• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Interpretasi dan diskusi hasil

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik bayi baru lahir kelahiran seksio sesarea di Rumah Sakit Muhammadiyah periode tahun 2013 sampai April 2014 yang berjenis kelamin bayi laki-laki lebih banyak daripada bayi perempuan yakni 55 bayi laki-laki (55%). Dan setelah dilakukan penilaian usia kehamilan pada bayi baru lahir dengan menggunakan skor ballard, didapatkan bahwa baik bayi laki-laki maupun bayi perempuan tidak ada perbedaan dalam menilai usia kehamilan karena mayoritas usia kehamilannya 37-42 minggu. Akan tetapi, ada juga bayi usia kehamilannya <37 minggu atau preterm yaitu ada 10 bayi (10%).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang (Prawirohardjo, 2009). Berdasarkan penelitian ini didapatkan bayi lahir < 37 minggu sebanyak 10 bayi (10%). Menurut Prawirohardjo (2009) angka kejadian persalinan preterm pada umumnya adalah sekitar 6-10%. Angka kejadian tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian ini yakni ada 10% bayi lahir dengan persalinan preterm. Selanjutnya, hanya 1,5 % persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Penelitian lain oleh Prawirohardjo (2009) menunjukkan bahwa umur kehamilan dan berat bayi lahir saling berkaitan dengan risiko kematian perinatal.

Pada kehamilan umur 32 minggu dengan berat bayi >1500 gram keberhasilan hidup sekitar 85%, sedang pada umur kehamilan < 32 minggu dengan berat lahir <1500 gram angka keberhasilan untuk hidup hanya 59%. Hal ini menunjukkan bahwa persalinan preterm tidak hanya tergantung usia kehamilan, tetapi juga berat badan lahir.

Berdasarkan berat badan lahir, mayoritas bayi baru lahir dengan berat badan lahir 1000 – 2499 gram dan preterm yakni ada 8 bayi (73%). Hal ini menunjukkan bahwa bayi dengan usia kehamilan preterm cenderung akan mengalami BBLR. Salah satu akibat persalinan preterm adalah terjadinya BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). BBLR masih menjadi masalah di Indonesia, karena merupakan penyebab utama kematian pada masa neonatal. Hasil studi 7 daerah multicenter di beberapa daerah di Indonesia diperoleh angka BBLR dengan rentang 2,1% - 17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut survey Dinas Kesehatan Indonesia (SDKI), angka BBLR sekitar 7,5%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni 7%.

Berdasarkan panjang badan, mayoritas panjang badan bayi baru lahir yang usia kehamilan aterm (46-51 cm) yakni ada 82 bayi (95%), akan tetapi ada juga bayi panjang badan 40-45 cm dengan usia kehamilan preterm yakni 6 bayi (43%) yang persentasenya hampir mendekati 50%. Hal ini menujukkan bahwa bayi yang memiliki panjang badan 40-45 cm maka bisa diperkirakan bayi akan cenderung mengalami berat badan lahir rendah.

Erman, Retayasa, dan Soetjiningsih (2006, dalam Mujawar, Somasetia & Effendi, hal. 401) mengatakan bahwa penentuan usia gestasi secara klinis pada neonatus sangat penting. Hal ini diperlukan untuk menentukan diagnosis dan penatalaksanaan yang optimal pada bayi baru lahir. Usia kehamilan dan berat badan lahir sangat berkaitan erat dengan kematian bayi (AKB), terutama kematian neonatus.

Berdasarkan hasil yang telah didapatkan dalam menilai usia kehamilan menggunakan skor ballard, dari 100 bayi terdapat 10 bayi (10%) yang termasuk dalam kecil masa kehamilan. Menurut Sistiarani (2008), bayi kecil untuk masa kehamilan sering disebut juga sebagai intrauterine growth retardation (IUGR), ada 2 bentuk IUGR yaitu :

1. Proportionate IUGR, janin lahir dengan berat, panjang, dan lingkaran kepala dalam proporsi seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih dibawah masa gestasi yang sebenarnya.

2. Dispropotionate IUGR, janin lahir dengan panjang dan lingkaran kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi.

Berdasarkan hasil penelitian, maka terdapat 2 bayi yang termasuk proportionate IUGR dan 3 bayi yang termasuk dispropotionate IUGR. Hal ini terjadi karena beberapa faktor menurut Prawirohardjo (2009) yaitu faktor pada ibu, faktor janin dan plasenta, ataupun faktor lain seperti sosioekonomi.

Menurut Prawirohardjo (2005, dalam Puspitasari & Sulastri) ibu hamil dengan preeklampsia merupakan salah satu faktor yang memiliki risiko terjadinya pertumbuhan janin yang lambat, BBLR, dismaturitas dan prematuritas janin dan bahkan terjadi Intra Uterine Fetal Death (IUFD). Ibu yang menderita preeklampsia akan mengalami disfungsi vaskuler plasenta, yang dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta terganggu, sehingga kebutuhan janin akan nutrisi dan oksigen tidak terpenuhi secara optimal. Keadaan tersebut mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat dan kelahiran bayi dengan BBLR. Berdasarkan hasil penelitian Andammori, Lipoeto dan Yusrawati (2013) bahwa terdapat hubungan signifikan antara tekanan darah ibu hamil aterm dengan berat badan lahir yaitu semakin tinggi tekanan darah ibu hamil, semakin rendah berat badan lahir.

Selain faktor ibu, faktor plasenta juga memiliki peran penting dalam menentukan berat badan lahir bayi karena merupakan tempat pertukaran zat gizi dari ibu untuk janin. Berdasarkan hasil penelitian Mukhlisan, Liputo, dan Ernawati (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat plasenta dengan berat badan lahir bayi. Hal ini sesuai

karena makanan dan oksigen di distribusikan dari ibu ke janin melalui plasenta. Plasenta akan bertambah luas dan berat seiring pertambahan masa kehamilan akibat bertambahnya jumlah vilus. Sedangkan vilus ini merupakan bagian yang penting dalam pertukaran makanan dan oksigen serta zat-zat sisa janin. Jika vilus makin luas, maka daerah pertukaran akan semakin luas untuk menunjang kehidupan janin.

Namun berbeda halnya hasil penelitian oleh Sistiarani (2008) mengatakan bahwa hal yang paling dominan beresiko terhadap BBLR adalah umur kurang dari 20 tahun dan umur lebih dari 34 tahun dan jarak kehamilan kurang dari 2 tahun. Hal ini dikarenakan, bahwa umur yang terlalu muda atau kurang dari 20 tahun disebabkan belum matangnya organ reproduksi untuk hamil (endometrium belum sempurna), sedangkan umur yang lebih dari 34 tahun endometrium yang kurang subur serta memperbesar kemungkinan untuk menderita kongenital, sehingga dapat berakibat terhadap kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin dan beresiko untuk mengalami kelahiran prematur. Angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada usia kurang dari 20 tahun. Kejadian terendah terjadi pada usia antara 26 – 35 tahun. Dan jarak kehamilan juga merupakan faktor resiko medis ibu sebelum hamil yang mempengaruhi BBLR. Semakin kecil jarak antara dua kelahiran semakin besar resiko melahirkan BBLR.

Selain faktor di atas, faktor resiko lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat sosioekonomi, karena ekonomi keluarga dapat menunjukkan gambaran kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil yang berperan dalam pertumbuhan janin. Keadaan sosial ekonomi sangat berperan terhadap timbulnya prematuritas. Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini disebabkan keadaan gizi yang kurang baik. Kejadian ini merupakan langkah penting dalam pencegahan persalinan preterm adalah bagaimana mengindentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan perawatan antenatal

Dokumen terkait