α d = Konstanta variabel jarak antara negara i dan j, DIST ij = Jarak antara negara i dan j,
H 0 : Model Random Effect
4.3. Interpretasi Model
Setelah mendapatkan hasil estimasi model yang ditampilkan pada Tabel 4.6, maka langkah berikutnya adalah menginterpretasikan model persamaan tersebut. Pada model tersebut diketahui bahwa variabel AVEGDPC (rata-rata GDP per capita dua negara), DGDP (perbedaan GDP antar negara), EXRF (fluktuasi nilai tukar), dan EXR2 (nilai tukar negara partner) secara signifikan mempengaruhi perkembangan Intra-Industry Trade di negara-negara ASEAN-5. Di sisi lain, variabel DIST (jarak antar negara) dan DGDPC(perbedaan GDP per capita antar negara) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IIT.
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa variabel AVEGDPC mempunyai pengaruh yang positif terhadap tingkat integrasi sektor ICT di negara ASEAN-5. Tiga variabel lainnya yaitu DGDP, EXRF, dan EXR2 berpengaruh negatif terhadap nilai IIT selama periode analisis. Diantara ketiga variabel tersebut, nilai tukar negara partner mempunyai pengaruh terbesar dalam penurunan nilai IIT
index. Sementara variabel jarak antar negara berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan dan variabel perbedaan GDP per capita antar negara berpengaruh negatif tetapi juga tidak signifikan.
Dalam model ditunjukkan bahwa nilai koefisien AVEGDPC adalah sebesar 13,06019 yang artinya jika nilai rata-rata GDP per capita dua negara meningkat sebesar satu persen, maka nilai IIT index akan meningkat sebesar
13,06019 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa tingkat standar hidup masyarakat mempengaruhi pola permintaannya terhadap keragaman barang, dalam hal ini khususnya untuk produk-produk ICT.
Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, berarti semakin tinggi pula tingkat standar hidup masyarakat di suatu negara. Masyarakat dengan tingkat standar hidup yang tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat permintaan yang lebih tinggi pula terhadap keragaman barang dan kualitas barang yang lebih baik. Permintaan pasar yang meningkat akan memicu para produsen untuk meningkatkan efisiensi produksi yang difokuskan dengan cara diferensiasi produk (berspesialisasi). Tingginya permintaan dan penawaran atas produk yang terdiferensiasi akan menyebabkan meningkatnya perdagangan intra-industri. Untuk jenis produk manufaktur seperti ICT, nilai perdagangan intra-industri juga cenderung lebih tinggi karena proses produksi yang dilakukan memungkinkan adanya economies of scale.
Selain itu, tingkat pendapatan per kapita juga dapat merepresentasikan tingkat capital-labor ratio, dimana produk yang terdiferensiasi diasumsikan sebagai produk yang diproduksi secara capital-intensive atau padat modal (Helpman dan Krugman dalam Umemoto, 2004). Jadi, dapat disimpulkan bahwa produk yang diproduksi secara terdiferensiasi seperti ICT lebih memerlukan modal daripada tenaga kerja dalam proses produksinya. Hal ini karena dalam melakukan diferensiasi produk lebih banyak diperlukan alat-alat mekanis seperti mesin-mesin produksi, sedangkan sumberdaya manusia itu sendiri hanya berfungsi untuk mengoperasikan alat-alat tersebut. Kondisi ini menyebabkan
proses produksi barang terdiferensiasi seperti ICT tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan hanya akan membutuhkan tenaga kerja yang terdidik dan terlatih.
Rata-rata tinggi tingkat pendapatan per kapita yang signifikan dalam perdagangan intra-industri komoditas ICT mencerminkan adanya peluang untuk menguasai pasar melalui optimalisasi diferensiasi produk sesuai dengan selera pasar, atau bahkan menciptakan pasar yang baru dengan adanya inovasi produk. Upaya ini dapat diimplementasikan melalui program research and development
(R&D) yang dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Program R&D dapat dilakukan dalam berbagai segi mulai dari peningkatan efisiensi sistem manajerial perusahaan, riset pasar, sampai pada pengembangan teknologi mesin-mesin dan alat-alat produksi lainnya. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan program- program promosi yang dapat mempengaruhi selera pasar. Program promosi tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kegiatan advertensi tidak langsung yaitu melalui berbagai media, yang meliputi media cetak dan elektronik. Kegiatan advertensi juga dapat dilakukan secara langsung yaitu melalui kegiatan pameran produk-produk ICT ke negara-negara yang menjadi target pemasaran. Disamping itu penambahan fasilitas layanan purna jual juga dapat menjadi salah satu sarana promosi bagi produk-produk ICT.
Sementara nilai koefisien variabel DGDP menunjukkan nilai -1,884473 yang berarti peningkatan perbedaan tingkat pendapatan nasional (GDP), yang menggambarkan perbedaan market size dalam perdagangan, sebesar satu persen akan menurunkan nilai IIT index sebesar 1,884473 persen. Berarti bahwa semakin
setara market size antara dua negara yang melakukan perdagangan, maka akan semakin besar pula perdagangan intra-industri yang terjadi. Hal ini karena adanya asumsi bahwa division of labor akan semakin intensif dilakukan dengan meningkatnya market size (Ito dan Umemoto, 2004). Selain itu negara yang lebih besar dari sisi pendapatan nasionalnya akan cenderung memproduksi dan mengkonsumsi lebih banyak produk yang terdiferensiasi, sehingga apabila kondisi ini dimiliki oleh kedua negara yang melakukan perdagangan maka IIT akan cenderung meningkat.
Ditinjau dari GDP sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dinyatakan pula bahwa perbedaan GDP antar negara akan berpengaruh negatif. Hal tersebut disebabkan karena negara-negara dengan perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan lebih cenderung melakukan perdagangan inter-industri karena perbedaan factor endowment yang dimiliki, sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan intra- industri antara negara-negara dengan kondisi demikian relatif rendah.
Signifikannya perbedaan GDP tersebut mengindikasikan bahwa implementasi kerjasama perdagangan, khususnya untuk komoditas ICT, di kawasan ASEAN-5 masih belum terlaksana secara optimal. Hal ini terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari adanya kerjasama perdagangan antar negara yang dapat membuat market size dari negara-negara yang terlibat dalam perdagangan menjadi lebih konvergen. Selain itu dari segi GDP sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi, adanya kerjasama perdagangan yang diimplementasikan secara optimal akan mengurangi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar negara.
Fluktuasi nilai tukar (EXRF) yang signifikan pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien -1,783829 menunjukkan bahwa setiap peningkatan fluktuasi nilai tukar sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan nilai IIT
index sebesar 1,783829 persen. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh fluktuasi nilai tukar yang mengakibatkan fluktuasi volume perdagangan, karena adanya fluktuasi merubah harga relatif dari barang-barang yang diperdagangkan. Kondisi tersebut akan menimbulkan fluktuasi pula pada iklim perdagangan sehingga mempengaruhi keputusan perdagangan. Dalam penelitian ini fluktuasi nilai tukar yang dialami oleh negara-negara yang dianalisis cenderung pada melemahnya nilai tukar (nilai tukar nominal meningkat). Nilai tukar yang melemah akan meningkatkan ekspor dan menurunkan impor. Bila hal tersebut terjadi maka ketidakseimbangan perdagangan akan semakin besar, dan berakibat pada menurunnya perdagangan intra-industri.
Variabel EXR2 (nilai tukar negara partner) secara signifikan mempengaruhi perubahan IIT pada taraf nyata lima persen. Koefisien variabel tersebut bernilai -26,33103 yang artinya peningkatan nilai tukar negara partner
sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan nilai IIT index sebesar 26,33103 persen. Hal ini disebabkan karena adanya kenaikan nilai tukar negara
partner dagang akan menimbulkan peningkatan harga barang impor dan ekspor secara relatif. Saat nilai tukar negara partner mengalami peningkatan (melemah untuk kasus nilai tukar nominal yang digunakan dalam penelitian ini), maka ekspornya ke negara reporter akan meningkat sedangkan impornya menurun. Kondisi ini menimbulkan selisih (perbedaan) antara ekspor dan impor semakin
besar sehingga menurunkan nilai IIT index (sesuai dengan rumus IIT index yang dijelaskan pada metode penelitian).
Berdasarkan hasil analisis terhadap variabel yang berhubungan dengan nilai tukar tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan upaya-upaya untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada negara-negara ASEAN-5 agar terhindar dari kondisi yang fluktuatif. Selain itu perlu juga dilakukan berbagai upaya agar kondisi moneter dalam negeri pada negara-negara ASEAN-5 menjadi kuat dan stabil sehingga tidak mudah terpengaruhi oleh kondisi moneter pada negara- negara mitra, terutama dalam hal perdagangan.
Dari sisi produk ICT itu sendiri, signifikansi nilai tukar dan kondisi moneter terhadap IIT produk ICT dapat diantisipasi dengan cara meningkatkan kapabilitas kuantitas penawaran dan spesifikasi produk semaksimal mungkin sehingga produsen domestik mampu memenuhi permintaan pasar terhadap produk ICT baik dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah hendaknya memberikan fasilitas berupa kemudahan-kemudahan dari sisi regulasi kepada para produsen domestik agar mampu menghasilkan produk yang sedemikian unique dan berkualitas tinggi yang dapat memenuhi permintaan domestik dan standar internasional untuk target pasar luar negeri. Produk yang mempunyai ciri khas dan kualitas yang sesuai dengan permintaan dan selera konsumen tersebut nantinya akan menjadi produk yang inelastis terhadap harga. Jika produk ICT sudah mencapai tahap inelastisitas tersebut maka perubahan harga produk yang terjadi karena fluktuasi nilai tukar dan instabilitas moneter tidak akan mempengaruhi permintaan pasar.
Pada hasil estimasi, dapat dilihat bahwa variabel DIST (jarak antar negara) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen IIT pada taraf nyata lima persen. Insignifikansi dari variabel jarak antar negara ini mengindikasikan bahwa pada kenyataannya, jarak bukanlah faktor yang menentukan peningkatan biaya transaksi IIT pada komoditas ICT di ASEAN-5. Artinya komoditas ICT yang dianalisis dalam penelitian ini mempunyai spesifikasi produk yang sedemikian rupa, misalnya produk yang semakin ringan dan bentuknya portable
(mudah dipindahkan), sehingga biaya proses pengangkutannya ke negara tujuan perdagangan di kawasan ASEAN-5 tidak terlalu dipengaruhi oleh jarak negara tujuan.
Demikian juga dengan variabel DGDPC (perbedaan GDP per capita antar negara), variabel ini tidak signifikan untuk taraf nyata lima persen, maka perubahan variabel ini bisa dikatakan tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai perdagangan intra-industri. Kondisi ini dapat dijelaskan dari sisi tingkat pendapatan per kapita sebagai faktor yang mempengaruhi pola permintaan. Dari hasil estimasi yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa untuk komoditas ICT, perbedaan tingkat pendapatan per kapita tidak menjadi hambatan bagi negara- negara ASEAN-5 untuk melakukan perdagangan intra-industri. Perbedaan tersebut juga tidak mempengaruhi pola permintaan dari negara-negara yang terlibat perdagangan. Artinya tipe selera masyarakat di kawasan ASEAN-5 atas produk-produk ICT tidak tergantung dari besarnya GDP per capita masing- masing negara.
Dalam penelitian ini, hasil identifikasi IIT index dengan menggunakan 20 observasi cross section contoh arus perdagangan di ASEAN-5 untuk komoditas ICT pada tahun 2001-2005, menunjukkan bahwa secara umum perdagangan intra- industri yang terjadi di wilayah tersebut berada pada tingkat yang cukup kuat. Dengan kata lain industri ICT di negara ASEAN-5 cukup terintegrasi. Hal tersebut dapat dilihat bahwa dari seluruh hasil perhitungan IIT index yang berjumlah 100, 38 diantaranya menunjukkan derajat integrasi cukup kuat, 36 IIT index menunjukkan derajat integrasi kuat, 12 nilai IIT index menunjukkan derajat integrasi sedang, 12 lainnya menunjukkan derajat integrasi lemah, sedangkan dua hasil perhitungan tidak dapat ditampilkan karena adanya data arus perdagangan yang tidak dilaporkan. Secara umum perdagangan intra-industri komoditas ICT antara Singapura dengan mitra dagang Thailand berada pada level yang paling kuat, sedangkan perdagangan intra-industri komoditas ICT antara Indonesia dengan mitra dagang Singapura berada pada level yang paling lemah.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hubungan ketergantungan antar perekonomian yang semakin tinggi, khususnya dari segi perdagangan komoditas ICT. Jadi, dapat diinterpretasikan juga bahwa ketersediaan komoditas ICT di negara-negara ASEAN-5 semakin tergantung pada ekspor dan impor intra- industri antara kelima negara tersebut. Implikasi dari kondisi tersebut adalah adanya peluang yang cukup besar untuk melakukan ekspansi ekspor di kawasan
ASEAN-5, dan di sisi lain negara-negara ASEAN-5 harus siap untuk menghadapi persaingan dengan komoditas-komoditas ICT hasil impor.
Dari hasil penghitungan IIT juga dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai IIT index tergantung pada negara reporter yang melaporkan arus perdagangannya. Salah satu contohnya adalah pada kasus IIT Indonesia-Malaysia dan Malaysia- Indonesia dimana terdapat perbedaan nilai IIT index yang sangat besar antara dua negara reporter yang berbeda. Hal ini bersumber dari adanya ketimpangan yang cukup besar pada data arus perdagangan yang dilaporkan. Ketimpangan tersebut dapat terjadi karena dua hal, yaitu adanya produk-produk ilegal yang tidak tercatat di database resmi masing-masing negara serta sistem pencatatan yang belum teroganisir dan sistem pembaharuan data yang belum dilaksanakan dengan baik. Hal-hal tersebut menyebabkan data arus perdagangan yang tidak aktual dan tidak up to date sehingga tidak representatif.
Sementara itu, hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan intra-industri antara negara-negara ASEAN-5 pada periode 2001- 2005 dengan menggunakan metode Panel Data dan model efek tetap (fixed effect model) menunjukkan bahwa pada taraf nyata lima persen terdapat empat variabel yang secara signifikan mempengaruhi tingkat perdagangan intra-industri. Variabel-variabel yang signifikan yaitu rata-rata GDP per capita dua negara, perbedaan GDP antar negara, fluktuasi nilai tukar, dan nilai tukar negara mitra dagang. Di sisi lain, variabel jarak antar negara dan perbedaan GDP per capita antar negara tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IIT di negara- negara tersebut.
5.2. Saran
Dalam penelitian ini, telah terdeteksi faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perdagangan intra-industri komoditas ICT yang berlangsung di negara ASEAN-5. Dengan demikian dapat dilakukan langkah-langkah yang efektif dalam memfungsikan faktor-faktor tersebut untuk meningkatkan IIT. Langkah pertama yang dapat disarankan oleh penulis adalah mengimplementasikan program research and development (R&D) secara intensif dan berkelanjutan agar tercapai diferensiasi produk yang optimal. Langkah kedua yaitu meningkatkan program-program promosi atas produk-produk ICT yang dapat mempengaruhi selera pasar.
Dari sisi tenaga kerja, langkah yang dapat diimplementasikan adalah meningkatkan program-program pendidikan dan pelatihan ketenagakerjaan untuk menghasilkan tenaga kerja yang kompeten serta memenuhi kualitas yang diperlukan untuk proses produksi barang-barang yang terdiferensiasi. Langkah selanjutnya adalah mempercepat dan mengoptimalkan implementasi skema kerjasama perdagangan dan perindustrian di bidang industri ICT yang telah ada, seperti program-program yang disusun oleh e-Commerce and ICT Trade Facilitation Working Group.
Untuk negara-negara ASEAN-5, khususnya Indonesia yang memiliki kondisi integrasi industri yang paling lemah, hendaknya melakukan upaya-upaya komprehensif untuk meningkatkan IIT. Selain meningkatkan partisipasi dalam memanfaatkan skema kerjasama yang ada di bidang industri ICT, perlu juga dilakukan upaya-upaya dari sisi moneter, yaitu menjaga kestabilan nilai tukar
serta memperkuat kondisi moneter dalam negeri. Hal ini dapat dilaksanakan dengan meningkatkan kestabilan politik dan keamanan dalam negeri. Dari sisi produk ICT sendiri, signifikansi nilai tukar dan kondisi moneter dapat diantisipasi dengan cara meningkatkan kapabilitas kuantitas penawaran dan spesifikasi produk sehingga mampu menghasilkan produk yang sedemikian unique dan berkualitas tinggi yang dapat memenuhi permintaan domestik dan standar internasional untuk target pasar luar negeri. Pada akhirnya produk ICT yang mempunyai kualifikasi yang unique dan berkualitas tinggi tersebut menjadi produk yang inelastis terhadap harga, sehingga permintaan pasar terhadap produk tersebut tidak akan terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar dan instabilitas moneter.
Selain itu, mengingat adanya ketimpangan pada data arus perdagangan yang dijadikan dasar penghitungan IIT di ASEAN-5, khususnya ketimpangan terbesar yang terjadi pada negara reporter Indonesia, maka perlu dilakukan beberapa upaya untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan penyebab ketimpangan tersebut. Upaya yang dapat diimplementasikan antara lain peningkatan pengawasan dan penjagaan daerah-daerah lalu lintas barang ekspor dan impor seperti pelabuhan-pelabuhan dan bandar udara, serta memperketat seleksi perekrutan aparat yang menangani arus ekspor-impor barang dan pemberlakuan sanksi yang tegas atas tindakan penyelewengan oknum aparat yang bekerjasama dengan penyelundup. Upaya dari sisi peningkatan reliabilitas database perdagangan, seperti pembaharuan pada proses pengumpulan dan pencatatan data pada masing-masing negara, juga penting dilakukan untuk
meningkatkan keakuratan data yang tercatat pada database resmi perdagangan internasional.
Adapun keterbatasan penelitian ini adalah cakupan komoditas ICT yang digunakan hanya meliputi delapan macam produk dengan periode analisis yang terbatas yaitu lima tahun. Untuk penelitian selanjutnya, penulis dapat menyarankan untuk melakukan analisis tentang perdagangan intra-industri, khususnya untuk komoditas ICT, dengan menambah cakupan jumlah produk yang diteliti dan periode analisis.
Intra-ASEAN [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Areethamsirikul, S. 2006. “The Impact of ASEAN Enlargement Intra-ASEAN
Trade: Gravity Mode Approach”. The Indonesian Quarterly, 34(2):176-192. ASEAN ICT Portal. 2005. “About the e-Commerce & ICT Trade Facilitation
(WG EC&ITF) Working Group”. [ASEAN CONNECT Online]. http://www.aseanconnect.gov.my/index.php. [6 Februari 2007].
________________. 2005. “Telecommunications & IT Senior Officials Meeting (TELSOM)”. [ASEAN CONNECT Online].
http://www.aseanconnect.gov.my/index.php. [6 Februari 2007].
Austria, M.S. 2004. “The Pattern of Intra-ASEAN Trade in the Priority Goods Sectors”. Final Main Report, 3/006e: 1-176.
Baltagi, B.H. 2005. “Econometric Analysis of Panel Data”. John Wiley & Sons, Ltd, England.
Broto, G.S.D.2006. ”Peran ICT dalam Pembangunan”.
http://www.postel.go.id/update/ id/baca_info.asp?id_info=498. [3 Juli 2007]. Comtrade. 2007. “Database”. [Comtrade Online]. http://comtrade.un.org/db/.
[Mei 2007].
Dennis, D.J. dan Z.A. Yusof. 2003. “Developing Indicators of ASEAN Integration - A Preliminary Survey for a Roadmap”. Final Report, 02/001: 1-157.
Depperin. 2007. “Ringkasan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional”. [Depperin Online]. www.depperin.go.id.
Fink, C., A. Mattoo, dan R. Rathidran. 2000. “Liberalizing Basic Telecommunications: The Asian Experience”. World Bank, 1:28.
Gujarati , D. 1995. Ekonometrika Dasar. S. Zain [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Halwani, H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia
Haveman, J.D. 2003. “Jon Haveman’s International Trade Data: Useful Gravity Model Data”.
http://www.macalester.edu/research/economics/PAGE/HAVEMAN/Trade.Res ources/TradeData.html. [20 Mei 2007].
Head, K. 2003. Gravity for Beginners. University of British Columbia. Canada. Ito, K., dan M. Umemoto. 2004. “Intra-Industry Trade in the ASEAN Region:The
Case of the Automotive Industry”. ASEAN Auto Project, 04-8: 1-38.
Laboratorium Komputasi. 2005. Pengolahan Data Panel. Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Oktaviani, R. 2000. “The Indonesian Import Demand and Trade Flow of Cotton”. Department of Agricultural Socio-economics Studies, Bogor Agricultural University, Bogor.
Ruffin, R.J. 1999. “The Nature and Significance of Intra-industry Trade”. Federal Reserve Bank of Dallas.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. H. Munandar [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Sekretariat ASEAN. 2000. ”e-ASEAN Framework Agreement”. [Sekretariat ASEAN Online]. www.aseansec.org. [3 Mei 2007].
_________________. 2002. ” ASEAN Report to the World Summit on Sustainable Development”. [Sekretariat ASEAN Online]. www.aseansec.org. [3 Mei 2007].
_________________. 2004. ”Roadmap for Integration of e-ASEAN Sector”. [Sekretariat ASEAN Online]. www.aseansec.org. [3 Mei 2007].
_________________. 2006. ”ASEAN Integrated Industrial Zones”. [Sekretariat ASEAN Online]. www.aseansec.org. [6 Februari 2007].
Sembiring, I.R. 2006. Pengaruh Aset Bank Terhadap Efektifitas Kebijakan Moneter: Relevansi Terhadap Konsolidasi Arsitektur Perbankan di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunenti. 2005. Analisis Aliran Perdagangan dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Ekspor Meubel Rotan di Indonesia [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Thorpe, M., dan Z. Zhang. 2005. “Study of the Measurement and Determinants of Intra-industry Trade in East Asia”. Asian Economic Journal, 19 (2): 231-247.
Umemoto, M. 2004. “Development of Intra-Industry Trade between Korea and Japan:The Case of Automobile Parts Industry”. ASEAN Auto Project, 04-04: 1-29.
United Nations. 2007. “The Millennium Development Goals Report”. Department of Economic and Social Affairs, New York.
Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley & Sons, Ltd, England.
Williams, B.K. dan S.C. Sawyer. 2004. Using Information Technology. Mc Graw Hill, Boston.
World Bank. 2000. Trade blocs. Oxford University Press, Inc, New York. World Trade Organization. 2006. “Database”. [WTO Online]. www.wto.org. [5 Juni 2007].
2001 Ekspor Indonesia Malaysia 149.723.548
2001 Impor Indonesia Malaysia 6.306.010
2002 Ekspor Indonesia Malaysia 88.301.025
2002 Impor Indonesia Malaysia 16.051.960
2003 Ekspor Indonesia Malaysia 181.199.277
2003 Impor Indonesia Malaysia 16.706.356
2004 Ekspor Indonesia Malaysia 240.869.072
2004 Impor Indonesia Malaysia 28.949.323
2005 Ekspor Indonesia Malaysia 242.945.250
2005 Impor Indonesia Malaysia 31.447.260
2001 Ekspor Indonesia Filipina 23.434.756
2001 Impor Indonesia Filipina 439.421
2002 Ekspor Indonesia Filipina 11.783.694
2002 Impor Indonesia Filipina 14.756.624
2003 Ekspor Indonesia Filipina 17.683.767
2003 Impor Indonesia Filipina 3.438.699
2004 Ekspor Indonesia Filipina 27.860.176
2004 Impor Indonesia Filipina 2.182.292
2005 Ekspor Indonesia Filipina 29.587.587
2005 Impor Indonesia Filipina 2.747.893
2001 Ekspor Indonesia Singapura 1.259.135.015
2001 Impor Indonesia Singapura 49.408.079
2002 Ekspor Indonesia Singapura 1.449.373.754
2002 Impor Indonesia Singapura 39.099.800
2003 Ekspor Indonesia Singapura 1.407.848.774
2003 Impor Indonesia Singapura 46.922.848
2004 Ekspor Indonesia Singapura 1.540.586.878
2004 Impor Indonesia Singapura 66.284.565
2005 Ekspor Indonesia Singapura 2.033.219.301
2005 Impor Indonesia Singapura 58.350.881
2001 Ekspor Indonesia Thailand 68.648.887
2001 Impor Indonesia Thailand 15.702.705
2002 Ekspor Indonesia Thailand 82.073.825
2002 Impor Indonesia Thailand 23.021.182
2003 Ekspor Indonesia Thailand 35.758.679
2003 Impor Indonesia Thailand 27.538.959
2004 Ekspor Indonesia Thailand 35.852.748
2004 Impor Indonesia Thailand 39.899.445
2005 Ekspor Indonesia Thailand 32.000.326
2005 Impor Indonesia Thailand 55.120.763
2001 Ekspor Malaysia Indonesia 140.476.261
2001 Impor Malaysia Indonesia 168.428.301
2002 Ekspor Malaysia Indonesia 138.880.607
2002 Impor Malaysia Indonesia 196.093.468
2003 Ekspor Malaysia Indonesia 165.880.642
2003 Impor Malaysia Indonesia 186.712.731
2004 Ekspor Malaysia Indonesia 258.547.768
2004 Impor Malaysia Indonesia 236.546.933
2005 Ekspor Malaysia Indonesia 220.373.704
2002 Ekspor Malaysia Filipina 543.013.636
2002 Impor Malaysia Filipina 2.215.173.140
2003 Ekspor Malaysia Filipina 493.475.991
2003 Impor Malaysia Filipina 2.688.773.437
2004 Ekspor Malaysia Filipina 627.144.222
2004 Impor Malaysia Filipina 2.235.016.262
2005 Ekspor Malaysia Filipina 570.958.759
2005 Impor Malaysia Filipina 2.576.799.711
2001 Ekspor Malaysia Singapura 6.865.173.417
2001 Impor Malaysia Singapura 3.097.337.526
2002 Ekspor Malaysia Singapura 7.548.056.329
2002 Impor Malaysia Singapura 3.355.958.241
2003 Ekspor Malaysia Singapura 7.502.681.862
2003 Impor Malaysia Singapura 3.346.508.087
2004 Ekspor Malaysia Singapura 7.821.929.013
2004 Impor Malaysia Singapura 3.681.746.617
2005 Ekspor Malaysia Singapura 8.628.208.513
2005 Impor Malaysia Singapura 4.277.997.372
2001 Ekspor Malaysia Thailand 1.041.097.714
2001 Impor Malaysia Thailand 690.681.040
2002 Ekspor Malaysia Thailand 1.484.651.804
2002 Impor Malaysia Thailand 689.125.131
2003 Ekspor Malaysia Thailand 1.510.558.544
2003 Impor Malaysia Thailand 1.004.757.787
2004 Ekspor Malaysia Thailand 1.739.466.987
2004 Impor Malaysia Thailand 1.268.013.323
2005 Ekspor Malaysia Thailand 2.046.219.767
2005 Impor Malaysia Thailand 1.102.807.115
2001 Ekspor Filipina Indonesia 16.477.752
2001 Impor Filipina Indonesia 16.678.365
2002 Ekspor Filipina Indonesia 46.303.927
2002 Impor Filipina Indonesia 27.493.964
2003 Ekspor Filipina Indonesia 79.222.821
2003 Impor Filipina Indonesia 34.927.616
2004 Ekspor Filipina Indonesia 134.355.693
2004 Impor Filipina Indonesia 38.773.645