• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hipertensi

F. Interaksi Obat

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai perubahan efek satu obat akibat obat lain yang diberikan bersamaan atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Interaksi obat dapat membahayakan baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya. Namun interaksi beberapa obat bersifat menguntungkan (Prest, 2003).

Interaksi yang menguntungkan misalnya (1) penisilin dengan probenesid, probenesid dapat menghambat sekresi penisilin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin dalam plasma; (2) kombinasi obat antihipertensi, dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping; (3) kombinasi obat anti kanker juga dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping (Setiawati dan Bustami, 1995). Interaksi obat yang berakibat merugikan, misalnya warfarin jika diberikan bersama dengan fenilbutason, fenilbutason menghambat metabolisme warfarin sehingga kadar warfarin dalam tubuh meningkat yang akan menyebabkan pendarahan (Stockley, 1994).

Penilaian potensial interaksi obat mempertimbangkan manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh interaksi dan arti klinis dari interaksi tersebut. Arti klinis dari interaksi obat berhubungan dengan jenis dan besarnya efek yang ditimbulkan. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan yaitu memonitoring keadaan pasien dan mengganti terapi untuk mencegah efek samping yang berbahaya. Faktor utama yang mendefinisikan arti klinis dari interaksi obat yaitu significance rating yang

terdiri atas onset dari timbulnya efek, potensi keparahan dari interaksi, dan dokumentasi manifestasi klinis dari interaksi yang telah terjadi (Tatro, 2001).

Onset didefinisikan kecepatan efek klinis yang dapat timbul dari suatu interaksi. Onset dibedakan menjadi dua yaitu cepat dan tertunda. Dikategorikan cepat jika efek klinis yang muncul dalam 24 jam setelah pemberian dan dibutuhkan tindakan segera untuk mengatasi efek yang timbul sedangkan onset tertunda adalah efek klinis dari interaksi obat yang timbul dalam beberapa hari atau beberapa minggu setelah pemberian dan tidak diperlukan tindakan segera untuk mengatasi efek yang timbul (Tatro, 2001).

Tingkat keparahan terdiri dari mayor, moderat, dan minor. Keparahan interaksi tergolong mayor jika efek yang terjadi membahayakan jiwa pasien atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Keparahan interaksi tergolong moderat jika efek yang terjadi dapat menyebabkan perburukan status kesehatan pasien sehingga mungkin dibutuhkan rawat inap di rumah sakit, perawatan yang lebih lama atau terapi tambahan. Keparahan interaksi minor jika efek yang timbul biasanya ringan atau mungkin tidak timbul dan tidak mempengaruhi outcome terapi dan tidak dibutuhkan terapi tambahan (Tatro, 2001).

Dokumentasi diartikan sebagai tingkat kepercayaan bahwa suatu interaksi dapat menyebabkan perubahan respon klinis. Dokumentasi berdasarkan literatur primer dan juga berdasarkan interaksi yang pernah terjadi. Dokumentasi dibagi menjadi lima yaitu established, probable, suspected, possible, dan unlikely. Dikategorikan established jika terbukti terjadi pada suatu penelitian yang terkontrol baik. Dikategorikan probable jika efek dari interaksi sangat mungkin

terjadi tetapi belum terbukti secara klinis. Dikategorikan suspected jika efek dari interaksi mungkin terjadi, terdapat data yang baik tetapi butuh penelitian lebih lanjut. Dikategorikan possible jika efek dari interaksi mungkin terjadi tetapi data yang ada sangat terbatas. Dikategorikan unlikely jika terjadinya efek dari interaksi diragukan dan tidak ada data bukti klinis yang baik tentang perubahan efek klinis (Tatro, 2001). Ada beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik. Menurut mekanisme kerja interaksi obat dibagi menjadi:

1. interaksi farmasetika

Interaksi ini terjadi jika antara dua obat yang diberikan secara bersamaan menyebabkan inkompatibilitas atau terjadi reaksi langsung, umumnya terjadi diluar tubuh dan berakibat hilangnya efek farmakologik obat yang diberkan. Sebagai contoh penisilin dan aminoglikosida (Anonim, 2000).

2. interaksi farmakokinetika

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi terjadi apabila suatu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam tubuh untuk menimbulkan efek farmakologiknya (Anonim, 2000).

Interaksi dalam absorpsi dapat mengubah kecepatan absorpsi atau jumlah total obat yang diabsorpsi. Pengurangan jumlah total obat yang diabsorpsi dapat berakibat pada pengobatan yang tidak efektif Sebagai contoh pemberian kolestiramin menyebabkan berkurangnya absorpsi furosemid (Anonim, 2000).

Interaksi dalam proses distribusi terjadi bila obat-obat dengan ikatan protein yang lebih kuat menggeser obat-obat lain dengan ikatan protein yang lebih

lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat bebas dalam darah sehingga dapat meningkat efek toksik, misalnya fenitoin, warfarin, tolbutamid (Prest, 2003).

Interaksi metabolisme terjadi bila suatu obat menghambat metabolisme obat lain, sehingga kadar obat lain dalam plasma meningkat dan menyebabkan peningkatan efek toksik sebagai contoh pemberian rifampisin dengan kontrasepsi oral (Anonim, 2000).

Interaksi dalam ekskresi terjadi bila obat mempengaruhi ekskresi obat lain sehingga dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Sebagai contoh pemberian metotreksat dengan obat anti inflamasi non steroid yang menyebabkan meningkatnya kadar metotreksat (Fradgley, 2003).

3. interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh obat lain pada tempat aksi. Hal ini dapat terjadi akibat kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama (Fradgley, 2003). Kebanyakan interaksi farmakodinamik dapat diperkirakan kejadiannya sehingga bisa dihindari sedini mungkin apabila dokter yang bersangkutan mengetahui mekanisme kerja obat tersebut (Setiawati dan Bustami, 1995). Mekanisme interaksi farmakodinamik secara garis besar dapat dibagi menjadi: a. sinergis

interaksi ini terjadi bila dua obat yang mempunyai efek farmakologi sama digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, penggunaan metotreksat dengan kotrimoksazol dapat menyebabkan megaloblastosis sumsum tulang

belakang karena keduanya merupakan antagonis asam folat. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat kalium seperti amilorida, triamteren (Stockley, 1994). b. antagonis

antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Sebagai contoh, antikoagulan dapat memperlama waktu penjendalan darah yang akan dihambat oleh vitamin K. Contoh lain yaitu penisilin yang bersifat bakterisida akan menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus tumbuh dan membelah diri. Dengan adanya tetrasiklin yang bersifat bakteriostatik akan menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri (Stockley, 1994).

Dokumen terkait