• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hipertensi

D. Pengobatan Rasional

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat-obat yang sesuai kebutuhan klinik dan dalam dosis yang tepat. Adapun kriteria-kriteria penggunaan obat yang rasional adalah sebagai berikut:

1. obat tepat yaitu mempertimbangkan kemanjuran, keamanan dan ekonomis bagi pasien.

2. indikasi tepat yaitu alasan penulisan resep didasarkan pada pertimbangan medis yang baik.

3. cara penggunaan obat tepat mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian, dan lama pemberian.

4. pemberian obat disertai dengan penjelasan yang tepat kepada pasien atau keluarganya (Siregar, 2005).

Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin terjadi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu

obat. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, pola penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya meningkatnya efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan, meningkatnya resistensi antimikroba dan sebagainya. Latar belakang terjadinya masalah penggunaan obat bersifat kompleks karena berbagai faktor ikut berperan, seperti faktor yang berasal dari dokter, pasien dan sarana pelayanan yang tidak memadai (Anonim, 2000).

Untuk tercapainya tujuan pengobatan yang efektif, aman, ekonomis, maka pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi sebagai berikut : 1.indikasi tepat

2.pemilihan obat yang tepat, yakni obat yang aman, ekonomis dan sesuai dengan kondisi pasien

3.dosis dan cara pemberian obat secara tepat

4. penilaian kondisi pasien dan informasi untuk pasien harus tepat 5.Pemberian obat pada lansia harus diupayakan serasional mungkin.

Pemberian obat yang rasional pada lansia dapat dilakukan dengan cara jumlah obat yang diberikan harus seminimal mungkin, sebaiknya dosis obat yang diberikan pada lansia dikurangi (dosis rendah). Pendengaran, penglihatan dan ingatan yang menurun mengurangi kepatuhan pasien sehingga sebaiknya dilakukan penjelasan tentang penyakit dan pengobatannya. Perlu juga diperhatikan wadah obat, sebaiknya mudah dibuka dan terbuat dari bahan

transparan karena lansia seringkali mengenal obat dari bentuk dan warna. Kemasan harus memberikan petunjuk yang jelas (Martono, 2004).

E. Geriatri

Menurut data dari USA-Bureau of the Sensus tahun 2000 jumlah lanjut usia sebesar 7,28% dari jumlah populasi dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lanjut usia di Indonesia akan meningkat sebesar 11,34%. Selain itu pada tahun 2025 Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan lansia terbesar didunia. Menua adalah suatu proses menghilangkan secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dengan mempertahankan struktur fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap penyakit (Martono, 2004).

Faktor fisiologik dapat mempengaruhi kesehatan lansia. Semakin lanjut usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsional anatomi akan semakin besar. Penurunan fungsional anatomi organ-organ tersebut menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit pada organ tersebut. Selain itu faktor psikologi juga dapat mempengaruhi kesehatan lansia. Masalah psikologi yang dialami oleh golongan lansia adalah mengenai sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang terjadi seperti kemunduran badaniah. Dengan bertambahnya umur kecepatan bergerak dan daya berpikir akan menurun sehingga golongan ini seringkali dianggap terlalu lamban. Selain itu pada wanita lansia faktor psikologik terjadi pada masa menopouse (Martono, 2004).

Banyak obat yang diresepkan untuk pasien lanjut usia akan menimbulkan banyaknya masalah termasuk polifarmasi, peresepan yang tidak tepat dan juga

kepatuhan. Polifarmasi merupakan problem utama dalam kelompok pasien ini. Semakin banyak jumlah obat yang diterima pasien maka makin besar pula resiko efek samping obat, interaksi obat dan interaksi obat-penyakit. Pemakaian obat pada lansia didasarkan pada perubahan farmakokinetik serta farmakodinamik, karena hal tersebut akan berkaitan dengan perubahan fisiologik pada organ dan sistem tubuh yang mempengaruhi respon tubuh terhadap obat (Sumartono, 2003). 1. Farmakokinetika lansia

Obat harus berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk mencapai efek terapeutik yang diharapkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada pasien lanjut usia memiliki peranan penting dalam bioavailbilitas obat tersebut (Prest, 2003).

Perubahan farmakokinetik yang dialami orang lanjut usia antara lain terjadi pada mekanisme absorpsi. Bertambahnya usia kemungkinan dapat mengakibatkan perubahan kecepatan sejumlah obat yang diabsorsi. Absorbsi obat di lambung dan di usus secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang berarti. Penurunan aliran darah dan motilitas usus tidak mengurang jumlah obat yang diabsorbsi. Tetapi bila obat yang diabsorbsi mengalami metabolisme lintas maka obat yang masuk ke sirkulasi darah akan semakin kecil (Martono, 2004).

Dengan bertambahnya usia, faktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh, ikatan plasma, dan aliran organ akan mengalami perubahan. Pada usia lanjut komposisi tubuh total air dalam tubuh akan menurun sehingga menyebabkan penurunan volume distribusi obat yang larut air. Akibatnya konsentrasi obat dalam plasma akan meningkat. Jumlah albumin

menurun dengan bertambahnya usia. Obat-obat yang akan terikat dengan protein, sehingga konsentrasi obat bebas akan meningkat. Perubahan aliran darah organ akan mengakibatkan penurunan perfusi pada anggota gerak, hati, otot jantung dan otak. Obat- obat yang mempunyai daya kelarutan dalam lemak yang tinggi akan terdistribusi lebih luas sehingga kerja obat akan menjadi lebih lambat (Prest, 2003).

Penderita lanjut usia biasanya mengalami penurunan metabolisme yang menyebabkan meningkatnya bioavailabilitas obat dalam darah. Perubahan tersebut disebabkan adanya gangguan metabolisme lintas pertama sehingga menurunkan kapasitas metabolisme obat di hati. Kapasitas fungsi hepar pada lansia juga menurun, sehingga massa dan aliran darah sudah berkurang . Metabolisme obat di hepar berlangsung dengan katalis atau aktivitas enzim. Aktivitas enzim ini dapat dirangsang oleh obat (inducer) seperti rimpafisin, diazepam dan dapat dihambat oleh inhibitor seperti alupurinol, simetidin (Martono, 2004).

Perubahan paling berarti yang terjadi pada usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal. Dengan bertambahnya umur aliran darah, filtrasi glomerulus dan sekresi tubuli ginjal teraus mengalami reduksi. Hal ini menyebabkan ekskresi obat berkurang, akibatnya terjadi perpanjangan intensitas kerja obat. Selain itu, perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah penurunan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerulus berkurang, akibatnya konsentrasi obat dalam jaringan meningkat. Pada pasien lanjut usia perlu penyesuaian dosis

terutama obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit seperti digoksin dan aminoglikosida (Bustami, 2001).

Tabel IV. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Proses Kinetika pada Lanjut Usia (Martono, 2004)

Perubahan Fisiologi pada Lansia Perubahan dalam Proses Farmakokinetika Penurunan permukaan absorsi

Penurunan aliran darah Penurunan pH saluran cerna Perubahan motilitas saluran cerna

absorbsi Penurunan cairan tubuh total

Penurunan massa tubuh tidak berlemak

Penurunan albumin serum

distribusi Penurunan aliran darah hepar

Penurunan aktivitas enzim

Penurunan induksi enzim metabolisme Penurunan aliran darah ginjal

Penurunan aliran glomerulus

Penurunan sekresi tubulus ekskresi

2. Perubahan farmakodinamik usia lanjut

Perubahan farmakodinamik pada lansia dapat mengubah respon terhadap obat. Respon seluler pada lansia akan mengalami penurunan. Penurunan kemampuan menjaga keseimbangan hameostatis terkait penurunan endokrin dan respon organ, perubahan pada reseptor dan tempat perubahan respon jaringan sasaran itu sendiri dapat menyebabkan perubahan respon terhadap obat (Prest, 2003). Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia seluler intesitas pengaruhnya akan menurun, misanya agonis beta untuk mengobati asma diperlukan dosis yang lebih besar. Sebaliknya obat yang bekerja dengan menghambat proses biokimia seluler maka efek farmakologik obat akan meningkat sehingga menyebabkan efek toksik (Martono, 2004).

Dokumen terkait