenal untuk sintesis alkohol rantai karbon yang lebih tinggi (jumlah karbon menjadi lebih banyak) sejak penemuannya pada tahun 1899 oleh Marcel Guerbet. Reaksi ini melibatkan dua alkohol primer atau sekunder yang jumlah karbonnya sedikit untuk menghasilkan alkohol yang mempunyai rantai jenuh dan panjang serta mengandung penjumlahan karbon dari kedua alkohol tersebut dengan produk samping berupa air
11
(Hanspal, 2016). Reaksi Guerbet paling umum diaplikasikan untuk konversi etanol menjadi n-butanol (Pang et al., 2016). Gambar 2 menunjukkan jalur reaksi yang terjadi pada reaksi kopling Guerbet dari etanol.
Gambar 2. Tahapan reaksi sintesis n-butanol dari etanol (Ogo, 2011). Berdasarkan empat tahapan reaksi di atas, mula-mula etanol didehidrogenasi (oksidasi) untuk menghasilkan asetaldehida (tahap 1). Asetaldehida ini direaksikan dengan suatu basa untuk mengalami reaksi kondensasi aldol menghasilkan 3-hidroksibutiraldehida dan pelepasan air untuk menghasilkan (E)-but-2-enal (tahap 2). Berikutnya, senyawa ini dihidrogenasi untuk menghasilkan (E)-but-2-en-1-ol ataupun butiraldehida (tahap 3) dan dihidrogenasi lebih lanjut akan menghasilkan n-butanol (tahap 4) (Ogo, 2011).
MgO sebagai katalis basa akan bertindak pada reaksi kondensasi aldol dari asetaldehida menjadi 3-hidroksibutiraldehida. Halangan utama untuk membentuk asetaldehida adalah dehidrogenasi dari etanol itu sendiri. Maka dari itu, logam seperti nikel atau rutenium didispersikan pada MgO untuk menurunkan energi aktivasi reaksi dehidrogenasi dan hidrogenasi.
Mekanisme reaksi konversi etanol menjadi n-butanol ternyata tidak begitu sesuai dengan tahapan reaksi di atas. Chieregato (2014) melaporkan mekanisme
12
reaksi konversi etanol menjadi n-butanol dengan katalis MgO untuk merevisi mekanisme dan intermediet dalam reaksi Guerbet untuk konversi ini (Gambar 3).
Gambar 3. Mekanisme reaksi etanol menjadi n-butanol dengan MgO
(Chieregato, 2014)
Pembentukan n-butanol (jalur 1), etanol harus membentuk intermediet karbanion dengan adsorpsi etanol pada MgO kemudian karbanion ini menyerang etanol melalui reaksi mirip SN2. Reaksi ini tidak menutup kemungkinan untuk membentuk etilena (jalur 2) dimana gugus hidroksil yang ada dalam karbanion bereaksi dengan ion H+ yang telah teradsorpsi pada katalis. Reaksi ini juga memungkinkan untuk membentuk butadiena (jalur 3) melalui reaksi Lebedev dimana asetaldehida bereaksi dengan karbanion etanol untuk membentuk butadiena.
13
Pada reaksi asetaldehida dengan etanol, terdapat kompetisi untuk membentuk n-butanol atau butadiena. Jika ditambah asetaldehida lagi, maka butadiena lebih banyak diproduksi. Jika digunakan katalis basa dengan kation bersifat asam lunak seperti CaO, maka akan menghasilkan karbanion yang stabil sehingga etilena lebih banyak diproduksi (jalur 2). Jika digunakan katalis pendukung yang asam-basa atau katalis pendukung asam, maka butadiena lebih banyak diproduksi (jalur 3)(Cimino et al., 2017).
2.5 Deposisi Komponen aktif
Deposisi komponen aktif katalis pada penelitian ini menggunakan dua metode, pertama presipitasi untuk pembuatan MgO dan kemudian impregnasi atau pembuatan Ni/MgO (Nasikin dan Susanto, 2014). Terdapat bermacam-macam metode sintesis katalis. Pemilihan metode yang digunakan tergantung pada kebutuhan dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain sifat kimia dari komponen katalis, prekusor, perbedaan komposisi, sifat fisik dan kondisi reaksi yang digunakan untuk menghilangkan kontaminan (Kanade et al., 2005).
2.5.1 Presipitasi
Tujuan yang ingin dicapai dengan metode presipitasi adalah untuk mencapai reaksi antara sumber inti aktif dan penyangga. Reaksinya adalah:
Larutan garam + Penyangga Logam hidroksida di permukaan penyangga Larutan garam dapat berbentuk larutan dari senyawa garam oksalat, nitrat, sulfat atau klorida. Tahap presipitasi juga mirip dengan preparasi logam tunggal dimana pengendalian pH merupakan langkah yang sangat penting karena akan mempengaruhi ukuran partikel inti aktif.
14
Penentuan suhu kalsinasi dipengaruhi oleh suhu dekomposisi anion. Seperti terlihat pada proses deposisi inti aktif pada penyangga yang melalui proses pengendapan, maka loading yang dapat dicapai menggunakan metode ini menjadi tidak terbatas. Oleh karena itu metode ini paling umum digunakan untuk preparasi katalis karena umumnya dikehendaki loading inti aktif yang relatif besar sampai lebih dari 50% (Nasikin dan Susanto, 2014).
Presipitasi terjadi ketika larutan yang terdiri dari dua atau lebih garam logam direaksikan dengan agen pengendap, biasanya alkali hidroksida, karbonat, atau bikarbonat. Endapan yang dihasilkan mungkin mengandung tidak hanya oksida yang tak larut tetapi juga spesi logam campuran jika kesetimbangan kelarutannya disukai dan waktu pengendapan cukup untuk pembentukan senyawa-senyawa tersebut. Endapan ini kemudian dicuci, dikeringkan, dan dikalsinasi pada suhu yang tinggi untuk membuang hidroksida atau karbonat sehingga dihasilkan logam oksida yang diinginkan (Augustine, 1996).
2.5.2 Impregnasi
Impregnasi merupakan metode deposisi yang paling sederhana dan mudah. Tujuannya adalah untuk memenuhi pori dengan larutan garam logam dengan konsentrasi yang cukup untuk memberikan loading yang tepat. Larutan dibuat dengan jumlah yang cukup untuk mengisi pori dan harus didasarkan pada perhitungan volume pori pada preparasi oksida tunggal, hanya saja larutan garam logam tidak mengalami perlakuan pemanasan. Partikel penyangga dimasukkan dalam larutan garam logam dan setelah larutan mengisi pori penyangga, dilakukan pengeringan dan kalsinasi. Apabila loading yang dikehendaki belum terpenuhi, maka dilakukan perendaman penyangga lagi untuk pengisian pori kembali sampai
15
loading terpenuhi. Metode ini dapat memberikan loading sebesar volume pori yang tersedia dimana sebelumnya loading yang didapatkan berada di bawah loading presipitasi (Nasikin dan Susanto, 2014).
Banyak cara yang dapat digunakan untuk mendispersikan logam aktif ke dalam pengemban. Cara yang paling umum adalah impregnasi, yaitu dengan memasukkan katalis logam secara paksa ke dalam rongga-rongga pengemban, pertukaran ion, kopresipitasi, dan deposisi. Pendispersian komponen aktif pada zeolit merupakan salah satu alternatif untuk memperbaiki kinerja dan mengatasi kelemahan katalis logam murni. Kelemahan katalis logam murni antara lain memiliki stabilitas termal rendah, mudah mengalami penurunan luas permukaan akibat pemanasan dan mudah terjadi penggumpalan serta tingginya harga dan biaya pemakaian logam murni sebagai katalis. Pemakaian pengemban akan memberikan dasar yang stabil sehingga dapat memperpanjang waktu pakai katalis (Erlina et al., 2019).
2.6 Instrumentasi
Katalis yang telah dibuat perlu diuji apakah struktur katalis tersebut sudah sesuai dengan struktur yang diinginkan sewaktu rancangan katalis dibuat atau tidak. Struktur katalis ini secara ilmiah dirancang berdasarkan kinerja yang diharapkan pada saat penggunaan katalis untuk proses reaksi tertentu. Apabila telah sesuai maka proses pembuatan katalis dapat dikatakan berhasil, namun bila sebaliknya yang terjadi maka katalis tersebut perlu penanganan untuk perbaikan lebih lanjut atau mengubah teknik preparasinya (Nasikin dan Susanto, 2014).
16
2.6.1 Thermogravimetric Analysis (TGA)
Analisis termogravimetri (TGA) adalah teknik analisis yang digunakan untuk menentukan stabilitas termal material dan fraksinya dari komponen yang mudah menguap oleh memantau perubahan berat yang terjadi ketika sampel dipanaskan. Pengukuran biasanya dilakukan di udara atau di atmosfer inert seperti helium atau argon, dan berat dicatat sebagai fungsi peningkatan suhu. Metode ini dapat mengarakterisasi suatu bahan atau cuplikan yang dilihat dari kehilangan massa atau terjadinya dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi (Sudrajad, 2015).
Mekanisme perubahan massa pada TGA adalah bahan yang kehilangan massa maupun kenaikan massa. Proses kehilangan massa terjadi karena adanya proses dekomposisi yaitu pemutusan ikatan kimia, evaporasi yaitu kehilangan zat volatil, reduksi yaitu interaksi bahan dengan pereduksi dan desorpsi. Kenaikan massa terjadi karena adanya proses oksidasi yaitu interaksi bahan dengan suasana pengoksidasi dan absorsi (Sudrajad, 2015).
Analisis termogravimetri telah hadir sebagai instrumen analisis yang murah, cepat dan mudah untuk menganalisis komposisi dari suatu material. TGA telah digunakan juga dalam analisis komposisi biokimia dan bermanfaat karena akurasinya yang tinggi, sangat ideal untuk menilai material anorganik, organik maupun polimer (Apuzzo et al., 2018).
2.6.2 Temperature Programmed Desorption (TPD)
Teknik TPD, kemampuan kemisorpsi untuk senyawa-senyawa diuji untuk mendapatkan sifat-sifat katalis tertentu, seperti: kekuatan keasaman dan kebasaan katalis, menentukan jumlah situs asam atau basa di dalam katalis (Istadi, 2011). Dasar dari teknik ini adalah chemisorption (adsorpsi kimia) dan physisorption
17
(adsorpsi fisika). Chemisorption dikarakterisasi dengan ikatan kuat seperti ikatan kovalen ataupun ikatan elektrostatik yang kuat antara gas dan permukaan suatu padatan (katalis) sementara physisorption dikarakterisasi dengan ikatan lemah seperti gaya van der Waals, gaya dipol-dipol, dan ikatan hidrogen antara gas dan permukaan padatan (Verhaverbeke, 2007).
Teknik TPD dapat dilakukan dengan CO2 dan NH3. Untuk katalis yang bersifat basa, dilakukan menggunakan CO2-TPD. Kaitannya dengan CO2-TPD, jika CO2 terdesorpsi pada suhu tinggi maka tingkat kebasaan katalis juga tinggi, karena CO2 sebagai senyawa yang bersifat asam, sebaliknya jika CO2 terdesorpsi pada suhu rendah, maka tingkat kebasaan katalis juga rendah. Pengukuran dalam pengujian CO2-TPD dapat dilakukan di dalam sebuah reaktor kuarsa menggunakan gas helium sebagai gas carrier. Karakterisasi CO2-TPD ini biasanya dilakukan di dalam sebuah unit TPD/TPR yang dilengkapi dengan TCD (Thermal Conductivety Detector) (Istadi, 2011).
NH3-TPD memiliki prinsip yang hampir sama dengan CO2-TPD, maka metode TPD juga dapat digunakan untuk karakterisasi tingkat keasaman dan jumlah situs asam dari katalis dengan perbedaan penggunaan gas yaitu gas NH3 (amonia) sebagai adsorbatnya. Jumlah situs asam dapat ditentukan dari jumlah molekul amonia yang teradsorpsi di situs asam. Distribusi tingkat kekuatan keasaman katalis menggunakan prinsip yang sama dengan CO2-TPD di atas (Istadi, 2011).
2.6.3 X-Ray Diffraction
Karakterisasi katalis dengan X-Ray Diffraction (XRD) dimaksudkan untuk mengidentifikasi fasa bulk suatu katalis dan untuk menentukan sifat kristal atau kristalinitas dari suatu katalis. Kebanyakan dari katalis adalah berbentuk padatan
18
kristal seperti oksida logam, zeolit, dan logam yang berpenyangga. XRD menjadi teknik yang mendasar untuk mengevaluasi sifat-sifat fasa katalis dan ukuran kristal. Metode ini tidak cocok serta tidak mampu menampilkan sifat-sifat pada katalis yang bersifat bukan kristal (Leofanti et al., 1997).
Pada analisis XRD, kristal katalis memantulkan sinar X yang dikirimkan dari sumber dan diterima oleh detektor. Dengan melakukan sudut kedatangan sinar X maka spektrum pantulan adalah spesifik yang berhubungan langsung dengan lattice spacing dari kristal yang dianalisis. Pola difraksi diplotkan berdasarkan intensitas peak yang menyatakan peta parameter kisi kristal atau indeks Miller (hkl) sebagai fungsi 2θ, di mana θ menyatakan sudut difraksi berdasarkan persamaan Bragg. Interpretasi Hukum Bragg dilakukan berdasarkan asumsi bahwa permukaan darimana sinar X dipantulkan adalah datar.
nλ = 2d sin θ …... (1)
dimana d menyatakan jarak antar lapisan atom atau ion yang berdekatan, λ menyatakan panjang gelombang radiasi sinar X, dan n adalah urutan pantulan (Richardson, 1989). Skema uji kristalinitas menggunakan XRD dapat dilihat pada Gambar 4.
19
Kristalinitas juga dapat ditentukan dengan XRD melalui perbandingan intensitas atau luasan peak sampel dengan intensitas atau luasan peak standar, dengan rumus berikut:
Kristalinitas = Intensitas 𝑝𝑒𝑎𝑘 hkl sampel
Intensitas 𝑝𝑒𝑎𝑘 hkl standar𝑥 100% … . . (2)
Lebar peak XRD merupakan fungsi dari ukuran partikel, maka ukuran kristal (crystallite size) dinyatakan dalam persamaan Scherrer berikut (Richardson, 1989):
di mana K = 1.000, B adalah lebar peak untuk jalur difraksi pada sudut 2θ, b adalah instrument peak broadening (0,1o), dan λ adalah panjang gelombang pada 0,154 nm.
2.6.4 X-ray fluoresence (XRF)
X-ray fluoresence (XRF) merupakan salah satu analisa yang didasari dengan perilaku atom yang terkena radiasi sinar. Ketika materi terkena cahaya yang memiliki energi tinggi, elektron akan terpantul ke tingkat energi yang paling rendah mengakibatkan atom menjadi tidak stabil sehingga elektron yang berada di tingkat energi yang tinggi akan berpindah ke tempat elektron yang terpantul tadi. Proses penggantian posisi elektron ini disebut deeksitasi.
Proses deeksitasi disertai dengan pemancaran cahaya dengan energi yang lebih kecil dari energi berpindahnya elektron. Energi ini yang disebut dengan radiasi flouresensi. Radiasi ini memiliki energi yang khas tergantung elektron yang tereksitasi dan terdeteksi pada atom penyusun materi. Kekhasan radiasi flouresensi
20
ini memungkinkan dapat dilakukannya sebuah analisa kualitatif untuk menganalisa suatu unsur. Sedangkan analisa kuantitatif untuk menentukan konsentrasi dari unsur yang dianalisis dilakukan berdasarkan intensitas radiasi flouresensi yang dihasilkan (Setiabudi et al., 2012).
2.6.5 Surface Area Analyzer (SAA)
Surface Area Analyzer (SAA) adalah instrumentasi yang mengarakterisasi material padat yang menentukan total luas permukaan per massa. Metode yang digunakan pada instrumen ini adalah metode Brunauer Emmett Teller (BET) karena telah dipopulerkan oleh tiga ilmuwan yakni Stephen Brunauer, Paul Emmett dan Edward Teller pada tahun 1938 yang kemudian diperluas oleh Langmuir mengenai adsorpsi gas pada sampel (Maria, 2012).
Gambar 5 menjelaskan tentang situs aktif pada sampel memiliki energi yang sama untuk mengadsorpsi gas seperti Ar, Kr atau N2 yang mana adsorpsi terjadi secara independen (tidak terpengaruh oleh situs aktif dan pori dari tetangganya). Aktivitas adsorbat berbanding lurus dengan konsentrasinya. Prinsip kerja instrumen SAA adalah melekatnya atom atau molekul pada permukaan material (tidak terserap ke dalam) yang dipengaruhi oleh pori permukaan atau situs aktif, suhu dan tekanan gas (Hwang dan Baron, 2015).
Gambar 5. Skema adsorpsi molekul gas ke permukaan sampel
(a) model adsorpsi monolayer yang diasumsikan oleh teori Langmuir; dan (b) model adsorpsi multilayer yang diasumsikan oleh teori BET (Hwang dan Barron, 2015)
21
Karakterisasi SAA biasanya gas yang digunakan adalah gas nitrogen karena ikatannya yang kuat terhadap berbagai jenis material sehingga tidak cepat menguap saat dideteksi. Jumlah gas nitrogen yang diketahui kemudian dimasukkan secara bertahap ke dalam sample cell, tekanan diatur kurang dari tekanan atmosfer agar kondisi vakum parsial, setelah tekanan mencapai kesetimbangan tidak lagi terjadi proses adsorpsi pada sampel dari peningkatan tekanan lebih lanjut. Pengubahan tekanan yang tepat dapat memantau proses adsorpsi. Lapisan yang terbentuk pada sampel dikeluarkan dari atmosfer nitrogen dengan memanaskan sampel. Data ditampilkan dalam bentuk isoterm BET yang memplot jumlah gas yang teradsorpsi sebagai fungsi dari tekanan relatif (Maria, 2012).
2.6.6 Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM (Scanning Electron Microscope) termasuk ke dalam salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang sedang dianalisis. Pada instrumen SEM, berkas elektron ditembakkan ke permukaan sampel kemudian akan dipantulkan kembali berkas elektron yang disebut dengan berkas elektron sekunder. Dari beberapa berkas elektron sekunder yang dipantulkan kembali, detektor pada SEM akan mendeteksi berkas elektron yang memiliki intensitas tertinggi.
Elektron sekunder berasal dari permukaan sampel yang memiliki energi rendah sekitar 5-50 eV. Elektron yang dipantulkan kembali berasal dari bagian sampel yang lebih dalam yang akan memberikan informasi tentang komposisi sampel karena elektron yang lebih berat akan memantul balik secara lebih kuat dan tampak lebih terang pada gambar yang dihasilkan. Skema instrumen SEM dapat dilihat pada Gambar 6 (Setiabudi et al., 2012)
22
Gambar 6. Skema alat SEM (Setiabudi et al., 2012)
2.6.7 Gas Chromatography Flame Ionization Detector (GC-FID)
Instrumen ini menggunakan instrumen gas chromatography (GC) dengan alat deteksi/detektor berupa ionisasi nyala atau flame ionization detector (FID). Respon detektor ini hampir mencakup senyawa-senyawa organik (umumnya volatil) dengan rentang respon linear yang luas. Respon FID dihasilkan dari pembakaran senyawa-senyawa organik dalam difusi nyala hidrogen-udara untuk menjadi ion-ion yang pembentukannya setara dengan konsentrasi spesies organik dalam sampel (Ojanperä, 2008). Dalam instrumen GC-FID, tentu saja dibutuhkan gas pembawa yang bebas pengotor agar gas tersebut tidak bereaksi dengan sampel. Instrumen GC-FID mempunyai sensitivitas yang tinggi dan noise yang rendah. Walaupun demikian, teknik ini memerlukan gas yang mudah terbakar dan akan membakar habis sampel.
Pada detektor (FID), konsentrasi ion-ion dalam ruang antara elektroda dan besarnya arus bergantung pada laju dimana molekul-molekul zat terlarut dikirim ke nyala. Berat zat terlarut yang mencapai nyala pada satuan waktu akan menghasilkan respon detektor yang sama berapapun tingkat pengencerannya oleh gas pembawa.
23
Ini adalah dasar untuk menyatakan bahwa detektor memberikan respons bukan pada konsentrasi zat terlarut, tetapi pada laju alir pada gas tersebut. Detektor pengion nyala bersifat menghancurkan komponen-komponen sampel, berlawanan dengan detektor-detektor seperti sel konduktivitas termal yang memberi respons terhadap beberapa sifat fisika gas pembawa yang berhubungan dengan konsentrasi gas terlarut (Day dan Underwood, 1999).
FID merupakan detektor yang paling stabil terutama oleh pengaruh fluktuasi suhu dan aliran gas pembawa. Sensitivitas detektor berkurang jika sampel yang dianalisis mengandung unsur halogen serta terbentuknya deposit atau pengotor pada detektor. FID digunakan untuk analisis senyawa organik (responnya akan meningkat sesuai dengan kenaikan atom karbon), komponen dalam jumlah kecil, senyawa dengan titik didih tinggi yang disuntikkannya dalam konsentrasi rendah (Nastiti, 1999). Pengukuran kuantitatif untuk konversi etanol dan yield n-butanol dalam penelitian ini dilakukan dengan GC-FID melalui pengukuran luas area kedua senyawa tersebut. Pengukuran ini dilakukan karena kedua senyawa bersifat volatil.
24
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2019 sampai Agustus 2019 di Laboratorium Kimia Material dan Katalisis, Pusat Penelitian Kimia – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kawasan PUSPIPTEK Serpong. Tangerang Selatan, Banten, Indonesia.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah peralatan gelas, batang pengaduk, spatula, alu, timbangan analitik merk Sartorius, oven merk QL, furnace, pengaduk magnetik, alat sentrifugasi, reaktor batch, penyaring Buchner, kertas saring Whatman Grade 40 (8 μm), syringe dan hotplate. Instrumen yang digunakan TPD (Micromeritics Chemisorb 2750), TGA, XRD (Rigaku Smartlab), XRF, SAA (Micromeritics Tristar II 3020 dan Quantachrome Quadrasorb evo), SEM (Tecnai G2 20 S-Twin tegangan 200 kV) dan GC-FID (Agilent 7890A) dengan fase gerak gas nitrogen dan kolom Carbowax/20M (30 m × 320 μm× 25 μm).
Bahan yang digunakan adalah Aquades, MgCl2.6H2O (Merck), NiCl2.6H2O (Merck), NaOH pelet (Merck), etanol (Merck) dan n-butanol (Merck).
25
3.3 Diagram Alir Penelitian
Gambar 7. Diagram alir penelitian
MgCl2.6H2O Dikeringkan T= 90-100oC Dikalsinasi T=500◦C t=2 jam Karakterisasi TPD, XRD, XRF, SAA dan SEM MgO Ni/MgO
Reaksi dalam reaktor batch t= 2;4 dan 6 jam T= 200; 300; 350; 375OC Impregnas i PRODU K Identifikasi GC-FID
1. Dilarutkan dalam akuades
2. Ditetesi dengan NaOH 2M sambil diaduk hingga mencapai pH 11-12 3. Disaring dan dicuci endapannya
hingga pH netral
4. Endapan yang terbentuk dikeringkan selama 24 jam dengan suhu 90C 5. Karakterisasi dengan TGA
6. Dikalsinasi selama 4 jam pada suhu 700◦C
NiCl2.6 H2O (NiOx 5; 10 dan 20%)
26
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Preparasi Magnesium Oksida (Susanto, 2018)
Penyangga magnesium oksida dipreparasi menggunakan metode presipitasi. Larutan MgCl2 1 M sebanyak 200 mL disiapkan sebagai sumber magnesium kemudian diaduk sambil ditetesi dengan NaOH 2 M. Larutan diaduk selama tiga jam sampai mencapai pH campuran sekitar 11-12. Campuran tersebut disaring vakum dan endapan dicuci dengan air hangat. Padatan yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C sampai kering untuk selanjutnya dianaisis dengan TGA sebelum dikalsinasi pada suhu 700 °C selama empat jam.
3.4.2 Impregnasi Nikel dalam Magnesium Oksida (Ni/MgO) (Kowalewski dan Kamin, 2017)
NiCl2.6H2O disiapkan sebagai sumber nikel kemudian dilarutkan dalam air untuk membuat larutan nikel 5; 10; dan 20%. Selanjutnya, larutan ini ditambahkan dengan MgO lalu diaduk selama semalam pada suhu ruang. Berikutnya, campuran tersebut dikeringkan dalam oven suhu 90 °C sampai kering dan padatan yang terbentuk dikalsinasi pada suhu 500 °C selama dua jam untuk membentuk katalis Ni/MgO.
3.4.3 Karakterisasi Katalis Hasil Sintesis
Katalis dikarakterisasi dengan SAA, XRD, XRF, CO2-TPD, NH3–TPD, SEM, TGA dan GC-FID.
3.4.3.1 Karakterisasi Katalis dengan SAA (ASTM D3663-03)
Analisis katalis menggunakan SAA bertujuan untuk mengetahui luas permukaan, volume pori, dan ukuran pori. Sebanyak 0,5 g penyangga MgO dari
27
hasil metode presipitasi dimasukkan dalam tabung sampel untuk dianalisis dengan SAA. Hal yang sama juga dilakukan terhadap sampel katalis Ni/MgO.
3.4.3.2 Karakterisasi Katalis dengan XRF (ASTM E1621-13)
Analisis XRF dilakukan untuk mengetahui komposisi logam dari katalis. Sampel katalis Ni/MgO (± 5 mg) ditempatkan dalam wadah aluminium. Kemudian sampel di-press dengan alat press hingga padat. Sampel diletakkan pada tempat yang telah disediakan kemudian dianalisis dengan tegangan 40 kV dan dengan arus 45 mA. Hasil analisis berupa grafik untuk setiap atom di dalam sampel, intensitas dari sinar-X tersebut sebanding dengan jumlah (konsentrasi) atom di dalam sampel. Dengan demikian, intensitas sinar–X karakteristik dari setiap unsur dapat diukur dan dibandingkan intensitasnya dengan suatu standar yang diketahui konsentrasinya, sehingga konsentrasi unsur dalam sampel bisa ditentukan.
3.4.3.3 Karakterisasi Katalis dengan XRD (ASTM D5357-03)
Analisis katalis menggunakan XRD bertujuan untuk mengetahui senyawa dan kristalinitas dari sampel katalis. Sebanyak 0,5 g penyangga MgO dari hasil metode presipitasi dan katalis Ni/MgO dari berbagai rasio dihaluskan terlebih dahulu kemudian dimasukkan dalam sample holder untuk dianalisis dalam XRD dengan radiasi Cu-Kα (1,542 Å) dan sudut rentang 2θ dari 10° sampai 80°.
3.4.3.4 Karakterisasi Katalis dengan TPD (Istadi, 2011)
Analisis katalis menggunakan TPD bertujuan untuk mengetahui tingkat keasaman dan kebasaan katalis. Sebanyak 0,05 g katalis dari berbagai rasio dihaluskan kemudian dimasukkan dalam sample tube untuk dianalisis dalam CO2- TPD. Sampel dialiri gas helium sambil dipanaskan sampai suhu 400 °C selama satu jam. Kemudian dilakukan pendinginan hingga suhu ruang kemudian dialiri gas CO2
28
pada suhu ruang selama 30 menit. Aliran gas diganti dengan gas helium selama 15 menit pada suhu ruang untuk mengangkut gas CO2 yang teradsorpsi. Selanjutnya, suhu dinaikkan sampai 600 °C dan ditahan selama 10 menit. Terakhir, dilakukan pendinginan sampai suhu ruang dan diperoleh data sinyal TCD (thermal conductivity detector) dalam satuan a.u. dan temperatur dalam satuan °C sebagai sumbu Y terhadap waktu (menit) sebagai sumbu X. Karakterisasi NH3-TPD dilakukan dengan tahap yang sama dengan mengalirkan gas NH3.
3.4.3.5 Karakterisasi Katalis dengan SEM
Instrumentasi Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk analisis morfologi permukaan katalis. Katalis Ni/MgO yang akan dianalisis ditimbang (± 5 mg) dilapisi dengan Pt dan ditempatkan pada instrumen SEM kemudian sampel ditembakkan dengan berkas elektron. Berkas elektron akan dipantulkan oleh sampel dan akan ditangkap oleh detektor untuk menghasilkan gambar.
3.4.3.6 Karakterisasi Katalis dengan TGA
Sebanyak 0,1 g MgO dan katalis Ni/MgO yang belum dikalsinasi dihaluskan terlebih dahulu kemudian diletakkan pada aluminium pan yang telah dilubangi sebelum dianalisis. Tabung analisis dibersihkan oleh gas inert kemudian sampel dipanaskan, data perubahan berat dan suhu tercatat dan terdeteksi oleh detektor sebagai data hasil analisis.
29
3.4.4 Reaksi Konversi Etanol menjadi Butanol 3.4.4.1 Tanpa Katalis (Susanto, 2018)
Reaksi dilakukan dengan menambahkan 20 mL etanol ke dalam autoklaf 100 mL yang ditempatkan dalam reaktor batch pada suhu 350 °C selama empat jam pada tekanan atmosfer.
3.4.4.2 Variasi Konsentrasi Katalis Ni/MgO (Susanto, 2018)
Reaksi dilakukan dengan menambahkan 20 mL etanol dan 0,5 g katalis Ni/MgO (5; 10; dan 20%) ke dalam autoklaf 100 mL yang ditempatkan dalam reaktor batch pada suhu 350 °C selama empat jam dengan tekanan atmosfer. Hasil reaksi disaring untuk memisahkan katalis dan produk yang diperoleh.(Susanto, 2018)(Susanto, 2018)
3.4.4.3 Variasi Waktu Reaksi (Apuzzo et al., 2018)
Reaksi dilakukan dengan menambahkan 10 mL etanol dan 0,25 g katalis Ni/MgO 10% ke dalam autoklaf 100 mL yang ditempatkan dalam reaktor batch pada suhu 350 °C masing-masing selama dua, empat, enam jam dengan tekanan atmosfer. Hasil reaksi disaring untuk memisahkan katalis dan produk yang diperoleh.
3.4.4.4 Variasi Suhu Reaksi (Cimino et al., 2017)
Reaksi dilakukan dengan menambahkan 10 mL etanol dan 0,25 g katalis Ni/MgO 10% ke dalam autoklaf 100 mL yang ditempatkan dalam reaktor batch pada suhu 200; 300; 350; dan 375 oC selama empat jam dengan tekanan atmosfer. Hasil reaksi disaring untuk memisahkan katalis dan produk yang diperoleh.
30
3.4.4.5 Analisis Hasil Reaksi dengan GC-FID (Cimino, 2017; Zhou, et al., 2015)
Hasil berbagai reaksi dianalisis dengan instrumen GC-FID menggunakan kolom Carbowax/20M (30 m × 320 μm× 25 μm). Sebelum dilakukan analisis, diperlukan 25 μL toluena sebagai standar internal yang bertujuan untuk tetap konsisten dalam pengukuran konsentrasi sampel. Selanjutnya, 1 μL larutan hasil reaksi diinjeksi ke dalam GC-FID.
Persen konversi etanol dan yield n-butanol ditentukan dengan membuat kurva kalibrasi larutan standar etanol dan n-butanol dengan standar internal berupa toluena (25 μL). Plot hasil analisis GC-FID terhadap kurva larutan standar tersebut dengan sumbu X adalah konsentrasi larutan standar dalam mol/mL dan sumbu Y adalah rasio luas area kromatogram etanol atau n-butanol dengan toluena. Penentuan persen konversi etanol dan yield dari n-butanol dapat ditentukan dengan persamaan-persamaan berikut:
Konversi EtOH (%) = Volume EtOH bereaksi
Volume EtOH awal x 100 ….. (4)
Yield n-BuOH (%) = mol BuOH terbentuk eksperimen
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Preparasi Katalis
MgO banyak digunakan sebagai bahan pendukung untuk partikel nanologam sebagai katalis untuk banyak reaksi (Julkapli dan Bagheri, 2015). Dalam penelitian ini MgO dijadikan sebagai penyangga logam nikel dalam reaksi konversi etanol menjadi n-butanol. Katalis dimodifikasi agar memaksimalkan kinerja katalis untuk mengubah etanol menjadi n-butanol. Preparasi penyangga dilakukan dengan membuat MgO dengan cara presipitasi, karena berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Susanto (2018) metode pembuatan penyangga dengan presipitasi menghasilkan perolehan butanol tertinggi dibandingkan dengan MgO komersial dan MgO metode kalsinasi.
Larutan MgCl2 digunakan sebagai prekursor awal pembuatan MgO dan sebagai agen pengendap NaOH dengan konsentrasi masing-masing sebesar 2 M, sehingga dalam keadaan jenuh dan alkali, konsentrasi Mg2+ melewati kelarutannya dalam air dan membentuk Mg(OH)2 (Ksp = 1,1 × 10−11). Ksp menyatakan ukuran terjadinya kesetimbangan antara zat padat elektrolit tak larut dengan ion-ionnya dalam larutan jenuh. Pada keadaan kesetimbangan, berapapun banyaknya zat yang dilarutkan, konsentrasi ion-ion tetap konstan, karena secara bersamaan terjadi proses disosiasi kristal MgCl2 menjadi Mg2+ dan Cl-. Ksp dihitung dari hasil kali konsentrasi ion-ion yang terlarut dipangkatkan koefisien reaksi pada keadaan larutan jenuh. Sesuai reaksi berikut (Atkins, 1990):
32
Endapan yang sudah terbentuk kemudian disaring dan dicuci dengan air hangat untuk melarutkan garam NaCl yang terbentuk selama proses pengadukan. Pencucian ini juga untuk menurunkan harga pH dari 11 – 12 menjadi pH sekitar 7. Endapan yang dihasilkan mengandung prekursor awal seperti Cl. Endapan ini kemudian dicuci, dikeringkan, dan dikalsinasi pada suhu 700 oC untuk membuang hidroksida sehingga dihasilkan logam oksida yang diinginkan. Reaksi yang dihasilkan pada proses kalsinasi adalah sebagai berikut (Atkins, 1990):
Mg(OH)2 (s) → MgO (s) + H2O (g) …….(7)
Pembuatan Ni/MgO dibuat dengan cara impregnasi basah yakni preparasi katalis dengan mengadsorpsikan garam prekursor yang mengandung komponen aktif logam di dalam larutan kepada padatan pengemban untuk melihat pengaruh logam yang ditambahkan kepada MgO terhadap aktivitas reaksi katalitik etanol menjadi n-butanol. Impregnasi basah menggunakan larutan berlebih yang kemudian pelarut ini akan dihilangkan oleh proses pengeringan. Metode ini bertujuan untuk menyiapkan sisi aktif (logam aktif) pada permukaan katalis dan metode ini memungkinkan distribusi spesies larutan dapat terkontrol dan terdispersi dengan baik (Susanto, 2018). Variasi nikel yang ditambahkan ke dalam campuran MgO ada tiga macam konsentrasi yaitu 5, 10, dan 20%. Setelah impregnasi, katalis dikalsinasi selama 2 jam dengan suhu 500 oC.
Wujud katalis Ni/MgO yang telah dibuat berwarna kehijauan (Gambar 8), menunjukkan bahwa nikel sudah terdispersikan dalam MgO. Pemilihan prekursor nikel sebagai sisi aktif dilakukan karena aktivitas reaksi katalitik etanol menjadi n-butanol meningkat seiring dengan penambahan logam nikel karena sifat redoks
33
pada logam tersebut dapat mendorong hidrogenasi, meningkatnya situs basa serta luas permukaan pada katalis (Cimino et al., 2017).
Gambar 8. Katalis Ni/MgO 4.2 Karakteristik Katalis
4.2.1 Hasil Analisis dengan TGA
Penentuan stabilitas termal dan pengurangan berat material hasil sintesis dilakukan dengan karakterisasi TGA. Karakterisasi TGA dilakukan untuk menentukan stabilitas termal katalis dan suhu minimum dekomposisi hidroksida sampai suhu 600 oC. Hasil karakterisasi TGA dari MgO, Ni/MgO 5%, Ni/MgO 10% dan Ni/MgO 20% menunjukkan terdapat penurunan berat seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
34
Gambar 9. Hasil karakterisasi TGA
Menurut Al-Swai (2017) penurunan bobot pada Ni/MgO dapat mencapai suhu kurang lebih 300 ◦C karena terjadinya thermal desorption. Thermal desorption adalah proses pemanasan material untuk melepaskan senyawa yang terjerap pada material tersebut. Ni/MgO stabil pada suhu 500 oC karena komposisi kimia atau titik leleh Mg cukup tinggi yakni sekitar 2.852 oC dan NiO 1.955 oC.
Penurunan berat pertama terlihat pada Gambar 9, bahwa terjadinya penurunan grafik pada angka 100% bobot ketiga jenis katalis menjadi 90% dan terus menurun. MgO menunjukkan bobot awal 100% dan mengalami penurunan sepanjang penambahan suhu. MgO terdekomposisi melepaskan H2O karena pada metode pembuatan MgO, yakni metode presipitasi digunakan MgCl2.(H2O)6 yang mana prekursor Cl atau NaCl yang terbentuk hilang bersama pencucian endapan pada proses pembuatan katalis. Pemilihan suhu kalsinasi untuk pembuatan MgO adalah suhu 700 oC, bila dilihat pada Gambar 9 bahwa pada suhu di atas 400 oC, bobot sampel mulai stabil yang berarti sudah tidak ada lagi prekursor yang terdekomposisi.
35
Katalis Ni/MgO dengan variasi Ni sebanyak 5% terjadi penurunan persen bobot yang lebih banyak yaitu sebesar 39,34% dibandingkan penyangga MgO (Lampiran 4), karena pada penambahan Ni sebanyak 5% terjadinya penambahan prekursor dan air dalam bentuk hidrat pada katalis. Penurunan bobot karena adanya komponen seperti prekursor pada awal pembuatan katalis yaitu NiCl2.6H2O yang melepas Cl- dan molekul air. Variasi Ni sebanyak 10% lebih banyak mengalami penurunan persentase bobot dari MgO yaitu sebesar 40,94% dibandingkan Ni 5% karena semakin banyaknya prekursor dan air dalam bentuk hidrat dalam konsentrasi yang lebih tinggi.
Dekomposisi yang terjadi pada katalis Ni/MgO 20% pada grafik hasil TGA menunjukkan bahwa seiring penambahan suhu, grafik menurun dibanding katalis lainnya. Ketiga katalis Ni/MgO mulai stabil pada suhu 500 oC. Dari data yang diperoleh maka katalis dikalsinasi pada suhu 500 oC selama 2 jam.
Menurut Lin et al. (2015) dalam penelitiannya yang melakukan variasi konsentrasi katalis 5, 10, dan 20% pada hasil analisis TGA total kehilangan berat katalis menurun secara berurutan: 20% Ni/MgO > 10% Ni/MgO > 5% Ni/MgO. Hal ini terjadi karena loading-nya besar, maka prekursor yang dibutuhkan lebih banyak maka weight loss pada katalispun lebih banyak.
4.2.2 Hasil Analisis dengan CO2-TPD dan NH3-TPD
Karakterisasi katalis MgO dan Ni/MgO dengan TPD untuk mengukur banyaknya gas CO2 pada analisa TPD yang diadsorpsi oleh katalis secara kimia dan mengetahui sifat kebasaan dari katalis (Pang et al., 2016). Analisis menggunakan NH3-TPD bertujuan untuk menentukan pengaruh penambahan logam terhadap keasaman suatu katalis jika, berdasarkan adsorpsi gas NH3. Situs asam Bronsted
36
akan mengadsorpsi gas NH3 membentuk NH4+ yang akan diserap oleh katalis dan kemudian mengalami desorpsi. Desorpsi gas NH3 inilah yang kemudian dideteksi oleh detektor begitu pula untuk CO2-TPD.
Situs basa Bronsted akan mengadsorpsi gas CO2 (Setiabudi et al., 2012). MgO yang digunakan ialah MgO dengan metode presipitasi sehingga memiliki tingkat kebasaan tinggi yang baik pada suhu yang rendah maupun tinggi sehingga katalis ini cocok untuk reaksi pada suhu tinggi (Susanto, 2018). Desorpsi TPD karbondioksida telah diamati pada Gambar 10 dengan rentang suhu 0-600 oC. Dua puncak utama ditemukan pada CO2-TPD pada semua katalis menunjukkan bahwa katalis memiliki kebasaan yang tinggi apabila memiliki puncak dominan pada suhu tersebut.
Gambar 10. CO2-TPD berbagai katalis
Menurut Peng (2014), puncak-puncak desorpsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe situs basa dengan kekuatan yang berbeda, yaitu basa “lemah” (desorpsi CO2 antara 27 sampai 47 °C), situs basa “medium” (desorpsi CO2 antara
37
47 sampai 377 °C), dan situs basa “kuat” (desorpsi CO2 di atas 377 °C). Situs basa lemah dapat terkait dengan kebasaan Brønsted dan berasal dari gugus kisi terikat gugus hidroksil, situs basa medium terkait dengan oksigen dalam ikatan Mg2+−O2− dan situs basa kuat dapat berhubungan dengan kebasaan Lewis yang berasal dari anion O2− yang terisolasi dalam bentuk terkoordinasi tiga (trigonal planar) dan empat (tetrahedral) (Smoláková, 2016; Peng, et al., 2014).
Puncak pertama pada Gambar 10 dihasilkan dengan intensitas sangat tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa pada suhu rendah banyak gas CO2 yang terlepas dari permukaan katalis karena ikatannya lemah sehingga katalis memiliki kebasaan yang tinggi pada suhu rendah tetapi kebasaan ini berasal dari situs basa lemah dari katalis. Sedangkan puncak kedua intensitasnya sangat rendah atau grafiknya sangat landai, yang mengindikasikan bahwa pada suhu tinggi hanya sedikit gas CO2 yang terdesorpsi pada permukaan katalis. Gambar 10 menunjukkan bahwa pada suhu awal (suhu rendah) CO2 dilepaskan dari pori-pori katalis MgO yang memiliki intensitas tinggi pada suhu 150 oC menurun pada suhu kisaran 350 oC, artinya katalis MgO memiliki sifat basa yang lebih tinggi pada suhu medium yakni 150 oC dan pada suhu tinggi yaitu sekitar 500 ◦C.
Pada katalis Ni/MgO konsentrasi 5% diketahui bahwa intensitas tertinggi terdapat pada suhu 100 oC atau di dalam kisaran basa medium. Intensitas dari puncak meningkat dengan penambahan Ni sebanyak 5%. kemudian pada suhu 350 oC mengalami penurunan serupa dengan penyangganya (MgO). Katalis Ni/MgO 5% mengalami kenaikan puncak pada suhu 600 ◦C yang mana suhu tersebut merupakan kisaran puncak pada kategori basa kuat dan mengalami pergeseran puncak serta kenaikan intensitas setelah penambahan logam nikel.
38
Konsentrasi Ni 10% memiliki puncak dominan dengan pada suhu medium dan memiliki intensitas tertinggi dari puncak katalis lainnnya, kemudian puncak lainnya ditemukan pada suhu tinggi yakni di atas 600 oC. Konsentrasi Ni 20% terdapat dua puncak luas pada suhu 100 dan 450 oC. Puncak pada suhu medium cukup luas, namun tidak tinggi tajam seperti pada puncak lainnya (menurun dari konsentrasi penambahan nikel sebelumnya) namun pada suhu tinggi, Ni 20% tetap memiliki intensitas puncak tinggi apabila dibandingkan dengan penyangga MgO.
Menurut hasil karakterisasi Apuzzo (2018) penambahan logam seperti Ni dan Ru terdeteksi baik pada katalis yaitu pada penambahan logam Ni dengan konsentrasi sedang. Diantara empat variasi uji TPD, intensitas puncak tertinggi terdapat pada konsentrasi penambahan Ni 10%, sehingga dapat dikatakan bahwa kebasaan optimum terdapat pada konsentrasi Ni 10%.
Karakterisasi CO2-TPD telah dilakukan pada penelitian Meshkani (2011) untuk melihat interaksi antara CO2 dengan katalis Ni/MgO, terlihat bahwa adanya profil puncak desorpsi pada suhu 100-500 oC yang sama dengan profil puncak MgO. Artinya bahwa kedua katalis dan penyangga memiliki sifat basa yang dominan pada suhu rendah mengindikasikan bahwa adsorpsi CO2 terjerap ke dalam MgO. Sifat basa dalam penelitian ini amat diperlukan untuk reaksi kondensasi.
Grafik hasil karakterisasi NH3-TPD memiliki prinsip yang sama dengan analisis CO2-TPD, namun pada NH3-TPD dilakukan untuk mengetahui situs asam pada katalis. Ni/MgO merupakan katalis heterogen yang mengalami perkembangan desain yang dapat berfungsi ganda (bifungsional) yakni memiliki sisi asam Lewis dan basa Lewis (Ulfa dan Pramesti, 2015).
39
Gambar 11. Grafik NH3-TPD
Hasil pengukuran dengan NH3-TPD (Gambar 11) didapatkan dua puncak serapan yaitu puncak pada suhu rendah dan pada suhu tinggi. Hasil karakterisasi keasaman menggunakan NH3-TPD terdapat 2 jenis puncak dominan. Puncak pertama terdapat pada suhu antara 100-400 oC yang menunjukkan situs asam medium (asam Lewis), sementara untuk puncak kedua terdapat pada suhu di atas 335 oC yang menunjukkan situs asam kuat (asam Bronsted) (Groen et al., 2005).
Puncak-puncak tersebut muncul akibat dari proses desorpsi gas NH3. Desorpsi terjadi karena adanya pemanasan. Gas NH3 yang lepas pada suhu rendah mengartikan ikatan dengan permukaan katalis lemah, sedangkan yang lepas pada suhu tinggi menandakan bahwa ikatannya dengan permukaan katalis lebih kuat. Puncak-puncak tersebut diindikasikan bahwa pada suhu tertentu banyak gas NH3 yang terlepas dari permukaan katalis. Penyangga MgO memiliki intensitas puncak asam yang sangat tinggi baik pada suhu rendah maupun tinggi. Suhu 200 oC memiliki intensitas paling tinggi dari katalis lainnya dan suhu 500 oC juga menunjukkan intensitas tertinggi.