• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Interaksi Obat

Interaksi obat dianggap penting secara klinik apabila dapat meningkatkan toksisitas atau justru menurunkan efek terapi farmakologi dari obat tersebut.

Apoteker harus mampu mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah interaksi obat serta memastikan tujuan terapi pasien dapat tercapai sehingga terwujudnya terapi yang optimal. Peningkatan jumlah obat yang di berikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga makin meningkat (Ana dkk., 2014;

Setiawati, 2003).

Tingkat keparahan diklasifikasikan kedalam tiga tingkatan, yaitu:

- Minor adalah interaksi yang mungkin terjadi dengan kondisi interaksi ringan yang masih dapat diatasi,

- Moderate adalah keparahan interaksi yang mungkin terjadi pada individu mengakibatkan penurunan status klinis yang memungkinkan diperlukannya perawatan tambahan, dan

- Major adalah interaksi yang memiliki kemungkinan tinggi untuk terjadi dan membahayakan nyawa pasien dan dapat menyebabkan kerusakan organ secara permanen (Abdulkadir dan Radjak, 2016; Tatro, 2009).

Berdasarkan mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat di bedakan menjadi 3 mekanisme yaitu:

1. Interaksi farmasetik

Interaksi ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat di berikan) antara obat yang tidak bisa di campur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisika atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat (Setiawati, 2003).

2. Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun (Setiawati, 2003). Berikut adalah interaksi farmakokinetik menurut Gitawati (2008):

 Interaksi proses absorpsi

Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi melalui beberapa cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi perubahan pH cairan gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif gastrointestinal; (4) adanya perubahan flora usus dan (5) efek makanan.

 Interaksi proses distribusi

Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan protein plasma.

 Interaksi pada proses metabolisme

Mekanisme interaksi dapat berupa (1) penghambatan (inhibisi) metabolisme, (2) induksi metabolisme, dan (3) perubahan aliran darah hepatik.

 Interaksi pada proses eliminasi

Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu dan pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena terjadinya perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama.

3. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat. Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi :

 Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.

 Penyesuaian dosis obat

Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.

 Pemantauan pasien

Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat.

 Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan (Fradgley, 2003).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional dengan rancangan penelitian retrospektif, yaitu penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data–data yang telah lalu (Notoatmodjo, 2010). Data diperoleh dari resep periode Januari – Juni 2019.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data berupa resep di Kimia Farma Apotek 27 Medan pada bulan Juni 2019 - Agustus 2019.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi target dalam penelitian ini yaitu semua resep obat yang mengandung obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan pada periode bulan Januari – Juni 2019.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:

a. Resep pasien terapi obat antihipertensi yang mengunjungi apotek pada bulan Januari 2019 - Juni 2019.

b. Resep pasien terapi obat antihipertensi laki-laki dan perempuan dari semua usia.

c. Resep pasien terapi obat antihipertensi dengan atau tanpa komplikasi.

Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah:

a. Resep pasien terapi obat antihipertensi yang tidak dapat dibaca.

3.4 Rancangan Penelitian

3.4.1 Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data dengan cara mengumpulkan resep obat antihipertensi.

3.4.2 Teknik pengolahan data

Data yang diperoleh di input ke dalam sebuah tabel yang memuat jenis kelamin, umur, obat, jumlah obat, durasi pengobatan, frekuensi penggunaan obat, jenis obat, bentuk sediaan obat, dan golongan obat.

3.5 Diagram Alur Penelitian

Adapun gambaran alur pelaksanaan penelitian ini adalah seperti Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1 Diagram alur penelitian

3.6 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Meminta izin dan menghubungi apotek untuk dapat melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

b. Mengumpulkan data berupa resep yang mengandung obat antihipertensi (periode Januari - Juni 2019).

c. Menganalisis data dengan merujuk kepada beberapa literatur dan menarik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.

3.7 Definisi Operasional

Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan pemahaman dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam penelitian ini, maka definisi operasional yang perlu dijelaskan, yaitu:

1. Hipertensi adalah didefinisikan sebagai tekanan darah ≥ 140/90 manometer merkuri (mmHg).

2. Evaluasi penggunaan obat adalah proses jaminan mutu resmi dan terstruktur yang dilaksanakan terus menerus yang ditujukan untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, aman, dan efektif.

3. Potensi adalah suatu keadaan atau daya yang dapat berkembang.

4. Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif.

3.8 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

a. Pola penggunaan obat dilakukan analisis secara deskriptif kuantitatif berdasarkan jenis kelamin, umur, bentuk sediaan obat, zat berkhasiat, jenis pemberian obat, dosis obat, frekuensi obat, dan durasi obat, kemudian dibuat dalam bentuk tabel, dihitung persentase dan ditarik kesimpulan.

b. Potensi interaksi obat ditentukan dengan merujuk kepada sumber Stockley Drugs Interaction (Stockley, 2008) dan Drug Interaction Checker (online).

Hasilnya dibuat dalam bentuk tabel, pengelompokkan berdasarkan tingkat keparahan, dihitung persentase, dan ditarik kesimpulan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi

Hasil penelitian menunjukkan prevalensi peresepan obat antihipertensi adalah sebesar 11,83 % dari total keseluruhan resep selama 6 bulan (482 resep).

Data resep yang didapat adalah sebanyak 57 resep yang telah memenuhi kriteria inklusi.

4.1.1 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan jenis kelamin Hasil pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pasien hipertensi pada laki-laki sebesar 50,88% dan perempuan sebesar 49,12%.

Tabel 4.1 Karakteristik pengguna obat antiihipertensi berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase (%)

1. Laki-laki 29 50,88

2. Perempuan 28 49,12

Total 57 100

Sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2019) yaitu pasien hipertensi lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (53,6%) dibandingkan perempuan. Secara keseluruhan, penyakit ini dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Akan tetapi jika dilihat dari usia, jumlah hipertensi akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur seseorang.

Pada usia kurang dari 45 tahun, hipertensi banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan pada usia lebih dari 65 tahun, prevalensinya banyak terjadi pada perempuan (Fikriana, 2018).

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL) dan dapat mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia

premenopause. Sedikit demi sedikit wanita akan kehilangan hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Kuantitasnya akan berubah sesuai dengan umur wanita secara alami, yang pada umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45 – 55 tahun. Pada umur lebih dari 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria yang diakibatkan faktor hormonal (Anggraini, 2012).

4.1.2 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan kelompok umur

Hasil pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa penyakit hipertensi banyak menyerang pada kelompok umur dewasa yaitu di umur 19-59 tahun sebesar 61,40%, kemudian diikuti oleh kelompok umur lanjut usia (≥60 tahun) sebesar 29,82%, dan anak-anak (0-18 tahun) sebesar 8,77%.

Tabel 4.2 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan kelompok umur

No. Kelompok Umur Jumlah Pasien Persentase (%)

1. Anak-anak (0-18 tahun) 5 8,77

2. Dewasa (19-59 tahun) 35 61,40

3. Lanjut Usia (≥60 tahun) 17 29,82

Total 57 100

Pada penelitian ini didapatkan bahwa pengguna obat pada kelompok umur anak-anak sebesar 8,77%. Penggunaan obat antihipertensi pada anak-anak biasanya digunakan pada pasien dengan indikasi glumerulonefritis, penyakit parenkim ginjal, dan gagal jantung kongestif (IDAI, 2011).

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2019), Pasien hipertensi pada kategori anak tidak ada, namun pasien dengan lanjut usia tetap sama berada di urutan kedua terbanyak menderita hipertensi yaitu sebesar 37,5%.

Penyebab hipertensi pada anak, terutama masa preadolesens, umumnya adalah sekunder. Di antara penyebab sekunder tersebut, penyakit parenkim ginjal

merupakan penyebab yang paling banyak ditemukan (60-70%). Penyebab yang lebih jarang adalah penyakit renovaskular, feokromositoma, hipertiroid, koarktasio aorta, dan obat yang bersifat simpatomimetik. Hipertensi sekunder biasanya menunjukkan tekanan darah yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hipertensi primer. Prevalensi penyakit persisten hipertensi sekunder sekitar 0,1% (Dharmawan, 2012).

4.1.3 Jumlah penggunaan obat berdasarkan kelompok umur

Hasil pada Tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa rata-rata resep per pasien adalah 2,46 R/. Persentase polifarmasi yang terjadi pada peresepan obat antihipertensi adalah 3,51%.

Tabel 4.3 Jumlah penggunaan obat berdasarkan kelompok umur No. Kelompok

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Herdaningsih (2016), yaitu pada periode Januari–Maret 2014, tercatat jumlah rata-rata R/ pada setiap lembar resep adalah 3,2. Banyaknya jumlah obat-obatan yang dikonsumsi memiliki kecenderungan untuk meningkatkan risiko gangguan kesehatan bagi kelompok pasien geriatri dan juga memiliki potensi menyebabkan terjadinya polifarmasi.

(Herdaningsih, dkk., 2016).

4.1.4 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan generik dan non generik Hasil pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa resep obat antihipertensi banyak diberikan dalam generik yaitu sebesar 54,67 % dan obat paten atau non generik sebesar 45,33% dari total resep obat antihipertensi. Sumber resep yang

ditebus pada penelitian ini tidak hanya berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, tetapi juga berasal dari klinik swasta, dan jenis pembayaran tidak hanya diasuransikan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, tetapi juga swadana/biaya sendiri/non-asuransi.

Tabel 4.4 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan generik dan non generik

No. Jenis Obat Jumlah R/ Persentase (%)

1. Generik 41 54,67

2. Non – Generik 34 45,33

Total 75 100

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional sehubungan dengan tujuannya dalam meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, maka dilakukan strategi, salah satunya adalah rasionalisasi harga obat dan pemanfaatan obat generik.

Persentase yang cukup besar pada penggunaan obat non generik pada penelitain ini menjadi perhatian, mengingat regulasi tersebut sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum adanya asuransi dari BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, penyuluhan tentang penggunaan obat generik harus lebih digalakkan.

4.1.5 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan bentuk sediaan obat

Hasil pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pemberian obat antihipertensi paling banyak diberikan dalam bentuk tablet 94,67%, sedangkan bentuk sediaan obat lainnya yang digunakan adalah pulveres 5,33%. Bentuk sediaan obat pulveres diberikan kepada pasien dengan umur dibawah 4 tahun, dengan zat khasiat captopril dan propanolol.

Tabel 4.5 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan bentuk sediaan obat

No. Bentuk Sediaan Jumlah R/ Persentase (%)

1. Tablet 71 94,67

2. Pulveres 4 5,33

Total 75 100

Populasi pediatrik merupakan tantangan bagi penyedia pelayanan kefarmasian, meliputi sedikitnya informasi yang terpublikasi dalam hal penggunaan obat, kurangnya ketersediaan formula bentuk sediaan maupun konsentrasi obat yang cocok untuk anak (Ceci, 2009).

Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi atas primer (esensial) dan sekunder. Hipertensi pada anak, terutama masa preadolesens, umumnya adalah hipertensi sekunder, diantaranya adalah penyakit parenkim ginjal (60-70%). Memasuki usia remaja, penyebab tersering adalah hipertensi primer, yaitu sekitar 85-95% (IDAI, 2011). Kelainan pada parenkim ginjal dapat menimbulkan hipertensi renal, misalnya pada pielonefritis kronis. Infeksi kronis akan merusak parenkim dan akhimya membentuk jaringan parut. Jaringan parut itu akan menarik jaringan sekitarnya termasuk jaringan vaskular arteri interlobaris yang akan mengganggu vaskularisasi ginjal yang berakibat timbulnya hipertensi (Nadeak, 2012).

Manajemen hipertensi pada anak menurut American Academy of Pediatrics mengatakan pada anak-anak dan remaja hipertensi yang memiliki gagal modifikasi gaya hidup, terutama mereka yang memiliki LVH (Left Ventricular Hypertrophy) pada ekokardiografi, hipertensi simptomatik, atau tahap 2 hipertensi tanpa faktor yang dapat dimodifikasi dengan jelas, dokter harus memulai pengobatan farmakologis dengan ACE inhibitor, ARB, long-acting CCB, atau diuretik tiazida (Flynn, dkk., 2017).

4.1.6 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan zat berkhasiat

Hasil pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa tiga obat antihipertensi terbanyak yang digunakan dalam peresepan adalah amlodipine sebesar 28,00%, diikuti oleh bisoprolol 18,67%, dan candesartan 13,33%.

Tabel 4.6 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan zat berkhasiat

No. Nama Obat Jumlah R/ Persentase (%)

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Destiani (2016) mengatakan tiga obat antihipertensi terbanyak yang digunakan adalah amlodipin, irbesartan, dan captopril.

Antihipertensi golongan CCB merupakan antihipertensi yang paling sering diresepkan terutama golongan amlodipine karena aturan pemberiannya yang praktis satu kali sehari. Amlodipin mempunyai mekanisme dengan merelaksasi arteriol pembuluh darah. Amlodipin bersifat vaskuloselektif, memiliki bioavailibilitas oral yang relatif rendah, memiliki waktu paruh yang panjang, dan absorpsi yang lambat sehingga mencegah tekanan darah turun secara mendadak.

Amlodipin juga merupakan obat yang sangat bermanfaat mengatasi hipertensi darurat karena dosis awalnya yaitu 10 mg, dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit (Suhadi 2011; Nafrialdi, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetio dan Chrisandyani (2009) menyatakan bahwa terdapat 11,9% angka kejadian efek samping pemakaian amlodipin. Efek samping yang sering terjadi akibat pemakaian Amlodipin adalah edema, sakit kepala, takikardia, dispepsia, pusing, dan mual (Baharuddin, 2013).

4.1.7 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan pemberian tunggal atau kombinasi

Hasil pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa penggunaan obat antihipertensi berdasarkan pemberian obat secara tunggal dan kombinasi adalah sebanyak 43 resep tunggal (75,43%) dan 14 resep kombinasi (24,56%). Obat antihipertensi yang sering diresepkan secara pemberian tunggal adalah amlodipine dari golongan obat CCB. Tabel 4.7 berikut ini akan memuat tentang penggunaan obat yang diberikan secara monoterapi atau tunggal.

Tabel 4.7 Penggunaan obat antihipertensi dengan pemberian tunggal Tunggal

Untuk pemberian obat kombinasi yang paling banyak diresepkan adalah kombinasi amlodipine-bisoprolol dan amlodipine-candesartan. Tabel 4.8 berikut ini akan memuat tentang penggunaan obat yang diberikan secara kombinasi.

Tabel 4.8 Penggunaan obat antihipertensi dengan pemberian kombinasi Kombinasi

No. Nama Obat Jumlah Kasus Persentase (%)

1. Amlodipine + Bisoprolol 2 14,29

2. Candesartan + Amlodipine 2 14,29

3. Furosemide + Spironolakton + Bisoprolol + Telmisartan

1 7,14

4. Bisoprolol + Telmisartan 1 7,14

5. Bisoprolol + Spironolakton + Ramipril

1 7,14

6. Furosemide + Spironolakton 1 7,14

7. Lercanidipine + Losartan 1 7,14

8. Furosemide + Candesartan 1 7,14

9. Furosemide + Spironolakton + Bisoprolol

Mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan judul profil penggunaan obat pasien hipertensi di instalasi rawat jalan sebuah rumah sakit umum daerah Lagaligo tahun 2014 juga menunjukkan bahwa antihipertensi tunggal lebih banyak digunakan dibanding kombinasi dua antihipertensi.

(Tandaililing, dkk., 2017).

Pemberian dua macam obat sebagai terapi inisial juga disarankan bila didapatkan tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg diatas target tekanan darah yang ditentukan.. Terapi dengan lebih dari satu obat akan meningkatkan kemungkinan untuk mencapai tujuan tekanan darah secara lebih cepat. Penggunaan kombinasi obat sering menghasilkan penurunan tekanan darah yang lebih besar pada dosis yang lebih rendah dibandingkan ketika obat digunakan secara tunggal, sehingga kemungkinan efek samping yang terjadi lebih kecil (Chobanian, 2003).

Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan tingkatkan dosis obat awal atau tambah kan obat kedua dari salah satu

kelas yang direkomendasikan dalam rekomendasi 6. Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEi dan ARB bersama-sama pada satu pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai karena kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat, obat antihipertensi kelas lain dapat digunakan. (James, dkk., 2014).

4.1.8 Pengunaan obat antihipertensi berdasarkan dosis obat, durasi pengobatan dan frekuensi penggunaan obat

Hasil pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa durasi pengobatan per item obat yang diresepkan paling banyak selama 30 hari (24%), diikuti oleh 10 hari (21,3%) dan 5 hari (16%). Frekuensi pemberian obat paling banyak diresepkan adalah 1 kali sehari 1 tablet (setiap 12 jam).

Tabel 4.9 Pengunaan obat antihipertensi berdasarkan dosis obat, durasi pengobatan dan frekuensi penggunaan obat

No. Nama Obat Jumlah R/

No. Nama Obat Jumlah R/

Idealnya, antihipertensi dalam pengobatan rutin hipertensi diresepkan untuk memenuhi kebutuhan pasien selama 30 hari. Semakin sedikit unit obat per resep yang dibeli pasien akan semakin sering seorang pasien harus ke dokter

dan/atau apotek untuk memperoleh obatnya. Hal ini beresiko menurunkan tingkat ketaatan pasien. Aturan pemberian sekali sehari akan meningkatkan ketaatan pemberian obat karena lebih praktis (Suhadi, 2011).

Kunjugan pasien yang datang setiap minggu belum memenuhi syarat terapi penderita hipertensi, kerena pasien hipertensi seharusnya mengontrol tekanan darahnya setiap hari. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pengukuran tekanan darah dilakukan secara terus-menerus untuk melihat adanya tanda-tanda risiko penyakit kardiovaskuler dan mencapai target yang diinginkan (Depkes RI, 2006).

4.1.9 Obat-obatan yang diberikan bersamaan dengan obat antihipertensi Hasil pada Tabel 4.10 menunjukkan bahwa obat lain yang paling banyak digunakan bersamaan dengan obat antihipertensi adalah alprazolam sebanyak 5 kasus (7,69%). Hal ini dapat menjadi informasi indikasi penyerta pada pasien hipertensi, seperti sulit tidur yang sering dialami oleh pasien dewasa maupun lanjut usia.

Tabel 4.10 Obat-obatan yang diberikan bersamaan dengan obat antihipertensi

No. Nama Obat Jumlah R/ Persentase (%)

No. Nama Obat Jumlah R/ Persentase (%)

27. Tenofovir Disoproxil Fumarate 1 1,54

28. Gliquidone 1 1,54

41. Promethazine + Guaiphenesin + Ipecacuanhae extract

Tidur mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia.

Bertambahnya umur seseorang menjadikan kemampuan untuk tidur menurun, namun bukan keperluan tidur yang kurang. Kondisi ini merupakan salah satu bagian dan proses penuaan normal. Keluhan tidur sering dijumpai pada lanjut usia (lansia), dengan gejala yang sering dikeluhkan adalah kesulitan untuk mulai tidur, mempertahankan tidurnya, sering bangun pagi, dan mengantuk di siang hari. Ada beberapa proses yang memengaruhi tidur dan bangun pada lansia, seperti penyakit

akut atau kronik, efek pengobatan, gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan mental (depresi, cemas, psikosis), gangguan tidur kondisi medik umum, gangguan tidur yang diinduksi oleh zat, dan lainnya (Amir, 2007; Surilena, 2004).

4.2 Potensi Interaksi Obat

Hasil pada Tabel 4. 11, berdasarkan sumber Drug Interaction Checker didapatkan hasil persentase potensi interaksi obat sebesar 31,58% (18 resep) dari total keseluruhan resep. Terdapat 39 potensi interaksi obat dengan interaksi mayor sebanyak 2 kejadian (5,13%), interaksi moderate sebanyak 29 kejadian (74,36%), dan interaksi minor sebanyak 8 kejadian (20,51%). Rata-rata terjadinya kejadian potensi interaksi obat pada setiap resep sebanyak 2 kejadian. Potensi interaksi mayor yang dapat terjadi pada kombinasi spironolakton-telmisartan dan spironolakton-ramipril.

Tabel 4. 11 Potensi interaksi obat*

No. Interaksi Obat-Obat Jumlah Kasus

Mayor

1. Spironolakton + Telmisartan 1

2. Spironolakton + Ramipril 1

17. Atorvastatin + Lansoprazole 1

18. Clopidogrel + Aspirin 1

19. Clopidogrel + Lansoprazole 1

20. Clopidogrel + Atorvastatin 1

No. Interaksi Obat-Obat Jumlah Kasus

21. Promethazine + Cetirizine 1

22. Allopurinol + Sukralfat 1

23. Lansoprazole + Lovastatin 1

24. Lansoprazole + Sukralfat 1

Minor

25. Bisoprolol + Aspirin 2

26. Bisoprolol + Asam Asetilsalisilat 2

27. Furosemide + Tamsulosin 1

28. Aspirin + Lansoprazole 1

29. Ranitidine + Asam Mefenamat 1

30. Nitrogliserin + Asam Asetilsalisilat 1

Total 39

*Sumber : Drug Interaction Checker (drugs.com)

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu Arianti (2017) mengatakan persentase drug related problems (DRPs) pada kategori interaksi obat dengan kriteria interaksi moderate lebih banyak terjadi, disusul oleh interaksi minor dan interaksi mayor.

Menurut Stockley Drugs Interaction didapatkan terjadi interaksi obat pada kombinasi spironolakton - ACEi/ARB menyebabkan hiperkalemia berat. Dosis spironolakton kemungkinan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian hiperkalemia. Dosis spironolakton lebih besar dari 25 mg setiap hari meningkatkan resiko hiperkalemia. Peningkatan resiko hiperkalemia ini dapat terjadi terutama jika ada faktor resiko lain seperti gangguan ginjal (Stockley, 2008).

Kombinasi ACEi dan ARB kemungkinan menyebabkan terjadinya efek samping hipotensi terhadap pasien. Interaksi obat terjadi pada kombinasi ACEi dan aspirin (terjadi pada 50% pasien) jika dosis aspirin tinggi. Namun, bila dosis aspirin dibawah 100 mg, efeknya kecil. Beta blocker memiliki efek antagonis jika dikombinasikan dengan aspirin dosis tinggi. Adanya interaksi obat yang memberikan efek positif dalam pengobatan, seperti kombinasi ACEi dan β-blocker (Stockley, 2008).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil sebagai berikut :

a. Prevalensi penggunaan obat antihipertensi tertinggi yaitu pada jenis kelamin laki-laki, usia 19-51 tahun, dan obat yang paling banyak digunakan adalah amlodipine golongan Calsium Channel Blocker (CCB). Kombinasi obat yang

a. Prevalensi penggunaan obat antihipertensi tertinggi yaitu pada jenis kelamin laki-laki, usia 19-51 tahun, dan obat yang paling banyak digunakan adalah amlodipine golongan Calsium Channel Blocker (CCB). Kombinasi obat yang

Dokumen terkait