• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Inteligensi

Definisi inteligensi menurut David Wechsler seperti dikutip dari Azwar (2008) adalah kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional serta menghadapi lingkungannya dengan efektif. Sedangkan Alfred Binet, tokoh utama perintis pengukuran inteligensi bersama Theodore Simon (Azwar, 2008) mendefinisikan inteligensi meliputi tiga komponen, yaitu (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, (2) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.

Sementara itu, Santrock (1995) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan verbal, ketrampilan-ketrampilan pemecahan masalah dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari dan menyesuaikan diri dengannya.

Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah kemampuan umum seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, dan menyesuaikan diri dengan cara yang tepat.

commit to user b. Intelligence Quotient (IQ)

Intelligence Quotient (IQ) adalah skor yang diperoleh dari tes inteligensi, dengan mengukur proses berpikir konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan (Guilford,1982 cit Senjaya, 2009). IQ dapat ditentukan sebagai cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi dengan rumus:

IQ = x 100 (Azwar, 2008)

Namun, hubungan linier di atas tidak dapat terus dilakukan. Setelah memasuki usia remaja akhir, usia mental seseorang tidak lagi banyak berubah, bahkan cenderung menurun. Di sisi lain, usia kalender seseorang terus bertambah dari waktu ke waktu. Rata-rata skor tes yang diperoleh orang pada usia 40 tahun relatif sama dengan rata-rata skor sewaktu ia masih berusia 15 tahun (Cronbach, 1970 cit Azwar, 2008).

Hasil penelitian Terman pada tahun 1956 menunjukkan bahwa skor tes IQ rata-rata adalah 90-110 (Ruch, 1970 cit Loekito, 2004). Meskipun demikian, tidak semua tes inteligensi akan menghasilkan angka IQ karena IQ memang bukan satu-satunya cara untuk menyatakan tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa macam tes inteligensi bahkan tidak menghasilkan IQ akan tetapi memberikan

Umur mental Umur kalender

commit to user

klasifikasi tingkat inteligensi seperti kategori pola berpikir divergen atau konvergen (Azwar, 2008).

IQ ditujukan untuk mengukur dan mengetahui fungsi otak kiri yang mengatur kemampuan kognisi, seperti kemampuan berbahasa, analisa, akademis, logika, dan intelektual. IQ mengukur bagaimana kinerja seseorang dalam sebuah tes inteligensi dibandingkan dengan keseluruhan populasi (Alder, 2001).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi IQ anak

Individu tidak dilahirkan dengan IQ yang tidak dapat berubah, tetapi IQ menjadi stabil secara bertahap selama masa kanak-kanak, dan hanya berubah sedikit setelah itu (Loekito, 2004). Menurut Boeree (2003) inteligensi anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) faktor genetik, (2) faktor gizi dan (3) faktor lingkungan.

1) Genetik

Kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom (Boeree, 2003). Penelitian menunjukkan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Pada anak kembar, keduanya memiliki korelasi nilai tes IQ sangat tinggi, sekitar 0,90. Sedangkan pada anak yang diadopsi berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya (Loekito, 2004).

commit to user

genetik bukanlah penentu utama kecerdasan. Meskipun dukungan genetik mempengaruhi tingkat intelektual seseorang, namun pengaruh lingkungan juga berperan penting dalam mengubah skor IQ secara signifikan.

2) Gizi

Faktor gizi adalah faktor esensial bagi pertumbuhan dan

perkembangan otak. Kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia (neurotransmitter) dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Pamularsih, 2009 cit Sari, 2010).

Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama saat kehamilan dan bayi lahir, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesat. Gizi yang kurang tentu akan mempengaruhi kerja otak di kemudian hari (Sari, 2010).

Penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa siswa dengan status gizi rendah mempunyai skor IQ lebih rendah sebesar 13 poin secara signifikan dibandingkan siswa dengan status gizi normal. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Wibowo et al. (Sari, 2010), telah membuktikan bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya.

commit to user 3) Lingkungan

Meskipun terdapat ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, tetapi lingkungan dapat menimbulkan perubahan yang berarti. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang penting. Anak-anak yang terpapar kekerasan rumah tangga memiliki IQ yang secara rata-rata, delapan poin lebih rendah dari IQ anak-anak yang tidak terpapar pada kekerasan (Jensen, 2008).

Faktor lingkungan lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan anak, antara lain: hubungan orang tua dan anak, tingkat pendidikan ibu, dan riwayat sosial budaya (Wibowo et al., 1995 cit Sari 2010). Penghasilan orang tua yang rendah menyebabkan terhambatnya perkembangan kognitif anak (Mc Wayne, 2004 cit Sari, 2010).

Menurut Sidiarto (1990) seperti yang dikutip Santoso (2003), perkembangan kognitif yang ditunjukkan dengan nilai IQ memiliki korelasi dengan berat badan lahir. Sebuah studi mencatat bahwa BBLR menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007 cit Sari, 2010). Jensen (2008) menambahkan bahwa anak-anak yang memiliki gangguan dalam memberikan perhatian/hiperaktif Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah secara keseluruhan seperti yang ditunjukkan melalui tes IQ skala penuh dibandingkan dengan anak-anak tanpa gangguan ADHD.

commit to user d. Pengukuran IQ

Beberapa macam jenis tes IQ yang sering digunakan untuk usia anak-anak, antara lain:

1) Stanford-Binet Intelligence Scale

Tes ini dikelompokkan menurut berbagai level usia. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia berisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual. Tes ini dilaksanakan pada satu individu dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes adalah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup di bidang psikologi (Azwar, 2008).

Menurut revisi terakhir, konsep inteligensi Stanford-Binet dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes. Antara lain: (1) penalaran verbal, (2) penalaran kuantitatif, (3) penalaran visual abstrak, (4) dan memori jangka pendek (Baron 1996, cit Azwar, 2008).

Menurut skala Stanford-Binet, IQ diklasifikasikan sebagai berikut:

a) 140-169 : Sangat Superior b) 120-139 : Superior

c) 110-119 : Bright Normal (High Average) d) 90-110 : Average (Rata-Rata)

commit to user e) 80-89 : Low Average

f) 70-79 : Borderline-Defective

2) Wechsler Intelligence Scale for Children –Revised (WISC -R) WISC-R dimaksudkan untuk mengukur inteligensi anak-anak usia 6 sampai 16 tahun. Tes ini termasuk tes individual, terdiri atas 12 subtes yang dua diantaranya digunakan hanya sebagai persediaan apabila diperlukan penggantian subtes. Keduabelas subtes tersebut dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu skala verbal dan performansi (Azwar, 2008).

Pemberian skor pada subtes WISC-R didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu yang diperlukan. Skor WISC-R kemudian dikonversikan ke dalam bentuk angka standar melalui tabel, sehingga akhirnya diperoleh satu angka IQ-deviasi untuk skala verbal, satu angka IQ-deviasi untuk skala performansi, dan satu angka IQ-deviasi untuk keseluruhan skala (Azwar, 2008). 3) Coloured Progressive Matrices (CPM)

Coloured Progressive Matrices merupakan salah satu contoh bentuk skala inteligensi yang disusun oleh J.C.Raven, dan dapat diberikan secara individual maupun kelompok. CPM merupakan tes yang bersifat non verbal, materi soal-soal yang diberikan tidak dalam bentuk tulisan atau bacaan, melainkan dengan gambar-gambar yang berupa figur dan desain abstrak, sehingga diharapkan tidak tercemari oleh faktor budaya (Azwar, 2008).

commit to user

Tes ini mengukur kemampuan anak usia antara 5 sampai 11 tahun. Di samping itu, tes ini dapat dipakai untuk anak-anak yang tergolong defective atau pada orang yang lanjut usia (Murjono, 1996).

Soal yang mudah menuntut ketepatan dalam diskriminasi, sedangkan soal yang lebih sulit melibatkan kemampuan analogi pergantian pola serta hubungan logis. Raven (1974) berpendapat bahwa tes CPM dimaksudkan untuk mengungkap aspek: (a) berpikir logis, (b) kecakapan pengamatan ruang, (c) kemampuan untuk mencari dan mengerti hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagian, jadi termasuk kemampuan analisis dan kemampuan integrasi, (d) kemampuan berpikir secara analogi.

CPM tidak memberikan suatu angka IQ akan tetapi menyatakan hasilnya dalam tingkat atau level intelektualitas dalam beberapa kategori, menurut besarnya skor dan usia subyek yang dites, yaitu:

a) Grade I : Kapasitas intelektual Superior.

b) Grade II : Kapasitas intelektual Di atas rata-rata c) Grade III : Kapasitas intelektual Rata-rata.

d) Grade IV : Kapasitas intelektual Di bawah rata-rata.

e) Grade V : Kapasitas intelektual Terhambat.

4) Culture Fair Intelligence Test (CFIT)

commit to user

Intelligence Test. Tes ini menyajikan soal-soal yang menghendaki subyek memilih suatu desain yang tepat melengkapi suatu desain tertentu, mencari figur geometris yang paling berbeda dengan figur lainnya.

CFIT mengkombinasikan beberapa pertanyaan bersifat pemahaman gambar-gambar sehingga dapat mengurangi sebanyak mungkin pengaruh kecakapan verbal, iklim kebudayaan, dan tingkat pendidikan (Kumara, 1989). Tes ini membuat batasan yang lebih jelas antara kemampuan dasar dengan hasil belajar khusus serta memberikan analisis dan prediksi yang lebih baik dari potensi maksimal individu.

CFIT skala 2 untuk anak-anak usia 8-14 tahun dan untuk orang dewasa yang memliki kecerdasan di bawah normal. Skala 3 untuk usia sekolah lanjutan atas dan orang dewasa dengan kecerdasan tinggi (Kumara, 1989). Menurut skala Cattel, IQ diklasifikasikan sebagai: a) 140 - 169 : Very Superior b) 120 - 139 : Superior c) 110 - 119 : High Average d) 90 - 109 : Average e) 80 - 89 : Low Average f) 70 - 79 : Borderline g) 30 - 69 : Mentally Defective

commit to user

4. Perbedaan Tingkat Kecerdasan Intelektual (IQ) pada Anak dengan

Dokumen terkait