• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intervensi Keperawatan

Dalam dokumen MUHAMMAD HUDA NUR YAASIIN NIM. P.13035 (Halaman 110-118)

BAB V PEMBAHASAN

C. Intervensi Keperawatan

Perencanaan adalah suatu proses didalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012).

Intervensi atau rencana yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilakukan dengan SMART yaitu Spesifik (jelas atau khusus), Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat diterima), Rasional dan Time (ada kriteria

waktu) (Dermawan, 2012). Pembahasan dari intervensi yang meliputi tujuan, kriteria hasil dan tindakan pada diagnosa keperawatan yaitu:

Intervensi pada diagnosa pertama kasus Ny.S penulis melakukan rencana tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah penurunan curah jantung berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil: pasien mengatakan sesak nafas berkurang atau hilang, tidak sesak nafas saat banyak aktivitas atau bergerak, TTV dalam rentang normal TD: 120/80 mmHg – 140/90 mmHg, S: 36º C - 37º C, HR: 60 – 80 kali per menit, RR: 16 – 24 kali per menit, SPO2: 95 – 100%, dapat mentoleransi aktivitas, dan tidak ada kelemahan (NANDA, 2013).

Intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan pada Ny.S

cardiac care (4040): kaji vital sign (tekanan darah, nadi, respiracy rate)

dengan rasional untuk mengetahui perubahan curah jantung, kaji pernafasan (irama, kedalaman, kecepatan) dengan rasional untuk mengetahui perubahan status pernafasan, berikan posisi semi fowler 30º dengan rasional untuk menjaga maintenance cardiac output sehingga sesak nafas berkurang (julie, 2008), edukasi tentang mengatur posisi semi fowler 30º dengan rasional agar timbul kesadaran pasien untuk mengatur posisi dengan sudut 30º, edukasi untuk mengurangi konsumsi natrium/garam dengan rasional untuk mengurangi/tidak memperoleh retensi natrium, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam dengan rasional untuk mengurangi/tidak memperparah retensi natrium dan menurunkan tekanan darah pasien.

Intervensi pada diagnosa kedua kasus Ny.S penulis melakukan rencana tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan nyeri akut bisa teratasi dengan kriteria hasil: pasien mampu mengontrol nyeri, pasien mengatakan nyeri hilang atau berkurang, skala nyeri 3 menjadi 1, pasien mengatakan nyaman setelah nyeri berkurang, vital sign dalam rentang normal tekanan darah 120/80 mmHg-140/90 mmHg, suhu 36ºC-37ºC, HR 60-80 kali per menit, RR 16-24 kali per menit, SPO2 95-100% (NANDA, 2013).

Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan pada Ny.S

pain management (1400): kaji vital sign dengan rasional untuk mengetahui

perubahan vital sign pasien, karena pada pasien dengan IMA cenderung menuju perubahan tekanan darah dan RR secara signifikan yang jika tidak tertangani akan berakibat fatal hingga kematian. Intervensi lain, kaji status nyeri (P, Q, R, S, T) dengan rasional untuk mengetahui skala intensitas nyeri, karena nyeri pada pasien IMA menunjukkan adanya penurunan suplai oksigen ke miokard, kurangnya oksigen akan merusak otot jantung, jika sumbatan itu tidak ditangani dengan cepat, otot jantung yang rusak itu akan mulai mati (NANDA, 2012-2014). Ajarkan teknik relaksasi distraksi (beristiqfar) dengan rasional untuk mengurangi/mengalihkan rasa nyeri dengan ber istiqfar, edukasikan pada pasien tentang tindakan apa yang dapat diambil saat nyeri terasa (anjurkan untuk menghentikan aktivitas) dengan rasional untuk memberikan pengetahuan kepada pasien untuk menangani nyeri saat datang.

Intervensi akhir yang direncanakan yaitu kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik dengan rasional untuk mengurangi/menghilangkan nyeri (Wilkinson, 2007).

Intervensi pada diagnosa ke tiga kasus Ny.S penulis melakukan rencana tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola tidur pasien kembali normal atau teratasi dengan kriteria hasil: pasien mengatakan waktu tidur cukup, waktu tidur malam kembali normal ± 8-9 jam, saat tidur tidak mudah terbangun (karena sesak nafas), saat terbangun pasien merasa segar, tidak tampak lesu dan menguap, ttv dalam rentang normal TD: 120/80 mmHg – 140/90 mmHg, S: 36º C - 37º C, HR: 60 – 80 kali per menit, RR: 16 – 24 kali per menit, SPO2: 95 – 100% (NANDA, 2013).

Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan pada Ny.S

sleep enhancement (1850): kaji kebiasaan tidur pasien dengan rasional untuk

mengetahui kebiasaan tidur pasien/kualitas tidur pasien, atur posisi pasien dengan sudut 30º dan pastikan kepala dekat dengan bagian kepala tempat tidur, elevasi/naikkan bagian kepala 30º (ukur dengar busur), alasi kepala dengan bantal tipis, ganjal punggung bawah dengan selimut, berikan bantal pada lengan (untuk penyokong) dengan rasional membuktikan bahwa posisi tidur pasien mempengaruhi cardiac output dengan hasil bahwa posisi kepala dielevasikan dengan tempat tidur 30º akan menjaga meintenance cardiac output sehingga ketidaknyamanan nyeri dada dan sesak nafas berkurang yang akhirnya akan mengoptimalkan kualitas tidur (Julie, 2008). Batasi penunggu dengan rasional agar suasana terjaga ketenangannya, edukasi tentang manfaat

pentingnya meningkatkan kualitas tidur agar timbul kesadaran untuk meningkatkan kualitas tidur, dan anjurkan pada keluarga untuk membantu membenahi posisi pasien saat posisi sudut 30º berubah dengan rasional agar intervensi yang diberikan kepada klien lebih efektif.

Supadi dkk (2008), menyatakan bahwa posisi semi fowler bertujuan untuk membuat oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang dan akhirnya perbaikan kondisi klien lebih cepat. Hal tersebut karena pemberian posisi tidur dengan meninggikan punggung bahu dan kepala sekitar 30º atau 45º memungkinkan rongga dada dapat berkembang secara luas dan pengembangan paru meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan asupan oksigen membaik sehingga proses respirasi kembali normal dan pasien mampu untuk mengambil posisi tidur yang disukai karena nocturnal dyspnea (Smeltzer dan Bare, 2001).

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Dermawan, 2012).

Diagnosa keperawatan yang pertama adalah penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama. Implementasi yang dilakukan selama

3 hari berturut-turut antara lain mengkaji vital sign pasien, memberikan posisi semi fowler 30º, memonitor pernafasan klien, memberikan obat oral pasien, CPG 75 mg, captopril 2,5 mg, ISDN 5 mg, mengkaji vital sign. Setelah diberikan tindakan tersebut diperoleh respiratory rate pasien menurun dari hari pertama pengelolaan 27 kali per menit menjadi 23 kali permenit pada hari ketiga pengelolaan dengan menggunakan O2 nasal canul 3 liter per menit. Hal tersebut karena pemberian posisi semi fowler sangat efektif bahwa posisi semi fowler dimana tubuh dinaikkan 30-45 derajat membuat oksigen didalam paru-paru semakin meningkat sehingga memperingankan kesukaran bernafas (Supadi, 2008) dalam (Sulistyowati D, 2015).

Diagnosa keperawatan yang kedua yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, implementasi yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut antara lain mengkaji status nyeri pasien PQRST, sesuai dengan teori bahwa metode PQRST meliputi Provoking inciden : Apakah ada peristiwa yang menjadi factor prepitasi nyeri.Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut / menusuk. Region Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar / menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.Saverity (scale of

pain) : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala

nyeri / pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari / siang hari (Nasrul Effendy, 1995) dalam Wijaya & Putri (2013). P: nyeri bertambah ketika bergerak, Q: nyeri terasa

seperti ketimpa beban berat (ampeg), R: bagian dada sebelah kiri, S: skala nyeri 3, T: nyeri terasa hilang timbul, memberikan obat oral pasien, CPG 75 mg, captopril 2,5 mg, ISDN 5 mg, mengajarkan teknik relaksasi distraksi (beristiqfar), mengkaji vital sign pasien, dan mengkaji status nyeri pasien PQRST (provoking, quality, region, scale, time). Setelah diberikan tindakan tersebut diperoleh skala nyeri pasien menurun dari hari pertama pengelolaan skala nyeri 3 menjadi skala nyeri 1 pada hari ketiga pengelolaan. Hal tersebut karena dilakukan juga penanganan nyeri non farmakologi yaitu dengan relaksasi distraksi, relaksasi distraksi adalah mengalihkan perhatian pasien ke hal yang lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri Prasetyo (2010) dalam Syaiful, Y (2014).

Diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan pemantauan (sesak nafas), implementasi yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut antara lain mengkaji vital sign pasien, mengkaji kebiasaan tidur pasien dan memberikan kuesioner PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index), Kualitas tidur dapat diukur dengan mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI sendiri ialah suatu metode penilaian yang berbentuk kuesioner yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan gangguan tidur orang dewasa dalam interval satu bulan. Pada kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan alat untuk mengukur kualitas tidur yang didalamnya terdapat 10 pertanyaan yang ditujukan bagi pasien, dari 10 pertanyaan tersebut dapat diketahui 7

komponen yaitu kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur serta disfungsi pada siang hari (Safitrie dan Ardani. 2013: 18-19). Nilai dari 7 komponen PSQI kemudian dijumlahkan sehingga akan didapatkan nilai antara 0-21, apabila nilai > 5 mengindikasikan kualitas tidur buruk, sedangkan nilai < 5 mengindikasikan kualitas tidur baik (Melanie, 2012: 74), memberikan sudut posisi tidur semi fowler 30 derajat dengan memposisikan kepala dekat dengan bagian kepala tempat tidur, elevasi/naikkan bagian kepala tempat tidur 30º (diukur dengan busur), alasi kepala dengan bantal yang tipis, ganjal punggung bawah dengan selimut, berikan bantal pada lengan untuk penyokong, anjurkan pada keluarga untuk membantu membenahi posisi pasien saat posisi sudut 30 derajat berubah.

Pada kasus Ny.S pemberian sudut posisi tidur 30 derajat (semi fowler) dilakukan selama 3 hari sebelum pasien tidur malam, dan memberikan kuesioner PSQI sebanyak 2 kali sehari sebelum dan setelah pasien tidur malam. Setelah dilakukan pemberian sudut posisi tidur 30 derajat (semi fowler) pasien mengatakan waktu tidur cukup, tidur malam jam 9, tidur ± 8 jam, tidur nyenyak tidak mudah terbangun, tidak lama lagi untuk mengawali tidur, dan bangun tidur tampak tidak lesu serta tidak menguap. Sebelum dan sesudah diberikan sudut posisi tidur 30 derajat (semi fowler) pasien diberikan kuesioner, Berdasarkan hasil kuesioner didapatkan hasil bahwa skor kualitas tidur menurun dari kategori buruk (12) pada hari pertama menjadi kategori baik (5) pada hari ketiga pengelolaan.

Pemberian posisi tidur dengan meninggikan punggung bahu dan kepala sekitar 30º atau 45º memungkinkan rongga dada dapat berkembang secara luas dan pengembangan paru meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan asupan oksigen membaik sehingga proses respirasi kembali normal dan pasien mampu untuk mengambil posisi tidur yang disukai karena nocturnal dyspnea (Smeltzer dan Bare, 2001).

Dalam dokumen MUHAMMAD HUDA NUR YAASIIN NIM. P.13035 (Halaman 110-118)

Dokumen terkait