• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi Makro

TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi Makro

(Model Fleming)

Dari gambar 2.1, gambar model Mundell-Fleming ini menunjukkan kondisi ekuilibrium pasar barang IS* dan kondisi ekuilibrium pasar uang LM*. Kedua kurva mempertahankan tingkat bunga konstan pada tingkat bunga dunia. Perpotongan kedua kurva ini menunjukkan tingkat pendapatan dan kurs yang memenuhi ekuilibrium baik di pasar barang maupun di pasar uang (Mankiw, 2007).

2.4. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi Makro

Stabilitas ekonomi makro merupakan faktor fundamental untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi makro tersebut dilakukan melalui langkah-langkah tertentu untuk memperkuat daya tahan perekonomian domestik terhadap berbagai gejolak (shocks) yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mutlak diperlukan untuk mengantisipasi gejolak perekonomian dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi moneter, upaya tersebut disertai dengan program kegiatan pembangunan yang dalam pelaksanaannya diharuskan menyertakan langkah-langkah untuk mengendalikan laju inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah.

Stabilitas perekonomian dicirikan oleh kemampuan alat kebijakan yaitu kebijakan fiskal dan moneter dalam meredam setiap terjadi gejolak perekonomian. Gejolak perekonomian dicirikan oleh perubahan besaran-besaran variabel markoekonomi akibat adanya shock (guncangan) baik yang datang dari internal maupun eksternal. Alat untuk menstabilkan perekonomian yang biasa digunakan

oleh Bank Sentral adalah variabel moneter (misalnya M1 atau M2) atau Tingkat Suku Bunga Kredit (SBK).

Variabel ekonomi makro dimaksud disini adalah Produk Domestik Bruto (PDB), investasi, kurs dan

PDB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya, perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasional negara tersebut sebagai gambaran bagi Bank Dunia untuk menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang melalui pengelompokkan besarnya PDB. Dan PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang, 2001). Menurut Samuelson (2002), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu periode tertentu. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak dimasukkan kedalam PDB.

inflasi, yang merupakan indikator kunci. Dengan demikian stabilitas ekonomi makro yang diinginkan adalah : peningkatan PDB, peningkatan Investasi, stabilnya nilai tukar rupiah dan stabilnya inflasi. Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait dan membentuk keseimbangan internal

(macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal (balance of payment-BOP).

Untuk mendukung peningkatan PDB diperlukan investasi yang meningkat secara terus menerus. Menurut Tambunan (2001) Didalam neraca nasional atau struktur PDB menurut penggunaannya, investasi didefenisikan sebagai pembentukan modal/kapital tetap domestik (domestic fixed capital formation).

Investasi dapat dibedakan antara investasi bruto (pembentukan modal tetap domestik bruto) dan investasi netto (pembentukan modal tetap domestik netto). Menurut Sukirno (2002) Investasi yang lazim disebut dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal adalah ”Merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat".

Untuk menjaga investasi agar terus meningkat, diperlukan stabilitas nilai tukar rupiah (kurs). Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003). Sedangkan menurut Nopirin (2000) kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan pembayaran ke luar negeri (impor), diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang dikatakan “kuat” apabila transaksi autonomous kredit lebih besar dari transaksi autonomous debit (surplus neraca pembayaran), sebaliknya dikatakan lemah apabila neraca pembayarannya mengalami defisit, atau bisa dikatakan jika permintaan valuta asing melebihi penawaran dari valuta asing. Selanjutnya menurut Pohan (2008) Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar ngeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro

Stabilitas kurs harus tetap terjaga sehingga pencapaian target inflasi (stabilitas inflasi) dari Bank Indonesia mudah terealisasi. Menurut (Sukirno, 2000) Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Akan tetapi, bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. (Boediono, 2001). Selanjutnya menurut Nopirin (2000) Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan

efficiency dan output effects

Untuk menjaga kestabilan variabel-variabel ekonomi makro tersebut, sangat dibutuhkan adanya interaksi dan koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Dimana dalam interaksi kebijakn fiskal dan moneter tersebut dapat diwujudkan dari adanya dua respon kebijakan yaitu respon moneter terhadap kontras fiskal dan respon moneter terhadap ekspansi fiskal. Interaksi kebijakan fiskal dan moneter dalam stabilitas ekonomi makro dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Kontraktif fiskal : saat penerimaan melebihi pengeluaran (T-G naik)

Pada saat penerimaan melebihi pengeluaran (T-G naik), maka permintaan akan barang dan jasa menuurun (Kurva IS bergerak ke kiri), pendapatan nasional (Y) turun dan investasi (I) juga turun. Namun pada saat permintaan akan barang dan jasa menuurun (Kurva IS bergerak ke kiri), suku bunga kredit (r) akan turun dan investasi (I) akan naik dan pendapatan nasional (Y) akan naik kembali. Sedangkan pada saat suku

bunga kredit (r) turun, kurs (e) akan naik dan menyebakan inflasi (π) naik, sehingga berdampak pada turunnya pendapatan nasional (Y).

Respon Moneter adalah meningkatkat penawaran uang (M/P), yaitu pada saat kondisi fiskal tersebut maka respon moneter adalah menambah jumlah uang beredar (M) sehingga permintaan akan uang meningkat (kurva LM bergerak ke kanan) dan pendapatan nasional (Y) naik, namun inflasi (π) menjadi naik. Maka pada saat permintaan akan uang naik (kurva LM bergerak ke kanan), kebijakan moneter adalah menurunkan suku bunga kredit (r) agar investasi (I) naik dan inflasi (π) turun kembali.

2. Ekspansi fiskal : saat pengeluaran melebihi penerimaan (T-G turun)

Pada saat saat pengeluaran melebihi penerimaan (T-G turun), maka permintaan akan barang dan jasa naik (Kurva IS bergerak ke kanan), pendapatan nasional (Y) akan naik. Namun pada saat permintaan akan barang dan jasa naik (Kurva IS bergerak ke kanan), suku bunga kredit (r) akan naik sehingga investasi (I) akan turun dan pendapatan nasional (Y) juga turun.

Respon Moneter adalah meningkatkan penawaran uang (M/P), yaitu pada saat kondisi fiskal tersebut maka respon moneter adalah menambah jumlah uang beredar (M) sehingga permintaan akan uang meningkat (kurva LM bergerak ke kanan) dan pendapatan nasional (Y) naik, namun inflasi (π) menjadi naik. Maka pada saat permintaan akan uang naik (kurva LM bergerak ke kanan), kebijakan moneter adalah menurunkan suku bunga kredit (r) agar investasi (I) naik dan inflasi(π) turun kembali.

Dalam penelitian Indrawati (2007) perubahan tingkat suku bunga direspon positif oleh tingkat inflasi. Kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga juga menyebabkan kenaikan inflasi. Sedangkan respon output terhadap perubahan tingkat suku bunga dan kebijakan fiskal adalah negatif. Kebijakan moneter ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengindikasikan kebijakan penurunan suku bunga diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi sektor riil, sedangkan pengaruh kenaikan tingkat bunga terhadap kenaikan inflasi hanya direspon temporer. Indikasi kebijakan fiskal ekspansif menyebabkan kenaikan inflasi meskipun berlangsung cepat dan menyebabkan penurunan output.

Efektifitas kebijakan fiskal dan moneter diukur dengan besarnya kenaikan pendapatan nasional sebagai akibat kebijaksanaan tersebut. Makin besar kenaikan pendapatan sebagai akibat, misalnya kenaikan jumlah uang berarti kebijakan moneter makin efektif. Makin datar kurva IS, kebjakan moneter makin efektif, sebab turunnya tingkat bunga sebagai akibat penambahan pengeluaran pemerintah (G), menyebabkan kurva IS makin tegak, artinya Y bertambah (Nopirin, 1999).

Kemudian Aliman (2004) menyatakan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efektif daripada kebijakan moneter di Indonesia. Namun sebagian besar penelitian menghasilkan kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan kebijakan fiskal. Menurut Madjid (2007) Multiplier kebijakan moneter di Indonesia lebih besar dibandingkan multiplier kebijakan fiskal.

Triyono dan Yuni Prihadi Utomo (2004) dengan menggunakan model St. Louis dan lokasi penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa kebijakan moneter lebih dominan dibandingkan dengan instrumen kebijakan fiskal.

Begitu juga penelitian yang dilakukan terhadap perekonomian Kanada, Jerman Barat, Perancis, Itali, Jepang, Inggris memperlihatkan hasil penelitian dengan hasil yang menempatkan kebijakan moneter lebih menentukan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan instrumen kebijakan fiskal (Madjid,2007).

Menurut Santoso (2009) dalam persamaan LM, PDB di pengaruhi secara positif dan signifikan oleh tingkat bunga, permintaan uang (jumlah uang beradar) dan PDB periode sebelumnya. Temuan penelitian mendukung tesis model Mundell-Fleming, di mana kebijakan moneter memberikan pengaruh lebih besar dan efektif dalam meningkatkan PDB, sementara kebijakan fiskal memberikan pengaruh yang lebih kecil dalam meningkatkan PDB dari pada kebijakan moneter. Menurut Goeltom (2009) interaksi kebijakan moneter dan fiskal mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka stabilisasi perekonomian, yaitu melalui penyeimbangan permintaan agregat dan penawaran agregat. Apabila perekonomian mengalami tekanan inflasi yang cukup besar, misalnya, maka kebijakan stabilisasi diarahkan pada pengurangan permintaan agregat. Sebaliknya, pada saat ekonomi mengalami resesi maka kebijakan stabilisasi lebih diarahkan untuk menstimulasi permintaan agregat. Walaupun kebijakan moneter dan fiskal berdampak pada struktur dan kondisi ekonomi yang berlainan, keduanya dapat digunakan secara simultan untuk mencapai dua sasaran stabilitas yang berlainan, misalnya pencapaian keseimbangan internal (stabilitas harga) dan keseimbangan eksternal (neraca pembayaran). Dalam kondisi tersebut, kebijakan moneter dan

fiskal dapat dikelola atau dikoordinasikan sedemikian rupa agar stimulus yang dihasilkan oleh kedua kebijakan tersebut dapat diarahkan untuk mempengaruhi perekonomian, dalam artian tidak saling meniadakan atau bahkan menimbulkan pengaruh yang berlebihan, sehingga dapat mendukung pencapaian stabilitas harga dan pencapaian neraca pembayaran yang sehat secara bersama-sama.

Pada kenyataannya, pilihan kebijakan mana yang lebih tepat antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter senantiasa terus menjadi bahan perdebatan klasik. Bersamaan dengan itu telah dilakukan penelitian-penelitian dalam rangka memilih kebijakan yang lebih efektif, namun penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan yang berbeda untuk masing-masing negara dan waktu penelitian.

Tujuan kebijakan moneter lebih difokuskan pada stabilitas harga dengan beberapa pertimbangan. Pertama, segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi (aggregate demand) dalam jangka pendek akan menciptakan inflasi (the

short-run Phillip Curve) sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi riil dalam jangka panjang (Kydland and Prescott, 1977). Kedua, rational

economic agent memahami bahwa shocks pembuat kebijakan dalam mendorong

inflasi dapat menimbulkan permasalahan time-inconsistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijakan moneter mempunyai tenggat waktu (time lag) dalam mempengaruhi variabel ekonomi, sehingga menuntut kebijakan moneter yang

forward looking (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong

terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena mengurangi ekspektasi inflasi.

Tujuan kebijakan fiskal lebih difokuskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi mendorong

pertumbuhan ekonomi yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya defisit fiskal yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi makro.

Berdasarkan kajian hasil empiris tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan moneter yang longgar melalui penciptaan uang baru untuk pembiayaan defisit dapat mengakibatkan terjadinya hiper inflasi dan gangguan stabilitas ekonomi makro. Pemberian kewenangan kepada BI hanya menstabilkan nilai rupiah agar BI lebih fokus dalam mencapai tujuannya dan sekaligus mengamankan atau mengendalikan kebijakan yang dapat membahayakan inflasi. Misalnya, kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek melalui pembiayaan defisit dapat membahayakan inflasi dan stabilitas makro, sehingga dapat dinetralisir atau dikendalikan melalui kebijakan moneter yang cenderung ketat. Dengan demikian, terdapat kemungkinan terjadinya perbedaan penekanan pada kedua kebijakan tersebut, yaitu kebijakan moneter lebih menekankan kepada inflasi, sementara kebijakan fiskal lebih menekankan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Dengan adanya perbedaan penekanan tujuan tersebut maka absennya koordinasi dapat mengganggu stabilitas makroekonomi.

Dokumen terkait