• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ishaq Mendebat Asy Syafi’i

Ishaq bin Ibrahim berkata, “Sewaktu di Mekah aku bertemu dengan Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Hanbal mengikuti pengajian Asy Syafi’i, sedangkan aku tidak. Ahmad berkata kepadaku, “Wahai, Abu Ya’kub! Hadirilah pengajian orang ini!” Aku berkata kepadanya, “Apa yang akan aku lakukan padanya? Usianya hampir sama dengan usia kita. Haruskah aku meninggalkan Ibnu Uyaynah, Al Maqbari dan Syaikh-syaikh lainnya?!” Ahmad berkata, “Celakalah engkau! Sesungguhnya dia akan pergi meninggalkan Mekah, sedangkan mereka tidak akan pergi kemana-mana.”

Ishaq berkata, “Maka aku hadir dalam majlis pengajiannya. Aku terlibat perdebatan dengannya tentang sewa rumah di Mekah. Asy Syafi’i memudahkan dalam soal sewa rumah, sedangkan aku tidak. Asy Syafi’i menyebutkan sebuah hadits, akupun lalu menyebutkan hadits-hadits dalam bab ini dan membuatnya terdiam. Ketika aku selesai, kebetulan di sampingku ada seorang laki-laki dari Marwa. Aku menoleh kepadanya dan berkata, “Laki-laki ini tidak memiliki kemampuan apa-apa.” Dia paham bahwa aku menghina Asy Syafi’i, maka dia berkata, “Debatlah dia!” Jawabku, “Karena itu aku datang kemari.”

Asy Syafi’i berkata, “Allah Swt berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka.“ (QS. Al Hajj: 40) rumah-rumah disini, dinasabkan kepada pemiliknya atau selain pemiliknya?” Asy Syafi’i meneruskan, “Nabi Saw bersabda pada saat penaklukkan kota Mekah, “Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, dia aman dan siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan, dia juga aman.”5 Rasulullah Saw menasabkan rumah kepada pemiliknya atau selain pemiliknya?” Jawabku, “Kepada pemiliknya.” Asy Syafi’i menambahkan, “Umar bin Khattab Ra membeli “Daar As Sijn” dari pemiliknya atau bukan?” Jawabku, “Dari pemiliknya.”

Ishaq berkata, “Ketika menyadari, bahwa aku tidak bisa menjawab argumennya, aku bangkit dan pergi meninggalkannya.” (As Sunan Al Kubra, karya Al Baihaqi (6/34)).

100. Perdebatan Antara Asy Syafi’i dan Hasan Al Lu`lu`i

5 Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim (3/1406), Ahmad bin Hanbal (2/292), Ibnu Abi Syaibah (14/472), Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (2/1/98), Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir (7/88) dan Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (6/34).

Abu Tsaur meriwayatkan dari Asy Syafi’i bahwa ‘Al Fadhal bin Rabi’ berkata kepadanya, “Aku ingin mendengar perdebatanmu dengan Hasan bin Ziyad Al Lu`lu`i.”6 Asy Syafi’i berkata, “Maka aku katakan kepada Al Fadhal bin Rabi’, ‘Al Lu`lu`i tidaklah seperti yang kamu kira, dia tidak ada apa-apanya. Namun untuk mengobati rasa penasaranmu, aku akan menghadirkan pengikutku, kemudian dia akan berdebat dengannya di hadapanmu.” Jawabnya, “Baiklah, kalau begitu, kita lihat!” Abu Tsaur berkata, “Lalu Asy Syafi’i hadir dengan membawa seorang temannya dari Kufah, dulunya dia mengikuti madzhab Abu Hanifah, namun setelah itu mengikuti madzhab kami (Asy Syafi’i). Ketika Al Lu`lu`i datang, orang Kufah tadi menyambutnya. Asy Syafi’i duduk di dekat Al Fadhal bin Ar Rabi`. Orang Kufah berkata kepada Al Lu`lu`i, “Sesungguhnya orang-orang Madinah mengingkari pendapat-pendapat sahabat kami disini, aku ingin menanyakan tentang suatu masalah dari pendapat yang diingkari oleh mereka.” Jawab Al Lu`lu`i, “Silahkan!” Orang Kufah itu bertanya, “Apa pendapat anda terhadap orang yang menuduh zina kepada orang yang telah kawin, padahal dia dalam keadaan shalat?” Jawabnya, “Shalatnya tidak sah.” Orang Kufah bertanya, “Bagaimana kesuciannya, batal atau tidak?” Jawabnya, “Dia tetap dalam keadaan suci, tuduhannya tidak membatalkan kesuciannya.” Orang Kufah bertanya, “Apa pendapat anda, jika dia tertawa dalam shalatnya?” Jawabnya, “Dia harus mengulang wudlu dan shalatnya.” Orang Kufah bertanya, “Apakah menuduh zina orang yang sudah kawin dalam shalat, lebih ringan daripada tertawa dalam shalat?!” Al Lu`lu`i terjebak dan dia tidak bisa menjawab. Akhirnya dia bangkit dan pergi. Al Fadhal bin Ar Rabi’ tertawa. Lalu Asy Syafi’i berkata kepadanya, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa dia tidak seperti yang anda kira.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/217)).

101. Tipu Daya Ibnu Hasan di Depan Harun Ar Rasyid

Imarah bi Zaid berkata, “Aku adalah teman dekat Muhammad bin Hasan. Pada suatu hari, aku dan dia menghadap Harun Ar Rasyid, lalu Harun Ar Rasyid menanyainya. Kemudian aku mendengar Muhammad bin Hasan berbisik kepada Harun Ar Rasyid, dia berkata, “Muhammad bin Idris menganggap dirinya

6 Hasan bin Ziyad Al Lu`lu`i adalah maula (sekutu) Anshar, salah satu pengikut Abu Hanifah. Dia lemah dalam hadits. Pernah menjabat Qadhi Kufah, setelah Hafash bin Ghiyast, tahun 194 H. meninggal tahun 204 H. Riwayat hidupnya ada dalam Tarikh Baghdad (7/314-317) dan Al Jawahir Al Mudhiyah (1/193-194).

pantas menjadi khalifah.” Imarah berkata, “Harun Ar Rasyid marah mendengar perkataan Muhammad bin Hasan. Kemudian dia berkata, “Bawa dia kemari!” Ketika Asy Syafi’i berada di hadapan Harun Ar Rasyid, Harun Ar Rasyid diam beberapa saat, kemudian dia memandang Asy Syafi’i dan berkata, “Cukup, jangan bicara!” Asy Syafi’i berkata, “Apanya yang cukup, wahai, Amirul Mukminin? Anda yang mengundang dan aku yang diundang, anda yang bertanya dan aku yang menjawab.” Harun Ar Rasyid berkata, “Benarkah apa yang aku dengar tentang dirimu?” Jawab Asy Syafi’i, “Apa yang anda dengar tentang diriku, wahai, Amirul Mukminin?” Harun Ar Rasyid berkata, “Aku mendengar bahwa engkau menganggap dirimu pantas menjadi khalifah.” Jawab Asy Syafi’i, “Tidak mungkin, saya beranggapan demikian, wahai Amirul Mukminin! Sungguh orang yang menyampaikan berita seperti itu adalah pembohong, fasiq dan pembuat dosa. Wahai, Amirul Mukminin! Sesungguhnya saya menjunjung tinggi kehormatan Islam dan nasab yang mempersatukan kita. Cukuplah keduanya sebagai wasilah antara saya dan anda. Tidak ada orang yang lebih berhak memegang amanat Allah ini, selain keturunan paman Rasulullah Saw, penjaga agamanya dan pelindung bagi umatnya.”

Imarah bin Zaid berkata, “Mendengar perkataan Asy Syafi’i tersebut, wajah Harun Ar Rasyid berseri, kemudian dia berkata, “Tenangkanlah dirimu, sesungguhnya aku menjaga hak kekerabatan dan keilmuanmu.” Lalu Harun Ar Rasyid mempersilahkannya duduk dan berbicara dengannya. Harun Ar Rasyid bertanya kepada Asy Syafi’i, “Bagaimana ilmumu terhadap Kitabullah, mungkin ini pertanyaan yang utama untuk memulai pembicaraan ini?” Jawab Asy Syafi’i, “Allah menjadikannya dalam hatiku dan menjadikan akalku sebagai sampulnya.” Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana ilmumu terhadap Kitabullah?” Jawab Asy Syafi’i, “Ilmu apa yang anda tanyakan, wahai Amirul Mukminin? Apakah ilmu tentang turunnya wahyu atau ilmu ta`wilnya, ilmu muhkamnya atau mutasyabihnya, nasikhnya atau mansukhnya, berita-beritanya atau hukum-hukumnya, Makiyahnya atau Madaniyahnya, siangnya atau malamnya, waktu perjalanannya atau tetapnya, ilmu tentang sifatnya, ilustrasi-ilustrasinya, tatabahasanya, cara bacaannya, huruf-hurufnya, makna-makna bahasanya, batasan-batasannya atau jumlah ayatnya?” Harun Ar Rasyid berkata, “Engkau telah menguasai ilmu yang sangat banyak dari Al Qur’an!” Asy Syafi’i berkata, “Wahai, Amirul Mukminin! Pertanyaan akan menunjukkan ilmu seseorang.”

Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana ilmumu tentang hukum?” Jawab Asy Syafi’i, “Apakah tentang pembebasan budak atau pernikahan, dalam

peperangan atau hukum-hukum perang, dalam hudud dan diyat atau dalam minuman dan transaksi jual-beli, dalam makanan atau minuman, atau tentang yang halal dan yang haram?!

Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana ilmumu tentang perbintangan?” Jawab Asy Syafi’i, “Saya mengetahui rotasi planet, rasi bintang, bintang yang mati dan bintang yang masih berpijar, bintang yang disebut orang Arab dengan nama al anwa` (Bintang Timur), kedudukan Matahari dan Bulan, waktu yang lurus dan waktu kembalinya bintang, waktu-waktu sial dan waktu-waktu selamat, bentuk-bentuk bintang dan sifat-sifatnya. Saya juga mengetahui bagaimana caranya menentukan arah dengan bintang-bintang, baik di darat maupun di laut, bagaimana menentukan waktu shalat dan saya tahu waktu-waktu yang telah lewat, baik pagi maupun sore, serta dimana saya harus berhenti, ketika dalam perjalanan.”

Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana ilmumu dalam kedokteran?” Jawabnya, “Saya mengetahui perkataan ilmuwan-ilmuwan Romawi, seperti Aristoteles, Menhores, Gergorius, Galinus, Socrates, Ambigeles dalam bahasa mereka, ilmu-ilmu yang dibawa oleh dokter-dokter Arab dari Romawi dan Yunani, penemuan-penemuan filosof India dan buku-buku ilmuwan Persia, seperti Khamasyif, Syahim dan Bazrjamher.”

Harun Ar Rasyid berkata, “Bagaimana ilmumu tentang syair?” Jawabnya, “Saya mengenal syair masa jahiliyah, masa pertengahan dan kontemporer.” Harun Ar Rasyid bertanya, “Seberapa dalam pengetahuanmu tentang syair?” Jawabnya, “Saya mengetahui ilmu Arudh (ilmu menyusun syair), kaidah-kaidahnya, dan seni-seninya.” Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana hafalanmu terhadap syair?” Jawabnya, “Saya bisa meriwayatkan syair yang sudah dikenal maupun yang jarang dikenal, syair yang bisa membangkitkan semangat dan akhlak mulia dan syair yang bisa menajamkan mata hati.”

Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana ilmumu tentang nasab?” Jawabnya, “Wahai, Amirul Mukminin! Itu adalah ilmu yang tidak bisa kita abaikan pada masa jahiliyah, walaupun kekafiran menguasai dan kebenaran tenggelam. Ilmu nasab menjadi penolong dalam perkenalan dan mengenal yang sederajat. Aku mendapatkan bahwa para leluhur kita tersusun dalam beberapa fakhdzun (bagian dari kabilah), ‘amarah (suku) dan fashilah (rumpun keluarga), kemudian terkumpul dalam kabilah dan ‘asya’ir (suku). Setelah itu, orang-orang terdahulu mewariskan kepada keturunan mereka dan orang-orang masa kini mengikuti orang-orang terdahulu. Saya juga mengenal sejarah orang-orang, nasab orang-orang yang mulia, peristiwa-peristiwa bersejarah dan diantaranya nasab Amirul Mukminin dan nasab

saya, juga sejarah nenek moyang Amirul Mukminin dan sejarah nenek moyang saya.”

Imarah bin Zaid berkata, “Waktu itu, Harun Ar Rasyid duduk bersandar, lalu dia duduk tegak, tertarik dengan pembicaraan Asy Syafi’i. Harun Ar Rasyid berkata, “Wahai, Ibnu Idris! Engkau telah membuatku kagum dan takjub kepadamu. Berilah aku nasehat, sehingga aku tahu kadar keilmuanmu dan seberapa dalam pengetahuanmu.”

Asy Syafi’i berkata, “Ada syaratnya, wahai, Amirul Mukminin!” Jawab Harun Ar Rasyid, “Baik, katakan saja apa syaratmu!” Asy Syafi’i berkata, “Buanglah perasan ingin dihormati dan menjaga wibawa, lepaskan pakaian kesombongan dari tubuhmu, terimalah nasehat, hormatilah haknya dan dengarkan!”

Imarah bin zaid berkata, “Asy Syafi’i bangun dari duduknya dan berdiri di hadapan Amirul Mukminin, kemudian berlutut, mengangkat tangannya dengan tanpa takut dan sungkan, lalu dia menunjuk ke arah Amirul Mukminin dan berkata, “Hai, engkau yang duduk di sana! Ketahuilah, sesungguhnya orang yang melepaskan kendali jiwanya pada waktu lapang, maka tidak ada kata maaf di saat ajal menjelang. Barangsiapa yang tidak mempersiapkan jalan keselamatan, maka kedudukannya sama dengan orang yang tidak memperdulikan kemarahan Tuhan. Dia berada dalam keadaan tenang yang membahayakan dirinya, seperti sarang laba-laba. Dia tidak bisa melindungi dirinya dan tidak bisa menerangi gelapnya perbuatan yang telah ia lakukan.

Bila engkau mengambil pelajaran dari kejadian yang telah lampau, menerima kebaikan yang datang, melihat hari-harimu dan mempersiapkan untuk esok hari, tidak hidup dalam mimpi, kemudian engkau membayangkan dekatnya ajalmu di depan kedua matamu dan cepatnya usia dunia, maka engkau tidak akan kaget dengan kematian –ketika tangan penyesalan menjemputmu- dan engkau tidak akan bersedih kelak pada hari Kiamat. Namun hawa nafsu telah menyeretmu dalam ruangan yang membingungkan, kemudian meninggalkanmu sendirian. Apabila tangan nasehat mendekatimu, engkau tidak melihatnya. Allah berfirman, “Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An Nuur: 40).”

Imarah bin Zaid berkata, “Harun Ar Rasyid menangis, hingga sapu tangan yang ada ditangannya basah, isakannya terdengar keras dan dia meratap dengan kuat. Pejabat dan penasehat Harun Ar Rasyid yang ada di situ berkata kepada Asy Syafi’i, “Wahai, Asy Syafi’i! Diamlah, engkau telah

membuat Amirul Mukminin bersedih dan menangis!” Lalu Asy Syafi’i memandang mereka dengan marah, kemudian dia memperingatkan mereka, “Hai, para budak jabatan, pembantu kedzaliman dan pendukung kejahatan! Kalian yang telah menjual diri demi kesenangan dunia yang fana dan membeli siksa akhirat yang kekal. Tidakkah kalian memperhatikan orang-orang sebelum kalian, bagaimana mereka diuji dengan kenikmatan yang melimpah dan hidup dalam kemewahan, kemudian mereka diadzab dengan adzab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa?!

Tidakkah kalian tahu, bagaimana Allah membuka aib mereka, lalu menimpakan adzab kepada mereka. Sebelumnya mereka hidup dalam istana, dikelilingi dengan kenikmatan dan kemewahan, kini mereka hidup di antara bebatuan, di atas gunung dan di tengah kuburan, setelah itu binasa dimakan zaman. Sementara itu, telah menanti saat berdiri di hadapan Tuhan dan pertanyaan-Nya tentang apa yang terlintas dalam hati kalian, bahkan tentang apa-apa yang lebih ringan dari atom. Juga telah menanti kalian, siksaan, timbangan amal dan serangan rasa takut dan kekhawatiran.”

Harun Ar Rasyid berkata, “Cukup, wahai, Ibnu Idris! Engkau telah melepaskan lisanmu kepada kami dan lisanmu lebih tajam dari pedang.” Asy Syafi’i berkata, “Wahai, Amirul Mukminin! Itu adalah nasehat untukmu, bila engkau menerimanya dan jika tidak, maka tidak apa-apa.” Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana jalan menyelamatkan diri dari apa yang telah engkau ucapkan?

Asy Syafi’i berkata, “Perihalah hak-hak Allah dan Rasul-Nya dalam kekuasaan, amankanlah jalan-jalan dan perhatikan urusan rakyat.” Harun Ar Rasyid bertanya, “Bagaimana caranya?” Asy Syafi’i menjawab, “Berikanlah kepada keturunan Muhajirin dan Anshar hak-hak mereka dalam harta fai` (harta rampasan perang), supaya kebutuhan hidup tidak memaksa mereka meninggalkan tanah suci kelahiran mereka. Perhatikanlah urusan rakyat dan perbaikilah yang kurang, sebarkanlah keadilan dan kebenaran, jangan halangi siapapun untuk mendapatkannya. Jadikan ulama dan ahli ibadah sebagai penasehatmu, bermusyawaratlah dengan mereka dalam segala urusan yang engkau hadapi, jauhilah orang yang suka menyebar fitnah dan orang-orang yang menggodamu untuk memutus apa yang diperintahkan Allah untuk menyambungnya.”

Imarah berkata, “Aku melihat Muhammad bin Hasan, telah berubah air mukanya.” Harun Ar Rasyid berkata, “Siapakah orang yang engkau maksudkan?” Jawab Asy Syafi’i, “Orang yang menggunakan nama anda dan

duduk seperti duduk anda.” Harun Ar Rasyid berkata, “Adakah kamu memiliki kebutuhan khusus, setelah engkau menyampaikan kebutuhan yang umum, untuk dipenuhi atau pemintaan yang ingin diperkenankan?”

Asy Syafi’i berkata, “Apakah setelah saya memberikan inti nasehat dan mempersembahkan pelajaran, anda memintaku untuk mencoreng mukaku dengan permintaan dan merendahkan diriku dengan kebutuhan?” Harun Ar Rasyid terdiam, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai, Muhammad bin Hasan! Tanyakan tentang suatu masalah kepadanya!” Muhammad bin Hasan bertanya, “Wahai, Ibnu Idris! Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang memiliki istri empat dan ternyata istri yang pertama adalah bibi (saudara perempuan ayah) dari istri yang kedua, sedangkan istri yang ketiga bibi (saudara perempuan ibu) dari istri yang keempat.” Jawab Asy Syafi’i, “Dia harus menceraikan istri yang kedua dan keempat.” Tanya Muhammad bin Hasan, “Apa dalilnya?” Jawab Asy Syafi’i, “Malik meriwayatkan kepada kami, dari Abu Az Zinad, dari Al A’raj, dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah seseorang menikahi perempuan bersama bibinya, yaitu saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu dari calon istri.” (HR. Bukhari (7/15), Muslim (2/1028), An Nasa`i (6/96), Ahmad (2/462), dan Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (7/165) dan (8/180)).

Sekarang ganti Asy Syafi’i yang bertanya kepada Muhammad bin Hasan, “Wahai, Muhammad bin Hasan! Aku ingin tahu pendapatmu, bagaimana Rasulullah Saw menghadap kiblat pada hari Raya Kurban dan bagaimana dia takbir?” Muhammad bin Hasan tergagap dan dia tidak tahu apa jawabannya. Maka Asy Syafi’i memandang Harun Ar Rasyid dan berkata, “Wahai, Amirul Mukminin! Dia menanyaiku tentang hukum halal-haram dan aku menjawabnya, sedangkan aku bertanya kepadanya tentang salah satu amalan sunnah Nabi Saw, maka dia tergagap, tidak bisa menjawabnya. Demi Allah, jika aku bertanya kepadanya, apa yang dilakukan oleh Abu Hanifah, niscaya dia menjawabnya.” Harun Ar Rasyid memberikan isyarat kepada pengawalnya, maka Muhammad bin Hasan disuruh berdiri dan pergi dari hadapan Harun Ar Rasyid.

Imarah bin Zaid berkata, “Aku tidak ingin pergi bersamanya. Kemudian Harun Ar Rasyid menyuruh Asy Syafi’i untuk mendekat padanya dan mereka berbincang-bincang. Harun Ar Rasyid menghadiahkan uang yang banyak kepada Asy Syafi’i, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa hadiah tersebut sebesar lima puluh ribu dinar. Ketika Asy Syafi’i bangun untuk mohon diri, aku bangun mengikutinya. Uang tersebut dibawanya ke Daarul

‘Ammah, kemudian dia membagi-bagikannya. Dia pulang ke rumah tidak membawa apa-apa. Begitulah, dia pulang sebagai orang yang mulia. Setelah kejadian itu, dia dihormati, diagungkan dan dimuliakan.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/135-138)).

102. Asy Syafi’i Menginap di Rumah Az Ziyadi

Ali bin Muhammad bin Abu Hassan Az Ziyadi berkata, “Ayahku bercerita kepadaku, ‘Ketika Asy Syafi’i datang ke Irak, dia berkata, “Di rumah siapa aku akan tinggal?” Ada yang mengatakan, “Tinggallah di rumah Abu Hasan Az Ziyadi”. Maka Asy Syafi’i tinggal di rumah ayahku (Abu Hasan Az Ziyadi). Dia tinggal di rumah ayahku selama satu tahun, dalam keadaan yang baik. Ketika lewat satu tahun, Asy Syafi’i minta ijin hendak pergi ke Madinah. Maka ayahku mengirimkan enam surat kepada teman-temannya. Maka surat yang diantar oleh pembantu kami yang bernama Marid Shaqlabi, kembali dengan berisikan seribu dinar pada tiap surat. Kemudian ayahku meletakkannya di hadapan Asy Syafi’i. Ayahku menangis. Asy Syafi’i bertanya kepadanya, “Wahai, Abu Hasan! Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, apa yang membuatmu menangis?” Jawab ayahku, “Aku menulis surat kepada salah seorang temanku menceritakan dirimu yang agung dan mulia tinggal di tempatku, kemudian dibalas dengan seribu dinar kepadaku.” Ayah berkata, “Manusia terus berkurang dalam teman-temannya dan pekerjaannya,” kemudian berkata, “Wahai, Abu Abdullah! Jika kamu menghendaki uang ini, ambillah!” Ayah berkata, “Lalu Asy Syafi’i mengambil uang tersebut, kemudian pergi ke Madinah.” (Adabu Asy Syafi’i, karya Ibnu Abi Hatim (halaman: 80-81)).

103. Mengarang Buku Ar Risalah

Musa bin Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Orang pertama yang mengajarkan Madzhab Malik di Bashrah adalah “Abi”. Pada suatu hari, dia berbekam kemudian mengusap tempat yang habis dibekam. Lalu dia masuk masjid dan melakukan shalat tanpa wudlu. Mengetahui hal itu, orang-orang memarahinya, namun “Abi” tetap pada pendiriannya. “Abi” mendengar berita kedatangan Asy Syafi’i di Baghdad, maka dia menulis surat kepada Asy Syaf’i, mengadukan apa yang terjadi padanya. Asy Syafi’i mengarang untuknya buku Ar Risalah, kemudian mengirimkannya kepada “Abi”. Dia sangat senang mendapatkan kiriman buku tersebut.”

Musa berkata, “Aku sungguh telah melihat buku itu ada pada kami.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/231)).

104. Asy Syafi’i dan Budak Perempuan Hitam

Abdullah bin Abdurrahman Az Zujaj -murid Ar Rabi’ bin Sulaiman-meriwayatkan dari Ar Rabi’, dia berkata, “Aku bertemu Asy Syafi’i di Nashibain, sebelum dia pergi ke Mesir. Aku tidak pernah melihatnya makan pada siang hari dan tidak pula tidur pada malam hari. Dia memiliki budak perempuan hitam yang membantunya. Waktu itu Asy Syafi’i sedang membahas satu bab ilmu. Dia berkata kepada budaknya, “Wahai, jariyah! Nyalakan lampu itu!” Budak perempuan itu bangun dan menyalakan lampu. Lalu Asy Syafi’i menulis apa yang perlu dia tulis dan merancang bab selanjutnya. Kemudian dia mematikan lampu, setelah itu berbaring. Dia merenung dan berpikir kembali. Kemudian berkata kepada budak perempuannya, “Wahai, jariyah! Bangun dan nyalakan lampu!” Budak itu bangun dan menyalakan lampu. Lalu Asy Syafi’i menulis satu bab ilmu dan menyusunnya. Kemudian dia mematikan lampu, lalu berbaring dan berpikir. Demikianlah dia melakukannya berulang kali. Aku berkata kepadanya, “Wahai, Abu Abdullah! Bukankah sebaiknya biarkan saja lampu itu menyala, lihat budak perempuan itu telah lelah menjawab perintahmu!” Jawabnya, “Lampu yang menyala mengganggu hatiku.”

Suatu hari Asy Syafi’i bertanya kepadaku, “Bagaimana keadaan masyarakat Mesir?” Aku berkata, “Mereka terpecah menjadi dua golongan. Satu golongan condong kepada perkataan Malik, mengikuti perkataannya, berpegang pada pendapatnya, mempertahankan dan memperjuangkannya. Golongan yang lain condong kepada perkataan Abu Hanifah, mengikutinya, membelanya dan memperjuangkannya.” Asy Syafi’i berkata, “Aku ingin pergi ke Mesir, insya Allah, dan aku akan memberikan kepada mereka sebuah pendapat yang membuat mereka melupakan dua pendapat tersebut.”

Ar Rabi’ berkata, “Demi Allah, dia melakukannya, ketika tiba di Mesir.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/238)).

105. Bergadang Bersama Hukum-Hukum Al Qur’an

Muhammad bin Abdul Malik Al Misri berkata, “Ada seorang laki-laki menemui Asy Syafi’i sebelum fajar, dia mendapatkan Asy Syafi’i sedang memperhatikan Mushaf. Maka orang itu berkata kepada Asy Syafi’i, “Wahai, Abu Abdullah! Sampai sepagi ini anda membaca Al Qur’an.” Asy Syafi’i berkata, “Barangkali sejak selesai shalat Isya`, aku terus merenungkan hukum-hukum Al Qur’an.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/244)).

Dokumen terkait