• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi dan Diskusi Hasil

BAB V PEMBAHASAN

A. Interpretasi dan Diskusi Hasil

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa karakteristik dari hiperemesis gravidarum yang dialami partisipan adalah mual dan muntah berlangsung terus menerus, muntah terjadi sampai usia kehamilan lebih dari 3 bulan, nafsu makan berkurang, keluar cairan lambung, selalu ingin meludah, lebih parah terjadi pada anak pertama, perut terasa panas, sakit perut, dan tidak menyukai bau suami.

Simptom mual dan muntah terus menerus dalam kehamilan dialami oleh seluruh partisipan. Mual dan muntah yang berlangsung terus, makan berkurang, berat badan menurun, kulit dehidrasi, tonus kulit lemah, nyeri daerah epigastrium, tekanan darah menurun dan nadi meningkat, lidah kering, dan mata nampak cekung merupakan gejala hiperemesis gravidarum tingkat I (Manuaba, 1998).

Delapan orang partisipan menyatakan mual dan muntah sampai dengan umur kehamilan lebih dari 3 bulan. Hiperemesis gravidarum dapat berlangsung sampai dengan umur kehamilan 4 bulan sehingga pekerjaan sehari-hari menjadi terganggu dan keadaan umum menjadi buruk (Prawirohardjo, 1997)

Seluruh partisipan merasakan penurunan nafsu makan. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kadar hormon pada area posterm, suatu organ circumventricular pada bagian dasar ventricle keempat yang terletak di luar penghalang otak darah (blood-brain

barrier) (Whitehead, et al., 1992, dalam Wesson, 2002). Area ini biasa dikenal sebagai

zona pemicu chemoreceptor (chemoreceptor trigger zone), yang tidak hanya mencakup muntah, tetapi juga perubahan selera makan, efek hilangnya selera makan (anorexic), keseimbangan energi dan fungsi-fungsi lainnya (Borison, 1989 dalam Wesson, 2002)

Tujuh orang partisipan muntah sampai dengan mengeluarkan cairan lambung. Dalam muntah yang dikeluarkan terdapat sebagian cairan lambung serta elektrolit seperti natrium, kalium dan kalsium. Penurunan kalium akan menambah beratnya muntah, sehingga makin berkurang kalium dalam keseimbangan tubuh serta makin menambah berat terjadinya muntah (Manuaba (1998).

Gejala selalu ingin meludah diungkapkan oleh dua partisipan. Ptyalisme atau air liur yang berlebih membuat beberapa wanita membutuhkan tempat untuk menampung air liur mereka tersebut dan sering menyertai hiperemesis gravidarum sehingga (Gardner, 1997). Ptyalisme terjadi karena ketidaksanggupan wanita tersebut menelan air ludahnya sebagai akibat dari perasaan mual (Prawirohardjo, 1997).

Dua orang partisipan menyatakan bahwa gejala hiperemesis gravidarum yang dialami lebih parah terjadi ketika kehamilan anak pertama. Primigravida menjadi faktor

predisposisi yang sering untuk hiperemesis gravidarum (Prawirohardjo, 1997). Selain primigravida, faktor prsdisposisi untuk hiperemesis gravidarum adalah keletihan, janin wanita, mual dan muntah pada kehamilan sebelumnya, merokok, stress, cemas, takut, dan wanita yang memiliki keluarga atau ibu yang mengalami mual dan muntah saat hamil (Tiran, 2008).

Empat orang partisipan menyatakan bahwa mereka merasakan perut mereka sakit dan seorang partisipan menyatakan perut terasa panas. Rasa panas di perut terjadi sebagai akibat melemasnya cincin otot yang memisahkan kerongkongan dengan lambung. Akibatnya, makanan dan cairan yang keras serta asam dapat masuk ke kerongkongan dari lambung. Asam lambung ini merangsang dinding kerongkongan yang peka sehingga menyebabkan rasa panas. Untuk menghindarinya usahakan makan sedikit-sedikit tapi sering dan menghindari posisi membungkuk dengan melekukkan pinggang (O’Brien & Naber, 1992, dalam Tiran 2008)

Dua orang partisipan menyatakan bahwa mereka membenci suami ketika mengalami hiperemesis gravidarum. Penelitian yang dilakukan oleh Kaltenbach (1891, dalam Wesson, 2002) menemukan bahwa para wanita yang mengalami penyakit kehamilan tingkat berat, yaitu hiperemeses gravidarum, secara tidak wajar dan secara simbolik mengalami atau mengungkapkan perasaan benci mereka terhadap kehamilan dan kebencian terhadap suami dan bayi yang mereka kandung dan menganggapnya sebagai suatu emosi yang kuat. Hal ini terjadi karena pergolakan hormon, hampir semua wanita hamil secara emosional labil dan cenderung goyah (Stoppard, 2007).

2. Faktor penyebab hiperemesis gravidarum

Dari hasil penelitian partisipan menyebutkan bahwa penyebab dari hiperemesis gravidarum yang mereka alami kemungkinan adalah karena bawaan hamil, adanya penyakit lain (maag), faktor psikologis seperti karena setelah beberapa lama menikah baru hamil, maka ingin dimanja, karena finansial suami berbeda dengan keluarga, berpisah dari keluarga, trauma pada kehamilan yang lalu, adanya penyakit maag, faktor keturunan, dan kehamilan kembar.

Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa mereka tidak mengetahui penyebab pasti dari gejala hiperemesis gravidarum yang mereka alami. Hingga saat ini, penyebab pasti dari hiperemesis gravidarum sampai belum diketahui secara pasti. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan faktor toksik, juga tidak ditemukan kelainan biokimia (Prawirohardjo, 1997).

Faktor psikologis yang diungkapkan oleh lima orang kemungkinan menjadi salah satu penyebab hiperemesis gravidarum. Muntah-muntah yang berlebihan merupakan komponen reaksi psikologik terhadap situasi tertentu dengan kehidupan wanita. Tanpa itu biasanya wanita hamil mmuda hanya akan menderita rasa mual dan muntah sedikit-sedikit (emesis gravidarum) (Prawirohardjo, 1997).

Kehamilan kembar juga diungkapkan oleh salah seorang partisipan sebagai kemungkinan penyebab dari hiperemesis gravidarum yang dialaminya. Hal ini disebabkan oleh frekuensi hCG yang dibentuk berlebihan pada kehamilan ganda dan menimbulkan dugaan bahwa faktor hormon memegang peranan sebagai penyebab hiperemesis gravidarum (Prawirohardjo, 1997).

Dua orang partisipan menyatakan bahwa kemungkinan penyebab dari hiperemesis gravidarum yang dialami adalah karena menderita penyakit maag. Adanya pengaruh yang kuat antara Helicobacter Pylori pada maag akut yang berkembang sesuai dengan kemajuan kehamilan kemungkinan adalah penyebab dari hiperemesis gravidarum (Jamal, et al., 2004). Hayakawa, et al. (2000, dalam Tiran, 2008) menyatakan bahwa Helicobacter pylori merupakan faktor penting dalam patogenesis hiperemesis gravidarum, mesikpun bukan penyebab tunggal dari penyakit ini.

3. Faktor pencetus hiperemesis gravidarum

Dari hasil penelitian partisipan menyebutkan bahwa faktor pencetus hiperemesis yang dialami oleh partisipan adalah karena intoleransi terhadap bau, terutama bau makanan dan wangi-wangian, intoleransi terhadap cahaya terutama cahaya matahari, naik kendaraan, dan perubahan posisi dengan cepat menjadi duduk atau berdiri.

Tiga partisipan menyatakan ketidakmampuan mereka mencium bau sesuatu dan satu orang partisipan menyatakan tidak bisa melihat sinar matahari. Hal tersebut dapat menyebabkan mereka mual bahkan muntah. Dampak pada kemampuan mencium dan melihat juga diungkapkan oleh Tiran (2008) sebagai faktor fisiologi yang menyebabkan muntah. Terlalu sensitif terhadap bau terjadi pada kehamilan, kemungkinan karena peningkatan hormon estrogen. Bau yang menusuk hidung umumnya adalah bau makanan tapi kadang-kadang juga bau parfum atau bahan kimia. Meminimalkan bau dan peningkatan udara segar adalah kunci untuk menghindari mual (Mesics, 2008).

Dua orang partisipan menyatakan ia akan muntah apabila naik kendaraan atau berubah posisi. Hal ini dinyatakan sebagai efek pada apparatus vestibular. Rasa

ekuilibrium berespon terhadap berbagai gerakan kepala dan bergantung pada input dari telinga bagian dalam, stimulus visual dan dan dari reseptor regangan ke otot dan tendon (O’Brient et al., 1997, dalam Tiran 2008)

4. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi hiperemesis gravidarum

Dari hasil penelitian partisipan menyebutkan bahwa upaya yang dilakukan partisipan untuk mengurangi mual dan muntah yang mereka alami adalah dengan pengobatan psikologis yaitu dengan kembali pada keluarga, dengan makan sedikit tapi sering, makan makanan manis, menambah waktu istirahat atau tidur, pengobatan medis melalui obat-obatan oral dan infus, dan pengobatan alternatif seperti minum air rebusan jahe, jalan-jalan, dan pemijatan.

Untuk mengurangi hiperemesis gravidarum, partisipan melakukan penanganan psikologis. Salah satunya penangan psikologis yang dilakukan partisipan adalah dengan kembali pada keluarga. Smith, et al. (2006) menyatakan bahwa faktor psikologi yang signifikan terindikasi yaitu wanita yang terpisah dari keluarganya, dengan symptom dari hiperemesis yang mereka alami berkurang ketika kembali ke lingkungan keluarganya.

Jalan-jalan mencari udara segar juga dilakukan oleh dua orang partipan untuk mengurangi mual dan muntah. Jalan-jalan mencari udara segar merupakan rekomendasi Mesics (2008) untuk mengurangi muntah. Selain itu Mesics (2008) juga menganjurkan agar menghindari gerakan yang tiba-tiba, menghindari menggosok gigi segera, dan berdiri sesaat setelah makan untuk mengurangi muntah (Mesics, 2008).

Makan makanan manis, makan sedikit tapi sering juga dilakukan partisipan untuk mengurangi mual dan muntah yang dialami. Mesics (2008) menyatakan bahwa

dengan memakan makanan lunak dan manis, tinggi karbohidrat, rendah lemak, menghindari makanan berbau menyengat, dan tidak mengkonsumsi tablet besi akan mengurangi hiperemesis gravidarum.

Mesics (2008) juga merekomendasikan makan dalam porsi kecil tapi sering setiap 2 sampai 3 jam, minum minuman mengandung gas diantara makanan, makan rendah lemak, tinggi protein, menghindari makanan berminyak dan makanan asin untuk rasa.

Untuk mencegah muntah, empat orang partisipan melakukan upaya dengan menambah waktu istirahat atau tidur. Istirahat dan tidur sangat penting untuk mengurangi dampak keletihan. Banyak wanita secara spontan melakukan “tidur siang” meskipun tidak jelas apakah peningkatan merupakan akibat energi fisik yang diperbaharui kembali atau semata-mata memfasilitasi periode istirahat mental yang tidak disadari (O’Brien, et al., 1997, dalam Tiran, 2008)

Pengobatan alternatif yang dilakukan oleh partisipan untuk mengurangi mual dan muntah yang mereka alami adalah dengan minum air rebusan jahe dan pemijatan. Jahe memiliki keuntungan sebagai sebuah terapi alternatif untuk penatalaksanaan variasi mual dan muntah dalam kehamilan. Dosis yang biasa digunakan untuk jahe adalah 1-2 gr/hari peroral 3-4 dibagi perdosis selama 3 minggu (Smith, et al., 2006)

Mesics (2008) menyebutkan bahwa pemijatan taktil dapat membantu untuk meningkatkan relaksasi, melapangkan pikiran dan memberikan pemikiran kepada ibu bahwa tubuhnya dapat berfungsi kembali. Pemijatan taktil merupakan terapi alternatif dan saling melengkapi untuk hiperemesis.

Selain penanganan psikologis dan pengobatan alternatif, seluruh partisipan juga menjalani pengobatan medis seperti penggunaan obat-obatan dan infus. Mesics (2008) menyatakan bahwa perawatan di rumah sakit diperlukan jika mual dan muntah yang dialami diikuti oleh dehidrasi. Hal ini bertujuan untuk rehidrasi dan penggantian vitamin dan mineral. Setelah ketonuria dan mual dan muntah teratasi, perlu perawatan di rumah dan salah satunya adalah obat-obatan per oral.

5. Dampak hiperemesis gravidarum

Dari hasil penelitian partisipan menyebutkan dampak yang dialami oleh partisipan akibat hiperemesis yang mereka alami adalah penurunan berat badan, trauma, badan lemas, menjalani rawat inap, mengganggu aktifitas sehari-hari dan keadaan umum memburuk seperti muntah darah.

Penurunan berat badan, menjalani rawat inap, dan mengganggu aktifitas sehari-hari dirasakan partisipan sebagai dampak dari hiperemesis gravidarum. Penurunan berat badan terjadi karena tubuh kekurangan cairan tubuh (dehidrasi) dan tubuh tidak memiliki cukup nutrisi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Jika keadaan ini terus berlanjut dan tidak diatasi dengan akan berdampak buruk pada ibu dan bayi (MacGibbon, 2008). Ogunyemi (2007) menyatakan bahwa dampak lain yang dialami oleh pasien dengan hiperemesis gravidarum adalah penurunan 5% dari berat badan sebelum hamil, mengganggu aktifitas sehari-hari, dan seringkali memerlukan rawat inap bahkan dapat menyebabkan kematian.

Tiga orang partisipan menyatakan bahwa mereka merasakan badan mereka lemas ketika mengalami hiperemesis gravidarum. Hal tersebut disebabkan oleh cadangan

karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga menyebabkan tubuh penderita lemas (Prawirohardjo, 1997).

Trauma sebagai dampak dari hiperemesis gravidarum dialami oleh dua orang partisipan. Sebanyak 60% wanita yang menderita hiperemesis gravidarum mengalami depresi (Seehan, 2007).

Hiperemesis memberikan dampak buruk pada tiga orang partisipan, yaitu keadaan umum partisipan memburuk ditandai dengan muntah bercampur darah. Muntah bercampur darah tersebut disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kapiler pada lambung dan esophagus (Manuaba, 1998).

6. Perasaan ketika mengalami hiperemesis gravidarum

Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa seluruh ibu yang diwawancarai merasakan tidak senang ketika mengalami hiperemesis gravidarum. Hilangnya perasaan senang dalam kehamilan diikutsertakan dalam simptom yang menyertai hiperemesis gravidarum disebabkan oleh adanya rasa lapar yang kuat, rasa seperti logam dalam mulut, ludah yang berlebihan, rasa haus yang hebat, dan rasa lelah dan lesu yang berlebihan, serta berat badan menurun yang menyertai hiperemesis gravidarum (Wesson, 2002).

7. Perasaan setelah hiperemesis gravidarum teratasi

Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa sebagian besar partisipan merasakan senang karena telah terbebas dari mual dan muntah yang menyiksa dan menyebabkan mereka harus merasakan dampak bagi fisik maupun psikologisnya, tetapi

sebagian kecil menyatakan badan mereka tetap kurang senang setelah hiperemesis tersebut berkurang.

Rasa senang yang dirasakan partisipan setelah hiperemesis gravidarum yang mereka alami berkurang merupakan hal yang wajar terjadi setelah seseorang sembuh dari rasa sakit atau sembuh dari kesulitan yang mereka hadapi. Zubair (2008) menyatakan senang bermakna tidak adanya rasa sakit dalam badan dan tidak adanya kesulitan kejiwaan.

Meskipun sebagian partisipan menyatakan senang karena telah terbebas dari hiperemesis gravidarum, dua orang partisipan tetap merasakan kurang senang karena kesehatan dan kenyamanan mereka tidak kembali seperti ketika sebelum hamil yang disebabkan oleh adanya rasa lelah. Rasa lelah dan selalu ingin tidur mungkin disebabkan oleh efek mengantuk yang ditimbulkan oleh progesterone (Williams, 2006). Wesson (2002) menyatakan bahwa wanita yang megalami tingkat lelah yang paling tinggi adalah wanita yang mengalami hiperemesis gravidarum.

Dokumen terkait