• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TEMUAN DATA

INTERAKSI SOSIAL / HUBUNGAN SOSIAL DAN ASIMILASI ETNIK TIONGHOA TERHADAP ETNIK KARO

IV. 1. Interaksi Sosial / Hubungan Sosial Antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Karo

Interaksi sosial yang baik di dalam masyarakat tentu akan menghasilkan suatu kerjasama yang baik pula. Dengan adanya interkasi tersebut, maka akan menentukan pola hubungan sosial di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimanakah interkasi sosial yang terjadi di Kelurahan Desa Lama. Tetapi dalam hal ini akan difokuskan interaksi sosial antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo.

Etnik Karo adalah merupakan penduduk asli daerah ini, sedangkan etnik Tionghoa merupakan kaum pendatang ke daerah ini. Dari seluruh informan baik Karo maupun Tionghoa, semuanya saling mengenal antara tetangga dengan baik. Mereka sudah saling mengenal siapa sajakah tetangga mereka, karena di daerah ini etnik Tionghoa sudah tinggal berbaur dengan masyarakat setempat. Hal itu akan memudahkan mereka imtuk saling mengenal sesama merka walaupun berbeda etnik.

Komunikasi antara etnik tersebut sudah terjalin baik, walaupun mereka berbeda etnik. Sesuai dengan hasil penelitian lapangan bahwa 17 orang atau sekitar 85% dari etnik Tionghoa mengatakan bahwa mereka sering berkomunikasi dengan etnik Karo. Sedangkan 3 orang atau sekitar 15% lagi mengatakan bahwa mereka kadang-kadang berkomunikasi dengan etnik Karo. Sehingga dapat dilihat bahwa

komunikasi antara kedua etnik tersebut sudah menunjukkan hubungan kekerabatan yang cukup erat dalam kehidupan bermasyarakat. Juga dari informan etnik Karo mengatakan bahwa mereka sering berkomunikasi dengan etnik Tionghoa juga. Dari hasil penelitian lapangan dapat ditemukan bahwa 17 orang atau sekitar 85% mengatakan bahwa komunikasi diantara mereka sudah terbma, terutama komunikasi dengan tetangga, karena mereka bertetangga bukan yang satu suku dengan mereka tetapi juga yang berbeda suku dengan mereka, baik itu etnik Karo, Tionghoa, Jawa, Mandailing dan lain sebagainya. Sedangkan 3 orang lagi atau sekitar 15% mengatakan bahwa mereka kadang-kadang saja berkomunikasi dengan etnik Tionghoa.

Komunikasi yang paling baik untuk dilaksanakan adalah komunikasi langsung atau disebut juga dengan komunikasi dari muka ke muka. Komunikasi ini menciptakan suasana tersendiri, akrab dan saling percaya. Adanya komunikasi timbal-balik antara sesama etnik akan dapat mempererat dan menjalin hubungan persaudaraan. Demikian juga komunikasi antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo. Mereka telah mengadakan komunikasi langsung atau komunikasi dari muka ke muka tanpa adanya perantara sesama mereka. Dengan adanya komunikasi yang baik pada kedua etnik tersebut, maka akan menjalin hubungan persaudaraan yang semakin akrab dan lebih bersifat kekeluargaan.

Di samping adanya komunikasi antara kedua etnik tersebut yaitu etnik Karo dan etnik Tionghoa juga sering berkumpul sesama mereka. Mereka hiasanya berkumpul pada waktu ada upacara pesta seperd pesta perkawinan, maupun upacara

pemakaman orang yang meninggal dunia. Di daerah ini jika ada anggota keluarga dari kedua etnik tersebut meninggal dunia maka keduanya saling melayat, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang infonnan etnik Tionghoa adalah sebagai berikut:

"Jika ada tetangga kami maupun penduduk daerah ini yang meninggal dunia, kami datang melayat Mereka pun (etnik Karo) demikian juga datang melayat kepada orang Tionghoa.Waktu kami melayat kepada orang Karo maka kami memakai uis nipes. Jadi kami saling mengunjungi satu sama lain."

Selain acara pesta, mereka juga sering berkumpul pada waktu ada acara keagamaan seperd adanya kebakdan baik kebakdan di Gereja maupun kebakdan di rumah-rumah yang diadakan dalam sekali seminggu maupun dalam sekali sebulan. Faktor lain yang juga dapat mendukung mereka berkumpul adalah jika mereka mempunyai STM (Serikat Tolong Menolong) yang sama. Biasanya STM itu selalu mempunyai kegiatan baik kegiatan suka cita maupun kegiatan duka cita. Biasanya STM ini terdiri dari persatuan marga, perkumpulan dari Gereja, serta STM kelompok yang biasanya terdiri dari beberapa anggota keluarga yang dnggal dalam nama jalan yang sama dan biasanya mereka juga bertempat dnggal dalam lingkungan yang sama. STM inilah yang kegiatannya berhubungan dengan adat-isdadat masyarakat. STM ini juga yang paling kuat menyatakan masyarakat terutama antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo, karena dengan diikudnya STM ini maka hubungan kekeluargaan antara kedua etnik akan lebih terjalin dengan kuat.

Sedangkan STM marga hanyalah diikuti oleh orang-orang yang mempunyai marga yang sama. Dalam STM ini anggotanya kebanyakan berasal dari etnik Karo sendiri. Hal itu disebabkan oleh karena tidak semua etnik Tionghoa yang sudah mempunyai marga Karo. Tetapi jika mereka sudah mempunyai marga Karo, makaetnik Tionghoa tersebut ada juga yang mengikutmya. Sedangkan STM Gereja ini hanya diikuti oleh orang-orang yang hanya dalam jemaat Gereja yang sama. STM ini juga terdiri dari etnik Karo dan etnik Tionghoa karena mayoritas etnik Tionghoa di daerah ini juga sudah menganut agama yang sama dengan etnik Karo baik itu agama Kristen Protestan maupun agama Kristen Khatolik.

Dengan adanya berbagai STM di daerah ini, maka akan semakin mendukung perkumpulan antara kedua etnik tersebut. Selain itu juga bahwa orang Karo dan orang Tionghoa tersebut sudah sama-sama minum kopi di waning kopi. Mereka saling mengobrol terutama orang tua/Bapak-bapak satu sama lain. Mereka membicarakan banyak hal, dan tentunya dalam bahasa yang sama dan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Karo. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan etnik Tionghoa sebagai berikut:

"Kami (etnik Karo dan etnik Tionghoa) di daerah ini sering berkumpul-kumpul di waning kopi. Ada waning kopi ini tempat pertemuan kami di daerah Desa Lama ini. Di waning itulah kami para bapak-bapak saling mengobrol dan saling bercanda. Walaupun kami berbeda suku namun hal itu tidak menjadi penghalang karena kamipun sudah sama-sama saling memahami. Orang Karo sudah seperti orang Tionghoa dan orang Tionghoa pun sudah seperti orang Karo. Bagi kami perbedaan suku sepertinya tidak ada lagi karena kamipun sudah sangat akrab."

Sehingga dari penuturan informan tersebut maka dapat dilihat bahwa mereka sudah sangat kompak walaupun mereka berbeda suku. Juga dapat dilihat pada waktu perayaan Natal dan Tahun Barn bahwa kedua etnik tersebut saling mengunjungi satu sama lain, terutama bagi mereka yang bertetangga. Selain kunjungan dari tetangga bahwa mereka juga sering mengadakan kunjungan dari Gereja.

Hubungan antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo sejak awal kedatangan Tionghoa ke daerah ini sudah sangat baik. Sekalipun tidak pemah terjadi konflik atau pertentangan antara mereka. Bahkan dapat dilihat pada waktu terjadi konflik antara pribumi dengan Tionghoa pada tahun 1998 di berbagai daerah di Indonesia, namun kalau di daerah ini tidak pemah ada sedikipun konflik. Hubungan antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo sudah terjalin dengan erat dan hubungan mereka sudah seperti hubungan persaudaraan.

Etnik Tionghoa di daerah ini merupakan kaum pendatang yang pertama kali ke daerah ini. Dari berbagai kaum pendatang di daerah ini dapat dilihat bahwa hubungan yang paling dekat adalah hubungan antara etnik Karo dengan etnik Tionghoa. Seperti halnya yang diungkapkan oleh salah seorang informan Karo sebagai berikut:

"Sejak awal kedatangan orang Tionghoa ke Desa Lama ini, orang Karo sama orang Tionghoa sudah langsung kompak. Berbeda halnya dengan etnik lain sebagai kaum pendatang di daerah ini. Mereka (etnik Tionghoa) cukup diterima dengan baik oleh masyarakat setempat Awal mereka datang ke sini, memang perasaannya cukup enak seperti abang adik. Lagi pula makanannya juga hampir sama dan itu mungkin yang mendukung kecocokan antara orang

Sedangkan STM marga hanyalah diikuti oleh orang –orang yang mempunyai marga yang sama. Dalam STM ini anggotanya kebanyakan berasal dari etnik Karo sendiri. Hal itu disebabkan oleh karena tidak semua etnik Tionghoa yang sudah mempunyai marga karo. Tetapi jika mereka sudah mempunyai marga Karo, maka etnik Tionghoa tersebut ada juga yang mengikutinya. Sedangkan STM Gereja ini hanya diikuti oleh orang –orang yang hanya dalam jemaat Gereja yang sama. STM ini juga terdiri dari Etnik Karo dan etnik tionghoa karena mayoritas etnik Tionghoa di daerah ini juga sudah menganut agama yang sama dengan etnik Karo baik itu agama Kristen Protestan maupun agama Kristen Khatolik

Dengan adanya berbagai STM di daerah ini, maka akan semakin mendukung perkumpulan antara kedua etnik tersebut. Selain itu juga bahwa orang karo dan orang Tionghoa tersebut sudah sama –sama minum kopi di warung kopi. Mereka saling mengobrol terutama orang tua/Bapak –bapak satu sama lain. Mereka membicarakan banyak hal, dan tentunya dalam bahasa yang sama dan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa karo. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan etnik Tionghoa sebagai beriktut :

“Kami (etnik Karo dan etnik Tionghoa ) di daeerah ini sering berkumpul –kumpul di warung kopi. Ada warung kopi ini tempat pertemuan kami di daerah Desa Lama ini. Di warung itulah kami para Bapak –bapak saling mengobrol dan saling bercanda. Walaupun kami berbeda suku namun hal itu tidak menjadi penghalang karena kamipun sudah sama –sama saling memahami. Orang karo sudah seperti orang Tionghoa dan orang Tionghoa pun sudah serperti orang Karo. Bagi kami perbedaan suku sepertinya tidak ada lagi karena kamipun sudah sangat akrab.”

Sampai sekarangpun hubungan antara kedua etnik tersebut masih dekat dan rasa kekeluargaan itu sudah cukup tinggi. Orang Karo sudah menganggap orang Tionghoa sebagai saudara mereka sendiri, dan rasa perbedaan antara suku itu tidak ada lagi. Orang Tionghoa di daerah ini tidak merasa asing lagi tinggal dan bergabung dengan orang Karo. Family merekapun sudah banyak yang berasal dari Karo. Orang Tionghoa itu sudah banyak yang sejak dari kecil berteman akrab dengan orang Karo.

Dari 20 orang yang menjadi informan etnik Tionghoa didapatkan data bahwa dalam pergaulan dengan masyarakat mereka bahwa 19 orang atau sekitar 95% diantaranya mengatakan bahwa ketika mereka memilih teman akrab mereka adalah sama saja baik berasal dari etnik Tionghoa maupun etnik Karo. Etnik Tionghoa itu sudah mengatakan karena lingkungan mereka adalah lingkungan Karo dan mereka sudah mengenal orang Karo itu sudah lama, jadi dalam memilih teman akrab itu adalah sama saja. Mereka sudah menjalin hubungan persahabatan dalam waktu yang cukup lama, jadi mereka tidak canggung lagi bergaul dengan Karo. Bahkan selain mereka sudah memiliki family dari orang Karo, beberapa orang diantara mereka juga sudah ada yang menikah dengan orang Karo. Sedangkan yang memilih teman akrab mereka yang berasal dari etnik Tionghoa hanya 1 orang atau sekitar 5%. Menurut dia lebih enak memilih teman akrab yang satu suku dengannya.

Sedangkan dari 20 orang informan etnik Karo yang memilih teman akrab mereka untuk sama-sama atau seimbang antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo adalah 12 orang atau sekitar 60%. Mereka mengatakan dalam memilih teman akrab itu adalah sama atau seimbang baik itu orang Karo maupun orang Tionghoa. Hal

yang paling penting adalah sama-sama memahami, saling mengerti satu sama lain jika ada kecocokan pada kedua suku itu maka mereka pun akan saling kompak.

Sedangkan 8 orang lagi atau sekitar 40% mengatakan bahwa dalam memilih teman akrab masih lebih memilih sesama sukunya sendiri yaitu suku Karo. Mereka masih lebih enak berteman dekat dengan orang yang satu suku dengannya yaitu suku Karo. Seperd menurut informan etnik Karo yang lebih memilih teman akrab mereka yang juga berasal dari etnik Karo adalah sebagai berikut:

"Biar bagaimanapun saya masih lebih memilih teman akrab saya yang satu suku dengan saya. Kalau berbagi rasa, sepertinya masih lebih enak dekat dengan mereka. Walaupun orang Tionghoa itu memang sudah bersikap ramah terhadap orang Karo. Namun yang masih lebih memahami perasaan kita itu masih orang Karo itu. Bagi saya orang Karo itu lebih enak dan gampang diajak bertukar pikiran."

Hubungan antara berbagai etnik di daerah ini seperti Jawa, Minang, Mandailing dan etnik lainnya juga sudah sangat baik. Walaupun mereka semua kaum pendatang di Kelurahan Desa Lama ini, namun mereka tetap kompak dan tidak pemah sekalipun pemah terjadi konflik atau pertentangan antar etnik di daerah ini. Jadi hubungan persahabatan yang baik bukan hanya antar etnik Karo dengan etnik Tionghoa, tetapi juga dengan etnik lainnya.

Apabila orang berasimilasi dengan kelompok manusia lain, maka dia tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang akan mengakibatkan bahwa mereka dianggap orang asing. Di dalam proses asimilasi tersebut mereka mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan

kelompok. Demikian juga halnya dengan etnik Tionghoa di daerah ini bahwa orang Karo sudah menerima kehadiran mereka dengan baik tanpa menganggap mereka orang asing lagi. Kedua etnik tersebut sudah bisa saling menyesuaikan din dalam pergaulannya sehari-hari. Para etnik Tionghoa yang tinggal di daerah ini tidak merasa asing lagi tinggal di daerah ini karena mereka sudah lama bergaul dan menjalin hubungan yang baik dengan orang Karo. Demikian juga dengan orang Karo bahwa mereka juga sudah bisa saling menyesuaikan diri satu sama lain.

Sikap masyarakat pribumi maupun pemerintah setempat tidak pemah mendiskriminasi etnik Tionghoa. Mereka tidak pemah dibeda-bedakan walaupun mereka merupakan kaum minoritas dan merupakan kaum pendatang di daerah ini. Para pemuda setempat pun tidak pemah mau mengancam kenyamanan dan keamanan para etnik Tionghoa ataupun berupa pemerasan seperti pungutan-pungutan liar. Para pemuda setempat tersebut bersikap baik dan jika para pemuda tersebut mengadakan perayaan seperti perayaan Natal, pelantikan organisasi pemuda, ataupun berupa perayaan 17 Agustus dan lain sebagainya, para pemuda tersebut meminta secara baik- baik dan orang Tionghoa tersebut memberikannya secara sukarela tanpa adanya paksaan. Sehingga antara kedua etnik tersebut sudah sangat menghargai satu sama lain.

IV.2. ASIMILASI ETNIK TIONGHOA TERHADAP ETNDC KARO

Dokumen terkait