• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI APOTEK KIMIA FARMA 27 MEDAN SKRIPSI OLEH : BRINA NOVIA NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI APOTEK KIMIA FARMA 27 MEDAN SKRIPSI OLEH : BRINA NOVIA NIM"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI APOTEK KIMIA FARMA 27 MEDAN

SKRIPSI

OLEH : BRINA NOVIA NIM 151501216

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI APOTEK KIMIA FARMA 27 MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH : BRINA NOVIA NIM 151501216

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan ridhoNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Salah satu parameter rasionalitas suatu resep adalah tidak adanya masalah terkait obat. Tujuan penilitian ini adalah untuk.mengetahui pola penggunaan obat dan adanya potensi interaksi obat pada penggunaan obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing dan penasehat akademik yang telah memberikan waktu, ilmu, nasihat, arahan, dan motivasi, serta membimbing dengan penuh kesabaran, tulus, dan ikhlas selama masa perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. dan Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.

sebagai tim penguji yang sangat banyak memberikan masukan dan saran atas skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua, Ayahanda Alm. H. Asep Tarwan, S.H., M.M., Ibunda Hj.

(5)

Lenny Triany, serta adik-adik tercinta, Brilly Prayoga Raihul Akbar dan Bryandez Rafkly Rismaulana yang telah memberikan dukungan baik moral, materi, kasih sayang, semangat dan do’a yang tiada putusnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi.

Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada teman-teman sejawat penulis terutama teman seperdopingan, Devi dan Karina atas kerjasamanya, dorongan dan semangat dalam proses penelitian. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Asisten Laboratorium Farmasi Komunitas, Jihan, Janur, Yuni, Ina, Putri, Alma, Zia, Dhani, Bella, dan Halima dan teman-teman angkatan 2015 lainnya atas kebersamaan, do’a, dorongan, bantuan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama ini. Tak lupa kepada Siti Muliani Julianty, Nadia Amalia dan Annisa Hafsah atas semangat dan do’a nya selama penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dengan segenap hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 29 Januari 2020 Penulis,

Brina Novia NIM 151501216

(6)

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Brina Novia

Nomor Induk Mahasiswa : 151501216 Program Studi : Sarjana Farmasi

Judul Skripsi : Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah asli karya sendiri dan bukan plagiat. Apabila di kemudia hari diketahui skripsi saya tersebut terbukti plagiat karena kesalahan sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, 29 Januari 2020

Brina Novia NIM 151501216

(7)

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI APOTEK KIMIA FARMA 27 MEDAN

ABSTRAK

Latar Belakang : Hipertensi adalah masalah kesehatan utama dan masih menjadi ancaman bagi masyarakat dunia. Pada tahun 2018, riset kesehatan dasar menyatakan prevalensi di Indonesia telah mencapai 34,1% dari total penduduk dewasa. Penggunaan obat yang beragam pada penderita hipertensi rentan terhadap masalah terkait obat.

Tujuan : Untuk mengetahui pola penggunaan obat dan adanya potensi interaksi obat pada penggunaan obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan Metode : Metode yang digunakan adalah deskriptif observasinal pendekatan cross sectional dengan rancangan retrospektif. Data retrospektif diambil dari resep obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan periode Januari – Juni 2019 (n = 57). Analisis data merujuk pada Drug Interaction Checker, dan Stockley Drug Interactions.

Hasil : Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi penggunaan obat antihipertensi tertinggi yaitu pada jenis kelamin laki-laki, usia 19-51 tahun, dan obat yang paling banyak digunakan adalah amlodipine, golongan Calsium Channel Blocker (CCB). Potensi interaksi obat pada peresepan obat antihipertensi sebesar 31,58% (18 dari 57 resep) dengan interaksi mayor sebesar 5,13%.

Kesimpulan : Masih perlu mewaspadai adanya potensi interaksi obat mayor agar tercapai hasil klinis yang diharapkan.

Kata kunci : Hipertensi, potensi interaksi obat, apotek

(8)

EVALUATION OF ANTIHYPERTENSIVE DRUGS UTILIZATION AT KIMIA FARMA 27 MEDAN

ABSTRACT

Background : Hypertension is a major health problem and it is still a threat to the world community. In 2013, basic health research stated that the prevalence in Indonesia had reached 25.8% of the total adult population. The various of drugs utilization in patients with hypertension is susceptible to drug-related problems.

Objective : To determine antihypertensive drugs utilization and potential drug interactions on antihypertensive drugs utilization at the Kimia Farma 27 Pharmacy Medan

Method : The method used was a descriptive cross-sectional observational approach with a retrospective design. Retrospective data were taken from prescription antihypertensive drugs at the Kimia Farma 27 Pharmacy in the January-June 2019 period (n = 57). Data analysis refers to Drug Interaction Checker, and Stockley Drug Interactions.

Results : Based on the results of the study showed that the highest prevalence of antihypertensive drug utilization was in the male, ages 19-51 years, and the most widely used drug was amlodipine, group of Calcium Channel Blockers (CCB).

Potential drug interactions in prescribing antihypertensive drugs was 31.58% (18 of 57 prescription) with major interactions was 5.13%.

Conclusion : Still need to be aware of the potential major drug interactions in order to achieve the expected outcome therapy.

Keywords : Hypertension, potential drug interactions, pharmacy

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis Penelitian ... 2

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Hipertensi ... 4

2.1.1 Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan darah ... 5

2.1.2 Etiologi hipertensi ... 6

2.1.3 Faktor resiko hipertensi ... 6

2.1.4 Patofisiologi hipertensi ... 6

2.1.5 Diagnosis hipertensi ... 7

2.1.6 Penatalaksanaan hipertensi ... 8

2.1.6.1 Terapi non farmakologi/ modifikasi gaya hidup ... 8

2.1.6.2 Terapi farmakologi ... 8

2.1.7 Hipertensi sekunder ... 13

2.2 Interaksi Obat ... 18

BAB III. METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Jenis Penelitian ... 22

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.3 Populasi dan Sampel ... 22

3.3.1 Populasi ... 22

3.3.2 Sampel ... 22

3.4 Rancangan Penelitian ... 23

3.4.1 Teknik pengumpulan data ... 23

3.4.2 Teknik pengolahan data ... 23

3.5 Diagram Alur Penelitian ... 23

3.6 Langkah Penelitian ... 24

3.7 Definisi Operasional ... 24

3.8 Analisis Data ... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi ... 26

4.1.1 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan jenis kelamin ... 26

4.1.2 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan kelompok umur ... 27

4.1.3 Jumlah penggunaan obat berdasarkan kelompok umur ... 28

(10)

4.1.4 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan generik dan non generik ... 28

4.1.5 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan bentuk sediaan obat ... 29

4.1.6 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan zat berkhasiat ... 31

4.1.7 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan pemberian tunggal atau kombinasi ... 32

4.1.8 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan dosis obat, durasi pengobatan dan frekuensi penggunaan obat ... 34

4.1.9 Obat-obatan yang diberikan bersamaan dengan obat antihipertensi ... 36

4.2 Potensi Interaksi Obat ... 38

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN ... 44

(11)

DAFTAR TABEL

2.1 Klasifikasi tekanan darah dewasa berdasarkan JNC 7 ... 5

2.2 Klasifikasi target tekanan darah berdasarkan JNC 8 ... 5

2.3 Obat Antihipertensi yang direkomendasikan dalam JNC 8 ... 11

2.4 Agen pilihan pengobatan hipertensi menurut JNC 8 ... 12

4.1 Karakteristik pengguna obat antihipetensi berdasarkan jenis kelamin ... 26

4.2 Karakteristik pengguna obat antihipetensi berdasarkan kelompok umur ... 27

4.3 Jumlah penggunaan obat berdasarkan kelompok umur ... 28

4.4 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan generik dan non generik ... 29

4.5 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan bentuk sediaan obat ... 30

4.6 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan zat berkhasiat ... 31

4.7 Penggunaan obat antihipertensi dengan pemberian tunggal ... 32

4.8 Penggunaan obat antihipertensi dengan pemberian kombinasi ... 33

4.9 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan dosis obat, durasi penggunaan dan frekuensi penggunaan obat ... 34

4.10 Obat-obatan yang diberikan bersamaan dengan obat antihipertensi ... 36

4.11 Potensi interaksi obat ... 38

(12)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat ... 3 2.1 Algoritma tata laksana hipertensi berdasarkan JNC 8 ... 9 3.1 Diagram alur penelitian ... 23

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Profil Penggunaaan Obat Antihipertensi di Apotek Periode Januari – Juni 2019 ... 44 2. Surat Judul Penelitian ... 51

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi adalah salah satu kontributor paling penting yang dapat dicegah untuk perkembangan penyakit dan kematian di Amerika Serikat, yang mengarah ke infark miokard, stroke, dan gagal ginjal jika tidak terdeteksi dini dan diobati dengan tepat. Hipertensi adalah masalah kesehatan utama di seluruh dunia karena tingginya prevalensi dan hubungannya dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (James dkk., 2014; Khattib, 2005).

Menurut survei riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, kejadian prevalensi hipertensi di Indonesia telah mencapai 34,1% dari total penduduk dewasa (Kemenkes RI, 2018).

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan primer. Hipertensi primer adalah merupakan jenis hipertensi yang tidak diketehui penyebabnya, sedangkan hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat diketahui. Hipertensi sekunder biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (PGK) atau penyakit renovaskular, sindrom Cushing, koarktasio aorta, apnea tidur obstruktif, hiperparatiroidisme, feokromositoma, aldosteronisme primer, dan hipertiroidisme. (Sustrani, 2004;

DiPiro dkk., 2015).

Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat makin besar. Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan (Quinn dan Day, 1997).

(15)

Menurut PMK No. 73 tahun 2016, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh Apoteker. Salah satu standar pelayanan kefarmasian di Apotek adalah pelayanan farmasi klinik.

Pengkajian mengenai resep dalam pertimbangan klinis juga sangat memperhatikan ketepatan indikasi dan dosis obat, serta interaksi yang mungkin terjadi pada peresepan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan oenelitian untuk mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi dan adanya masalah terkait obat pada pengobatan pasien hipertensi, terkhusus potensi interaksi obat di Apotek Kimia Farma 27 Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan tersebut dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:

a. Apakah pola penggunaan obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan?

b. Apakah terdapat potensi interaksi obat pada penggunaan obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Obat antihipertensi yang paling banyak diresepkan adalah amlodipine. Paling banyak digunakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki, dan paling banyak digunakan oleh kelompok lansia.

(16)

b. Terdapat potensi terjadinya interaksi obat pada penggunaan obat antihipertensi.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan.

b. Untuk mengetahui potensi terjadinya interaksi obat yang terjadi pada penggunaan obat antihiperensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan.

1.5 Manfaat Penelitian:

a. Dapat memberikan gambaran mengenai pola penggunaan obat, potensi interaksi obat pada peresepan obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan.

b. Dapat sebagai bahan pertimbangan bagi apoteker dan praktisi kesehatan lain berguna dalam peningkatan pelayanan kesehatan demi terciptanya penggunaan obat yang rasional (tepat, aman, dan efektif).

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Adapun kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar berikut :

Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan primer. Hipertensi primer adalah merupakan jenis hipertensi yang tidak diketehui penyebabnya, sedangkan hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat diketahui (Sustrani, 2004).

Hipertensi adalah kondisi yang paling umum terlihat dalam perawatan primer dan menyebabkan infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan kematian jika tidak terdeteksi dini dan diobati dengan tepat. Pasien ingin diyakinkan bahwa pengobatan tekanan darah akan mengurangi beban penyakit mereka, sementara dokter ingin panduan tentang manajemen hipertensi menggunakan bukti ilmiah terbaik. Laporan ini menggunakan pendekatan berbasis bukti yang ketat untuk merekomendasikan ambang pengobatan, tujuan, dan pengobatan dalam pengelolaan hipertensi pada orang dewasa. Bukti diambil dari uji coba terkontrol secara acak, yang mewakili standar emas untuk menentukan kemanjuran dan efektivitas (James dkk., 2014).

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan dalam kedokteran primer. Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai organ target seperti jantung, otak, ginjal, mata dan arteri perifer. Kerusakan organ-organ tersebut bergantung pada seberapa tinggi tekanan darah dan seberapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan tidak diobati. Studi menunjukkan bahwa penurunan rerata tekanan darah sistolik dapat menurunkan risiko mortalitas akibat penyakit jantung iskemik atau stroke (Muhadi, 2016).

(18)

2.1.1 Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan darah

Klasifikasi hipertensi menurut Joint National Committee 7 (JNC 7) pada Tabel 2.1 tidak mengelompokkan hipertensi dengan ada atau tidak adanya faktor risiko atau kerusakan organ target untuk membuat rekomendasi pengobatan yang berbeda, jika ada atau keduanya hadir (Chobanian, 2003).

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah dewasa berdasarkan JNC 7

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 dan < 80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi Derajat 1 Derajat 2

140-159

≥ 160

atau atau

90-99

≥ 100

(Chobanian, 2003).

Rekomendasi pengobatan pada Tabel 2.2 merupakan pengelompokkan berdasarkan umur atau kerusakan organ target.

Tabel 2.2 Klasifikasi target tekanan darah berdasarkan JNC 8 Populasi Target TD,

mm Hg

Pilihan pengobatan awal Umum ≥ 60 tahun < 150/90 Non-hitam: diuretik tipe thiazide,

ACEI, ARB, atau CCB; Hitam:

diuretik tipe thiazide atau CCB.

Umum < 60 tahun < 140/90

Diabetes < 140/90

CKD < 140/90 ACEI atau ARB

(James dkk., 2014).

Ada bukti kuat untuk mendukung penanganan orang hipertensi berusia 60 tahun atau lebih dengan tujuan tekanan darah kurang dari 150/90 mm Hg dan orang hipertensi 30 hingga 59 tahun ke tujuan diastolik kurang dari 90 mm Hg;

Namun, tidak ada bukti yang cukup pada orang hipertensi yang lebih muda dari 60 tahun untuk tujuan sistolik, atau pada mereka yang lebih muda dari 30 tahun untuk tujuan diastolik, sehingga panel merekomendasikan tekanan darah dengan tekanan kurang dari 140/90 mm Hg untuk kelompok-kelompok berdasarkan pendapat ahli. Ambang dan tujuan yang sama direkomendasikan untuk orang

(19)

dewasa hipertensi dengan diabetes atau penyakit ginjal kronis nondiabetes (PGK) seperti untuk populasi hipertensi umum yang lebih muda dari 60 tahun (James dkk., 2014).

2.1.2 Etiologi hipertensi

Hipertensi dapat disebabkan oleh penyebab spesifik (hipertensi sekunder) atau dari penyebab yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial).

Hipertensi sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (PGK) atau penyakit renovaskular. Kondisi lain adalah sindrom Cushing, koarktasio aorta, apnea tidur obstruktif, hiperparatiroidisme, feokromositoma, aldosteronisme primer, dan hipertiroidisme. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah termasuk kortikosteroid, estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid, amfetamin, sibutramine, siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine. (DiPiro dkk., 2015).

2.1.3 Faktor resiko hipertensi

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi yaitu usia lanjut, adanya riwayat tekanan darah tinggi dalam keluarga, kelebihan berat badan yang diikuti dengan kurangnya berolahraga. Fenomena ini disebabkan karena perubahan gaya hidup masyarakat secara global, seperti semakin mudahnya mendapatkan makanan siap saji membuat konsumsi sayuran segar dan serat berkurang, kemudian konsumsi garam, lemak, gula, dan kalori yang terus meningkat (Situmorang, 2015).

2.1.4 Patofisiologi hipertensi

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pengembangan hipertensi primer meliputi:

(20)

 Ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia,

 Masalah patologi pada sistem saraf pusat, serabut saraf otonom, volume plasma, dan kontriksi arteriol,

 Defisiensi senyawa sintesis lokal vasodilator pada endothelium vaskular, misalnya prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida,

 Terjadinya peningkatan produksi senyawa vasokontriksi seperti angiotensin II dan endotelin I,

 Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik yang menginhibisi transport natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan reaktivitas vaskular dan tekanan darah,

 Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vaskular, fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskular perifer (Sukandar dkk., 2009).

Hipertensi dimulai adanya pengerasan arteri. Penimbunan lemak terdapat pada dinding arteri yang mengakibatkan berkurangnya volume cairan darah ke jantung. Penimbunan itu membentuk plak yang kemudian terjadi penyempitan dan penurunan elastisitas arteri sehingga tekanan darah tidak dapat diatur yang artinya beban jantung bertambah berat dan terjadi gangguan diastolik yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah (Saputri, 2016).

2.1.5 Diagnosis hipertensi

Peningkatan TD mungkin merupakan satu-satunya tanda hipertensi primer pada pemeriksaan fisik. Diagnosis harus didasarkan pada rata-rata dua atau lebih bacaan yang diambil pada masing-masing dua atau lebih pertemuan klinis. Tes

(21)

laboratorium untuk mendiagnosis hipertensi sekunder adalah pemeriksaan kadar norepinefrin dan metanefrin plasma untuk feokromositoma, konsentrasi aldosteron plasma dan urin untuk aldosteronisme primer, aktivitas renin plasma, dan lain-lain (DiPiro dkk., 2015).

2.1.6 Penatalaksanaan hipertensi

Penatalaksanaan dibedakan menjadi dua cara, yaitu : 2.1.6.1 Terapi non farmakologi/ modifikasi gaya hidup

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines, antara lain :

 Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan.

 Mengurangi asupan garam. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari

 Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/

hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.

 Mengurangi konsumsi alkohol. Dengan cara membatasi atau menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.

 Berhenti merokok. Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit

kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.

(PERKI, 2015).

2.1.6.2 Terapi farmakologi

Berikut ini merupakan algoritma penatalaksaan hipertensi menurut JNC 8 (Iames dkk., 2014) :

(22)

Gambar 2.1 Algoritma tata laksana hipertensi berdasarkan JNC 8

(23)

Obat antihipertensi terdiri dari beberapa jenis, sehingga memerlukan strategi terapi untuk memilih obat sebagai terapi awal, termasuk mengkombinasikan beberapa obat anti hipertensi. Asessmen awal meliputi identifikasi faktor risiko, komorbid, dan adanya kerusakan organ target memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan pemilihan obat anti hipertensi.

Modifikasi gaya hidup selama periode observasi (TD belum mencapai ambang batas hipertensi) harus tetap dilanjutkan meskipun pasien sudah diberikan obat anti hipertensi. Perubahan gaya hidup juga penting untuk memperbaiki profil risiko kardiovaskuler disamping penurunan TD (Kandarini, 2015).

Berikut ini merupakan penjelasan mengenai penggolongan obat antihipertensi berdasarkan mekanisme kerja obat:

a. Diuretik

Mekanisme kerja : Diuretik berkerja antara lain dengan: (1) meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler, akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah; (2) menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya (penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium.

b. Beta-blocker

Mekanisme kerja : Hambatan reseptor β1, antara lain: (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung;

(2) hambatan sekresi rennin di sel-sel jukstaglomerular ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan sensitivitas pada baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer dan peningkatan biosintesis protasiklin.

(24)

c. Angiotensin Converting Enzymes Inhibitor (ACEi)

Mekanisme kerja : ACEi menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi (penurunan sekresi aldosteron, kadar bradikinin dalam darah meningkat). Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan eksresi air dan natrium, dan retensi kalium.

d. Antagonis Angiotensi II atau Angiotensi Receptor Blocker (ARB)

Mekanisme kerja : Menghambat semua efek angiotensin II. Reseptor angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor AT1 dan AT2.

Reseptor AT1 terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan di otot jantung, serta di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Obat ARB ini bekerja selektif pada reseptor AT1 yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular.

e. Antagonis Kalsium atau Calsium Channel Blocker (CCB)

Mekanisme kerja : menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, CCB terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi (Setiawati, 2007).

Pedoman JNC 8 merekomendasikan beberapa obat pada pengobatan antihipertensi yang tertera pada Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3 Obat antihipertensi yang direkomendasikan dalam JNC 8 Pengobatan

antihipertensi

Dosis harian awal, mg

Dosis target, mg

Jumlah dosis per hari ACE inhibitors (ACEi)

Captopril 50 150-200 2

Enalapril 5 20 1-2

Lisinopril 10 40 1

Angiotensi receptor blocker (ARB)

Eprosartan 400 600-800 1-2

Candesartan 4 8-32 1

Losartan 50 100 1-2

Valsartan 40-80 160-320 1

(25)

Pengobatan antihipertensi

Dosis harian awal, mg

Dosis target, mg

Jumlah dosis per hari

Irbesartan 75 300 1

β- blocker

Atenolol 25-20 100 1

Metoprolol 50 100-200 1-2

Calcium channel blocker (CCB)

Amlodipine 2-5 10 1

Diltiazem ER 120-180 360 1

Nitrendipine 10 20 1-2

Diuretik

Bendroflumethiazide 5 10 1

Chlorthatidone 12,5 12,5-25 1

Hydrochlorthiazide 12,5-25 25-100 1-2

Indapamide 1,25 1,25-2,5 1

(James dkk., 2014).

Selain itu, terdapat agen pilihan lainnya pada pengobatan hipertensi menurut JNC 8 yang tertera pada Tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4 Agen pilihan pengobatan hipertensi menurut JNC 8 Kelas Terapi

Obat

Agen pilihan Komentar

Diuretik HCTZ 12.5-50mg, chlorthalidone 12.5- 25mg, indapamide 1.25- 2.5mg,

K+ sparing –

spironolactone 25-50mg, amiloride 5-10mg, triamterene 100mg Furosemide 20-80mg dua kali sehari, torsemide 10- 40mg

Pantau adanya hipokalemia

Sebagian besar efek samping bersifat metabolik

Paling efektif bila dikombinasikan dengan ACEi

Bukti klinis yang lebih kuat dg chlorthalidone

Spironolakton - ginekomastia dan hiperkalemia

Diuretik loop mungkin diperlukan saat GFR <40mL / mnt

ACEI/ARB ACEI: lisinopril,

benazapril, fosinopril dan quinapril 10-40mg, ramipril 5- 10mg, trandolapril 2-8mg ARB: candesartan 8- 32mg, valsartan 80- 320mg, losartan 50- 100mg, olmesartan 20- 40mg, telmisartan 20- 80mg

ES: Batuk (hanya ACEI),

angioedema (lebih banyak dengan ACEI), hiperkalemia

Losartan menurunkan kadar asam urat; candesartan mungkin

mencegah sakit kepala migrain

Beta-blockers metoprolol succinate 50- 100mg dan tartrate 50-

Bukan agen lini pertama - cadangan untuk pasca Infark Miokard/ Gagal

(26)

Kelas Terapi Obat

Agen pilihan Komentar

100mg dua kali sehari, nebivolol 5-10mg, propranolol 40-120mg dua kali sehari,

carvedilol 6.25-25mg dua kali sehari, bisoprolol 5- 10mg, labetalol 100- 300mg dua kali sehari,

Jantung Kongestif (GJK) Menyebabkan kelelahan dan penurunan denyut jantung

Mempengaruhi glukosa; menutupi kesadaran hipoglikemik

CCB Dihydropyridines:

amlodipine 5-10 mg, nifedipine ER 30-90mg, Non-dihydropyridines:

diltiazem ER 180-360 mg, verapamil 80-120mg 3 kali sehari atau ER 240-480mg

Menyebabkan edema; dihidropiridin dapat dikombinasikan dengan aman dengan beta-blocker

Non-dihidropiridin mengurangi detak jantung dan proteinuria

Vasodilator hydralazine 25-100mg dua kali sehari, minoxidil 5-10mg terazosin 1-5mg, doxazosin 1-4mg

diberikan sebelum tidur

Hydralazine dan minoxidil dapat menyebabkan refleks takikardia dan retensi cairan - biasanya

memerlukan diuretik + beta-blocker Alpha-blocker dapat menyebabkan hipotensi ortostatik

Agen pada SSP (Sistem Saraf Pusat)

clonidine 0.1-0.2mg dua kali sehari, methyldopa 250-500mg dua kali sehari, guanfacine 1-3mg

Clonidine tersedia dalam formulasi patch mingguan untuk

hipertensi resisten.

(James dkk., 2014).

2.1.7 Hipertensi sekunder

Berikut beberapa kondisi medis yang dapat menyebabkan hipertensi, antara lain:

a. Penyakit Renovaskular

Beberapa penyakit ginjal yang menyebabkan hipertensi yaitu : a.

renovascular : renal artery steonosis, polyarteritis nodusa, renal artery neurysm, renal artery malformation; b. Renoparenchymal : glomerulonephritis, polycystic kidney disease, analgesic nephropathy, renal tumor as Wilms’ tumor, dan penyakit parenchmal lainnya. Penyakit-penyakit ini pada intinya dapat menyebabkan dua kejadian penting yaitu 1) peningkatan resistensi peredaran

(27)

darah ke ginjal; dan 2) penurunan fungsi kapiler glomerulus. Hal ini menyebabkan terjadinya ischemia pada ginjal yang merangsang peningkatan pengeluaran renin (pro renin menjadi renin) pada glomerular sel (Kadir, 2016).

b. Sindrom Cushing

Sindrom Cushing atau disebut juga kelebihan glukokortikoid telah lama diketahui sebagai penyebab hipertensi, tetapi mekanisme terperinci yang menghasilkan peningkatan tekanan darah masih belum diketahui. Peningkatan sensitivitas pembuluh darah perifer terhadap agonis adrenergik mungkin mempunyai peranan penting pada hipertensi vaskular. Hipertensi dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi angiotensinogen akibat kerja langsung glukokortikoid pada arteriol atau akibat kerja glukokortikoid yang mirip dengan mineralokortikoid sehingga menyebabkan peningkatan retensi air dan natrium, serta sekresi kalium. (Avner dkk., 2009; Batubara dkk., 2010).

c. Koarktasio Aorta

Beberapa abnormalitas vaskular yang terjadi pada ventrikel kiri dengan koartasio aorta dengan pembuluh darah proksimal dan distal dari obstruksi.

Peningkatan reaktivitas terhadap norepinephrin pada pembuluh darah proksimal dari letak obstruksi. Aktivitas renin plasma meningkat dan reflek baroreseptor diatur pada tekanan darah yang lebih tinggi. Kondisi ini akan menetap cukup lama setelah dilakukan operasi dan berkontribusi pada hipertensi sistemik, dan kematian disebabkan penyakit koroner dan serebrovaskular (Hamdan, 2006).

d. Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Hubungan OSA dengan hipertensi bersifat kompleks. Obstructive sleep apnea dengan berbagai mekanisme neurohumoral memiliki patofisiologi yang sama dengan hipertensi, sehingga bila OSA ditemukan bersamaan dengan

(28)

hipertensi akan memperberat risiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Mekanisme hubungan antara OSA dan hipertensi bisa akur ataupun kronik (Rasyid dan Zatalia, 2016).

Episode apnea berulang akan menyebabkan respons kardiovaskuler akibat integrasi empat stimulus, yaitu hipoksemia, hiperkapnia, perubahan volume paru atau tekanan intratorakal, dan micro-arousals. Mekanisme di atas saling berhubungan akan menyebabkan vasokonstriksi perifer dan peningkatan tekanan darah saat tidur. Sampai saat ini stimulus utama pada mekanisme tersebut masih belum jelas (Rasyid dan Zatalia, 2016).

OSA berulang akan menyebabkan tingginya aktivitas kemoreseptor, sehingga menyebabkan hipertensi sistemik diurnal, namun mekanisme perubahan tekanan darah nokturnal rekuren menjadi hipertensi sistemik diurnal masih kontroversial. Peran hipoksia intermiten yang menyebabkan hipertensi melalui perangsangan aktivitas simpatis (Rasyid dan Zatalia, 2016).

Obstructive sleep apnea secara langsung mempengaruhi endotel vaskuler, menyebabkan inflamasi dan stres oksidatif. Hipoksia intermiten akan menyebabkan inflamasi vaskuler dan berperan dalam progresi aterosklerosis.

Aktivasi inflamasi sistemik yang berhubungan dengan OSA ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Peningkatan kadar CRP berkontribusi terhadap risiko aterosklerosis dan juga disfungsi endotel.

Peningkatan kadar CRP berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi melalui induksi kerusakan endotel (Rasyid dan Zatalia, 2016).

Stres oksidatif meningkat pada pasien OSA akibat fenomena hipoksemia dan reoksigenasi. Fenomena ini menyebabkan pembentukan radikal bebas yang sangat reaktif; OSA yang tidak tertangani juga akan meningkatkan risiko

(29)

pembentukan radikal bebas. Stres oksidatif dapat menyebabkan vasokonstriksi melalui banyak mekanisme termasuk aktivasi reseptor angiotensin II dan tromboksan, blokade sintesis nitric oxide (NO) dan peningkatan pembentukan ET- 1.14 Mekanisme hipoksia intermiten menyebabkan disfungsi endotel, inflamasi, dan aterosklerosis (Rasyid dan Zatalia, 2016).

e. Hiperparatiroidisme

Hiperparatiroidisme biasanya menyebabkan hiperkalsemia ringan yang berkembang lambat selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Pada hiperparatiroidisme primer kadar kalsium serum meningkat dan fosfat menurun (Rubenstein dkk., 2007).

Gangguan metabolisme kalsium dapat disebabkan oleh kurangnya asupan kalsium dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan terjadinya defisiensi kalsium. Keadaan defisiensi kalsium mengakibatkan terjadinya keseimbangan kalsium negatif, hal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan produksi Parathyroid Hormone (PTH) dan 1,25-dihydroxivitamin D (calcitriol).

Tingginya produksi Parathyroid Hormone (PTH) akan meningkatkan kadar kalsium intaselular hingga melebihi batas normal. Meningkatnya kadar kalsium dalam intraselular akan memicu pelepasan angiotension II yang merupakan faktor penyebab terjadinya kontraksi pembuluh darah, sehingga tekanan darah meningkat. (Rahayu dan Fitrani, 2015).

f. Feokromositoma

Feokromositoma adalah neoplasma sel jaringan kromaffin sistem saraf ektodermik. Tumor ini terkenal dengan efek hipertensi malignan yang tidak dapat diprediksi. Gejala utama berupa hipertensi disertai nyeri kepala, keringat berlebih,

(30)

takikardia dengan palpitasi, hipotensi postural, penurunan berat badan, cemas dan penurunan motilitas usus (Rizaldi dan Tarmono, 2009).

g. Hiperaldosteronisme Primer atau Sindrom Conn

Hiperaldosteronisme primer merupakan sindrom yang disebabkan oleh sekresi aldosteron yang berlebihan dan tidak terkendali yang umumnya berasal dari kelendar korteks adrenal. Hiperaldosteronisme primer merupakan salah satu penyebab hipertensi sekunder. Secara klinis, hiperaldosteronisme primer dikenal dengan triad yang terdiri dari hipokalemia, hipertensi, dan alkalosis metabolik (Abdaly dkk., 2017).

h. Hipertiroidisme

Hipertiroidisme adalah hiperfungsi tiroid, yaitu peningkatan biosintesis dan sekresi hormon oleh kelenjar tiroid. Hormon tiroid sangat mempengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa mekanisme, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hormon tiroid meningkatkan metabolism tubuh total dan konsumsi oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban kerja jantung.

Mekanisme secara pasti belum diketahui namun diketahui bahwa hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan efek stimulasi adrenergik (Wantania, 2014).

i. Diabetes Melitus Tipe II

Keterkaitan kadar gula darah dengan tekanan darah akibat adanya kesamaan karakteristik faktor resiko penyakit. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia pada penderita DM diyakini dapat meningkatkan resistensi vaskular perifer dan kontraktilitas otot polos vaskular melalui respons berlebihan terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan tekanan darah melalui mekanisme umpan balik fisiologis maupun

(31)

sistem Renin- Angiotensin-Aldosteron. Kondisi hiperglikemia pada penderita DM juga menginduksi over ekspresi fibronektin dan kolagen IV yang memicu disfungsi endotel serta penebalan membran basal glomerulus yang berdampak pada penyakit ginjal (Ichsantiarini dan Nugroho, 2013).

j. Dislipidemia

Dislipidemia merupakan kondisi di mana terdapat kadar profil lipid darah yang tidak normal. Profil lipid yang tidak normal adalah kenaikan kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) dan atau menurunnya kolesterol HDL (High Density Lipoprotein). Kadar kolesterol, LDL, serta trigliserida yang tinggi dan berlangsung lama dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah dengan risiko penyempitan pembuluh darah. Sebagai kompensasinya, tekanan darah akan mengalami kenaikan karena penyempitan pembuluh darah (Nurwahyu, 2012).

2.2 Interaksi Obat

Interaksi obat dianggap penting secara klinik apabila dapat meningkatkan toksisitas atau justru menurunkan efek terapi farmakologi dari obat tersebut.

Apoteker harus mampu mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah interaksi obat serta memastikan tujuan terapi pasien dapat tercapai sehingga terwujudnya terapi yang optimal. Peningkatan jumlah obat yang di berikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga makin meningkat (Ana dkk., 2014;

Setiawati, 2003).

Tingkat keparahan diklasifikasikan kedalam tiga tingkatan, yaitu:

- Minor adalah interaksi yang mungkin terjadi dengan kondisi interaksi ringan yang masih dapat diatasi,

(32)

- Moderate adalah keparahan interaksi yang mungkin terjadi pada individu mengakibatkan penurunan status klinis yang memungkinkan diperlukannya perawatan tambahan, dan

- Major adalah interaksi yang memiliki kemungkinan tinggi untuk terjadi dan membahayakan nyawa pasien dan dapat menyebabkan kerusakan organ secara permanen (Abdulkadir dan Radjak, 2016; Tatro, 2009).

Berdasarkan mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat di bedakan menjadi 3 mekanisme yaitu:

1. Interaksi farmasetik

Interaksi ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat di berikan) antara obat yang tidak bisa di campur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisika atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat (Setiawati, 2003).

2. Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun (Setiawati, 2003). Berikut adalah interaksi farmakokinetik menurut Gitawati (2008):

 Interaksi proses absorpsi

Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi melalui beberapa cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi perubahan pH cairan gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif gastrointestinal; (4) adanya perubahan flora usus dan (5) efek makanan.

(33)

 Interaksi proses distribusi

Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan protein plasma.

 Interaksi pada proses metabolisme

Mekanisme interaksi dapat berupa (1) penghambatan (inhibisi) metabolisme, (2) induksi metabolisme, dan (3) perubahan aliran darah hepatik.

 Interaksi pada proses eliminasi

Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu dan pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena terjadinya perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama.

3. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat. Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi :

 Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.

(34)

 Penyesuaian dosis obat

Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.

 Pemantauan pasien

Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat.

 Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan (Fradgley, 2003).

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional dengan rancangan penelitian retrospektif, yaitu penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data–data yang telah lalu (Notoatmodjo, 2010). Data diperoleh dari resep periode Januari – Juni 2019.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data berupa resep di Kimia Farma Apotek 27 Medan pada bulan Juni 2019 - Agustus 2019.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi target dalam penelitian ini yaitu semua resep obat yang mengandung obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma 27 Medan pada periode bulan Januari – Juni 2019.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:

a. Resep pasien terapi obat antihipertensi yang mengunjungi apotek pada bulan Januari 2019 - Juni 2019.

b. Resep pasien terapi obat antihipertensi laki-laki dan perempuan dari semua usia.

c. Resep pasien terapi obat antihipertensi dengan atau tanpa komplikasi.

(36)

Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah:

a. Resep pasien terapi obat antihipertensi yang tidak dapat dibaca.

3.4 Rancangan Penelitian

3.4.1 Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data dengan cara mengumpulkan resep obat antihipertensi.

3.4.2 Teknik pengolahan data

Data yang diperoleh di input ke dalam sebuah tabel yang memuat jenis kelamin, umur, obat, jumlah obat, durasi pengobatan, frekuensi penggunaan obat, jenis obat, bentuk sediaan obat, dan golongan obat.

3.5 Diagram Alur Penelitian

Adapun gambaran alur pelaksanaan penelitian ini adalah seperti Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1 Diagram alur penelitian

(37)

3.6 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Meminta izin dan menghubungi apotek untuk dapat melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

b. Mengumpulkan data berupa resep yang mengandung obat antihipertensi (periode Januari - Juni 2019).

c. Menganalisis data dengan merujuk kepada beberapa literatur dan menarik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.

3.7 Definisi Operasional

Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan pemahaman dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam penelitian ini, maka definisi operasional yang perlu dijelaskan, yaitu:

1. Hipertensi adalah didefinisikan sebagai tekanan darah ≥ 140/90 manometer merkuri (mmHg).

2. Evaluasi penggunaan obat adalah proses jaminan mutu resmi dan terstruktur yang dilaksanakan terus menerus yang ditujukan untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, aman, dan efektif.

3. Potensi adalah suatu keadaan atau daya yang dapat berkembang.

4. Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif.

(38)

3.8 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

a. Pola penggunaan obat dilakukan analisis secara deskriptif kuantitatif berdasarkan jenis kelamin, umur, bentuk sediaan obat, zat berkhasiat, jenis pemberian obat, dosis obat, frekuensi obat, dan durasi obat, kemudian dibuat dalam bentuk tabel, dihitung persentase dan ditarik kesimpulan.

b. Potensi interaksi obat ditentukan dengan merujuk kepada sumber Stockley Drugs Interaction (Stockley, 2008) dan Drug Interaction Checker (online).

Hasilnya dibuat dalam bentuk tabel, pengelompokkan berdasarkan tingkat keparahan, dihitung persentase, dan ditarik kesimpulan.

(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi

Hasil penelitian menunjukkan prevalensi peresepan obat antihipertensi adalah sebesar 11,83 % dari total keseluruhan resep selama 6 bulan (482 resep).

Data resep yang didapat adalah sebanyak 57 resep yang telah memenuhi kriteria inklusi.

4.1.1 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan jenis kelamin Hasil pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pasien hipertensi pada laki-laki sebesar 50,88% dan perempuan sebesar 49,12%.

Tabel 4.1 Karakteristik pengguna obat antiihipertensi berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase (%)

1. Laki-laki 29 50,88

2. Perempuan 28 49,12

Total 57 100

Sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2019) yaitu pasien hipertensi lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (53,6%) dibandingkan perempuan. Secara keseluruhan, penyakit ini dapat terjadi pada laki- laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Akan tetapi jika dilihat dari usia, jumlah hipertensi akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur seseorang.

Pada usia kurang dari 45 tahun, hipertensi banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan pada usia lebih dari 65 tahun, prevalensinya banyak terjadi pada perempuan (Fikriana, 2018).

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL) dan dapat mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia

(40)

premenopause. Sedikit demi sedikit wanita akan kehilangan hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Kuantitasnya akan berubah sesuai dengan umur wanita secara alami, yang pada umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45 – 55 tahun. Pada umur lebih dari 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria yang diakibatkan faktor hormonal (Anggraini, 2012).

4.1.2 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan kelompok umur

Hasil pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa penyakit hipertensi banyak menyerang pada kelompok umur dewasa yaitu di umur 19-59 tahun sebesar 61,40%, kemudian diikuti oleh kelompok umur lanjut usia (≥60 tahun) sebesar 29,82%, dan anak-anak (0-18 tahun) sebesar 8,77%.

Tabel 4.2 Karakteristik pengguna obat antihipertensi berdasarkan kelompok umur

No. Kelompok Umur Jumlah Pasien Persentase (%)

1. Anak-anak (0-18 tahun) 5 8,77

2. Dewasa (19-59 tahun) 35 61,40

3. Lanjut Usia (≥60 tahun) 17 29,82

Total 57 100

Pada penelitian ini didapatkan bahwa pengguna obat pada kelompok umur anak-anak sebesar 8,77%. Penggunaan obat antihipertensi pada anak-anak biasanya digunakan pada pasien dengan indikasi glumerulonefritis, penyakit parenkim ginjal, dan gagal jantung kongestif (IDAI, 2011).

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2019), Pasien hipertensi pada kategori anak tidak ada, namun pasien dengan lanjut usia tetap sama berada di urutan kedua terbanyak menderita hipertensi yaitu sebesar 37,5%.

Penyebab hipertensi pada anak, terutama masa preadolesens, umumnya adalah sekunder. Di antara penyebab sekunder tersebut, penyakit parenkim ginjal

(41)

merupakan penyebab yang paling banyak ditemukan (60-70%). Penyebab yang lebih jarang adalah penyakit renovaskular, feokromositoma, hipertiroid, koarktasio aorta, dan obat yang bersifat simpatomimetik. Hipertensi sekunder biasanya menunjukkan tekanan darah yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hipertensi primer. Prevalensi penyakit persisten hipertensi sekunder sekitar 0,1% (Dharmawan, 2012).

4.1.3 Jumlah penggunaan obat berdasarkan kelompok umur

Hasil pada Tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa rata-rata resep per pasien adalah 2,46 R/. Persentase polifarmasi yang terjadi pada peresepan obat antihipertensi adalah 3,51%.

Tabel 4.3 Jumlah penggunaan obat berdasarkan kelompok umur No. Kelompok

Umur

Jumlah Pasien

Jumlah R/

Rata-rata R/ per pasien Jumlah R/ per resep

1 2 3 4 5 6

1. Anak-anak 4 - 1 - - - 7 1,4

2. Dewasa 10 7 8 8 1 1 91 2,6

3. Lanjut Usia 7 3 3 1 2 1 42 2,47

Total 21 10 12 9 3 2 140 2,46

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Herdaningsih (2016), yaitu pada periode Januari–Maret 2014, tercatat jumlah rata-rata R/ pada setiap lembar resep adalah 3,2. Banyaknya jumlah obat-obatan yang dikonsumsi memiliki kecenderungan untuk meningkatkan risiko gangguan kesehatan bagi kelompok pasien geriatri dan juga memiliki potensi menyebabkan terjadinya polifarmasi.

(Herdaningsih, dkk., 2016).

4.1.4 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan generik dan non generik Hasil pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa resep obat antihipertensi banyak diberikan dalam generik yaitu sebesar 54,67 % dan obat paten atau non generik sebesar 45,33% dari total resep obat antihipertensi. Sumber resep yang

(42)

ditebus pada penelitian ini tidak hanya berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, tetapi juga berasal dari klinik swasta, dan jenis pembayaran tidak hanya diasuransikan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, tetapi juga swadana/biaya sendiri/non-asuransi.

Tabel 4.4 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan generik dan non generik

No. Jenis Obat Jumlah R/ Persentase (%)

1. Generik 41 54,67

2. Non – Generik 34 45,33

Total 75 100

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional sehubungan dengan tujuannya dalam meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, maka dilakukan strategi, salah satunya adalah rasionalisasi harga obat dan pemanfaatan obat generik.

Persentase yang cukup besar pada penggunaan obat non generik pada penelitain ini menjadi perhatian, mengingat regulasi tersebut sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum adanya asuransi dari BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, penyuluhan tentang penggunaan obat generik harus lebih digalakkan.

4.1.5 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan bentuk sediaan obat

Hasil pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pemberian obat antihipertensi paling banyak diberikan dalam bentuk tablet 94,67%, sedangkan bentuk sediaan obat lainnya yang digunakan adalah pulveres 5,33%. Bentuk sediaan obat pulveres diberikan kepada pasien dengan umur dibawah 4 tahun, dengan zat khasiat captopril dan propanolol.

(43)

Tabel 4.5 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan bentuk sediaan obat

No. Bentuk Sediaan Jumlah R/ Persentase (%)

1. Tablet 71 94,67

2. Pulveres 4 5,33

Total 75 100

Populasi pediatrik merupakan tantangan bagi penyedia pelayanan kefarmasian, meliputi sedikitnya informasi yang terpublikasi dalam hal penggunaan obat, kurangnya ketersediaan formula bentuk sediaan maupun konsentrasi obat yang cocok untuk anak (Ceci, 2009).

Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi atas primer (esensial) dan sekunder. Hipertensi pada anak, terutama masa preadolesens, umumnya adalah hipertensi sekunder, diantaranya adalah penyakit parenkim ginjal (60-70%). Memasuki usia remaja, penyebab tersering adalah hipertensi primer, yaitu sekitar 85-95% (IDAI, 2011). Kelainan pada parenkim ginjal dapat menimbulkan hipertensi renal, misalnya pada pielonefritis kronis. Infeksi kronis akan merusak parenkim dan akhimya membentuk jaringan parut. Jaringan parut itu akan menarik jaringan sekitarnya termasuk jaringan vaskular arteri interlobaris yang akan mengganggu vaskularisasi ginjal yang berakibat timbulnya hipertensi (Nadeak, 2012).

Manajemen hipertensi pada anak menurut American Academy of Pediatrics mengatakan pada anak-anak dan remaja hipertensi yang memiliki gagal modifikasi gaya hidup, terutama mereka yang memiliki LVH (Left Ventricular Hypertrophy) pada ekokardiografi, hipertensi simptomatik, atau tahap 2 hipertensi tanpa faktor yang dapat dimodifikasi dengan jelas, dokter harus memulai pengobatan farmakologis dengan ACE inhibitor, ARB, long-acting CCB, atau diuretik tiazida (Flynn, dkk., 2017).

(44)

4.1.6 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan zat berkhasiat

Hasil pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa tiga obat antihipertensi terbanyak yang digunakan dalam peresepan adalah amlodipine sebesar 28,00%, diikuti oleh bisoprolol 18,67%, dan candesartan 13,33%.

Tabel 4.6 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan zat berkhasiat

No. Nama Obat Jumlah R/ Persentase (%)

1. Amlodipine 21 28,00

2. Bisoprolol 14 18,67

3. Candesartan 10 13,33

4. Furosemide 7 9,33

5. Captopril 5 6,67

6. Spironolakton 4 5,33

7. Telmisartan 3 4,00

8. Propanolol 3 4,00

9. Ramipril 2 2,67

10. Irbesartan 2 2,67

11. Losartan 1 1,33

12. Lercanidipine 1 1,33

13. Nifedipine 1 1,33

14. Valsartan 1 1,33

Total 75 100

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Destiani (2016) mengatakan tiga obat antihipertensi terbanyak yang digunakan adalah amlodipin, irbesartan, dan captopril.

Antihipertensi golongan CCB merupakan antihipertensi yang paling sering diresepkan terutama golongan amlodipine karena aturan pemberiannya yang praktis satu kali sehari. Amlodipin mempunyai mekanisme dengan merelaksasi arteriol pembuluh darah. Amlodipin bersifat vaskuloselektif, memiliki bioavailibilitas oral yang relatif rendah, memiliki waktu paruh yang panjang, dan absorpsi yang lambat sehingga mencegah tekanan darah turun secara mendadak.

Amlodipin juga merupakan obat yang sangat bermanfaat mengatasi hipertensi darurat karena dosis awalnya yaitu 10 mg, dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit (Suhadi 2011; Nafrialdi, 2008).

(45)

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetio dan Chrisandyani (2009) menyatakan bahwa terdapat 11,9% angka kejadian efek samping pemakaian amlodipin. Efek samping yang sering terjadi akibat pemakaian Amlodipin adalah edema, sakit kepala, takikardia, dispepsia, pusing, dan mual (Baharuddin, 2013).

4.1.7 Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan pemberian tunggal atau kombinasi

Hasil pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa penggunaan obat antihipertensi berdasarkan pemberian obat secara tunggal dan kombinasi adalah sebanyak 43 resep tunggal (75,43%) dan 14 resep kombinasi (24,56%). Obat antihipertensi yang sering diresepkan secara pemberian tunggal adalah amlodipine dari golongan obat CCB. Tabel 4.7 berikut ini akan memuat tentang penggunaan obat yang diberikan secara monoterapi atau tunggal.

Tabel 4.7 Penggunaan obat antihipertensi dengan pemberian tunggal Tunggal

No. Nama Obat Jumlah Kasus Persentase (%)

1. Amlodipine 17 39,53

2. Bisoprolol 6 13,95

3. Candesartan 5 11,63

4. Captopril 5 11,63

5. Furosemide 3 6,98

6. Propanolol 2 4,65

7. Irbesartan 2 4,65

8. Telmisartan 1 2,33

9. Nifedipine 1 2,33

10. Valsartan 1 2,33

Total 43 100

Untuk pemberian obat kombinasi yang paling banyak diresepkan adalah kombinasi amlodipine-bisoprolol dan amlodipine-candesartan. Tabel 4.8 berikut ini akan memuat tentang penggunaan obat yang diberikan secara kombinasi.

(46)

Tabel 4.8 Penggunaan obat antihipertensi dengan pemberian kombinasi Kombinasi

No. Nama Obat Jumlah Kasus Persentase (%)

1. Amlodipine + Bisoprolol 2 14,29

2. Candesartan + Amlodipine 2 14,29

3. Furosemide + Spironolakton + Bisoprolol + Telmisartan

1 7,14

4. Bisoprolol + Telmisartan 1 7,14

5. Bisoprolol + Spironolakton + Ramipril

1 7,14

6. Furosemide + Spironolakton 1 7,14

7. Lercanidipine + Losartan 1 7,14

8. Furosemide + Candesartan 1 7,14

9. Furosemide + Spironolakton + Bisoprolol

1 7,14

10. Candesartan + Propanolol 1 7,14

11. Bisoprolol + Ramipril 1 7,14

12. Bisoprolol + Candesartan 1 7,14

Total 14 100

Mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan judul profil penggunaan obat pasien hipertensi di instalasi rawat jalan sebuah rumah sakit umum daerah Lagaligo tahun 2014 juga menunjukkan bahwa antihipertensi tunggal lebih banyak digunakan dibanding kombinasi dua antihipertensi.

(Tandaililing, dkk., 2017).

Pemberian dua macam obat sebagai terapi inisial juga disarankan bila didapatkan tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg diatas target tekanan darah yang ditentukan.. Terapi dengan lebih dari satu obat akan meningkatkan kemungkinan untuk mencapai tujuan tekanan darah secara lebih cepat. Penggunaan kombinasi obat sering menghasilkan penurunan tekanan darah yang lebih besar pada dosis yang lebih rendah dibandingkan ketika obat digunakan secara tunggal, sehingga kemungkinan efek samping yang terjadi lebih kecil (Chobanian, 2003).

Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan tingkatkan dosis obat awal atau tambah kan obat kedua dari salah satu

(47)

kelas yang direkomendasikan dalam rekomendasi 6. Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEi dan ARB bersama-sama pada satu pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai karena kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat, obat antihipertensi kelas lain dapat digunakan. (James, dkk., 2014).

4.1.8 Pengunaan obat antihipertensi berdasarkan dosis obat, durasi pengobatan dan frekuensi penggunaan obat

Hasil pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa durasi pengobatan per item obat yang diresepkan paling banyak selama 30 hari (24%), diikuti oleh 10 hari (21,3%) dan 5 hari (16%). Frekuensi pemberian obat paling banyak diresepkan adalah 1 kali sehari 1 tablet (setiap 12 jam).

Tabel 4.9 Pengunaan obat antihipertensi berdasarkan dosis obat, durasi pengobatan dan frekuensi penggunaan obat

No. Nama Obat Jumlah R/

Durasi Pengobatan

(Hari)

Frekuensi Harian

1. Captopril 6,25 mg 3 3 30 3 x 1 bungkus

2. Captopril 25 mg 2 1 4 2 x 2 tab

1 5 2 x 1 tab

3. Ramipril 5 mg 2 1 30 1 x 1 tab

1 3 1 x 1 tab

4. Candesartan 8 mg 7 2 10 1 x 1 tab

1 20 1 x 1 tab

1 7 1 x 1 tab

1 30 1 x 1 tab

1 5 2 x 1 tab

1 10 2 x 1 tab

5. Candesartan 16 mg 3 1 3 1 x 1 tab

1 5 2 x 1 tab

1 14 1 x 1 tab

6. Losartan 50 mg 1 1 10 1 x 1 tab

7. Irbesartan 150 mg 2 1 12 1 x ½ tab

1 30 1 x 1 tab

(48)

No. Nama Obat Jumlah R/

Durasi Pengobatan

(Hari)

Frekuensi Harian

8. Telmisartan 40 mg 2 1 25 1 x 1 tab

1 30 1 x 1 tab

9. Telmisartan 80 mg 1 1 10 1 x 1 tab

10. Propanolol 0,5 mg 1 1 120 1 x 1 bungkus

11.

Propanolol 10 mg 2 1 5 2 x 1 tab

1 10 1 x 1 tab

12.

Bisoprolol 1,25 mg 2 1 5 1 x 1 tab

1 20 1 x 1 tab

13.

Bisoprolol 2,5 mg 8 3 30 1 x 1 tab

1 3 1 x 1 tab

1 15 1 x 1 tab

1 25 1 x 1 tab

1 30 1 x ½ tab

1 90 1 x ½ tab

14.

Bisoprolol 5 mg 4 2 7 2 x ½ tab

1 15 1 x 1 tab

1 30 1 x 1 tab

15.

Amlodipine 5 mg 11 3 10 1 x 1 tab

2 15 1 x 1 tab

3 20 1 x 1 tab

2 30 1 x 1 tab

1 7 2 x 1 tab

16.

Amlodipine 10 mg 10 4 10 1 x 1 tab

3 5 2 x 1 tab

1 5 1 x 1 tab

2 20 1 x 1 tab

17. Lercanidipine 10 mg

1 1 10 2 x 1 tab

18. Nifedipine 10 mg 1 1 10 1x 1 tab

19.

Furosemide 40 mg 7 2 5 1 x 1 tab

1 6 2 x ½ tab

1 8 2 x ½ tab

1 10 1 x 1 tab

1 25 1 x 1 tab

1 30 1 x 1 tab

20.

Spironolakton 25 mg

4 2 30 1 x 1 tab

1 5 2 x 1 tab

1 25 1 x 1 tab

21. Valsartan 80 mg 1 1 30 1 x 1 tab

Total 75 75

Idealnya, antihipertensi dalam pengobatan rutin hipertensi diresepkan untuk memenuhi kebutuhan pasien selama 30 hari. Semakin sedikit unit obat per resep yang dibeli pasien akan semakin sering seorang pasien harus ke dokter

(49)

dan/atau apotek untuk memperoleh obatnya. Hal ini beresiko menurunkan tingkat ketaatan pasien. Aturan pemberian sekali sehari akan meningkatkan ketaatan pemberian obat karena lebih praktis (Suhadi, 2011).

Kunjugan pasien yang datang setiap minggu belum memenuhi syarat terapi penderita hipertensi, kerena pasien hipertensi seharusnya mengontrol tekanan darahnya setiap hari. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pengukuran tekanan darah dilakukan secara terus-menerus untuk melihat adanya tanda-tanda risiko penyakit kardiovaskuler dan mencapai target yang diinginkan (Depkes RI, 2006).

4.1.9 Obat-obatan yang diberikan bersamaan dengan obat antihipertensi Hasil pada Tabel 4.10 menunjukkan bahwa obat lain yang paling banyak digunakan bersamaan dengan obat antihipertensi adalah alprazolam sebanyak 5 kasus (7,69%). Hal ini dapat menjadi informasi indikasi penyerta pada pasien hipertensi, seperti sulit tidur yang sering dialami oleh pasien dewasa maupun lanjut usia.

Tabel 4.10 Obat-obatan yang diberikan bersamaan dengan obat antihipertensi

No. Nama Obat Jumlah R/ Persentase (%)

1. Alprazolam 5 7,69

2. Asam Asetilsalisilat 4 6,15

3. Lansoprazole 3 4,62

4. Domperidone 3 4,62

5. Atorvastatin 2 3,08

6. Vip Albumin 2 3,08

7. Citicolin 2 3,08

8. Nitroglycerin 2 3,08

9. Clopidogrel 2 3,08

10. Allopurinol 2 3,08

11. Esomeprazole 1 1,54

12. Ketorolac tromethamine 1 1,54

13. Natrium Diklofenak 1 1,54

14. PCT 325 mg + Ibuprofen 1 1,54

15. Asam Mefenamat 1 1,54

16. Tamsulosin HCl 1 1,54

(50)

No. Nama Obat Jumlah R/ Persentase (%)

17. Diazepam 1 1,54

18. Pregabalin 1 1,54

19. ISDN 1 1,54

20. Ondansetron 1 1,54

21. DMPS 1 1,54

22. Iron Polymaltosa Complex 1 1,54

23. Simvastatin 1 1,54

24. Ranitidine 1 1,54

25. Asam Pipemidik 1 1,54

26. Thiamazole 1 1,54

27. Tenofovir Disoproxil Fumarate 1 1,54

28. Gliquidone 1 1,54

29. Donepezil HCl 1 1,54

30. Betahistine Mesylate 1 1,54

31. Vitamin B3 1 1,54

32. Co-enzym Q10 1 1,54

33. Methylcobalamin 1 1,54

34. Vitamin B1 1 1,54

35. Fituno 1 1,54

36. Levodropropizine 1 1,54

37. Celecoxib 1 1,54

38. Cefadroxil 1 1,54

39. Cetirizine 1 1,54

40. Vit. B Complex 1 1,54

41. Promethazine + Guaiphenesin + Ipecacuanhae extract

1 1,54

42. Lovastatin 1 1,54

43. Etoricoxib 1,54

44. Sukralfat 1 1,54

45. Pseudoefedrine HCl + Loratadine

1 1,54

46. Linagliptin + Metformin 1 1,54

47. Na Rapebrazole 1 1,54

Total 65 100

Tidur mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia.

Bertambahnya umur seseorang menjadikan kemampuan untuk tidur menurun, namun bukan keperluan tidur yang kurang. Kondisi ini merupakan salah satu bagian dan proses penuaan normal. Keluhan tidur sering dijumpai pada lanjut usia (lansia), dengan gejala yang sering dikeluhkan adalah kesulitan untuk mulai tidur, mempertahankan tidurnya, sering bangun pagi, dan mengantuk di siang hari. Ada beberapa proses yang memengaruhi tidur dan bangun pada lansia, seperti penyakit

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pembuatan permen soba dengan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii merupakan penelitian utama dengan perlakuan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii 30%, 40%

Rangkaian LED dalam modul penerima ini terdapat LED berwarna merah yang berfungsi sebagai indicator apabila saat modul penerima dalam keadaan menyala serta rangkaian

Berdasarkan data hasil survei awal, pada awal berdirinya PT Pertani (Persero) Cabang NTB memiliki penangkar benih unggul padi yang bermitra dengan PT Pertani

Makrofag juga merupakan sel pertahanan yang aktivitasnya dengan berbagai. cara yaitu fagositosis dan destruksi mikroorganisme,

Idealnya, PAR dirancang oleh pimpinan perguruan tinggi, sebagai bagian dari program pengembangan sumber daya manusia yang telah memperhatikan berbagai hal, termasuk bidang

Sehubungan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi Pengadaan Plastik Takah Bening dan Sampul Takah Biru pada Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional VIII

Nilai tambah pendapatan harian petani yang diperoleh dari proses pengolahan mi ke- ring dari tepung komposit keladi dan ubijalar sebanyak 10 kg adalah Rp207.392,90 yang diperoleh

Direct Light adalah cahaya yang ada dalam suatu scene di mana cahaya tersebut berhenti berpancar ketika mengenai sebuah permukaan. Tidak ada pantulan cahaya yang terjadi..