• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

2.2 Landasan Teori

2.2.3 Interpretasi Pragmatik

Menurut Leech (1989: 13) pragmatik adalah studi makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran (SU). Oleh karena itu, prasyaratan yang diperlukan untuk melakukan analisis pragmatik atas tuturan (T), termasuk (T) yang bermuatan implikatur percakapan (IP) adalah situasi ujaran yang mendukung keberadaan suatu (T) dalam percakapan. Situasi ujaran meliputi unsur-unsur: (1) penutur (n) dan petutur (t); (2) konteks; (3) tujuan; (4) tindak tutur atau tindak verbal; (5), (6) waktu; dan (7) tempat. Selanjutnya menurut Soesono (dalam Rohmadi 2010: 57) dua prinsip pokok yang dapat menginterpretasikan sebuah teks atau tuturan dengan baik yaitu prinsip interpretasi lokal dan prinsip interpretasi analogi. Kedua prinsip adalah sebagai berikut:

1) Prinsip Interpretasi lokal yaitu mengharuskan pendengar untuk melihat konteks yang terdekat. Misalnya, seorang pendengar dipersilahkan untuk menutup jendela, maka dia harus menutup jendela yang ada paling dekat dengan dirinya.

2) prinsip interpretasi analogi yaitu mengharuskan pembaca atau pendengar menginterpretasikan suatu teks atau tuturan berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. misalnya, seorang mahasiswa yang mau ikut rapat justru melihat ketua rapatnya masih berada di kantin. Lalu dia bertanya “lho kok masih di sini mas”?, kemudian dijawab “biasa jam karet” mahasiswa yang tadi membuat kesimpulan dari pengalaman yang pernah dialaminya bahwa setiap ada rapat sudah biasa waktunya “molor”.

Untuk menginterpretasikan interaksi antara penulis atau pembicara dengan pembaca atau pendengar harus diperhatikan fenomena-fenomena pragmatiknya. Fenomena pragmatik sering juga disebut dengan piranti pragmatik yaitu unsur-unsur pragmatik yang dapat menjembatangi pemahaman segala sesuatu yang dibicarkan oleh penulis dan pembaca (Kartomiharjo,1989: 5; Siswo; 1995). Fenomena-fenomena pragmatik dijabarkan sebagai berikut:

2.2.3.1Referensi

Menurut Kartomiharjo (dalam Rohmadi 2010: 58) refrensi ialah segala sesuatu yang diacu oleh penulis. Hal yang diacu oleh penulis itu dapat berupa apa saja, seperti benda, orang, atau binatang. Menurut Yule (1996: 27) referensi sebagai suatu tindakan di mana seorang penutur, atau penulis, menggunakan jenis tindak tutur linguistik untuk memungkinkan seseorang pendengar atau pembaca mengenali sesuatu. Selanjudnya, menurut Rohmadi (2010: 58) hal yang terpenting

dalam referensi adalah titik temu terhadap sesuatu yang diacu oleh suatu pembicaraan agar tidak terjadi salah tafsir atau salah pengertian.

Misalnya; A: Tadi pagi saya melihat Andi di kebun B: Saya juga melihatnya

Kata (saya) pada contoh kalimat yang pertama mengacu pada A, sedangkan kata “saya” pada kalimat yang kedua mengacu pada B.

Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata buku mempunyai referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis atau dibaca. Senada dengan pernyataan Djajasudarma (1994:51) bahwa secara tradisional, referensi merupakan hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih lanjut dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Ada pula yang menyatakan referensi adalah hubungan bahasa dengan dunia tanpa memperhatikan pemakai bahasa. Pernyataan demikian dianggap tidak berterima karena pemakai bahasa (pembicara) adalah penutur ujaran yang paling tahu referensi bahasa yang diujarkanya.

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam 2003: 23). Menurut Ramlan (1993: 12) yang dimaksud referensi (penunjukan) adalah penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu kata, frasa, atau mungkin juga satuan gramatikal yang lain. Dengan demikian, dalam penunjukan terdapat dua unsur yaitu unsur penunjuk dan unsur tertunjuk. Kedua unsur itu haruslah mengacu pada referen yang sama.

2.2.3.2Inferensi

Setelah membicarakan refrensinya dalam bahasa juga terdapat kata ujaran inferensinya. Pendapat Kartomiharjo (dalam Rohmadi 2010: 58) pendengar atau pembaca belum tentu paham atau mengerti terhadap ujaran yang diucapkan oleh penulis sehingga pembaca atau pendengar hanya dapat mendengar suatu interpretasi melalui kesimpulan-kesimpulan dari ujaran penulis.

Contoh: A: adik-adik sangat senang ketika Yuli membagi-bagikan bekal makana. B: sayang gudegnya sedikit basi

Selanjudnya, ujaran di atas akan lebih jelas jika dijembatani inferensi sebagai berikut:

- Bekal makanan yang dibawa oleh Yuli lauknya gudeg komplit

- Inferensi di atas akan lebih mudah dimengerti oleh orang Jawa tengahh Yogyakarta karena gudeg komplit adalah makan khas Yogyakarta.

Sebuah pekerjaan bagai pendengar atau pembaca yang terlibat dalam tindak tutur selalu harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Menurut (George Yule 2006: 28) Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) mengadakan inferensi. Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh seorang penulis “pembicara” (George Yule 2006: 28).

Jadi menurut George Yule (2006: 29) Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi

perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita mengetahui jenis-jenis inferensi, antara lain;

(1) Inferensi Langsung, inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang digunakan untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari premisnya.

Contoh:

Bu, besok temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tidak punya baju baru, kadonya lagi belum ada”.Maka inferensi dari ungkapan tersebut: bahwa tidak bisa pergi ke ulang tahun temanya.

Contoh:

Pohon yang ditanam pak Budi setahun lalu hidup. dari premis tersebut dapat kita lansung menari kesimpulan (inferensi) bahwa: pohon yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.

(2) Inferensi tak langsung, inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua atau lebih premis. Proses akal budi memjenis tindak tutur sebuah proposisi baru atas dasar penggabungan proposisi-preposisi lama.

Contoh: a : Anak-anak begitu gembira ketika ibu memberikan bekal makanan. b : Sayang gudegnya agak sedikit saya bawa.

Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut misalnya (C) berikut ini. c : Bekal yang dibawa ibu lauknya gudek komplit.

a : Saya melihat ke dalam kamar itu. b : Plafonnya sangat tinggi.

Sebagai missing link diberikan inferensi, misalnya: c : kamar itu memiliki plafon

2.2.3.3Praanggapan

Praanggapan Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam angapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.

Menurut George Yule (2006: 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu.

Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat jenis tindak tutur bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-jenis tindak tutur bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.

Beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan

tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :

a : “Aku sudah membeli bukunya Pak Pranowo kemarin” b : “Dapat potongan 30 persen kan”?

Contoh: percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.

Gorge Yule (2006:46) mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual. 1) Presuposisi Esistensial

Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaangapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.

a. Orang itu berjalan b. Ada orang berjalan 2) Presuposisi Faktif

Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.

a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit b. Dia sakit

Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai jenis tindak tutur praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.

a. Dia berhenti merokok b. Dulu dia biasa merokok a. Mereka mulai mengeluh

b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh 4) Presuposisi Non-faktif

Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.

Contoh:

a. Saya membayangkan bahwa saya kaya b. Saya tidak kaya

5) Presuposisi Struktural

Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.

Contoh:

a. Di mana Anda membeli sepeda itu? b. Anda membeli sepeda

Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.

a. Seandainya saya kaya b. Bukan saya kaya 2.2.4 Mantra

Masalah kesusastraan di Indonesia tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat penduduknya. Dengan pertimbangan ini, peneliti telah melakukan pelaksanaan penelitian sastra Mee pada saat upacara adat untuk mendokumentasikanya. Pada bagian ini peneliti bermaksud untuk menjabarkan definisi dan ciri mantra, dan jenis mantra. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 2.2.4.1 Definisi dan Ciri Mantra

Mantra terdapat di dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia yang hidup dalam masyarakat. Mantra juga berhubungan dengan sikap religious manusia. Bahasa mantra adalah perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka dsb. Mantra juga merupakan susunan kata berunsur puisi misalnya rima, irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib (KBBI, 2007:713).

Mantra merupakan sala satu jenis tindak tutur puisi lama yang di dalamnya berbaur unsur bahasa dengan unsur kepercayaan alam gaib (Medan, 1975). Menurut (Sudjiman, 1986) mantra merupakan sala satu jenis tindak tutur puisi, munkin juga memiliki rima, ritma dan metrum.

Menurut Sudjiman (dalam Yusri Yusuf dkk 2001: 8) pemilihan kata dalam mantra dilakukan dengan cara lebih selektif, intensif, dan serius. Selanjutnya, pembaca mantra bukan sembarangan orang, ia harus orang yang paling suci, paling tahu tentang kekuatan supernatural dan yang paling berpengalaman (biasanya dikaitkan dengan usia) dari jenis tindak tutur mantra itu kemudian muncul puisi. Menurut Yusuf dkk (2001: 9) awalnya, mantra dan puisi itu mempunyai kesamaan dalam beberapa hal yaitu (1) berupa ungkapan yang terikat, (2) dipaparkan secara lisan, dan (3) disampaikan (diucapkan) oleh orang-orang tertentu.

Menurut Waluyo (1987: 8) dapat dirangkum dalam beberapa ciri-ciri pokok dari mantra, yakni: (1) Pemilihan kata saksama, (2) bunyi-bunyi diusahakan berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; (3) banyak dipergunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; dan (4) jika dibaca secara keras mantra menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis. Bunyi tersebut diperkuat oleh irama dan metrum yang biasanya hanya dipahami secara sempurna oleh pawang ahli yang membaca mantra secara keras.

Kekuatan gaib tersebut biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang. Hal ini dilakukan untuk menandingi kekuatan gaib lain misalnya mantra kejahatan, mantra keselamatan, mantra penawar atau pengobatan. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan diperlukan kata-kata pilihan berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan Tuhan atau roh. Dengan cara demikian,

apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi Tuhan atau roh.

Mantra sering kali tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang. Hanya pawang yang berhak dan dianggap pantas mengucapkan mantra itu. Yang di maksud pawang yaitu orang yang mempunyai keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib, seperti dukun, penjinak ular dll (KBBI, 2007: 839). Pengucapannya pun harus disertai dengan upacara ritual, misalnya asap dupa, ekspresi wajah, dan sebagainya. Menurut (KBBI, 2007: 839) mantra pitangan adalah mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya. Suku Mee juga selalu mengekspresikan bahasa mantra melalui upacara adat.

2.2.4.2 Jenis-Jenis Mantra

Menurut (Yusuf dkk 2001: 13) mantra dapat dibedakan atas beberapa jenis berdasarkan isinya yaitu:

1) mantra pengampunan;

2) mantra kutukan (kepada objek atau orang tertentu); 3) mantra keberkahan pada upacara tertentu;

4) mantra obat-obatan;

5) mantra untuk mendapatkan kekebalan atau kekuatan;

6) mantra untuk mendapatkan daya pengasih, pemanis, atau penggila; 7) mantra untuk menimbulkan rasa benci.

Selanjudnya, Waluyo (1987) menyebutkan beberapa jenis mantra sebagaimana tersebut di bawah ini:

1) mantra permohonan kepada dewa atau Tuhan; 2) mantra penunduk roh halus;

3) mantra penunduk manusia; 4) mantra penunduk binatang; 5) mantra penunduk tumbuhan; 6) mantra penunduk gejala alam.

Menurut Soedjijono (dalam Yusuf dkk 2001: 14) mantra diklarifikasikan sebagai berikut:

1) mantra yang ditujukan kepada Tuhan, roh, dan makluk halus dengan tujuan mendapat sesuatu, antara lain: (a) keselamatan; (b) kekayaan; (c) kekebalan; (d) ketrampilan.

2) mantra yang ditujukan pada magis dengan tujuan memiliki sesuatu, antara lain: (a) charisma; (b) kawaskitan; (c) daya tarik; (d) Kesakitan; (e) Kekuatan fisik.

Pada masa lalu semua jenis mantra hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi pada masa kini di daerah tertentu hanya ada beberapa jenis mantra saja misalnya, di Papua mantra untuk melakukan kutukan, mantra kesembuhan, mantra keselamatan. Dewasa ini kebanyakan mantra ditujukan untuk mendapatkan penyembuhan, terutama yang berhubugan dengan gangguan mental dan pengusiran roh jahat yang dirasuki pada manusia.