• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di setiap propinsi di Kawasan Indonesia Timur merupakan salah satu strategi yang diambil oleh DP KTI dalam rangka percepatan pembangunan Kawasan Indonesia Timur. Berdasarkan Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet), kemudian disempurnakan oleh Keppres Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet, salah satunya adalah Kapet Bima yang ditetapkan dengan Keppres Nomor 166 Tahun 1998.

Pengembangan Kawasan Indonesia Timur dengan memprioritaskan upaya pembangunan pada Kapet-Kapet adalah merupakan pendekatan pembangunan yang didasarkan pada teori pembangunan growth center. Berdasarkan teori ini maka pembangunan dipusatkan pada penciptaan dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini diterapkan karena beberapa alasan, antara lain sebagai berikut (Prasetya 2000) :

1). Tidak mungkin dilaksanakan upaya-upaya pembangunan dengan intensitas yang sama pada waktu yang sama dan pada semua daerah. Hal ini karena keterbatasan pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu harus dilakukan prioritas pembangunan, baik dari segi daerah maupun sektor.

2). Tidak semua daerah mempunyai kemampuan yang sama dalam menyerap investasi. Dengan keterbatasan dana pembangunan yang ada maka harus

diprioritaskan daerah-daerah dengan kemampuan menyerap investasi yang besar.

Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center

dikhawatirkan akan menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk mengantisipasi hal itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya di Kawasan Indonesia Timur, dan mengembangkan keterkaitan secara regional dan nasional (Prasetya 2000).

Salah satu kritik dari teori growth center ini, adalah penerapan strategi pembangunan dengan menggunakan asumsi bahwa pembangunan pusat-pusat pertumbuhan akan mampu merangsang pertumbuhan daerah belakang dengan harapan adanya efek menetes ke bawah (trickle down effect), namun pada kenyataannya efek tersebut sulit terjadi malah memungkinkan terjadinya ketimpangan antara pusat pertumbuhan dengan daerah-daerah belakangnya

(hinterland area).

Salah satu penyebab hal tersebut adalah lemahnya keterkaitan antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakang. Oleh karena itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketimpangan antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Keterkaitan tersebut meliputi keterkaitan produksi, keterkaitan pemasaran dan keterkaitan transportasi.

Keterkaitan produksi terjadi karena setiap proses produksi membutuhkan bahan masukan (input). Idealnya, daerah hinterland akan mampu memasok bahan-bahan masukan untuk proses produksi di Kapet. Keterkaitan pemasaran merupakan konsekuensi dari adanya proses produksi di Kapet. Hasil-hasil produksi dari Kapet perlu dipasarkan baik ke daerah hinterland maupun ke daerah lainnya. Kedua keterkaitan tersebut memerlukan dukungan keterkaitan transportasi. Keterkaitan transportasi berarti bahwa antar Kapet dengan daerah

hinterland dan antar Kapet dengan Kapet lainnya terdapat prasarana transportasi, sarana transportasi dan jalur transportasi yang cukup memadai untuk mendukung hubungan antar daerah.

Salah satu perwujudan hubungan antar daerah ialah dengan adanya pertukaran antar daerah baik yang berwujud barang, uang maupun jasa. Analisis

aliran barang, orang dan kendaraan dapat digunakan untuk mengetahui intensitas hubungan antar daerah dan tingkat ketergantungan atau peranan suatu daerah dengan daerah yang lain.

Dalam konteks sektoral, perkembangan ekonomi regional terjadi melalui pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan antar sektor ekonomi. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages), ialah hubungan dengan penjualan barang hasil produksi yaitu tingkat keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaaan atau daya dorong, dan hubungan kebelakang (backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan mentah/bahan baku atau disebut juga daya penyebaran atau daya tarik.

Pengembangan ekonomi kawasan secara berkesinambungan tidak terlepas dari adanya ketersediaan dan dukungan sumber daya baik secara kualitas maupun secara kuantitas, terutama sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya sosial (SDS) serta sumber daya buatan (SDB), namun di sisi lain pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan secara lokal dan tradisional, sementara industri pengolahan belum berkembang sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta belum didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata (BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Untuk itu, perlu dilakukan analisis tentang identifikasi potensi dan permasalah pengembangan Kapet Bima, yang meliputi ketersediaan fasilitas, sebaran penduduk, sebaran komoditas dan pertumbuhan ekonomi serta berbagai dukungan dan hambatan lainnya.

Otonomi daerah merupakan tantangan sekaligus peluang dalam menggerakkan berbagai sumber daya wilayah secara optimal. Dalam era otonomi daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pengendalian. Dengan demikian, perencanaan pembangunan di Kapet Bima akan bersifat bottom up atau partisipatif serta selaras dengan perencanaan pemerintah daerah. Sinergi peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat serta stakeholders

lainnya sangat dibutuhkan melalui strategi dan pendekatan yang holistik dalam pembangunan wilayah Kapet Bima secara berimbang dan berkelanjutan.

Dari uraian di atas maka dapat dibuat alur kerangka pemikiran penelitian yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah Keterkaitan Antar sektor Interaksi Spasial - Sebaran faslitas & penduduk - Sebaran komoditas - Pertumb ekon. - Sospolbud - Potensi dan permsl lainnya Inter Regional Intra Regional Keterkaitan kedepan dan kebelakang Sektor Unggulan

Strategi Pengembangan Wilayah Otonomi Daerah

Peran dan Interaksi Institusi

lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.

Penelitian merupakan suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut (Hillway 1956, diacu dalam Nazir 2003), Penelitian juga bertujuan untuk mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima ataupun mengubah dalil-dalil dengan adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut. Dari itu, penelitian dapat diartikan sebagai pencarian pengetahuan dan pemberi artian yang terus-menerus terhadap sesuatu. Penelitian juga merupakan percobaan yang hati-hati dan kritis untuk menemukan sesuatu yang baru (Nazir 2003).

Dalam melakukan penelitian, maka untuk mencapai tujuan penelitian akan mengikuti langkah-langkah yang disusun sebelum penelitian yang dilakukan lebih jelas dan terarah. Bab ini akan menjelaskan proses penelitian yang merupakan penjabaran alur kerangka pemikiran penelitian yang digambarkan pada bab sebelumnya.