• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN CARA PANDANG BARU

INTERNALISASI Kritis didapatkan

dalam sosialisasi sekunder aktor pesantren, yaitu Pesantren Modern OBJEKTIVASI Tindakan komunikatif Masyarakat Multi Dimensional EKSTERNALISASI Aksi/Pembebasan masyarakat dengan menciptakan, mempertahankan dan memodifikasi tradisi

Gambar Skema Proposisi Keempat

Membangun Teori

Dengan melihat relevansinya dalam penelitian ini, saya merekonstruksi realitas sosial ini dengan memulai prosesnya pada internalisasi, berlanjut dengan eksternalisasi, kemudian objektivasi. Ini berbeda dengan Berger yang memulainya dengan ekternalisasi. Namun karena proses ini bersifat dialektis, maka menjadi sah bagi siapapun untuk memulainya darimana, bergantung pada data lapangan yang tersedia. Dengan menggunakan pula teori kritis dari Habermas sebagai teori pendukung, saya melihat bagaimana kesadaran kritis dan tindakan komunikatif beroperasi dalam konstruksi modernitas di pesantren dan masyarakat yang dibangun oleh para aktor pesantren tersebut.

Pada perkembangan sosiologi dewasa ini, teori telah berkembang sedemikian pesat. Teori-teori awal yang dikembangkan oleh para sosiolog seperti Emile Durkheim dan Talcott Parsons dengan struktural-fungsionalnya,

Karl Marx dengan konfliknya, Max Weber dengan

tindakan sosialnya, Peter Blau dan George Homans dengan pertukaran sosialnya, James S. Coleman dengan pilihan rasionalnya, pada saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa.2 Ritzer (2004: 705-712) menyebutkan

bahwa dengan sedemikian beragamnya teori saat ini,

2 Banyak yang menduga bahwa meredupnya fungsionalisme pasca Talcott Parsons, memberi dampak tidak adanya penerus Parsons. Tapi ternyata pernyataan ini salah, karena saat ini fungsionalis-fungsionalis baru penerus Parsons bermunculan.

para teoritisi masa kini tidak perlu dibatasi perspektif teoritis tertentu. Ritzer melihat bahwa dalam pendidikan pascasarjana, mahasiswa bebas mengambil dan memilih gagasan dari semua bidang teori sosial. Mereka membangun perspektif mereka sendiri berdasarkan gagasan-gagasan yang secara eklektis diambil dari banyak teori yang berlainan.3

Saya berpendapat bahwa eklektisme dalam membangun teori sosiologi dewasa ini menjadi amat relevan. Relevansi ini lebih terlihat dalam dalam konteks keindonesiaan, termasuk di dalam studi sosiologis di pedesaan. Bagaimana tidak? Para sosiolog yang mayoritas berasal dari Eropa dan Amerika, banyak mendasarkan teori mereka pada masyarakat industri maju di tengah berkembangnya kapitalisme lanjut dan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi, berbeda dengan konteks sosial di Indonesia, terutama di pedesaan. Hal ini menyebabkan teori sosiologi sering “sulit” untuk diformulasikan par

excellence dalam penelitian tentang masyarakat pedesaan

di Indonesia. Di sinilah eklektisme untuk merekonstruksi teori menjadi penting. Ini pula, adalah tantangan untuk memformulasikan teori sosiologi dalam konteks keindonesiaan, tanpa meninggalkan kekayaan khasanah teori yang telah dikembangkan oleh para sosiolog di

3 Ritzer di sini menunjukkan contoh Anthony Giddens dengan teori strukturasinya.

Barat.

Saya melakukan rekonstruksi teori yang didasarkan atas penelitian yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya dan proposisi sebagaimana dituliskan di atas. Teori konstruktivisme dari Berger adalah teori yang saya rekonstruksi, namun juga diformulasikan dengan tindakan komunikatif (teori Kritis) dari Jurgen Habermas. Saya juga menelusuri literatur tentang varian yang telah ada dalam konstruktivisme. Berdasarkan pembacaan literatur yang ada, kajian yang menggunakan perspektif dengan mensintesiskan konstruktivisme dan teori kritis, telah diformulasikan dalam critical constructivism.

Critical Constructivism

Critical Constructivism adalah teori yang berkembang

dalam dunia pendidikan dan merupakan sintesis dari perspektif konstruktivisme dan teori kritis yang dikembangkan dalam madzab Frankfurt. Dalam bukunya: Critical Constructivism, Kincheloe (2008: 34)4

menyebutkan:

4 Saya menemukan artikel dari sekelompok akademisi dari tiga perguruan tinggi di Amerika yang exited untuk mengembangkan critical constuctivism. “Excited by the pedagogical possibilities of a constructivist perspective, a group of us worked together to develop what we call “critical constructivism.” This expanded idea of constructivism emphasizes understanding the contingent nature of knowledge to

induce a more critical relection about various educational institutions and practice” Lihat Bentley et.al, Critical Constructivism for Teaching and Learning in a Democratic Society

“[Running head: Critical Constructivism for Democratic Society], dalam The Journal of Thought, submitted April, 13, 2006, revised January 8, 2007

Critical Constructivism is grounded on the Frankfurt School’s formulation of Critical theory, in particular, its attempt to explore how consciousness is tied history. Guided by such concerns, critical constructivist teachers and researches inspired by critical theory seek to expose what constitutes reality for themselves and for the participants in education situation….How do these participants, critical constructivist teachers ask, come to construct their views of educational reality? Critical constructivist action researches see a socially constructed world and ask what are the forces that construct of consciousness, the ways of seeing of the actors who live in it …..the essence of critical constructivism concerns the attempt to move beyond formal style of thinking which emerged from empiricism to rationalism, a form of cognition which solve problems framed by dominant paradigm, the conventional way of seeing.

Perspektif critical constructivism dibangun dengan formulasi mazhab Frankfurt yang dikenal dengan teori kritis, khususnya pada upaya untuk mengeksplorasi bagaimana kesadaran pada individu terikat dengan historisitasnya. Di sini, guru yang memiliki konstruktivis kritis mempertanyakan tentang bagaimana peserta didik mengkonstruksi pandangannya dalam kapasitas mereka sebagai peserta didik. Mereka mempertanyakan pula kekuatan yang mengkonstruksi kesadaran dan bagaimana melihat aktor yang tinggal di dalamnya. Inti dari critical

constructivism menyangkut upaya untuk bergerak

melampaui gaya formal berpikir dengan paradigma dominan yang konvensional, agar siswa mendapatkan posisi sebagai subjek dalam proses pendidkan tersebut.

Pengetahuan yang dibangun dalam pendidikan kritis muncul tidak dari subjek maupun dari objek, tetapi dari hubungan dialektis antara yang mengetahui (subjek) dan diketahui (objek). Ini artinya, secara konseptual, pendidik yang kritis memahami pengetahuan sebagai budaya yang diproduksi dan mengenali kebutuhan untuk membangun kriteria sendiri untuk mengevaluasi kualitasnya. Dengan demikian, pendidik menjelaskan dan memperkenalkan

siswa ke dunia sosial dan fisik, dan membantu mereka

membangun sendiri sebuah pengetahuan untuk menafsirkan fenomena yang mereka hadapi. Orang yang terdidik dalam konteks ini membangun struktur makna, interpretasi, dan kriterianya sendiri untuk memproduksi dan mengkonsumsi pengetahuan (Kincheloe, 2008: 34- 35)

Critical constructivism juga berkembang dalam studi

Hubungan Internasional. Hampir senada dengan hard

Constructivism, Simmerl, (2011) dalam “A Critical

Constructivist Perspective on Global Multi-Level Governance. Discursive Struggles Among Multiple Actors in a Globalized

Political Space”, menyebut Critical Constructivist dalam

studi Hubungan Internasional, mensintesiskan perspektif post strukturalis dan post positivis, sebagai berikut;

Critical constructivism, as understood here and termed elsewhere as “radical” or “consistent” constructivism, constitutes a strand of IR constructivism fully embracing the linguistic turn and relecting the emancipatory ideal of critical theory. In drawing on insights and methods from post-structuralist

discourse analysis, critical constructivism focuses on power relations in and structural constraints to the communicative construction of world politics. Despite its reliance on post- structural thinking and post-positivist epistemology, critical constructivism remains committed to theory development through dialogue with other IR perspectives and does not deny the possibility of gaining deeper (situated) knowledge of the world trough scientiic inquiry.