• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN ANTAR SEKTOR

KODE SEKTOR

5.4. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional

5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah

Penduduk daerah-daerah di wilayah Kapet Bima (Bima dan Dompu) merupakan pembauran antara induk ras Bangsa Melayu Purba dan Melayu Baru, sehingga antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang tajam. Mereka hidup terpencar/nomad di pesisir pantai, di pegunungan dan dataran tinggi. Mata pencaharian mereka bercocok tanam dengan berhuma. Mereka sudah mengenal alat-alat yang terbuat dari logam seperti tombak, sumpit, pisau dan parang. pakaian dengan warna dasar putih, merah, dan biru melengkapi kehidupan mereka (Tajib, 1995).

Melalui proses yang lama akhirnya mereka membentuk kelompok berdasarkan keturunan pertalian darah yang menghuni suatu daerah tertentu. Kelompok seperti itu disebut masyarakat paguyuban yang dipimpin oleh seorang Ncuhi (kepala suku). Selanjutnya melalui musyawarah mufakat mereka membentuk semacam federasi antara Kerajaan Ncuhi (5 Kerajaan Ncuhi : Ncuhi Dara, Dorowoni, Banggapupa, Padolo dan Parewa) yakni Dewan Pemerintahan Federasi dibentuk dengan nama ”DARI NCUHI” kemudian disebut ”DARI MBOJO”

Perkawinan Sang Bima (Tokoh yang datang dari Jawa) dengan puteri setempat melambangkan persatuan antara pendatang dengan penduduk setempat dengan penuh perdamaian. Selanjutnya melalui perkawinan dan pertimbangan lain, Dari Mbojo sepakat untuk mengangkat Sang Bima sebagai raja mereka.

Sejak kejadian itu, Federasi Ncuhi berubah statusnya menjadi kerajaan dan Sang Bima selaku raja pertama (de jure), namun ia tidak pernah memerintah secara langsung. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari (de facto) tetap dilakukan oleh Dari Mbojo pimpinan Ncuhi Dara. Selanjutnya Sang Bima kembali ke Jawa bersama anak istrinya. Selanjutnya pada tahun 823 H = 1420 M anak keturunan Sang Bima yakni Indra Zamrut dan Indra Komala datang dari Jawa ke Bima untuk melanjutkan kepemimpinan atas Kerajaan Bima (Tajib 1995).

Kehidupan masyarakat Mbojo (Bima) dengan bercocok tanam sistem berkebun dan berhuma serta beternak merupakan kebiasaan sejak periode zaman Ncuhi tetap menjadi kegiatan pokok sampai pada masa pemerintahan raja ke-12, Raja Ma Waa Paja Longge. Dimungkinkan oleh lahan pertanian luas dengan penduduk sedikit, menyebabkan penduduk tidak terdorong untuk meningkatkan ketrampilan bercocok tanam dan beternak. Keadaan yang statis berdampak pula dalam struktur dan sistem pemerintahan. Hanya sedikit sekali pengaruh luar berperan dalam tata kehidupan masyarakat atau pola pikirnya. Kesemuanya itu dapat diduga bahwa kerajaan tidak mengalami perkembangan dan kemajuan. Perdagangan sebagai salah satu pintu kemajuan belum tumbuh apalagi berkembang. Tingkat kehidupan masyarakat berada pada tingkat yang amat sederhana.

Titik Balik terjadi dalam abad XIV. Diawali dengan kebijaksanaan Raja Ma Waa Paju Longge. Raja melepaskan diri dari hidup isolasi dan berorientasi ke utara yakni ke Gowa. Hubungan Bima dan Gowa bukan hal baru atau kebetulan. Raja Bima dan Raja Gowa menurut silsilah adalah berasal dari moyang yang sama yaitu Maharaja Indra Palasar. Maharaja mempunyai 2 orang putera, masing-masing Indra Ratu menjadi cikal bakal raja-raja Luwu/Sarwigading dan Maharaja Tunggak Pandita menjadi cikal bakal raja-raja Bima. Jadi orientasi Raja Ma Waa Paju Longge pada dasarnya menghubungkan kembali mata rantai keluarga yang telah putus sekian lama.

Kitab BO (1119 H-1709 H) melukiskan : ” Ketika kakaknya Raja Ma Waa Paju Longge menjadi raja maka Ma Waa Bilama dan Manggapo Donggo disuruh berguru di Kerajaan Manurung. Oleh Raja Manurung kedua anak raja ini diantar kepada orang sakti di Gunung Lampobatang, di tempat tersebut mereka belajar

selama tiga tahun. Setelah itu diajarkan juga tata cara pemerintahan di Kerajaan Gowa, setelah dianggap tamat, Rumata Manggapo Donggo pulang ke tanah Bima, sedangkan Ma Waa Bilmana mengembara seorang diri sampai ke Negeri Bone dan Luwu untuk berguru. Setelah tamat maka dia pun kembali ke tanah Bima.”

Pengalaman baru diperoleh yakni cara bercocok tanam dengan sistem irigasi, belajar pula tentang percetakan sawah, serta cara membuat bendungan dengan salurtan pengairan. Demikian pula tentang menggunakan bajak dan menanam padi di sawah. Pengetahuan dan pengalaman baru tersebut amat bermanfaat dalam upaya pengembangan dan peningkatan taraf hidup masyarakat yang pada waktu itu masih berada pada tingkat yang amat sederhana.

Pada masa pemerintahan Ma Waa Bilmana sebagai Bicara atau Tureli Nggampo dan Manggapo Donggo sebagai Raja Bima perbaikan di bidang ekonomi dan peningkatan keamanan negeri memperlihatkan keberhasilan, pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna tersusun, namun ancaman laten bagi negeri masih ada. Dipulau sebelah timur yaitu Pulau Flores dan khususnya wilayah Manggarai menjadi basis perompak/bajak laut, karena itu perlu tindakan penanganan yang tegas. Bicara Bilama menugaskan anaknya La Mbila dan La Ara untuk maksud itu sekaligus untuk menguasinya. Manggarai awalnya merupakan daerah kekuasaan Karaeng-Karaeng Gowa, namun Akhirnya La Mbila dan La Ara berhasil menguasai Manggarai. Dari Manggarai La Mbila kemudian meluaskan wilayah ke sebelah timur yakni Ende, Larantuka sampai Pulau Solor. Gerakan itu dilanjutkan ke arah selatan dengan menguasai pulau Sumba. pimpinan Hadat Bima di wilayah timur ini dipegang oleh Jena Luma Mbojo. Konsolidasi kekuasaan diseberang lautan itu berlangsung sampai Tahun 1064 H = 1657 M (Tajib 1995).

Pada tahap permulaan, Bima mengadakan hubungan tradisional dengan Gowa. Melalui pelabuhan dagang Gowa, pedagang Bima memperdagangkan beras dan hasil hutan. Jalur perdagangan Bima dan Gowa mulai ramai dan sejak saat itu Bima dikenal dan membuka hubungan dengan daerah lain di Indonesia. Komoditas dagang Bima berupa beras, hasil hutan, kain tenun diperdagangkan diberbagai pelabuhan di Indonesia.

Setelah tahun 1400 C (Tahun Saka) = 1478 M, Kerajaan Majapahit mengalami disintegrasi dan melemah, peranan Bandar Ujung Galuh sebagai pintu gerbang Majapahit dalam politik dan ekonomi di Nusantara berangsur-angsur hilang. Kegaitan perdagangan pindah ke daerah-daerah yang yang telah melepaskan diri dari majapahit. Kemudian daerah-daerah tersebut berkembang sendiri-sendiri dan khususnya sektor perdagangan diperankan oleh orang Jawa yang telah memeluk agama Islam.

Menurut berita dari orang Portugis dan Belanda, pusat perdagangan tersebut berada di kota-kota pelabuhan disepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa. Bandar memainkan peranan sebagai bandar dagang transit yaitu bandar dagang perantara dalam perdagangan antar pulau di Nusantara, seperti Tuban, Gresik, Jepara dan Banten. Journal orang portugis mengatakan bahwa sekitar Tahun 1400, Gresik merupakan bandar utama tempat mengumpulkan rempah-rempah asal Maluku.

Gresik, Jaratan dan Sedayu adalah merupakan kota yang mengumpulkan rempah-rempah dari Maluku. Berita orang Belanda mengatakan bahwa kota tersebut mempunyai armada dagang yang besar sehingga dapat mengadakan hubungan dengan daerah-daerah yang lain. Pelayaran dilakukan sesuai dengan musim. Pada musim kemarau pelayaran menuju selat Malaka, Siam dan sebagainya. Sedangkan pada musim hujan menuju Bali, Bantam, Bima, Solor, Timor, Selayar, Buton dan sebagainya.

Maluku melakukan impor langsung beras dari Jawa dan tambahannya dari Bima, kain tenun dari Bali, uang kepeng dan lain sebagainya, ditukar dengan rempah-rempah yang akan dijual kepada pedagang Cina dan India. Pusat-pusat perdagangan Jawa ternyata berkedudukan sebagai bandar perantara dalam perdagangan rempah-rempah dan lada. Hal ini dimungkinkan karena Jawa mempunyai persediaan beras yang cukup guna memenuhi kebutuhan Maluku, Malaka dan Sumatera Bagian Timur.

Dalam journal orang Portugis dan Belanda, disebutkan bahwa barang-barang dari Bima, pada musim barat, beras, kain tenunan, hasil hutan diangkut ke Gresik, Banten dan ke Maluku melalui pelabuhan Gowa. Karena kebutuhan akan

beras semakin meningkat, maka pedagang Jawa berdagang langsung dengan Bima disamping dengan Gowa.

Kedatangan Agama Islam di Bima dalam keadaan kemelut politik internal kerajaan. Di sana tiba para Mubaliq Islam kiriman Raja Gowa, terdiri dari orang Tallo, Bone, Luwu dan Gowa. Tentang kedatangan mubaliq Islam tersebut dalam Kitab BO tertulis :

”Hijratun Nabi S.A.W. 1028 (1617 M) Hari Bulan Jumadil awal telah datang di Pelabuhan Sape saudara Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang Luwu dan Tallo dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan Ci’lo kain Bugis dan keris serta membawa Agama Islam.

Selanjutnya kerajaan Gowa turut membatu Sultan Abdul Kahir (saat itu masih sebagai putera mahkota Kerajaan Bima) dalam menyelesaikan kemelut politik internal kerajaan dengan mengirim ekspedisi militer sampai tiga kali.

Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H (1620 M), keempat keturunan Raja Bima masuk Islam, yakni : La Kai (Sultan Abdul Kahir, Sultan pertama), La Mbila (Jalaludin), Bumi Jara Sape (Awaludin), dan Manuru Bata (Sirajudin). Sehingga di mulai era Kesultanan Bima yang dibantu oleh dua ulama besar yaitu Abdul Makmur Datu Di Bandang dan Datu Di Tiro, yang berasal dari Sumatera Barat.

Dalam rangka upaya peningkatan hubungan antara Gowa dan Bima, Sultan Muhammad Said (atau Malikussaid, Bapak dari Sultan Hasanudin) mengawinkan puterinya Karaeng Bonto Je’ne dengan Putera Mahkota Kerajaan Bima Abdul Khair Sirajuddin (Putera Sultan Abdul Kahir). Perkawinan berlangsung dalam tahun 1646 M.

Keeratan hubungan kerajaan Bima dan Gowa juga terlihat dari keterlibatan laskar Bima membantu Gowa dalam berbagai peperangan, seperti saat Perang Bone Tahun 1646 (laskar Bima dipimpin langsung Sultan Abdul Khair Sirajudin), Perang Somba Opu Tahun 1660 melawan kompeni, Perang Buton Tahun 1666, Perang Somba Opu II Tahun 1666.

Pada Tahun 1676 Putera Mahkota Nuruddin (putera Sultan Abdul Khair Sirajuddin) berada di Jawa Timur bergabung dengan lasykar Karaeng Galesong,

kemudian menjadi salah seorang pimpinan laskar dan menggabungkan diri dalam Perang Trunojoyo melawan pasukan Mataram yang dipayungi kompeni dibawah pimpinan Poleman. Nurudin bersama anak buahnya berada di Cirebon sejak Januari 1680-Maret 1681, melakukan kunjungan ke Istana Sunan Gunung Jati untuk memperdalam pengetahuan agama Islam.

Hubungan Bima dengan Jawa sudah terbina sejak lama. Hubungan tersebut selain dalam bentuk hubungan perdagangan, politik, keagamaan namun juga hubungan kekerabatan. Selain pendiri Kerajaan Bima sendiri yakni Sang Bima yang menikah dengan puteri dari Bima, beberapa kajian sejarah menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro memiliki garis keturunan dari Bima seperti yang tercantum pada catatan kaki buku berjudul Asal Usul Perang Jawa karangan DR. Peter Carey, tertulis : ”Moyang perempuan Dipanegara, Ratu Ageng (Tegalrejo) (C.1735-1803) adalah puteri Ki Ageng Derpayuda, Kyai termashur awal abad 18 yang berdiam di kawasan Sragen di dekat Surakarta. Melalui ibunya Ni Agung Derpayuda, Ratu Ageng (Tegal Rejo) dilahirkan dalam generasi ketiga dari Sultan Bima di Pulau Sumbawa, kesultanan di Indonesia Bagian Timur yang tersohor ketaatannya pada Agama Islam, karena itu dalam diri Dipanegara mengalir darah Madura (dari neneknya Ratu Kedhaton) dan darah Bima”. Pada dokumen lain yang berasal dari Raja-Raja Mataram ada disebutkan bahwa Kyahi Suleman Bekel Jamus (Surakarta) adalah putera Raja Bima dan lahir tahun 1601.

Selain menjalin hubungan dengan berbagai daerah/kerajaan di wilayah Nusantara, Kesultanan Bima juga membina hubungan baik dengan negara-negara Timur Tengah (terutama dengan Dinas Utsmany yang dimulai sejak abad ke-18) khususnya dibidang pendidikan dan keagamaan.

Pada masa Kesultanan Ibrahim, disamping membina Agama Islam di dalam-daerah, sultan Ibrahim mengirim pula pelajar dan mahasiswa ke luar daerah dan keluar negeri. Putera daerah yang cakap dikirim ke Bagdad, Mesir dan terutama ke Mekkah dan Madina dengan beasiswa kerajaan.

Hasil hubungan baik antar negara/kerajaan ini, dari Bima telah lahir ulama-ulama besar kelas dunia seperti Syekh Abdulghani Al-Bimawi (Abad ke-19). Syekh Abdulghani Al-Bimawi selain sebagai pengajar di Madrasah Haramayn, juga sekaligus sebagai Imam Masjid Haram Mekkah (Hamzah 2004).

Dalam garis genealogi (hubungan kekerabatan intelektual), Syekh Abdulghani Al-Bimawi merupakan salah satu moyang ulama Nusantara. Ia termasuk yang disebut Azra (1995) sebagai penyambung mata rantai jaringan ulama Nusantara abad 19 dengan Timur Tengah. Ia termasuk guru dari Syekh Nawawi Banten yang terkenal di Indonesia dan dunia Arab (Guru dari Syekh Nawawi Banten, yakni : Syekh Abdulghani Al-Bimawi, Khatib Sambas dan A.H. Daghestani). Sedangkan Syekh Nawawi sendiri merupakan guru dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ary (Dhofier 1982. diacu dalam Hamzah, 2004).

Pada tahun 1900 Kesultanan Bima membangun sebuah rumah wakaf di Mekkah. Sumber dana untuk beasiswa dan pembangunan rumah wakaf tersebut diperoleh dari uang kehormatan sultan, hasil sawah jaminan sultan yang disebut dana pajakai dan dana ngaji. Rumah wakaf yang didirikan Sultan Ibrahim tersebut berlokasi di Jalan Gaza sebelah selatan Masjidil Haram.

Hubungan dan kerjasama antar wilayah di Kapet Bima telah dilakukan sejak lama. Keberadaan kerajaan/kesultanan di Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam hubungan intra-inter regional bahkan internasional. Hubungan tersebut tidak hanya bersifat sosial, namun juga bersifat ekonomi dan politik, serta memberikan pula dampak pada dinamika sosial, ekonomi dan politik wilayah.