• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBACAAN MELALUI SOFT CONSTRUCTIVISM

SOFT CONSRUCTIVISM

KONSEP TENTANG MASYARAKAT MODERN KESADARAN KRITIS Analisis Kritis dan Tindakan Komunikatif KONSEP TENTANG PESANTREN MODERN KONSTRUKTIVISME Dialektika Konstruksi Realitas Sosial yang dibangun oleh Fenomenologi

Gambar Skema Soft Constructivism

Penjelasan Skema

1. Soft Constructivism dibangun oleh dua Teori.

Teori tersebut adalah: a) Box di sebelah kiri yaitu Konstruktivisme, yang dioperasionalkan dengan dialektika konstruksi realitas sosial yang merujuk pada peter L. Berger, dan b) Box sebelah kanan, yang dioperasionalkan untuk melihat kesadaran kritis dan tindakan komunikatif, yang merujuk pada Jurgen Habermas.

2. Soft Constructivism memberi konsekuensi pada dua

konsep tentang masyarakat modern di pedesaan. Dalam rangka lebih memahami konsep tersebut, saya melakukan tipologi, dengan merujuk pada konsep Weber tentang tipe ideal.

Tipe Ideal Soft Constructivism

Tipe ideal dalam studi sosiologi adalah konsep yang dikemukakan oleh Max Weber. Bahkan, tipe ideal adalah sumbangan Max Weber yang paling terkenal dalam sosiologi kontemporer (Ritzer: 2012: 203). Berikut ini adalah tipe ideal yang saya sarikan dari Ritzer (2012: 203-205):

1. Tipe ideal adalah konsep yang dibangun oleh ilmuwan sosial berdasarkan minat atau orientasi teoritisnya untuk menangkap ciri-ciri yang hakiki dari fenomena sosial

2. Tipe ideal adalah peralatan heuristik, bermanfaat dan sangat membantu dalam memahami suatu aspek

spesifik dunia sosial (individu)

3. Fungsi tipe ideal adalah pembanding dengan realitas empiris untuk menetapkan perbedaan atau kemiripan dengan realitas empiris, dan melukiskannya dengan konsep-konsep yang dapat dipahami secara jelas. Tipe ideal juga untuk memahami dan menjelaskan realitas empiris secara kausal.

4. Tipe ideal disusun secara induktif dari dunia nyata (sosial), dan tidak dikembangkan sekali untuk selamanya. Karena masyarakat yang terus

berubah, begitu pula minat ilmuwan sosial, maka perlu dikembangkan tipologi-tipologi baru untuk menyesuaikan dengan realitas yang telah berubah. Berdasarkan konsep tentang tipe ideal sebagaimana di atas, maka saya melakukan tipologi tentang soft

constructivism sebagai berikut ;

Tabel Tipologi Soft Constructivism

Teori Penjelasan Modernitas di Masyarakat di PesantrenModernitas

Sintesis dari Konstruk- tivisme (Dialektika Konstruksi Realitas Sosial) dan Teori Kritis (Kesadaran Kritis dan Tindakan Ko- munikatif ) - Internalisasi melalui sosialisasi sekunder lebih dimaknai oleh aktor - Dalam eksternalisasi, aktor menciptakan, mempertahankan, dan mengadaptasi tradisi. - Dalam objektivasi, intersubjektivitas di pesantren lebih mudah daripada di masyarakat. - Pesantren: akulturasi - Masyarakat: Penggabungan Budaya - Kesadaran kritis aktor beroperasi di internalisasi melalui sosialisasi sekunder dan eksternalisai, namun dalam objektivasi beroperasi melalui tindakan komunikatif - Individualitas mulai nampak dengan mulai lebih berperannya individu dalam masyarakat - Differensiasi pekerjaan dalam wujud spesialisasi dan keragaman pekerjaan, tampak sangat sedikit - Rasionalitas dalam wujud berfungsinya institusi dan organisasi yang tidak bergantung pada peseorangan tidak nampak - Ekonomisme dalam wujud kehidupan sosial yang didominasi oleh aktivitas ekonomi baru mulai tampak - Perkembangan masyarakat tampak berjalan lambat. - Fisik tidak mencerminkan pesantren modern

- Non fisik telah

nampak dalam kepemimpinan yang kolektif, menerima perubahan dan liberal - Kelembagaan telah nampak dengan adanya yayasan, namun lemah dalam aspek pendanaan - Kurikulum telah

membentuk daya kreatif dan kritis - Metode telah

mengadopsi pendidikan modern - Penggunaan bahasa Arab dan Inggris dalam komunikasi keseharian tidak tampak

Berdasarkan tipologi di atas, gagasan tentang pendidikan Islam modern di Pesantren Minhajul Muna, telah banyak dipenuhi oleh aktor-aktor pesantren, Namun upaya modernisasi di masyarakat, masih membutuhkan proses yang lebih panjang. Secara sederhana dapatkan dikatakan bahwa masyarakat pedesaan dusun Sambi tidak modern atau masih tradisional. Dalam menjawab pertanyaan ini, menarik untuk mengkaji tesis dari S.N. Eisenstadt tentang multiple modernism.

Dalam tesisnya tentang multiple modernism, Eisenstadt mengemukakan bahwa realitas yang muncul setelah konsep modernitas awal dikembangkan, terutama setelah Perang Dunia II, telah mengalami kegagalan. Perkembangan aktual di masyarakat, modernisasi telah membantah asumsi-asumsi homogenisasi program modernitas Barat. Sementara, terdapat kecenderungan umum ke arah diferensiasi struktural dikembangkan di pelbagai institusi di sebagian besar masyarakat, dalam kehidupan keluarga, struktur ekonomi dan politik, maupun pendidikan modern, maupun komunikasi massa. Secara

signifikan, pola-pola ini tidak merupakan kelanjutan

sederhana tradisi masyarakat di era modern. Pola seperti itu khas modern, meskipun sangat dipengaruhi oleh tempat budaya tertentu, tradisi, dan pengalaman sejarah. Semua dikembangkan dinamika modern yang berbeda dan interpretasi modernitas Barat sebagai referensi penting. Banyak gerakan yang berkembang di non-Barat

mengusung tema anti modern, mulai dari nasionalisme dan gerakan tradisionalis yang muncul di masyarakat sekitar pertengahan abad sembilanbelas sampai setelah Perang Dunia II (Eisenstadt, 2005: 1-2).

Rekonstruksi gagasan modernitas berlangsung dalam pola institusional dan ideologis yang kemudian diteruskan oleh pelaku sosial tertentu dalam hubungannya dengan aktivis sosial, politik dan intelektual, yang memiliki pandangan berbeda tentang konsepsi apa sesungguhnya yang membuat masyarakat modern. Melalui keterlibatan para aktor tersebut dengan sektor-sektor yang lebih luas dari masyarakat, hasilnya adalah masing-masing memiliki ekspresi unik dari modernitas. Mereka memiliki pemahaman yang berbeda tentang modernitas yang dikembangkan dalam berbagai negara-bangsa, dalam kelompok-kelompok etnis dan budaya yang berbeda, maupun ideologi yang berbeda.

Proyek modernitas menyajikan tantangan tentang peradaban tunggal dari “modernitas Barat”. Tantangan ini terbuka, baik secara intelektual dan historis, bagi pembacaan modernisasi dari peradaban lain dan modernitas budaya dalam pluralitas yang non-barat.

Dalam konteks Islam, refleksi tentang modernitas akan

memunculkan dimana batas-batasnya, bagaimana konseptualisasinya, sekaligus pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan modernitas itu sendiri. Pertama, proyek modernitas menempatkan penekanan pada logika posisi

biner (antara tradisional dan modern) atau benturan peradaban (antara Islam dan Barat ). Tetapi pada sisi ekstrim lain, terdapat erosi diri, untuk runtuhnya batas- batas norma, dan karenanya kemudian, modernitas menjadi kehilangan maknanya. Kedua, memperkenalkan keragaman ke dalam model modernitas pasti menumbuhkan konsep relativistik tentang modernitas diantara pengalaman yang berbeda. Tetapi tentu tidak setiap keunikan budaya dibenarkan. Ketiga, perspektif modernitas meningkatkan kemampuan untuk melihat dan membaca lintasan beragam dan pola yang berbeda, telah diabaikan oleh bahasa sosial ilmiah yang bertujuan untuk menganalisis karakteristik khusus dari peradaban, yang tidak hanya dalam perspektif Barat, tetapi juga cara ilmuwan itu sendiri (Gole, 2000: 1-20)

Gerakan Islam kontemporer telah memberikan pencerahan pada umat Islam dengan identitas kolektif yang bekerja secara kritis, baik terhadap tradisionalitas identitas muslim dan pemaksaan peradaban tunggal modernitas Barat. Dengan demikian, beberapa kalangan Islam dapat dianggap sebagai agen yang mendahului kritisisme muslim ke dalam arena kehidupan sosial yang modern. Sebagai gantinya, kehadiran idiom Islam, suara dan praktek dalam kehidupan sehari-hari, di ruang verbal dan publik, melemparkan tantangan baru tentang proyek modern klasik yang dasarnya adalah sekularisasi.

Saya merasa perlu pula untuk mendialogkan fenomena ini dengan Riaz Hassan2, salah satu sosiolog Islam yang

masih aktif. Studi Hassan di empat negara muslim yang dituangkan dalam buku ini menunjukkan adanya keragaman konsepsi kaum muslim tentang agama dan masyarakat mereka. Keberagaman kaum muslim ini menjadi fenomena, karena konsepsi kaum muslim tentang berbagai masalah sosial keagamaan seperti kesalehan, pandangan terhadap lembaga agama, gender, hijab, atau budaya patriarkat ternyata banyak dibentuk oleh interaksi yang kompleks antara ajaran Islam dan kondisi sosial, ekonomi, politik setempat. Karena kondisi sosial, ekonomi, dan politik berbeda di setiap masyarakat, maka menjadi masuk akal belaka jika konsepsi kaum muslim tentang agama dan masyarakat mereka menjadi beragam.

Sociology and commonsense indicate that being “religious” can mean diferent things to diferent people. his was evident in the reactions and comments evoked by the title of y study –Religiosity of the Elite- among the selected (Muslim) respondents who were interviewed in diferent research sites as part of the process of developing and pre-testing the survey questionnaire used in the ieldwork. In these comments, the 2 Saat ini, ia adalah Emeritus Profesor di Department of Sociology, Flinders University. Hassan malang melintang di dunia sosiologi, dan dikenal luas dengan analisis sosiologisnya tentang masyarakat Islam dalam beragam konteks budayanya. Selain dikenal dengan analisisi sosial tentang kehidupan religious, Hassan memiliki minat pada sosiologi tentang bunuh diri dan bunuh diri untuk aksi terorisme.(www.riazhassan,com). Tentang masyarakat muslim, dalam penelitiannya di empat negara, yaitu Pakistan, Indonesia, Mesir, dan Kazakstan, telah dituangkan oleh Hassan dalam buku Faithlines: Muslim Conception of Islam and Society (2002).

meanings given to the words “religious” and “religiosity” by diferent, mostly highly educated, interviewees covered a broad spectrum of activities……For them being “religious” entailed not only religious worship but also an ethical commitment and conduct which covered all spheres of life. his, some argued, was too diicult to observe, document, study and analyse. he term “religious”, in other words, was seen as having a variety of meanings and multiple dimensions. hey may well be an aspect of a single phenomenon but they were not simple synonyms. Just because people are religious in one way does not mean that they will be religious in other ways. (Hassan, 2005: 1-2)

Secara teoretis, Hassan memperkukuh teori bahwa konsepsi keberagamaan manusia dikonstruksi secara sosial, sehingga konsepsi keberagamaan tersebut beragam, tergantung kondisi sosial, ekonomi, dan politik setempat. Dalam tataran akademis, penelitian Riaz memperkaya khazanah studi di bidang sosiologi Islam. Di tataran praktis, Riaz secara implisit hendak memperingatkan kalangan elit muslim bahwa upaya menyeragamkan Islam sesungguhnya bertentangan dengan hukum sosial yang sudah menjadi semacam sunnatullah.3

Dalam bukunya, Hassan (2005: 305-308) juga mengungkap pandangannya tentang kaitan bentuk negara Islam dengan kesalehan masyarakatnya. Jika

3 Dari Resensi Buku Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim yang diadakan oleh LKAS_Surabaya Institute for Religion & Social Studies, 29 Juli 2006, diunduh pada 17 Juni 2012

selama ini asumsi dan presepsi yang berkembang pada sebagian masyarakat muslim menyatakan bahwa kesalehan kaum muslim di negara Islam pasti lebih tinggi daripada kesalehan muslim di negara muslim sekuler. Pendapat dan asumsi tersebut terpatahkan dari hasil penelitiannya. Hasilnya, ternyata kesalehan muslim, seperti muslim negara Pakistan seharusnya lebih tinggi jika dibandingkan kesalehan muslim Indonesia dan Mesir. Namun, penelitian Hassan justru menunjukkan sebaliknya, yaitu kasalehan kaum muslim Indonesia dan Mesir lebih tinggi jika dibandingkan Pakistan. Temuan ini memperlihatkan bahwa tidak ada korelasi positif antara negara Islam dan kesalehan masyarakatnya.

Dalam konteks Indonesia, Kajian Geertz menurut Syam (2005) sesungguhnya telah menjadi jendela bagi berbagai kajian tentang Islam di Indonesia, baik mereka yang mendukung ataupun yang menolak. Diantara yang mendukung, misalnya berasumsi bahwa Islam di Jawa memang bercorak sinkretik, artinya terdapat pemaduan di antara dua atau lebih budaya (Islam, Hindu, Budha, dan Animisme) yang disebut sebagai agama Jawa. Agama yang kelihatannya dari luar Islam, tetapi ketika dilihat secara mendalam, sebenarnya adalah agama sinkretis. Kajian yang mendukung Geertz tersebut adalah Beatty (1994) dalam tulisannya yang bertopik: Adam and Eve

Mulder (1999:3-18) justru menggunakan konsep baru, yakni lokalitas. Menurutnya, jika sinkretisme adalah pemaduan tanpa diketahui mana yang dominan, akan tetapi dengan konsep lokalitas justru diketahui mana yang sesungguhnya dominan dalam percaturan agama Jawa. Dalam lokalitas, ada unsur yang selalu menyesuaikan. Islam yang datang belakangan akan menyesuaikan dengan unsur lokal yang cocok, sehingga inti sesungguhnya adalah unsur lokalnya dan bukan Islam.

Studi lain yang juga bernuansa sinkretik adalah tulisan Noerid Haloei Radam yang mengkaji mengenai

Religi Orang Bukit. Bagi Orang Bukit, religi bukan hanya

berkaitan dengan sakral, ilahiah, adikodrati atau alam lain sesudah kematian, melainkan juga pada perilaku kehidupan keseharian yang bernuansa duniawi. Religi juga berfungsi dalam kehidupan kemasyarakatan dan perekonomian. Ketika Religi human bersentuhan dengan religi lain, maka religi human dapat “menundukkan” religi luar tersebut dalam sistem religi mereka sehingga tidak tampak terjadi sinkretisme.

Tulisan Bartolomew juga identik dengan Islam akulturatif, yaitu Islam yang mempunyai kemampuan adaptasi dengan dengan budaya lokal. Tetapi tidak dalam bentuk saling mengalahkan dan mendominasi, melainkan saling mengambil dan menerima. Islam Muhammadiyah— yang sering direpresentasikan sebagai Islam puritan— yang di masyarakat Sasak diwakili oleh Jamaah Al-Azis,

dan Islam NU—yang sering diidentikkan sebagai Islam tradisional—yang di masyarakat Sasak diwakilkan oleh Jamaah Al-Jibril, ketika berada di masyarakat lokal ternyata juga mengalami proses dialog. Islam dan budaya lokal justru menciptakan konvergensi. Dalam bidang teologis yang sering bertentangan, ternyata dapat dikompromikan secara arif terutama ketika menghadapi keniscayaan dalam perubahan sosial (Syam, 2005: 287- 289).

Dalam penelitian antropologisnya, Syam (2005) mengajukan tesis tentang Islam kolaboratif. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan cara melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Transformasi dilakukan melalui berbagai medium, sehingga menghasilkan konstruksi sosial tentang Islam lokal.

Hal yang menarik dalam penelitian yang saya lakukan adalah adanya sekelompok masyarakat yang melakukan penggabungan tradisi yang bertentangan yang melandasi sikap hidupnya. Di suatu saat, mereka menjadi religius, seperti menjalankan shalat, puasa, tahlil dan yasinan. Di saat yang lain, mereka menganggap bahwa tayub, judi dan minum adalah tradisi yang patut dipertahankan.

Artinya, mereka melakukan perintah yang dituntunkan dalam Islam, sekaligus melakukan larangan Islam.

Dalam konteks Redfield, ini merupakan bentuk dari

little tradition, sebuah kultur yang tidak dibangun secara

reflektif, institusional, dilakukan oleh masyarakat yang

tidak terdidik, dan biasanya mereka di pedesaan.

Berdasarkan uraian dari rekonstruksi teori di atas, maka penelitian ini telah menambah daftar panjang yang menolak tesis Geertz yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga kelompok, yaitu santri, priyayi dan abangan. Sebelumnya, sebagaimana deskripsi di atas, Muelder, Nakamura, Pranowo, Nur Syam, telah berargumentasi tidak relevannya lagi pengelompokan ini. Masyarakat Jawa di pelbagai komunitas telah melakukan banyak perubahan.

Demikian halnya yang terjadi pada masyarakat dusun Sambi yang 20-an tahun yang lalu nyaris 100% abangan, telah melakukan perubahan yang cukup besar, tanpa kekerasan dan berlangsung damai. Karakter masyarakat Jawa dan nilai-nilai Islam yang toleran, membuat para aktor mengkonstruksi masyarakat secara soft, sehingga perubahan berlangsung evolutif. Perubahan yang evolutif ini telah menghasilkan empat varian masyarakat,

wong mesjidan, wong kabeh diwori, wong kalangan, dan

abangan.