• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sisi irasional hukum islam datang dari dua prinsip utamanya, yaitu Quran dan Sunnah, yang merupakan ungkapan dari perintah Tuhan, yaitu bahwa hukum-hukumnya sah

SIFAT TOTALITER ISLAM

2. Sisi irasional hukum islam datang dari dua prinsip utamanya, yaitu Quran dan Sunnah, yang merupakan ungkapan dari perintah Tuhan, yaitu bahwa hukum-hukumnya sah

hanya karena keberadaan hukum itu belaka dan bukan karena rasionalitasnya. Sisi irasionalitas hukum islam juga menuntut kepatuhan sampai ketitik-komanya dan bukan pada semangatnya; dalam sejarah ini mengakibatkan diterimanya alat-alat hukum fiktif. Contoh, Quran dengan jelas melarang pengambilan bunga uang (riba), dan dengan mengutip Schacht:

Larangan religius ini cukup kuat sampai membuat masyarakat luas enggan

melanggarnya secara langsung dan terbuka, tapi disaat yang sama ada tuntutan kuat utk mendapatkan/memberi bunga dalam kehidupan komersil sekarang ini.

Untuk memuaskan kebutuhan ini, dan sekaligus mematuhi larangan religius tersebut, dikembangkanlah sejumlah muslihat. Salah satunya yaitu dengan memberikan harta milik sebagai jaminan hutang dan mengijinkan sang Kreditor utk memakainya, jadi dengan kata lain, pemanfaatan harta itu sama dgn pembayaran bunga …

... yang lainnya adalah penjualan ganda. Contohnya, (calon) Debitor menjual pada Kreditor seorang budak, dan si Debitor saat itu juga membelinya kembali dari sang Kreditor dengan harga yg lebih mahal yg dijanjikan utk dibayar dikemudian hari. Jadi, ini sama saja dgn sebuah pinjaman dgn si budak sbg jaminan, dan perbedaan kedua harga itu dianggap sbg bunga.[9]

Bagaimana kita menamakan praktek-praktek diatas? Alat hukum fiktif yang disahkan adalah penamaan yang terlalu lunak. Penghindaran moral? Kemunafikan moral?

Ketidakjujuran moral?

3. Meski hukum islam dianggap hukum sakral, esensinya tidak selalu irasional; hukum Islam tidak diciptakan oleh sebuah proses pewahyuan yg irasional ... tapi oleh sebuah metoda penafsiran rasional. Oleh karena itu hukum Islam memperoleh eksterior yg nampak intelektual dan ilmiah. TAPI walau hukum islam mewujudkan dirinya sebagai sebuah sistem yang rasional dengan perhitungan material, karakter formal juridisnya tidak banyak berkembang. Tujuannya adalah utk menyediakan material yg standar dan konkrit, dan bukan utk memaksakan aturan-aturan formal yang tergantung atas

kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok tertentu (yg menjadi tujuan dari hukum sekular). Ini menghasilkan pertimbangan bahwa tujuan baik, keadilan, kejujuran, kebenaran dll hanya memainkan peran lebih rendah dari sistem itu sendiri.[10]

4. Berbeda dgn hukum Romawi, hukum islam membawa subjek legal kedalam sistemnya dengan metoda analogi/persamaan, parataxis dan asosiasi. Yang bertalian dekat dengan metoda ini adalah cara berpikir kasuistis, yang menjadi satu dari aspek menggemparkan dari hukum tradisional islam.

“Hukum islam tidak berfokus pada elemen hukum yang relevan dari tiap kasus dan memasukkannya kedalam aturan umum, namun lebih pada pembentukan serangkaian kasus menurut derajadnya.”[11] Contoh, mengenai warisan; hk Islam mendiskusikan kasus pewarisan dari seorang individu kpd pewarisnya, yaitu ke 32 orang kakek

buyutnya; hak waris dari manusia yg memiliki dua kelamin alias hermaphrodite (karena dua jenis seks tidak punya hak yang sama); warisan kpd individu yang diubah menjadi binatang; dan khususnya, warisan dari individu tsb jika hanya setengahnya dari dirinya saja diubah, baik secara horizontal maupun vertikal.

Dg demikian, semangat kasuistik (orang yang punya otak tapi salah memakainya), serta sifat suka menonjolkan keilmuan dirinya lebih muncul. Seperti yang dikatakan Goldziher:

[12]

Tugas menafsirkan firman Auwloh dan mengatur kehidupan agar selaras dengan firman Tuhan menjadi hilang dalam kekonyolan dan exegesis membosankan : dalam

memikirkan kemungkinan yang tidak pernah muncul dan memperdebatkan pertanyaan-pertanyaan mirip teka-teki dimana cara berpikir sesat yang ekstrim serta tindakan yang berlebihan digabungkan dengan khayalan yang berani dan gegabah. Orang berdebat kasus-kasus hukum yang sulit dijangkau, yg jauh dari dunia nyata ...

Takhyul umum juga mewarnai pemikiran para ahli hukum. Contoh… karena jin seringkali mewujud dlm bentuk manusia, para ahli hukum membahas konsekwensi perwujudan jin demikian dalam hukum-hukum religius; argumentasi serius sering dipaksakan, misalnya, apakah jin-jin tsb boleh dihiting sbg partisipan yg dipersyaratkan bagi solat Jum’at. Contoh lain ; bagaimana berurusan dengan anak-anak hasil perkawinan manusia

dengan jin berbentuk manusia ? … Apa akibatnya dalam hukum keluarga utk perkawinan demikian? Malah perkawinan dengan jin sampai dianggap sedemikian serius seakan sama pentingnya dengan hukum-hukum religius penting lainnya. 5. Didalam hukum pidana, hukum islam membedakan hak dari Tuhan dengan hak dari Manusia.

Hanya hak Tuhan yang punya karakter hukum pidana yang benar, yg pantas

menentukan sangsi pidana pada yg bersalah. ... Hukum pidana diambil secara eksklusif dari Quran dan hadis, yang katanya adalah laporan-laporan tentang perkataan dan tindakan dari sang nabi serta para sahabat.

Divisi terbesar kedua dari apa yang kita sebut hukum pidana masuk dalam kategori “hukum ganti rugi” (redress of torts) sebuah kategori hukum yang mencakup baik hukum perdata maupun pidana dimana hukum islam mengambilnya dari hukum-hukum Arab masa pra-islam, yg kuno tapi tidak unik. Apapun kompensasi yg ingin dituntut, baik itu pembalasan atau uang darah, ini tergantung dari tuntutan perdata, atau hak

manusia. Jadi, sebuah tanggung jawab atas tindak pidana pada prakteknya dianggap tidak ada (kecuali korban/si penuntut menuntut ganti rugi). Kalaupun tanggung jawab atas tindak pidana itu eksis, itu adalah karena merupakan sebuah kewajiban religius. Jadi tidak ada hukuman tetap atas pelanggaran diri, hak atau harta manusia manusia. Yg ada hanya ganti rugi dari kerusakan yang disebabkan si tertuduh. Ini berakibat pada pembalasan dendam dgn cara pembunuhan dan penganiayaan tanpa tanggung jawab ganti rugi.[13]

Ringkasnya, syariah adalah kumpulan hukum-hukum teoritis bagi sebuah komunitas muslim yang ideal yang menyerah diri pada kehendak Tuhan. Ini semua didasarkan pada otoritas ilahi yang harus diterima tanpa kritik. Hukum islam dg demikian bukanlah

produk dari otak manusia, dan tidak menggambarkan realitas sosial yang berkembang dan selalu berubah (seperti hukum Eropa).

Hukum islam itu abadi, dan fiqih [sainsnya syariah] terdiri dari tafsir teks-teks keramat yang tak mungkin salah dan definitif. Tak mungkin salah karena sekelompok ahli hukum islam telah diberi kuasa utk menarik kesimpulan otoritatif dari Quran dan Sunnah; dan definitif karena setelah tiga abad, semua solusi utk masalah yang ada ‘katanya’ sudah diberikan.

Sementara hukum Eropa itu manusiawi dan berubah, syariah itu ilahi dan abadi. Syariah tergantung dari kehendak Auwloh yang tak bisa diduga, yang tak dapat digenggam oleh kepandaian manusia. – harus diterima tanpa ragu dan jangan dipertanyakan.

sederhana dari firman Auwloh atau nabinya: hanya dgn penjabaran dlm batas yang sempit yang ditetapkan oleh Auwloh sendiri, orang bisa berpikir dgn cara qiyas (berpikir secara analogis). Keputusan kaum terpelajar yang mempunyai kekuatan hukum, juga bersandar pada komunitas yang katanya ‘tak mungkin salah’, sebuah komunitas yang Tuhan ciptakan lewat Muhammad, komunitas ini disebut ‘tanpa salah’ karena diatur oleh hukum yang ‘tanpa salah’. [Bousquet, Hurgronje, Schacht]

KRITIK terhadap Hukum Islam

1. Dua sumber islam adalah Quran dan Sunnah yang tercatat dalam hadis.

Pertama, kita sudah beri alasan kenapa Quran tidak bisa kita anggap berasal dari Tuhan – yaitu karena disusun sekitar abad 7 dan 9 M, penuh contekan dari talmud Yudaisme, dari kitab-kitab apokripanya (apokripa= kitab yg diragukan) Kristen, Samaritan,

Zoroastrianisme dan Arab pra-islam. Juga berisi anakronisme (salah waktu) dan kesalahan sejarah, kesalahan sains, kontradiksi, kesalahan tata bahasa, dll.

Kedua, doktrin didalamnya membingungkan dan bertentangan serta tidak pantas jika disebutkan berasal dari Tuhan yang maha Pemurah. Tidak ada bukti-bukti apapun ttg keberadaan Auwloh didalamnya. Memang Quran juga berisi prinsip-prinsip moralnya spt kedermawanan, hormat pada orang tua dll yg sebenarnya sudah ada jauh sebelum Islam eksis. LAGIPULA prinsip-prinsip moral ini semua tenggelam oleh prinsip-prinsip yang tidak layak seperti: kebencian pada kaum berhala, perintah kekerasan dan

pembunuhan, tidak adanya kesetaraan bagi perempuan dan non-muslim, diakuinya perbudakan, hukuman barbar dan kebencian terhdp akal manusia.

2. Goldziher, Schacht serta yang lainnya telah dengan meyakinkan menunjukkan bahwa kebanyakan – mungkin semua – dari hadis-hadis itu palsu/dikarang-karang belaka yang disebarkan diabad awal ketika muslim muncul sesudah kematian Muhammad. Jika fakta ini kita terima, maka seluruh fondasi dari hukum islam sungguh sangat goyah.

Keseluruhan hukum islam adalah ciptaan yang didasarkan pada penipuan dan karya fiksi para pengikutnya. Dan karena hukum islam dipandang oleh banyak muslim sebagai “Lambang dari pemikiran islam, perwujudan paling khas dari gaya hidup islam, inti dan pusat dari islam itu sendiri,” akibatnya kesimpulan dari Goldziher dan Schacht bisa dikatakan sangat menghancurkan.

3. Kekuatan Ulama:

Bahwa ada kehendak Tuhan, sekali dan utk selama-lamanya, mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia; bahwa nilai sebuah bangsa atau individu akan ditimbang menurut seberapa banyak atau sedikit kehendak Tuhan itu diikuti: bahwa kehendak Tuhan mewujud dalam takdir bangsa atau individu sebagai faktor pengatur utama, yaitu, menghukum dan memberi pahala sesuai tingkat kepatuhannya… Lebih jauh lagi: ‘Kehendak tuhan’ (baca: kondisi utk mempertahankan kekuasaan para ulama)

harus dikenali: sampai saat sebuah ‘wahyu’ berupa sunnah/hadis perlu diturunkan. Dengan kata lain: pemalsuan aturan-aturan menjadi suatu kebutuhan, ‘ayat-ayat suci’ ditemukan sesuai kebutuhan, diumumkan pada publik dengan segala kemegahannya… dengan cara keras dan penuh keilmuan, para ulama memformulasikan apa yang Ia inginkan, yaitu ‘apa kehendak tuhan itu sebenarnya.’ Mulai sekarang segala sesuatu dalam hidup sudah ditentukan secara pasti shg para ulama tidak bisa begitu saja dihiraukan.[14]

Para pembela Muslim dan orang muslim itu sendiri selalu mengklaim bahwa tidak ada hirarki ulama dalam islam; tapi kenyataannya, ada semacam kelas ulama yang pada akhirnya mendapatkan semacam otoritas religius dan sosial semacam pendeta/paus dlm Kristen. Kelas satu disebutkan dalam bab ini sebagai para ulama terpelajar atau para ahli hukum islam, yang lainnya hanya disebut sebagai scholar/akademisi saja. Melihat pentingnya Quran dan Sunnah (juga hadis), timbul kebutuhan utk mempunyai orang-orang kelas profesional dimasyarakat muslim, mereka menjadi makin percaya diri dan mengklaim punya otoritas mutlak dalam segala hal yang menyangkut iman dan hukum. Doktrin dari ‘Ijma’ hanya sekedar mengukuhkan kekuasaan mutlak mereka. Seperti dikatakan Gibbs, “Hanya setelah ijma dikenalkan sebagai sumber hukum dan doktrin, muncullah doktrin mengenai penghujatan. Segala usaha yg mempertanyakan

keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh konsensus disebut bidah, atau penghujatan.” [15]

Pengaruh ulama yg terus menerus menjadi faktor utama kenapa sangat sedikit kemajuan intelektual dicapai masyarakat muslim, kenapa pemikiran kritis tidak berkembang sepanjang sejarah islam. Khususnya tahun-tahun belakangan ini, para ulama secara aktif merintangi usaha-usaha pengenalan ide Hak Azasi Manusia, kebebasan, individualisme dan demokrasi liberal. Contohnya para ulama bertindak dengan kekerasan terhadap konstitusi Iran 1906-07, menganggap konstitusi tersebut idak Islami; mereka sangat menentang pada konsep kebebesan yg dikandung konstitusi tsb. Kaum ulama telah terlibat jauh dalam proses islamisasi jaman modern ditiga negara, khususnya Iran, Sudan dan Pakistan. Ditiap negara ini, Islamisasi secara efektif berarti menghilangkan HAM atau membatasi HAM dengan referensi kriteria islam.

4. Apa syariah masih sah?

Kita mungkin bertanya bagaimana sebuah hukum dimana elemen-elemennya pertama kali dijabarkan sekitar 1400 tahun lalu, dan dimana substansinya tidak berkembang sesuai jaman, bisa jadi relevan utk abad 21 ini. Syariah hanya menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi dijaman Abbasid awal dan ketinggalan jaman secara sosial, ekonomi dan moral. Secara moral kita di BARAT telah lebih maju; kita tidak lagi menganggap perempuan sebagai barang belaka yang bisa kita buang semau kita; kita tidak lagi percaya bahwa mereka yang tidak seagama tidak pantas dihormati; kita bahkan menyetujui hak-hak anak dan binatang. Tapi selama kita tetap menganggap Quran

sebagai Mutlak Benar, sebagai jawaban bagi semua masalah didunia modern ini, kita tidak akan maju maju. Prinsip yang dituang dalam Quran bertentangan total dengan kemajuan moral.

---

[1] Russell, Bertrand. Theory and Practice of Bolshevism. London, 1921. Hal.5,29,114. [2] Dikutip dalam Muslim World vol.28. hal.6

[3] Ibid., hal.261

[4] Lewis, preface utk karya “Kepel The Prophet and Pharaoh”, London 1985, hal.10-11 [5] Shacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford, 1964.. Hal.69

[6] Ibid., hal.70-71 [7] Ibid., Hal.75 [8] Ibid., hal.201 [9] Ibid., hal.79

[10] Shacht, Joseph, “Islamic Religious Law”. Dalam The Legacy of Islam, Schacht and Bosworth, eds. Oxford, 1974.Hal.397

[11] Shacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford, 1964. Hal.205.

[12] Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71. Hal.63-64 [13] Shacht, Joseph, “Islamic Religious Law”. Dalam The Legacy of Islam, Schacht and Bosworth, eds. Oxford, 1974.Hal.399

[14] Nietzsche. The Portable Nietzsche. Ed. W. Kaufmann. New York, 1974. hal.596-597 [15] Gibb, H.A.R. Islam, Oxford, 1953. Hal.67

END

Sumber:

http://www.indonesia.faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?t=21968

Buku lain dari Ibn Warrag: “Leaving Islam”

Baca juga:“Why We Left Islam”

Buku yg ditulis bersama oleh para mantan muslim