• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritis

2. Interaksi

a. Pengertian Interaksi

Interaksi atau dalam kajian sosiologi biasa disebut dengan interaksi sosial sangat erat kaitannya dengan proses sosial, karena interaksi sosial salah satu bentuk umum dari proses sosial. Proses sosial pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan masyarakat.31

Menurut Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soerjono

Soekanto, “interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-

29

Kamal, loc. cit.

30

Ibid.

31

Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: PT Bumi Akasara, 2002), hal. 151.

18

perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia”.32

Menurut Roucek dan Warren sebagaimana dikutip oleh

Abdulsyani, “Interaksi adalah suatu proses, melalui tindak

balas tiap-tiap kelompok berturut-turut menjadi unsur penggerak bagi tindak balas dari kelompok yang lain, ia adalah suatu proses timbal balik, dengan mana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan berbuat

demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain”.33

Menurut H. Booner seperti yang dikutip oleh Elly M. Setiadi,

“interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau

memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya”.34

Menurut Elly M. Setiadi, “interaksi adalah proses dimana orang-orang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam pikiran dan

tindakan”.35

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, “interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan

kelompok”.36

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan yang terjadi melalui proses pemberian stimulus kemudian diterima dengan respon pada individu ataupun kelompok yang dapat mempengaruhi satu sama lain dalam kehidupan sosial.

32

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), cet. 45, hal. 55.

33

Abdulsyani, op. cit., hal. 153.

34

Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 87.

35

Ibid., hal. 86.

36

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), cet. 45, hal. 62.

b. Syarat Interaksi Sosial

Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

1) adanya kontak sosial (social contact); 2) adanya komunikasi.

Kontak sosial merupakan bahasa Latin con atau cum berarti bersama-sama dan tango yang artinya menyentuh. Sehingga kontak sosial memiliki arti yaitu sama-sama menyentuh. Namun dalam kehidupan sosial seperti ini, kontak sosial tidak selamanya harus menggunakan kontak fisik dengan cara menyentuh agar timbul interaksi. Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih, melalui percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat.

Kontak sosial dapat bersifat positif dan negatif, kontak sosial yang bersifat positif apabila hubungan yang dilakukan antara kedua belah pihak dapat menimbulkan reaksi yang bermanfaat bagi keduanya seperti contohnya kerja-sama. Selain kontak sosial yang bersifat positif, terdapat pula kontak sosial yang bersifat negatif yaitu hubungan diantara kedua pihak tidak menghasilkan interaksi bahkan dapat menimbulkan pertikaian atau reaksi yang negatif.

Kontak sosial juga terdapat hal yang sifatnya primer dan sekunder. Kontak sosial primer merupakan hubungan atau interaksi yang dilakukan secara langsung dengan cara bertemu, bertatap muka, berjabat tangan, dan saling berbicara. Sedangkan kontak sosial yang sifatnya sekunder misalnya berhubungan dengan pihak lain secara tidak langsung seperti melalui telepon, surat-menyurat, video call, chatting, dan sebagainya yang memerlukan perantara dalam berinteraksi.

Syarat-syarat lain dalam interaksi sosial adalah adanya komunikasi. Arti penting komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud

20

pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Dalam komunikasi terdapat hubungan yang menghasilkan respon atau tanggapan kepada orang lain. Terdapat lima unsur penting dalam komunikasi, yaitu:

1) Komunikator, pihak yang menyampaikan pesan; 2) komunikan, pihak yang menerima pesan;

3) pesan, perihal yang ingin disampaikan untuk komunikan; 4) media, alat untuk menyampaikan pesan;

5) efek, reaksi yang terjadi pada komunikan

c. Faktor yang Mendasari Interaksi Sosial

Dalam interaksi sosial terdapat faktor yang menjadi dasar berlangsungnya proses interaksi, yaitu:

1) Imitasi, merupakan tindakan meniru hal-hal yang terdapat disekitarnya baik kebiasaan, adat maupun norma yang berlaku baik itu tindakan positif atau negatif

2) Sugesti, merupakan pemberian arahan atau pandangan terhadap sesuatu sehingga pihak lain dapat menerima dan menjalankan apa yang diarahkan dari orang yang memberi sugesti.

3) Identifikasi, merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain.37 Identifikasi sifatnya lebih intens dari imitasi, yaitu peniruan secara lebih mendalam terhadap orang lain.

4) Simpati, merupakan sikap tertarik pada orang lain sehingga menimbulkan interaksi sosial yang didasari dari inginnya seseorang memahami orang lain.

d. Interaksi dengan Lawan Jenis

37

Sebagai mahluk sosial tentu saja manusia membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya termasuk dengan orang asing atau lawan jenis. Lawan jenis disini diartikan laki-laki karena konteks pembahasannya adalah seorang wanita. Tak terkecuali seorang wanita muslim yang memiliki kepentingan untuk interaksi dengan sesama wanita maupun dengan lawan jenis atau laki-laki.

Cara wanita ketika berinteraksi dengan laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan (mahram) tentu berbeda dengan laki- laki asing. Dalam hal yang memang jelas dan perlu, syariat membolehkan interaksi antara lelaki dan wanita, keduanya diperbolehkan melaksanakan jual beli, belajar-mengajar, ibadah semisal haji dan umroh, berjihad di jalan Allah, dan lain sebagainya.38 Hakikat mahram bagi wanita adalah laki-laki yang boleh memandangnya, berduaan, dan bepergian dengannya.39 Berkata Imam An-Nawawi yang dikutip oleh Firanda Andirja,

“Yang dimaksud mahrom dari sang wanita ajnabiah yang jika ia berada bersama sang wanita maka boleh bagi seorang pria untuk duduk (berkhalwat) bersama wanita ajnabiah tersebut, disyaratkan harus merupakan seseorang yang sang pria ajnabi sungkan (malu/tidak enak hati) dengannya. Adapun jika mahrom tersebut masih kecil misalnya umurnya dua atau tiga tahun atau yang semisalnya maka wujudnya seperti tidak

adanya tanpa ada khilaf.” (Al-Majmu‟ 4/242).40

“ …. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke

dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama islam) mereka, atau hamba sahaya yang

38

Felix Y. Siauw, Udah Putusin Aja!, (Jakarta: Alfatih Press, 2013), hal. 43.

39

Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 58.

40

Firanda Andirja, Mewaspadai Bahaya Khalwat, https://muslim.or.id/28-mewaspadai- bahaya-khalwat.html. Diakses pada hari minggu, 4 September 2016, pukul 13.55 wib.

22

mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang

beriman, agar kamu beruntung”.41

Mahram dari seorang wanita ialah suaminya dan laki-laki yang haram dinikahinya karena pertalian darah, persusuan, dan perkawinan, mereka yaitu:

1) Bapak dan kakek-kakeknya wanita tersebut dan terus keatas baik dari pihak ayah atau ibunya.

2) Anak dan cucu laki-laki dari wanita tersebut dan terus kebawah. 3) Saudara laki-laki wanita tersebut, baik saudara sekandung, seibu

maupun sebapak.

4) Paman-paman wanita tersebut, baik paman dari saudara lelaki sekandung, sebapak atau seibu.

5) Keponakan wanita tersebut dan terus kebawah baik dari saudara laki-lakinya ataupun saudara perempuannya, sekandung maupun sebapak atau seibu.

6) Anak-anak atau cucu tirinya dan terus kebawah. 7) Mertua atau kakek mertua dan terus keatas.

8) Anak menantu atau cucu menantu dan terus kebawah. 9) Bapak tiri atau kakek tiri dan terus keatas.

Selain kepada mahram yang telah disebutkan diatas, seorang wanita muslim dilarang menampakkan bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Tidak boleh wanita berduaan kecuali dengan mahramnya, tidak boleh wanita berjabat tangan kecuali dengan mahramnya, dan sebagainya yang pada subbab berikutnya akan

41

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT Sygma, 2010),

dijelaskan mengenai batasan interaksi antara wanita muslim dengan laki-laki yang bukan mahram.

Islam memiliki aturan-aturan khusus dalam berinteraksi bagi wanita dan laki-laki yang bukan mahram, diantaranya sebagai berikut: 1) Berinteraksi hanya untuk keperluan yang penting dan mendesak

Islam mengharamkan aktivitas interaksi antara lelaki dan

wanita yang tidak berkepentingan syar‟i, seperti jalan-jalan bersama, pergi bareng ke masjid atau kajian islam, bertamasya, nonton bioskop, dan sebagainya. Aktivitas ini adalah pintu menuju kemaksiatan yang lain.42 Aktivitas tersebut dapat menimbulkan fitnah diantara keduanya, namun Islam tetap memperbolehkan interaksi yang bersifat penting antara lelaki dan perempuan seperti dalam hal pendidikan, peradilan, medis, dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan, Rubayyi‟ binti

Mu‟awwidz bercerita, “Kami ikut berperang bersama Rassulullah

saw., memberi minum para tentara, mengobati tentara yang terluka,

dan membawa pulang tentara yang meninggal ke Madinah” (HR.

Bukhari)43

2) Menundukkan pandangan

Seorang muslim dilarang melihat aurat orang lain dan tidak boleh memandang perempuan yang bukan mahram terlalu lama tanpa adanya keperluan. Seorang muslim diwajibkan untuk menundukkan pandangannya terhadap aurat orang lain terutama yang bukan mahramnya. Jika tidak menjaga pandangannya dikhawatirkan timbul fitnah atau keburukan serta nafsu. Hal ini juga untuk menjaga diri dan

42

Felix Y. Siauw, Udah Putusin Aja!, (Jakarta: Alfatih Press, 2013), hal. 44.

43

Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hal. 264-265.

24

kehormatan seorang muslim, berlaku untuk setiap media yang dapat menimbulkan syahwat.

“Dan katakanlah kepada para perempuan beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 31). Namun Islam tidak melarang untuk wanita dan laki-laki saling

memandang untuk keperluan yang penting. „Keterpaksaan‟

memandang perempuan juga dapat terjadi dalam jual-beli dan sebagainya, yaitu untuk mengetahui dan membedakan seorang perempuan dengan perempuan lainnya, hingga seseorang mendapatkan jaminan atau pertanggungjawaban dalam jual-beli, misalnya, untuk menawar harga.44 Maka disepakai oleh para ulama bahwa memandang dengan tujuan transaksi atau keperluan penting lainnya diperbolehkan.

3) Berinteraksi dengan penuh etika dan moral

Jika seorang wanita dan laki-laki memiliki keperluan untuk saling berbicara hendaknya mereka menjaga etika saat berkomunikasi dan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan syahwat. Misalnya, tidak berbicara secara pelan dan lemah lembut serta berbicara tanpa gerakkan-gerakkan yang dapat memperlihatkan perhiasannya.

Sebab dibolehkannya percakapan itu adalah adanya kebutuhan dan harus berlandaskan ketentuan-ketentuan syariat Islam.45 Hal tersebut sesuai dengan firman Allah pada surat al-ahzab ayat 32.

ء س

ب

حأك س

ء س

ۚ ق

ف

ب عض

ق

ع ّ ف

ب ق ف

ق

ق

ف ع ا

ا

١٣

44 Ibid., hal. 262. 45 Ibid., hal. 266.

Wahai istri-istri Nabi! kamu tidak seperti perempuan- perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah-lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.46

4) Larangan khalwat (berduaan)

seorang wanita dan laki-laki yang bukan mahram dilarang untuk berduaan tanpa adanya mahram yang mendampingi. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan perbuatan maksiat karena diantara mereka terdapat setan. Khalwatnya seorang laki-laki dengan wanita asing secara bertahap akan menggiring pada kebinasaan serta menggiring pada perbuatan dosa.47

“Sungguh, seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu bersama mahramnya.” (HR. Bukhari & Muslim)48

5) Menghindari berjabat tangan

Sebisa mungkin menghindari bersalaman dengan laki-laki yang bukan mahram dalam situasi umum yang tidak mendesak.

Diriwayatkan oleh Ma‟qil Ibnu Yasar bahwa Rasulullah saw.,

bersabda, ”Tertusuk jarum besi pada kepala seseorang di antara kalian lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.

(HR. Baihaqi)49

Namun di antara laki-laki dan wanita diperkenankan untuk saling menyapa tanpa berjabat tangan. Diriwayatkan dari Asma Binti

46

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT Sygma, 2010),

hal. 422.

47 Ummu Sa‟id,

Berdua-duaan Dengan Wanita, https://muslimah.or.id/5366-berdua- duaan-dengan-wanita.html. Diakses pada hari minggu, 5 September 2016, pukul 13.34 wib.

48

Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hal. 263.

49

26

Yazid, bahwa pada suatu hari, Rasulullah saw melintas didepan masjid dan beberapa orang wanita sedang duduk disana. Lalu beliau

melambaikan tangannya sambil mengucapkan salam”. (HR. Tirmidzi,

Abu Daud, dan Ibnu Majah)50

Dokumen terkait