• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUSA, KELUARAN (EXODUS), PENTATEUCH, GUNUNG SINAI (GERIZIM) DAN SHECHEM Muhammad, Hijrah, Quran, Gunung Hira dan Mekah

MASALAH SUMBER ISLAM

MUSA, KELUARAN (EXODUS), PENTATEUCH, GUNUNG SINAI (GERIZIM) DAN SHECHEM Muhammad, Hijrah, Quran, Gunung Hira dan Mekah

Dibawah pengaruh Samaritan, orang Arab terus membentuk Muhammad seperti Musa sebagai pemimpin Keluaran (Exodus atau Hijrah), sebagai pembawa wahyu baru (Quran) yang diterima digunung (Arab) keramat, tempat Gua Hira berada. Yang belum hanya menyusun buku keramatnya (kitab sucinya). CC menunjuk hadis tentang Quran dijaman sebelum Usman (Kalifah ketiga setelah kematian Muhammad) menunjuk satu Quran, dimana Quran berupa banyak versi. Kita punya kesaksian dari seorang rahib Kristen yang membedakan Quran dgn surah Al-Baqarah dan keduanya dia anggap sebagai sumber-sumber hukum. Dalam dokumen lain dikatakan bahwa Hajjaj (661-714), gubernur Irak, telah mengumpulkan dan menghancurkan semua tulisan-tulisan para muslim awal. Lalu, sesuai dengan penuturan Wansbrough, CC menyimpulkan bahwa Quran “sangat-sangat kurang dalam struktur keseluruhan, sering samar dan ngawur (tak bertalian), baik dalam

hal bahasa maupun isi, materi-materi yang harusnya saling berhubungan terasa asal saja dan ada pengulangan-pengulangan ayat dalam banyak versi. Dengan dasar ini dapat ditetapkan pendapat yang masuk akal bahwa Quran adalah hasil dari editan materi-materi yang tidak sempurna dan basi dari hadis-hadis yang banyak bertebaran.” [40] Kaum Samaritan menolak kesucian Yerusalem dan menggantinya dengan pusat sembahan Israel yang lebih kuno, Shechem. Ketika muslim awal melepaskan diri dari Yerusalem, Shechem memberikan model yang pantas utk menciptakan pusat sembahan mereka sendiri.

Kemiripannya luarbiasa. Masing-masing punya struktur yang sama sebuah kota suci yang berhubungan dan dekat dengan gunung keramatnya, dan masing-masing ritual fundamentalnya adalah ibadah dari kota ke gunung tsb. Masing-masing pusat sembahan itu adalah dasar dari kepercayaan Abrahamik, pilar dimana Abraham membuat korban di Shechem menemukan padanannya dalam Kabah (sudut Yaman dari Kabah) di Mekah. Terakhir, tempat keramat masing-masing dekat dengan kuburan dari kakek moyang mereka masing-masing: Yusuf (lawan dari Yudah) utk Samaritan, Ismail (lawan dari Ishak) utk Mekah.[41]

CC berpendapat bahwa kota yang sekarang dikenal sebagai Mekah di Arab Tengah tidaklah menjadi pusat dari peristiwa-peristiwa penting yang begitu dipuja-puja dalam hadis-hadis. Diluar dari tidak adanya referensi muslim awal yg sejaman mengenai Mekah, kita punya fakta mengejutkan bahwa arah kiblat mereka sebelumnya adalah barat-laut Arab. Bukti berasal dari ditariknya garis lurus antara mesjid-mesjid jaman itu dan bukti-bukti literatur dari sumber-sumber Kristen. Dengan kata lain, Mekah terpilih sebagai arah kiblat muslim belakangan saja, ini dilakukan hanya utk mengkaitkan sejarah awal mereka dengan Arab, utk melengkapi kelepasan mereka dengan Yudaisme, dan terakhir utk menciptakan identitas agama yang terpisah (berbeda) dari agama Abrahamic lainnya, Yahudi dan Kristen.

Isi lainnya dari buku yg menarik ini, CC menunjukkan bagaimana islam mengasimilasi semua pengaruh luar yang masuk akibat penaklukan mereka; bagaimana islam mendapatkan identitas khusus dalam pertemuan dengan peradaban yang lebih tua, lewat kontak-kontaknya dengan para rabbi Yudaisme, KeKristenan (Jacobite dan Nestorian), Hellenisme dan ide-ide Persia (hukum rabbinic, filosofi Yunani,

Neoplatonisme, Hukum Romawi dan seni dan arsitektur Byzantine). Tapi mereka juga menunjukkan bahwa semua ini didapat dengan harga budaya yang sangat mahal. “Penaklukan Arab yang cepat menghancurkan satu kekaisaran, dan secara permanen melepaskan teritorial maha luas. Hal ini, dari sudut pandang kenegaraan, adalah bencana maha dashyat.”[42]

Dalam buku Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity (1980), Patricia Crone menolak hadis yang meriwayatkan kekalifahan awal (sampai tahun 680) sebagai fiksi tak berguna. Dalam buku Meccan Trade and the Rise of Islam (1987), dia berpendapat

bahwa yang disebut-sebut sebagai laporan sejarah adalah “bualan khayal utk ayat-ayat sulit Quran.[43] Dalam Meccan Trade, Crone secara meyakinkan menunjukkan bagaimana Quran “memproduksi banyak sekali informasi-infromasi palsu.” Banyak sekali peristiwa bersejarah yang katanya menjadi penyebab wahyu-wahyu tertentu diturunkan

(contohnya Perang Badar). Jelas sekali kisah-kisah yang keluar dari peristiwa itu dikarang agar sesuai dengan ayat-ayatnya Quran.” Jelas para pengarang cerita pertama

mengarang konteks sejarahnya utk ayat-ayat tertentu dari Quran. Tapi ketahuan banyak dari informasi tersebut bertentangan (contoh, dikatakan ketika Muhammad tiba di Medina utk pertama kali, kota itu dilanda perang saudara, tapi disaat yang sama kita diminta utk percaya bahwa orang-orang Medina disatukan dibawah pemimpin Ibn Ubayy); dan ada kecenderungan “kisah-kisah yang bebas jelas-jelas tidak sesuai dengan tema umum yang ada” (contoh, sejumlah besar kisah sekitar tema “Muhammad

bertemu dengan para wakil agama non islam yang lalu mengakuinya sebagai seorang calon nabi masa depan”) Terakhir, ada kecenderungan informasi tertentu berkembang menjauh dari peristiwa yang diceritakan: contoh, jika seorang pencerita kebetulan meriwayatkan sebuah perampokan, pencerita berikutnya akan mengatakan padamu tanggal yang tepat dari perampokan ini, dan yang ketiga akan menambahkan dengan detail rincian lain. Waqidi (m.823) yang menulis beberapa dekade setelah Ibn Ishaq (m.768), “selalu memberikan tanggal, lokasi, nama-nama, padahal Ibn Ishaq tidak menyebutkannya, kisah-kisah yang memicu ekspedisi perampokan, informasi tambahan yang menambahkan warna pada peristiwa-peristiwa tertentu, juga alasan-alasan

mengapa tidak ada peperangan terjadi. Tidak heran para Scholar lebih menyukai

Waqidi; darimana lagi kita bisa mendapatkan informasi yang demikian akurat dan hebat mengenai hal-hal yang orang ingin ketahui? Tapi jika melihat bahwa semua informasi akurat ini tidak diketahui oleh Ibn Ishaq, yang hidup lebih dekat pada sang nabi dibanding Waqidi, nilai riwayat Waqidi sangat-sangat diragukan. Dan jika informasi-informasi palsu bisa dikumpulkan dengan kecepatan seperti ini, hanya dalam dua generasi saja antara Ibn Ishaq dan Waqidi, sulit sekali utk menghindari kesimpulan bahwa harusnya bisa lebih banyak lagi dikumpulkan informasi yang lebih akurat dalam tiga generasi antara sang nabi dan Ibn Ishaq.”

Jelaslah bahwa para sejarawan muslim awal membuat sebuah kolam informasi dari materi-materi palsu para periwayat pembohong. Crone berpendapat bahwa tugas sejarawan modern konservatif, seperti Watt, yang secara tidak benar optimis akan sebuah nilai sejarah dari sumber-sumber muslim mengenai kebangkitan islam. Dan kita akan akhiri bab ini dengan mengutip kesimpulan Crone mengenai semua sumber-sumber muslim ini:

[Metodologinya Watt bersandar] pada penilaian yg salah akan sumber-sumber ini. Masalahnya adalah asal-usul hadis itu sendiri, bukan penyimpangan kecil yang lalu diterapkan. Membiarkan penyimpangan muncul dalam perbedaan pakem didalam islam seperti dalam bidang suku, sekte, atau sekolah tidaklah membantu membenarkan tendensius yang muncul dari kepatuhan akan islam itu sendiri. Keseluruhan hadis itu sendiri tendensius, tujuannya adalah utk membesar-besarkan Heilgeschichte-nya arab,

dan tendensius ini membentuk fakta-fakta seperti yang kita terima sekarang, bukan semata ditambahkan oleh sebagian orang yg bersikap berat sebelah (apriori) yang pernyataannya bisa kita ambil.”[44]

---

[32] Cook, M. Muhammad. Oxford, 1983. Hal. 65 [33] Ibid., hal.74

[34] Ibid., hal 75-76 [35] Ibid., hal.76-82

[36] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.85

[37] Crone, P., and Cook, M. Hagarism: The Making of the Muslim World. Cambridge, 1977. Hal.9 [38] Ibid., hal.8

[39] Ibid., hal.114ff [40] Ibid., hal.18 [41] Ibid., hal.21

[42] Cook, M. [Muhammad. Oxford, 1983. Hal.86

[43] Crone, P. Meccan Trade and the Rise of Islam. Oxford, 1987. Hal. 215 [44] Ibid., hal.230

Bab 4