• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi agroindustri berbasis kayu karet

7 MODEL AGROINDUSTRI TERINTEGRASI

7.2 Integrasi agroindustri berbasis kayu karet

Depperin (2009) membagi industri pengolahan kayu di Indonesia menjadi kelompok industri pengolahan kayu hulu dan hilir. Kelompok industri hulu merupakan industri pengolahan kayu primer yang mengolah kayu bulat/log menjadi bebagai bentuk sortimen kayu. Industri pengolahan kayu primer terdiri dari:

1. Industri penggergajian kayu (saw-mill) yang menghasilkan kayu utuh (solid- wood) dalam berbagai bentuk sortimen kayu gergajian (sawn-timber).

2. Industri kayu lapis (plywood-mill) yang menghasilkan panel kayu lapis dan juga block-board dengan berbagai ukuran ketebalan.

3. Industri Papan Partikel/particle-board yang menghasilkan panel kayu hasil serpih kayu bercampur lem yang dimampatkan.

4. Industri MDF (Medium Density Fibre-board) yang menghasilkan panel kayu yang merupakan campuran serat kayu dengan bahan-bahan kimia. Panel- panel kayu dimaksud biasa disebut kayu hasil industri (engineered-wood).

Kelompok industri pengolahan kayu hilir terdiri dari:

1. Industri Wood-Working, yaitu industri yang menghasilkan produk-produk kayu diantaranya dowel, moulding, pintu, jendela, wood-flooring, dan sejenisnya.

111 2. Industri Furnitur Kayu dan barang-barang kerajinan kayu.

Usaha mebel/furnitur telah lama dikenal di Indonesia karena merupakan budaya turun-temurun. Indonesia memproduksi mebel dari berbagai bahan baku, dimana ekspor mebel kayu merupakan komponen terbesar dengan proporsi 75%, sisanya 20% rotan dan 5% besi dan plastik. (Tambunan, 2006). Kajian Murwanto (2007) menunjukkan pengolahan kayu karet gergajian menjadi kayu olahan menghasilkan nilai tambah 28% (metoda Hayami) dengan faktor konversi 0,68. Input bahan baku yang digunakan adalah 10 m3/hari seharga Rp. 1,4 juta/m3 dan harga jual produk Rp. 5,22 juta/m3. Nominal nilai tambah yang diperoleh Rp. 1,01 juta/m3. Hierold (2010) menyatakan bahwa nilai produk olahan kayu akan memberikan nilai tambah empat kali dibandingkan kayu log, dan 12 kali jika dalam bentuk furnitur.

Di Indonesia, investasi industri mebel hanya 3%, dan 4% untuk industri kayu gergajian dan kayu olahan. Jauh lebih kecil daripada investasi untuk industri pulp dan kertas (58%), kayu lapis (12%), atau HPH dan HTI masing-masing 12%. Salah satu kelemahan industri mebel Indonesia adalah karena sebagian besar beroperasi pada skala kecil dan rumah tangga karena kekurangan modal dan bahan baku dengan efisiensi dan produktivitas rendah (Tambunan, 2006).

Secara nasional ekpor furnitur di Indonesia 46 – 50% berasal dari Jawa Timur dan 31 – 35% dari Jawa Tengah (Ewasechko, 2005; Fauzi et al., 2007). Salah satu kendala yang dihadapi oleh para pengusaha adalah biaya tambahan transportasi bahan baku dari luar daerah serta biaya-biaya tambahan tidak resmi. Karena itu diperlukan peningkatan skala usaha dalam bentuk integrasi usaha dan pelaku secara kolektif serta pemusatan industri yang mendekati bahan baku (aglomerasi) untuk meningkatkan efisiensi dan dayasaing dengan pertimbangan faktor-faktor keunggulan komparatif seperti bahan baku dan transportasi yang murah, tenaga kerja dan jasa pendukung lainnya.

Kajian Beerepoot (2007) di Philipina, Scott (2008) di Thailand dan Shao et al. (2008) di China, bahwa pengembangan industri furnitur dengan pendekatan klaster dan aglomerasi meningkatkan produktivitas, efisiensi dan dayasaing secara signifikan. Jaringan kerjasama (aliansi, koalisi dan kemitraan) juga faktor lokasi,

112

menurut Bullard dan West (2002) merupakan faktor esensial untuk kesuksesan jangka panjang bagi manufakturing dan pemasaran furniture.

Pada kajian ini, skenario integrasi dilakukan pada tiga level yaitu: peremajaan – industri kayu olahan, industri kayu olahan – industri furnitur, dan integrasi total peremajaan – industri kayu olahan – industri furnitur. Dari ketersediaan bahan baku kayu karet hasil peremajaan sebanyak 10% (10.000 m3/tahun) atau 33,3 m3/hari (1 tahun = 300 hari kerja) digunakan sebagai bahan baku untuk satu unit industri pengolahan kayu karet dengan produk berupa kayu olahan 20 m3/hari (asumsi faktor konversi 0,60). Harga jual kayu olahan Rp. 2,8 juta/m3. Selebihnya dijual dalam bentuk kayu bulat untuk modal dan pengembalian pinjaman. Penjualan kayu log tidak akan mengalami kendala karena 18 industri kayu lapis di Kalimantan Selatan membutuhkan bahan baku setidaknya 2 juta m3/tahun, sementara pasokan hanya mencapai 200.000 m3 (10%). Peningkatan nilai tambah dilakukan melalui proses pengolahan kayu menjadi furnitur dengan kapasitas 20 m3/hari sesuai kapasitas pengolahan industri kayu gergajian.

Secara parsial, usaha industri kayu gergajian berkapasitas 10.000 m3/tahun membutuhkan biaya investasi sekitar Rp. 4,78 milyar dengan rincian biaya investasi Rp. 2,16 milyar dan biaya modal kerja tiga bulan pertama Rp. 2,62 milyar. Indikator kelayakan investasi adalah NPV Rp. 4,1 milyar pada DF 16%, IRR 43%, Net B/C 1,4 dan PBP 2,5 tahun dengan periode usaha 6 tahun. Rincian perhitungan terlampir pada Lampiran 23 – 28.

Industri furniture berkapasitas 20 m3/hari membutuhkan biaya investasi sekitar Rp. 5,1 milyar dengan rincian biaya investasi Rp. 163,2 juta dan biaya modal kerja tiga bulan pertama Rp. 4,92 milyar dimana Rp. 4,63 milyar (94%) merupakan biaya bahan baku. Indikator kelayakan investasi adalah NPV Rp. 9,5 milyar, IRR 65%, Net B/C 2,87 dan PBP 1,5 tahun dengan periode usaha 6 tahun. Rincian perhitungan terlampir pada Lampiran 29 – 36. Hasil kajian Bank Indonesia (2008) indikator kelayakan investasi industri furnitur dengan kapasitas 3 m3/bulan dengan total investasi Rp. 682,7 juta (biaya investasi Rp. 196,7 juta dan biaya modal Rp. 486 juta) menghasilkan NPV Rp. 471 juta pada DF 15%, IRR 95%, Net B/C 3,50 dan PBP 2 tahun dengan periode usaha 5 tahun.

113

a. Integrasi peremajaan dan industri kayu gergajian

Industri kayu gergajian secara parsial membutuhkan total investasi Rp. 4,78 milyar dan untuk kebutuhan bahan baku dibutuhkan dana Rp. 300.000/m3 x 33,3 m3/hari atau sebesar Rp. 10 juta/hari atau Rp. 3 milyar/tahun yang merupakan 76% dari total biaya operasional. Melalui integrasi kegiatan peremajaan dan industri kayu gergajian, bahan baku 10.000 m3/tahun dapat diperoleh dari peremajaan 67 hektar (150 m3/ha/tahun) dengan biaya Rp. 1,81 milyar (Rp. 27 juta/hektar), melibatkan sekitar 34 orang petani karet (asumsi petani memiliki 2 hektar lahan). Integrasi peremajaan–industri kayu gergajian menurunkan biaya investasi sebesar Rp. 906 juta untuk investasi awal dari Rp. 4,78 milyar menjadi Rp. 3,87 milyar dengan rincian biaya investasi Rp. 2,16 milyar biaya investasi dan Rp. 1,71 biaya modal. Indikator kelayakan usaha kayu gergajian menjadi: NPV Rp. 7,5 milyar, IRR 53%, PBP 1,6 tahun Net B/C 2,94 periode usaha 6 tahun. Rincian perhitungan terlampir pada lampiran 37 – 39.

Pemilikan saham kolektif petani dalam kegiatan ini adalah Rp. 28.725.000 /ha x 67 hektar x 70% = Rp. 1,35 milyar atau 28,2%. Laba bersih usaha rata-rata adalah Rp. 3,7 milyar/tahun. Jika pembagian keuntungan disesuaikan dengan komposisi modal, maka para petani menerima sekitar Rp. 1,04 milyar/tahun atau rata-rata Rp. 2,6 juta/bulan/orang. Bagi para petani nilai ini lebih menguntungkan daripada melakukan peremajaan secara individual yang menghasilkan laba rata- rata Rp. 12.038.000 /tahun. Para petani masih memiliki peluang memiliki seluruh saham secara terintegrasi karena kebutuhan biaya investasi senilai Rp. 2,16 milyar dan biaya modal selain bahan baku kayu sebesar Rp. 360 juta (total Rp. 2,52 milyar) dapat dipenuhi dari hasil peremajaan 88 hektar lahan (88 ha x Rp. 28,7 juta/ha = Rp. 2,53 milyar). Kegiatan ini melibatkan 44 orang petani karet sehingga jumlah petani pemilik modal adalah 78 orang.

b. Integrasi industri kayu gergajian dan industri furnitur

Industri furnitur dengan kapasitas kapasitas 20 m3/hari membutuhkan total investasi awal Rp. 5,1 milyar. Kebutuhan dana bahan baku kayu olahan (Rp. 2,8 juta/m3) adalah Rp. 16,8 milyar/tahun yang merupakan 85% dari total biaya operasional industri furnitur sekaligus porsi biaya modal kerja awal terbesar yakni

114

Rp. 4,2 milyar (82,6% dari modal kerja). Integrasi kedua unit usaha ini memerlukan investasi Rp. 5,66 milyar dengan indikator kelayakan investasi NPV Rp. 12,2 milyar, IRR 72%, Net B/C 3,16 dan PBP 1,5 tahun. Kinerja indikator ini lebih baik daripada indikator kelayakan investasi furnitur secara terpisah: NPV Rp. 9,5 milyar, IRR 65%, Net B/C 2,87 dan PBP 1,5 tahun dengan periode usaha 6 tahun Rincian perhitungan terlampir pada Lampiran 40.

c. Integrasi peremajaan, industri kayu gergajian dan industri furnitur

Integrasi industri kayu gergajian dan industri furnitur saja membutuhkan total investasi awal sebesar Rp. 5,66 milyar. Jika diintegrasikan dari peremajaan hingga industri furnitur, maka biaya bahan baku maka dapat dihemat senilai Rp. 3 milyar per tahun untuk industri kayu gergajian atau Rp. 16,8 milyar per tahun untuk industri furnitur. Bahan baku 10.000 m3/tahun diperoleh dari peremajaan 67 hektar dengan biaya Rp. 1,81 milyar, melibatkan sekitar 34 orang petani yang selanjutnya diproses menjadi kayu gergajian. Total investasi awal menjadi Rp. 4,76 milyar dengan rincian biaya investasi Rp 2,32 milyar dan biaya modal Rp. 2,43 milyar dimana petani memiliki saham sebesar Rp. 1,35 milyar (28,3%). Rincian perhitungan disajikan pada Lampiran 41.

Integrasi ini menghasilkan kelayakan investasi NPV Rp. 16,8 milyar, IRR 93%, Net B/C 4,5 dan PBP 1,3 tahun. Laba bersih rata-rata adalah Rp. 16,3 milyar per tahun. Kinerja indikator kelayakan lebih baik daripada integrasi industri kayu gergajian dan industri furnitur saja (NPV Rp. 9,5 milyar, IRR 65%, Net B/C 2,87 dan PBP 1,5 tahun). Dengan komposisi pemilikan modal 28,3%, maka petani memperoleh bagian Rp. 4,6 milyar/tahun atau Rp. 11,3 juta/bulan/orang.

Seperti juga pada integrasi industri kayu gergajian dan peremajaan, para petani juga memiliki peluang besar untuk memiliki seluruh saham secara terintegrasi dari peremajaan hingga industri furniture. Para petani masih memiliki peluang memiliki seluruh saham secara terintegrasi karena kebutuhan biaya investasi senilai Rp. 2,32 milyar dan biaya modal bahan baku kayu sebesar Rp. 970 juta (total Rp. 3,29 milyar) dapat dipenuhi dari hasil peremajaan 115 hektar lahan (115 ha x Rp. 28,7 juta/ha = Rp. 3,30 milyar). Kegiatan ini melibatkan 58 orang petani karet sehingga jumlah petani pemilik modal adalah 92 orang.

115 Dari hasil-hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa semua level integrasi memberikan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan unit usaha yang terfragmentasi. Semakin ke hilir dilakukan diversifikasi produk melalui proses pengolahan, indikator kelayakan semakin tinggi. Semakin tinggi intensitas integrasi, maka peningkatan indikator kelayakan juga meningkat secara signifikan yang menunjukkan bahwa nilai tambah yang diperoleh juga semakin tinggi. Hal ini tentu berimplikasi pada peningkatan nilai dan manfaat bagi semua pelaku yang terlibat dalam penciptaan rantai nilai. Dengan demikian, tujuan utama pengembangan seperti dikemukakan sebelumnya yaitu 1) kelangsungan usaha, 2) kontinuitas bahan baku, 3) kepastian harga dan kualitas bahan baku, serta 4) nilai tambah yang layak bagi para pelaku bisa dipenuhi.

Petani selaku pemilik lahan secara kolektif juga dapat memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap kayu hasil peremajaan dalam bentuk kemitraan dengan pelaku industri kayu gergajian maupun furniture ataupun menjalani usaha integrasi dari hulu hingga hilir. Secara grafis, peningkatan kinerja integrasi dapat dilihat pada Gambar 7.1 yang menunjukkan perbandingan kinerja indikator IRR, Net B/C dan NPV.

116

117