• Tidak ada hasil yang ditemukan

Judul Asli : 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy Syafi’i

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Judul Asli : 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy Syafi’i"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

Judul Asli : 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy Syafi’i Judul Terjemahan : 150 Kisah Imam Asy Syafi’i

Pengarang : Majdi Fathi As Sayyid Penerbit : Al Maktabah At Taufiqiyah

Cetakan :

-Negara : Kairo - Mesir

Penterjemah : M. Habiburrahim, Lc.

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” Mukaddimah

(2)

maka tiada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan, maka tiada petunjuk baginya.

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imraan: 102). Allah Swt berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa`: 1). Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzaab: 70-71).

Amma Ba’du

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Saw. Sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang baru (yang tidak ada perintahnya dalam agama) dan setiap hal yang baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan berada dalam neraka.

Buku ini mengumpulkan kisah-kisah kehidupan Imam Asy Syafi’i dalam berbagai hal. Semoga Allah memberikan manfaat buku ini kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat.

(3)

Kata Pengantar

Dalam lembaran-lembaran buku ini, kita akan hidup bersama salah satu Imam terkemuka dalam sejarah Islam. Ulama terdepan pada masanya dan pembela Hadits pada jamannya.

Dialah Muhammad bin Idris bin Al Abbas, Abu Abdullah Asy Syafi’i.

Asy Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada tahun 150 H. Ayahnya meninggal, ketika beliau masih kecil, sehingga dia hidup dalam keadaan yatim. Dia diasuh oleh ibunya, lalu ibunya membawanya ke Mekah dan beliau besar di sana. Beliau hobi memanah, sehingga bisa mengungguli teman-teman sebayanya dan beliau menyukai sastra Arab, sehingga mahir dalam menggubah sya’ir Arab. Setelah itu, beliau tertarik pada fikih, sehingga beliau menjadi ulama terkemuka pada jamannya. Beliau mengarang banyak buku, menulis dalam berbagai bidang ilmu dan menjawab argumen orang-orang yang keliru. Beliau juga menulis dalam ushul fikih dan cabang-cabangnya. Karena keilmuannya yang hebat ini, maka beliau banyak didatangi oleh para pencari ilmu.

Ulama-ulama Islam, baik pada masanya maupun sekarang telah mengakui dan mengagumi kehebatannya, sehingga banyak buku dan tulisan menerangkan keilmuan dan keutamaannya.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Pada setiap seratus tahun, sesungguhnya Allah telah mentakdirkan bagi umat manusia, orang yang mengajarkan Sunnah kepada mereka dan menolak kebohongan dari hadits Rasulullah Saw. Maka kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama, adalah Umar bin Abdul Aziz dan Pada seratus tahun kedua, adalah Asy Syafi’i. Inilah yang kami lihat dari Asy Syafi’i. Sejak tiga puluh tahun yang lalu, aku senantiasa mendo’akan dan memintakan ampunan baginya.”

Abu Tsaur berkata, “Siapa saja menyangka bahwa dirinya setara dengan Asy Syafi’i dalam keilmuannya, kefashihannya, keteguhannya dan keluasan wawasannya, maka sungguh dia telah dusta. Tidak ada yang menandingi Asy Syafi’i semasa hidupnya.”

Ahmad bin Sayyar Al Mawarzi berkata, “Seandainya tidak ada Imam Asy Syafi’i, pastilah Islam akan sirna.”

Abu Zur’ah Ar Razi berkata, “Tidak ada hadits yang salah dalam hafalan Imam Asy Syafi’i.”

Ali Ibnu Al Madini berkata kepada anaknya, “Jangan biarkan satu huruf yang keluar dari lisan Imam Syaf’i, tanpa engkau catat! Karena dalam perkataannya terdapat ilmu pengetahuan.”

(4)

Ayub bin Suwaid berkata, “Tidak mungkin, aku dapatkan orang seperti dia.”

Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata, “Aku tidak menjumpai orang yang lebih cerdas dan lebih pandai dari Asy Syafi’i dan aku mendo’akannya secara khusus dalam setiap shalatku.”

Ibnu Abdil Hakam berkata, “Jika ada seseorang menjadi Hujjah dalam satu bidang ilmu, maka Imam Asy Syafi’i adalah hujjah dalam segala bidang.” Abu Abdurrahman An Nasa`i berkata, “Imam Asy Syafi’i adalah salah satu ulama yang terpercaya.”

Beliau meninggal pada tahun 204 H. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau.

Marilah kita ikuti kisah-kisah Imam Asy Syafi’i berikut, dengan memohon ampunan, petunjuk dan kemudahan kepada Allah Swt. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Abu Maryam/Majdi Fathi As Sayyid

1. Asy Syafi’i dan Putra Khalifah

Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata, “Suatu hari aku menghadap salah seorang putra khalifah. Ibnu Da`eb ada di sana. Aku mengucapkan salam kepadanya. Putra Khalifah bertanya kepadaku, “Engkau keturunan siapa?” Jawabku, “Aku keturunan Bani Al Muthallib.” Dia menyelaku dan bertanya, “Al Muthallib bin Abu Wida’ah?” Jawabku, “Bukan.” Tanyanya, “Al Muthallib bin Hanthab?” Jawabku, “Bukan.” Ibnu Da`eb menyela percakapan kami dengan memukulkan tangan ke pahanya dan berkata, “Semoga Allah menambahkan kebaikan kepada Pangeran! Demi Allah, dia ini adalah keturunan Al Muthallib bin Abdi Manaf, kakeknya adalah juga kakek anda. Al Muthallib memiliki dua saudara, yaitu Hasyim dan Abdu Syamsi. Al Muthallib dihormati, karena sifatnya yang mulia pada masa jahiliyah.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/82).

2. Mencari Ilmu

(5)

bersama seorang juru tulis ayahku. Asy Syafi’i melantunkan beberapa bait syair, maka juru tulis ayahku menyodok perutnya dengan pegangan cambuk dan berkata, “Dimanakah muru’ahmu (harga dirimu), apakah kamu tidak memiliki fikih?” Perkataan juru tulis ayahku menyadarkan Asy Syafi’i dan mendorongnya untuk mempelajari fikih. Lalu dia mendatangi majlis pengajian Az Zanji bin Khalid, seorang mufti Mekah. Setelah itu, dia pergi ke Madinah dan menjadi murid Malik bin Anas.” (Hulliyatul Auliya`, (9/70-71) dan Tawaala At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi, halaman: 50-51).

3. Mimpi Bertemu Nabi Saw

Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu malam aku mimpi bertemu Nabi Saw, beliau berkata kepadaku, “Hai, anak muda!” Jawabku, “Ada apa Wahai, Rasulullah!” Beliau bertanya, “Kamu dari keturunan siapa?” Jawabku, “Dari keturunan Anda, Ya, Rasulullah!” Beliau berkata, “Mendekatlah kepadaku!” Maka aku mendekatinya. Beliau mengambil air ludahnya. Aku membuka mulutku, lalu beliau mengusapkan ludahnya ke mulut, bibir dan lidahku. Beliau berkata, “Pergilah! Semoga Allah memberkatimu.” Setelah mimpi itu, tak pernah teringat olehku, bahwa aku salah dalam mengucapkan hadits atau syair.” (Tawaala At Ta`sis, karya Al Fahrurrazi, halaman: 52).

4. Mendapatkan Timbangan dalam Mimpi

Harmalah mendengar Asy Syafi’i berkata, “Sewaktu kecil, -ketika aku tinggal di Mekah- aku pernah bermimpi melihat seorang laki-laki yang berwibawa mengimami shalat di Masjidil Haram. Selesai shalat dia memberikan pengajian kepada orang-orang. Lalu aku mendekatinya dan meminta kepadanya, “Ajari aku!” Dia mengeluarkan timbangan dari lengan bajunya dan memberikannya kepadaku, sambil berkata, “Ini untukmu.” Paginya aku menceritakan mimpiku kepada seorang ahli tafsir mimpi, dia berkata, “Engkau akan menjadi imam dalam ilmu pengetahuan dan berjalan sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, karena imam Masjidil Haram menunjukkan keutamaan dan kelebihan dari imam-imam yang ada, sedangkan timbangan menunjukkan bahwa engkau mengetahui hakekat sesuatu secara mendalam.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/99).

(6)

Harmalah mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku menemui Malik bin Anas pada usia tiga belas tahun. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di Madinah adalah sepupuku. Dia banyak bercerita tentang Malik kepadaku. Aku tertarik mendatanginya untuk membaca bukunya (Al Muwaththa`) di hadapannya. Malik berkata, “Carilah orang lain untuk mengajarimu!” Jawabku, “Aku akan membacanya saat ini juga.” Akhirnya aku membaca bukunya di hadapannya. Sesekali dia berkata kepadaku tentang sesuatu yang telah aku baca, “Ulangi hadits ini!” Maka aku mengulanginya dengan tanpa membuka buku. Kelihatannya hal ini membuatnya tertarik kepadaku. Aku bertanya kepadanya tentang suatu persoalan dan dia menjawabnya. Kemudian persoalan yang lain dan seterusnya. Malik berkata, “Sudah sepantasnya engkau menjadi seorang Qadhi.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/101).

6. Bersama Hudzail dan Malik bin Anas

Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku keluar dari Mekah, pergi menuju suku Hudzail di pedalaman. Aku belajar perkataan dan bahasa mereka. Suku Hudzail adalah suku yang paling fashih di kalangan suku-suku Arab. Aku tinggal bersama mereka dalam waktu yang cukup lama. Aku ikut ke mana mereka pergi dan di mana mereka berhenti. Ketika kembali ke Mekah, aku telah bisa menggubah sya’ir dan menguasai sejarah suku-suku Arab. Sewaktu aku sedang melantunkan sya’ir dan bercerita kepada orang-orang tentang peristiwa-peristiwa bersejarah bangsa Arab, tiba-tiba seorang laki-laki dari suku Zamrayin lewat di dekatku dan berkata, “Wahai, Abu Abdullah! Sangat disayangkan bila anda tidak memiliki ilmu dan fikih. Pengetahuanmu yang mendalam tentang bahasa dan sastra tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan orang yang memiliki ilmu dan fikih.” Aku bertanya, “Siapakah yang engkau maksud dengan orang yang memiliki ilmu dan fikih?” Orang itu menjawab, “Anas bin Malik, pemimpin kaum muslimin.”

(7)

disuruh berjalan dari ujung Mekah ke ujung Madinah dengan berjalan tanpa alas kaki, maka lebih ringan bagiku daripada harus pergi menuju rumah Malik. Sungguh aku tidak merasa terhina, hingga aku berdiri di depan pintu rumahnya.”

(8)

nak! Jangan berhenti.” Sehingga aku selesai membaca Al Muwaththa` hanya dalam beberapa hari saja. Kemudian aku menetap di Madinah sampai Malik bin Anas Ra meninggal dunia.” ( Hulliyatul Auliya`, karya Abu Nu’aim (9/69), Adabu Asy Syafi’i, karya ibnu Abi Hatim (halaman: 27), Tawaala At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi (halaman: 51) dan Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/301)).

7. Kisah Perjalanan Mencari Ilmu

(9)
(10)

orang-orangnya, ketahuilah bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah, keluarga dekat beliau dan mereka adalah penolong dalam melapangkan jalan keimanan. Mereka menjaga wahyu dan mengumpulkan Sunnah. Dan jika yang anda kehendaki dengan hinaanmu itu adalah salah seorang penduduk Madinah, yaitu Malik bin Anas Ra, maka tidak ada apa-apa bagimu menyebut namanya dan jangan sebut Madinah dengan sebutan yang merendahkan seperti itu!” Muhammad bin Al Hasan berkata, “Tidak ada yang aku maksudkan, selain Malik bin Anas.”

Asy Syafi’i berkata, “Aku telah membaca buku yang anda tulis untuk penduduk Madinah dan aku mendapatkan kesalahan dalam perkataan-perkataan yang anda tulis antara “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Wa shallallahu ‘ala Muhammad.” (maksudnya terdapat kesalahan dalam isi buku yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan). Aku mendapatkan anda menolak hukum Kitabullah dalam seratus tiga puluh tempat:

Anda berpendapat pada persoalan dua orang yang berselisih dalam dinding rumah dan tidak ada bukti di antara keduanya, bahwa dinding itu milik orang yang dinding rumahnya tersambung dengan dinding yang diperselisihkan.

Anda mengatakan tentang perabot rumah tangga yang diperebutkan oleh pasangan suami isteri, ketika bercerai, bahwa apa yang pantas bagi laki-laki, maka menjadi milik suami dan apa yang pantas untuk perempuan, maka menjadi milik istri.

Anda mengatakan tentang permasalahan seorang laki-laki yang mengingkari anak yang dibawa istrinya dengan alasan bahwa istrinya meminjam anak itu dari orang lain dan dia tidak melahirkannya, bahwa kesaksian satu dukun bayi di terima.

Anda mengatakan dalam permasalahan rak-rak yang diperebutkan antara pemilik kedai dan penyewa, jika rak-rak itu bukan bangunan asli maka menjadi milik penyewa, namun jika merupakan bangunan asli, maka menjadi milik pemilik tempat.

Anda memberikan pendapat tentang masalah ini dan semisalnya –lalu anda menyebutkan semua hukum-hukumnya- dengan tanpa bukti dan sumpah. Padahal Rasulullah Saw telah menetapkan, bahwa bukti bagi orang yang menuntut dan sumpah bagi terdakwa.

(11)

Apakah anda mengatakan ini semua hanya berdasarkan ijtihad akal dengan menolak sunnah? Anda menyebutkan banyak hal yang menyalahi kami dan bertentangan dengan Sunnah.”

Pada waktu itu Hartsamah, seorang juru tulis istana, ada disana. Maka ia mencatat kejadian yang baru saja terjadi antara Asy Syafi’i dan Muhammad bin Al Hasan. Orang-orang Muhajirin dan Anshar senang, ketika mendengar bahwa ada orang yang membela Madinah dan orang-orangnya, sementara Muhammad bin Hasan dan teman-temannya merasa tidak senang dan iri. Ketika Hartsamah menghadap Harun Ar Rasyid, dia menanyakan perihal kejadian yang terjadi di Daarul ‘Ammah. Maka Hartsamah menceritakannya. Harun Ar Rasyid berkata, “Mengapa Muhammad bin Hasan tidak mengingkari perkataan laki-laki dari Bani Abdi Manaf? Temuilah Asy Syafi’i, katakan padanya bahwa aku telah memaafkannya sebelum engkau mengucapkan salam. Sampaikan salamku untuknya dan beritahu bahwa aku telah menghadiahkan lima ribu dinar baginya, diambilkan dari Baitul Mal daerah Khudhrah. (Al Khabar fi Adabi Asy Syafi’i wa Manaqibihi, halaman: 166).

Maka Hartsamah menemui Asy Syafi’i dan mengabarkan bahwa Amirul Mukminin telah memaafkannya. Dia juga menyampaikan salam Amirul Mukminin dan memberitahukan bahwa Amirul Mukminin menghadiahkan lima ribu dinar untuknya.

Hartsamah berkata, “Seandainya Amirul Mukminin tidak memberimu hadiah, maka aku akan memberimu hadiah. Aku telah memerintahkan pembantuku menyiapkan hadiah empat ribu dinar untukmu.” Asy Syafi’i berkata, “Terima kasih banyak, semoga Allah membalas kebaikanmu. Seandainya aku tidak menerima hadiah, kecuali dari orang yang lebih tinggi dariku, niscaya aku terima hadiahmu. Lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Amirul Mukminin!”

(12)

bertanya, “Apa pendapat anda tentang qasaamah?1 Muhammad bin Hasan

berkata, “Minta penjelasan.” Asy Syafi’i berkata, “Demi Allah! Dia kafir wahai, Amirul Mukminin! Dia menganggap bahwa Rasulullah Saw meminta penjelasan kepada orang Yahudi.”2

Harun Ar Rasyid berkata, “Hukum mati, Muhammad bin Al Hasan!” Ketika Harun Ar Rasyid memerintahkan hal itu, aku merasa takut. Aku berkata kepada Harun Ar Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin! Jika dia ingkar dalam hal ini, sungguh dia berkata yang sama di tempat yang lain. Akan tetapi orang yang berdebat, masing-masing akan mempertahankan pendapatnya dengan bukti-bukti yang dimilikinya.” Kelihatannya Amirul Mukminin menerima perkataanku, lalu dia memaafkan Muhammad bin Hasan.

Ketika aku dan Muhammad bin Hasan keluar dari hadapan Amirul Mukminin, dia berkata kepadaku, “Abu Abdullah! Bunuhlah aku!” Aku berkata, “Jika aku ingin, sudah aku lakukan sebelumnya.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/111-117), Adabu Asy Syafi’i, karya Ibnu Abi Hatim (halaman: 166-167).

8. Debat Asy Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan

Asy Syafi’i berkata, “Muhammad bin Hasan adalah seorang ulama yang agung dan mulia, aku menghormatinya. Aku telah menghabiskan enam puluh dinar untuk membeli buku-bukunya. Hingga suatu saat kami dipertemukan dalam majlis Harun Ar Rasyid. Muhammad bin Hasan memulai lebih dahulu, dia berkata, “Amirul Mukminin! Sesungguhnya penduduk Madinah telah menyalahi

1 Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (12/202), “Al Qasamah adalah kata

benda dari qasama yang berarti sumpah yang dilakukan oleh wali korban pembunuhan, jika ingin menuntut darah.”

2 Perkataan ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Sahal bin Abi

(13)

nas Kitabullah, keputusan-keputusan Rasulullah Saw, ijma’ umat Islam dan mereka menerima kesaksian dan sumpah dalam pengadilan.”

Hal ini mengusik pikiranku. Aku berkata, “Wahai, Muhammad bin Hasan! Anda telah berprasangka jelek terhadap orang-orang Madinah, padahal mereka telah menerima Nabi Saw dengan baik dan Al Qur’an diturunkan pada mereka. Anda telah menetapkan hukum yang tidak benar pada mereka, padahal pusara Rasulullah Saw ada di tengah-tengah mereka. Mengapa anda menjelekkan mereka? Lalu apa alasan anda menerima kesaksian satu orang dukun bayi? Apakah supaya dia dapat mewarisi dari Khalifah harta yang banyak?” Muhammad bin Hasan menjawab, “Dengan pendapat Ali bin Abi Thalib.” Aku berkata, “Sesungguhnya perawi yang meriwayatkan pendapat ini dari Ali adalah seorang yang tidak dikenal, yaitu Abdullah bin Naja, kemudian Abdullah bin Naja meriwayatkannya kepada Jabir Al Ju’fi, seorang yang dituduh oleh para ulama menganut paham Raj’iyah. Sufyan bin ‘Uyainah pernah berkata kepadaku, ‘Suatu ketika Jabir pernah menemuiku dan bertanya tentang perdukunan.’ Ketahuilah wahai, Muhammad bin Hasan! Bahwa saksi dan sumpah adalah hukum yang dijalankan oleh Rasulullah Saw, juga Ali bin Abi Thalib ketika di Kufah. Lalu apa pendapat anda tentang Qasamah?” Muhammad bin Hasan berkata, “Qasamah adalah minta penjelasan.” Aku berkata, “Kalau begitu anda menyangka bahwa Rasulullah Saw memutuskan hukum kepada umatnya dengan tidak yakin. Beliau menanyai mereka, kemudian tidak menetapkan hukum bagi mereka.”

Harun mengikuti perdebatan ini, lalu dia menyuruh algojonya untuk menghukum mati Muhammad bin Hasan. Asy Syafi’i berkata, “Wahai, Amirul Mukminin! Ini bukanlah keyakinannya. Sesungguhnya ketetapannya berbeda dengan yang baru saja diucapkan. Maksudku orang-orang yang berdebat bersumpah disini, kemudian setelah keluar dari sini, mereka akan membayar kifarat sumpah mereka. Wahai, Amirul Mukminin! Ketahuilah bahwa apabila dua orang berdebat, maka masing-masing akan membela pendapatnya dengan argumen-argumen yang bisa menjatuhkan lawannya.” Perkataanku ini diterima oleh Amirul Mukminin, Harun Ar Rasyid, lalu dia membebaskan Muhammad bin Hasan dari hukuman mati.

Ketika kami keluar, Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Engkau telah menumpahkan darahku.” Aku berkata, “Sekarang Allah telah menciptakanmu kembali.” (Tarikh Baghdad, karya Al Khatib (2/178-179) dan Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/117-120).

(14)

Abu Tsaur mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu hari aku mendatangi sebuah majlis pengajian, ternyata Muhammad bin Hasan ada di situ dikelilingi oleh sekelompok orang dari Bani Hasyim, Quraisy dan orang-orang yang mencari ilmu lainnya. Muhammad bin Hasan berkata, “Aku telah menulis sebuah buku, jika aku mengetahui ada seseorang yang mengkritik sesuatu dari buku itu, selama unta bisa mendatanginya, aku pasti menemuinya.” Aku berkata kepadanya, “Aku telah membaca isi bukumu seluruhnya, ternyata setelah Bismillahirrahmanirrahim semuanya tidak ada yang benar. Muhammad bin Hasan berkata, “Apa saja yang salah menurutmu?” Aku berkata, “Anda sering mengulang-ulang “Telah berkata orang Madinah...” Perkataan anda ini mengandung dua penafsiran, apakah yang anda maksud dengan orang Madinah adalah semua penduduk Madinah atau Malik bin Anas saja? Jika yang anda maksud dengan orang Madinah adalah semua penduduk Madinah, maka anda telah salah, karena ulama-ulama Madinah tidak semuanya seperti yang anda ceritakan. Tetapi jika yang anda maksud dengan orang Madinah adalah Malik bin Anas saja, lalu anda menyebutnya dengan orang Madinah, maka anda juga salah, karena di antara ulama Madinah ada yang berpendapat menerima taubatnya Malik dalam pendapat yang tidak sama dengan mereka. Sehingga apapun yang anda maksudkan, anda tetap salah.”

Asy Syafi’i berkata, “Akhirnya orang-orang yang ada di majlis tersebut menjadi jelas dalam permasalahan ini dan orang-orang Hijaz yang hadir di situ merasa senang.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/121-122).

10. Asy Syafi’i dan Kesaksian Dukun Bayi

(15)

dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian),” (QS. Al Baqarah: 282) dan firman yang berbunyi, “Dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.” (QS. Ath Thalaak: 2) Disini tidak dinyatakan sumpah dan saksi.” Aku bertanya, “Katakan padaku apa penafsiran firman Allah Swt, ‘Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian).’ (QS. Al Baqarah: 282) Apakah ini suatu hukum yang tetap, tidak boleh kurang dari dua orang saksi ataukah hukum yang bisa dirubah?” Jawabnya, “Itu adalah keputusan yang tetap, tidak boleh kurang dari dua orang saksi.” Aku berkata, “Kalau memang pendapat anda seperti itu, bahwa hukum itu pasti, tidak boleh kurang dari dua orang saksi, maka anda dan pengikut anda telah menyalahi Kitabullah.” Dia berkata, “Dimana kami telah menyalahi Kitabullah?” Aku berkata kepadanya, “Pendapat anda yang menerima kesaksian satu orang dukun bayi tanpa ada saksi lain dalam soal kelahiran.” Dia berkata, “Kesaksian satu orang dukun bisa diterima.” Aku berkata kepadanya, “Anda telah membolehkan kesaksian satu orang perempuan tanpa ada saksi lain bersamanya. Sungguh anda telah menyalahi Kitabullah?!” Dia berkata, “Ali bin Abi Thalib juga telah membolehkan kesaksian satu orang dukun bayi.” Aku berkata kepadanya, “Riwayat ini tidak shahih berasal dari Ali. Anda telah menyalahi pendapat yang shahih dari Rasulullah Saw dan Ali yang menghukumi dengan saksi dan sumpah.”

Asy Syafi’i berkata, “Sahabat-sahabatku senang dengan jawabanku. Maka mulai hari itu aku menampakkan sikap kritisku dan perbedaanku dengan Muhammad bin Hasan. Setelah itu aku menulis jawaban terhadap buku yang dia tulis untuk penduduk Madinah.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/123-124).

11. Asy Syafi’i Menemui Harun Ar Rasyid

(16)

akan Dia berikan kepadaku kelak pada hari Kiamat. Ya, Allah! aku berlindung kepada-Mu dengan cahaya kekudusan-Mu, keagungan kesucian-Mu dan barakah kebesaran-Mu, aku berlindung dari segala musibah dan penyakit, serta dari segala bisikan malam dan siang –dalam sebagian riwayat: dari bisikan jin dan manusia- kecuali bisikan dalam kebaikan. Ya, Allah! Engkau adalah Penolongku, maka kepada-Mu aku memohon pertolongan, Engkau adalah tempat bergantungku, maka kepada-Mu aku bergantung dan Engkau adalah Pelindungku, maka kepada-Mu aku berlindung. Wahai Tuhan yang merendahkan para penguasa yang lalim dan menundukkan fir’aun-fir’aun yang durjana! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu, dari terbukanya penutup aibku, dari meninggalkan dzikir kepada-Mu dan jauhkanlah aku dari kemusyrikan. Ya, Allah! aku berada dalam lindungan-Mu –dalam riwayat yang lain: dalam kecukupan-lindungan-Mu- baik siang maupun malam, dalam tidur dan terjagaku, dalam diam dan gerakku, dalam hidup dan matiku. Dzikir kepada-Mu adalah semboyanku, pujianku kepada-Mu adalah selimutku, tiada Tuhan yang berhak disembah, selain diri-Mu. Maha suci Engkau lagi Maha Terpuji, sebagai penghormatan terhadap keagungan-Mu, pemuliaan terhadap keindahan wajah-Mu. Jauhkanlah diriku dari siksa-Mu dan dari kejahatan hamba-hamba-siksa-Mu! Lindungilah aku dengan penjagaan-Mu dan masukkan aku dalam perlindungan-penjagaan-Mu! Limpahkanlah kebaikan pada diriku, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih –dalam sebagian riwayat: jagalah aku dengan kebaikan-Mu dari gangguan jin dan manusia, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih! Tiada daya untuk menolak kemaksiatan dan tiada kekuatan untuk menjalankan ketaatan, kecuali dari pertolongan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi yang diridlai, Muhammad dan keluarganya.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/139-140).

12. Pemilihan Penarik Pajak yang Jujur

(17)
(18)

gerbang istana. Tiba-tiba serombongan utusan yang lain menyusulku. Aku sangat khawatir. Mereka mendekat lalu mengucapkan salam kepadaku dan berkata, “Pergilah ke istana itu, karena Amirul Mukminin menyuruhmu untuk tinggal di sana. Abu Yusuf mengucapkan salam untukmu dan dia berkata, “Tulislah sebuah buku, karena anda pantas untuk mengarang buku pada zaman ini dari orang lain! Jauhilah berbicara tentang dua permasalahan yang telah aku ketahui dari perkataanmu, karena dua permasalahan itu begini –dia memberikan isyarat dengan tangannya menyilang di tenggorokan, maksudnya kematian.- Permasalahan yang pertama adalah budak perempuan yang melahirkan anak dari majikannya, sedangkan yang kedua adalah iman yang dipaksa.”

Asy Syafi’i berkata, “Aku tidak mematuhi permintaannya, maka aku membahas dua permasalahan tersebut. Ketika aku dipanggil untuk menemuinya, aku tidak memiliki semangat untuk membicarakannya, kecuali akhir perkataanku adalah, “Laa ilaha illallah.” (Manaaqib Ays Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/145-146)).

13. Mimpi Bertemu Ali bin Abi Thalib

Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Ketika aku berada dalam penjara di Baghdad, aku mimpi bertemu Ali bin Abi Thalib Ra. Ali masuk dan duduk di depanku. Dia melepas cincin yang ada di jarinya dan memakaikannya di jariku. Keesokan paginya aku minta bertemu dengan Muhammad bin Hasan, aku berkata kepadanya, “Semalam aku bermimpi, bisakah kamu memanggilkan seseorang yang bisa menafsirkan mimpi.” Maka Muhammad bin Hasan mengirimkan Ja’ad, sang peramal mimpi, kepadaku, dia menemuiku dalam penjara dan berkata, “Apa yang anda lihat dalam mimpi semalam?” Aku berkata kepadanya, “Aku melihat Ali bin Abi Thalib masuk dalam penjara ini dan menemuiku, lalu dia melepas cincinnya dan memasangnya di jariku.” Sang peramal mimpi berkata, “Jika mimpi anda benar, maka tidak ada tempat baik di Timur maupun di Barat, melainkan nama anda akan disebut-sebut dan perkataan anda akan diamalkan oleh banyak orang.” (Manaaqib Ays Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/148-149)).

14. Kisah Qadhi Yaman

(19)

menggantikanmu dan angkatlah dia menjadi qadhi di sana.” Tatkala kembali ke tempat mengajar, aku melihat Ahmad bin Hanbal. Aku menemuinya dan kukatakan padanya, “Amirul Mukimin telah memberikan mandat kepadaku untuk memilih seorang qadhi, sebagai penggantiku di Yaman. Aku telah memilih engkau untuk menggantikanku. Bersiap-siaplah! Aku akan mengajakmu menghadap Amirul Mukminin, sehingga dia bisa mengesahkanmu menjadi qadhi Yaman.” Ahmad bin Hanbal berkata, “Sesungguhnya aku datang menemui anda untuk mencari ilmu. Apakah anda akan menyuruhku menemui penguasa itu untuk mendapatkan jabatan? Celakalah anda!” Akhirnya Asy Syafi’i membatalkan niatnya dan ia merasa malu.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/154)).

15. Rahasia Dibalik Penciptaan Lalat

Mu’ammar bin Syabib berkata, “Aku mendengar Al Makmun bertanya kepada Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, “Wahai, Asy Syafi’i! Apa sebabnya Allah menciptakan lalat?” Asy Syafi’i berpikir sebentar, kemudian berkata, “Untuk merendahkan para raja, wahai, Amirul Mukminin?” Al Makmun tertawa dan bertanya, “Asy Syafi’i! Engkau melihat lalat hinggap di pipiku?” Asy Syafi’i berkata, “Benar, wahai, Amirul Mukminin! Sewaktu Anda bertanya kepada saya, saya tidak memiliki jawaban apa-apa, saya bingung. Tiba-tiba saya melihat lalat hinggap di pipi anda. Tempat yang tidak tersentuh oleh ratusan pedang dan tombak, maka hadirlah jawaban itu dalam otak saya.” Al Makmun berkata, “Sungguh Allah telah melimpahkan anugerah kepadamu, wahai, Asy Syafi’i!” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/154)).

16. Ba’iat kepada Al Amin dan Al Makmun

Muhammad bin Ibrahim Al Mu`adzdzin berkata, “Aku mendengar Muhammad bin ‘Adi, seorang ulama terkenal berkata, “Diceritakan kepada kami, bahwa ketika Harun Ar Rasyid memerintahkan rakyatnya untuk memba’iat Al Amin dan Al Makmun, dia naik ke mimbar, lalu memuji Allah dan dan menyanjung-Nya. Maka orang pertama yang naik mimbar untuk menyatakan ba’iat adalah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Asy Syafi’i meletakkan tangannya di atas kepala Al Amin dan Al Makmun, seraya berkata,

Jangan halangi mereka berdua dari kekuasaan dan jangan berikan pada keduanya

Hingga anugerah kekuasaan itu sirna pada dirimu

(20)

Kami menyebutkan dari riwayat yang lain, bahwa kejadian ini berlangsung di Mekah. Orang-orang bertanya, “Siapa anak muda yang menggabungkan antara ucapan selamat dan ucapan bela sungkawa dalam satu bait syair?” Ada yang menjawab, “Dia adalah anak muda dari suku Quraisy, namanya Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/157)).

17. Tidak Boleh Berfatwa, Kecuali Dengan Hal Ini

Yunus bin Abdul A’la berkata, “Asy Syafi’i berkata kepadaku, “Suatu hari aku berdebat dengan Muhammad bin Hasan. Waktu itu, dia memakai baju yang usang. Dia berdebat dengan semangat, tampak urat-urat lehernya mengeras, sehingga kancing bajunya lepas, begitu beberapa kali, hingga semua kancing bajunya lepas. Dia berkata, “Sahabatmu tidak boleh memberikan fatwa –dengan akalnya- karena dia tidak memiliki akal.” Aku bertanya kepadanya, “Aku mengingatkanmu kepada Allah! Apakah sahabatku menguasai Kitabullah?” Jawabnya, “Ya, dia menguasainya.” Tanyaku, “Apakah dia menguasai Hadits Rasulullah Saw?” Jawabnya, “Ya, dia menguasainya.” Tanyaku, “Dia mengetahui pendapat sahabat-sahabat Rasulullah Saw?” Jawabnya, “Ya, dia mengetahuinya.” Aku bertanya, “Aku mengingatkanmu kepada Allah! Apakah sahabatmu menguasai Kitabullah?” Jawabnya, “Tidak.” Tanyaku, “Apakah sahabatmu menguasai Hadits Rasulullah Saw?” Jawabnya, “Tidak.” Tanyaku, “Apakah pengikutmu mengetahui pendapat sahabat-sahabat Rasulullah Saw?” Jawabnya, “Tidak, akan tetapi dia berakal.” Aku berkata kepadanya, “Sahabatku memiliki tiga hal, yang harus ada dalam berfatwa, namun jika dia tidak memiliki akal, maka dia tidak boleh berfatwa. Sedangkan sahabatmu tidak memiliki tiga hal yang harus ada dalam berfatwa. Walaupun dia manusia yang paling berakal, namun tetap saja dia tidak boleh berfatwa.”

Yunus bin Abdul A’la berkata, “Maksud dari perkataan “Tidak memiliki akal” adalah tidak memiliki pendapat, yaitu tidak memiliki kemampuan untuk ijtihad dan qiyas. Kami telah meriwayatkan dari Abdurrahman bin Mahdi, “Tidak ada yang lebih berakal dari Malik bin Anas.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/182-183)).

18. Membandingkan di antara Dua Imam

(21)

dan mendengar darinya lebih dari tujuh ratus hadits.’ (Tarikh Baghdad, (2/173) dan Al Jawahir Al Mudhiyah (2/42)). Apabila Muhammad bin Hasan meriwayatkan hadits dari Malik, maka rumahnya akan penuh sesak dengan orang-orang yang ingin mendengarkan hadits. Namun jika dia meriwayatkan hadits selain dari Malik, maka yang datang hanya beberapa orang. Kalau sudah begitu, Muhammad bin Hasan akan berkata, “Aku tidak melihat manusia yang lebih buruk penghargaannya atas sahabat-sahabatnya daripada kalian. Jika aku meriwayatkan hadits dari Malik, maka kalian memenuhi tempat ini, namun jika aku meriwayatkan hadits dari selain Malik, kalian datang dengan terpaksa.” Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Sahabat kami lebih berilmu dari pada sahabat kalian.” Aku bertanya kepadanya, “Engkau ingin menyombongkan diri atau kebenaran?” Jawabnya, “Kebenaran.” Tanyaku, “Apa dasarnya?” Jawabnya, “Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.” Tanyaku, “Aku mengingatkanmu kepada Allah! Siapakah yang lebih mengetahui Kitabullah, sahabat kami atau sahabat kalian?” Jawabnya, “Jika engkau mengingatkanku dengan nama Allah, maka sahabat kalian lebih mengetahui Kitabullah daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah Saw, sahabat kami atau sahabat kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian lebih mengetahui Sunnah Rasulullah Saw daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang lebih mengetahui pendapat-pendapat sahabat Rasulullah Saw, sahabat kami atau sahabat kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian.” Tanyaku, “Adakah yang tertinggal, selain qiyas?” Jawabnya, “Tidak.” Aku berkata, “Kami menggunakan qiyas lebih banyak dari yang kalian gunakan, yaitu mengqiyaskan dengan ushul (kaidah-kaidah hukum). Barangsiapa tidak mengenal ushul, maka dia tidak mengenal qiyas.” Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam berkata, “Maksud dari “Sahabat” disini adalah Malik bin Anas, semoga Allah merahmatinya.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/183-184)).

19. Perdebatan tentang Gerhana Matahari

(22)

tentang gerhana matahari.” Aku berkata, “Aku ingin berdebat denganmu, berdasarkan logika dan dalil agama.” Jawabnya, “Silahkan.” Aku berkata, “Syaratnya engkau tidak boleh emosi kepadaku dan jangan gelisah.” – Muhammad bin Hasan adalah seorang yang mudah gelisah dan emosional- Dia berkata, “Adapun aku tidak boleh emosi, aku tidak menerima syarat itu, akan tetapi menurutku, hal itu tidak membahayakanmu.” Maka aku mulai mendebatnya, ketika aku menekannya dengan dalil-dalil, dia mulai gusar. Aku berkata, “Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari ayahnya dari “Aisyah” dan Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari “Ibnu Abbas”. Orang-orang berdatangan berkumpul mengelilingi kami.

Muhammad bin Hasan berkata, “Apakah kamu mau menekanku dengan mendatangkan riwayat anak-anak dan seorang perempuan (maksudnya Ibnu Abbas dan Aisyah)?” Aku berkata, “Seandainya bukan diriku yang menemai dudukmu!” Lalu aku bangun meninggalkannya dengan rasa marah. Kejadian tersebut disampaikan kepada Amirul Mukminin, Harun Ar Rasyid. Harun Ar Rasyid berkata, “Aku telah tahu bahwa Allah Swt tidak akan membiarkan begitu saja umat ini, Dia mengutus seorang laki-laki yang pandai dari suku Quraisy kepada mereka dan membersihkan kesesatan-kesesatan yang ada pada mereka.” Kemudian aku pulang ke rumah dan berkata kepada pelayanku, “Siapkan bekal perjalanan dan sediakan unta malam ini, kita akan pergi dari sini!” Asy Syafi’i berkata, “Lalu aku pergi ke Mesir.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/191-192)).

20. Kisah Meminta Kambing

(23)

21. Kisah Asy Syafi’i dan Basyar Al Muraisi

Abu Abdurrahman yang terkenal dengan Asy Syafi’i berkata, “Pada suatu hari, Basyar Al Muraisi menemui Asy Syafi’i. Asy Syafi’i saat itu sedang menerima tamu dari Madinah. Karena Asy Syafi’i sedang sakit, maka dia duduk bersandar di dinding. Lalu Basyar Al Muraisi berdebat dengan orang Madinah tersebut tentang menyekalikan iqamat. Basyar berkata, “Kami semua telah sepakat bahwa orang yang mengumandangkan lafadz iqamah shalat dua kali-dua kali, maka sah iqamatnya. Akan tetapi kami berselisih jika menyekalikan iqamat. Oleh karena itu, yang wajib dipakai adalah yang disepakati bukan yang diperselisihkan.” Orang Madinah itu tidak bisa menjawab. Maka Imam Asy Syafi’i menegakkan duduknya, walaupun dia sakit dan berkata, “Jika yang engkau katakan wajib bagi sahabat kami, maka wajib pula bagimu untuk mengulangi adzan. Karena kita semua telah sepakat, bahwa jika mu`adzin mengulangi adzannya, maka adzannya sah. Tetapi kita berselisih pendapat, jika dia tidak mengulangi adzan”. Sekarang giliran Basyar yang terdiam dan semua orang tahu bahwa argumen yang membuat orang Madinah terdiam bukanlah argumen yang benar. Lalu Asy Syafi’i kembali berbaring.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/199)).

22. Kisah Orang Hujbah dan Asy Syafi’i

(24)

sampai ada seseorang yang membacanya kepadamu, dan kamu mendengarkannya!” Aku berkata, “Aku membacanya sekarang dan anda dengarkan!” Malik berkata, “Baiklah.” Ketika aku selesai membaca beberapa baris, maka dia mengijinkanku untuk membaca langsung di hadapannya. Aku membaca Al Muwaththa` dari awal hingga sampai pada kitab As Siyar. Malik berkata kepadaku, “Tutuplah bukumu, nak! Kita cukupkan sampai di sini. Datanglah besok pagi.”

Pada waktu itu aku tidak memiliki uang untuk biaya mencari ilmu, maka aku mendatangi Mush’ab bin Abdullah dan meminta kepadanya agar berbicara kepada saudara-saudara kami, meminta mereka agar mau meminjamiku uang. Beberapa hari setelah itu, aku mendatangi Mush’ab. Dia berkata kepadaku, “Aku telah mendatangi saudara kita yang ada di daerah ini dan aku utarakan kebutuhanmu. Saudara yang aku datangi itu berkata, ‘Engkau membicarakan padaku salah seorang keluarga kita yang telah keluar dari kita.’ Lalu dia memberiku uang seratus dinar.’”

(25)
(26)

seorang yang berzina, lalu ada dua orang saksi yang memberikan kesaksian, maka jika orang yang berzina telah kawin, dia harus dirajam, namun jika dia belum kawin, maka dihukum cambuk.” Dia berkata, “Ini bukan sesuatu yang pasti berasal dari Allah.” Aku berkata kepadanya, “Jika bukan hukum yang tetap dan pasti dari Allah, maka letakkanlah hukum sesuai tempatnya. Pada orang yang berzina dengan empat orang saksi dan lainnya dengan dua orang saksi. Ketika engkau tahu bahwa ini menyebabkan pembunuhan dan yang lain juga menyebabkan pembunuhan –yakni kesaksian zina dan kesaksian pembunuhan- maka keduanya sama-sama menyebabkan pembunuhan, namun proses penetapan hukumnya berbeda. Demikian pula halnya dengan semua hukum Allah. Ada yang dengan empat saksi, ada yang dengan dua orang saksi, ada yang dengan seorang saksi laki-laki bersama dua saksi perempuan dan ada yang dengan saksi dan sumpah. Aku melihatmu berpendapat bukan seperti ini.”

(27)

Asy Syafi’i berkata, “Ada seorang laki-laki dibelakangku yang mencatat perkataanku tanpa aku sadari. Lalu aku dipanggil menghadap Harun Ar Rasyid dan dibacakan tulisan orang tersebut. Hartsamah bin A’yun yang waktu itu ada diruangan tersebut duduk dengan tegak dan berkata, “Coba baca sekali lagi kepadaku!” Kemudian Harun Ar Rasyid berkata, “Maha benar Allah dan Rasul-Nya, -3 kali- Rasulullah Saw bersabda, “Belajarlah dari Quraisy dan jangan kalian mengajari mereka. Dahulukan orang Quraisy dan jangan kalian melangkahi mereka.”3 Aku tidak mengingkari, jika

Muhammad bin Idris lebih pandai dari Muhammad bin Hasan.”

Asy Syafi’i berkata, “Akhirnya Amirul Mukminin, Harun Ar Rasyid, mengampuniku dan memberikan hadiah lima ratus dinar kepadaku. Aku keluar dari istana dan diikuti oleh Hartsamah. Dia berkata kepadaku, ‘Amirul Mukminin telah memerintahkan untuk memberikan hadiah lima ratus dinar, maka aku akan menambah dengan jumlah yang sama.’” Asy Syafi’i berkata, “Demi Allah! Belum pernah sebelumnya aku memiliki uang seribu dinar, kecuali hari itu. Aku adalah orang miskin yang cuma menumpang, maka Allah Swt memberikan kekayaan kepadaku melalui Mush’ab.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hulliyatul Auliya` (9/68-73)).

23. Kisah Miskinnya Asy Syafi’i

Al Humaidi berkata, “Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Ra berkata, “Aku adalah anak yatim yang diasuh oleh ibuku, lalu ibuku menyerahkanku ke kutab (tempat pendidikan bagi anak-anak kecil untuk belajar Al Qur’an dan pendidikan dasar agama lainnya). Akan tetapi ibuku tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada guruku. Guruku memberikan kepercayaan padaku untuk menggantikannya, jika dia berhalangan hadir. Ketika aku telah menghafal seluruh Al Qur’an, aku masuk masjid dan mengikuti pelajaran para ulama. Aku mendengar hadits dan berbagai macam permasalahan, lalu aku menghafalnya. Ibuku tidak memiliki uang untuk diberikan kepadaku guna membeli kertas. Maka aku mencari tulang-tulang dan aku kumpulkan. Lalu aku menulis pada tulang-tulang tersebut. Apabila tulang tersebut telah penuh dengan tulisan, aku mengumpulkannya dalam

3 Hadits mursal, termasuk salah satu hadits dha’if. Diriwayatkan oleh

(28)

guci, sehingga terkumpul dua guci besar penuh dengan tulang.” (Hulliyatul Auliya`, (9/73) dan Manaqib Asy Syafi’i (1/92)).

24. Kuatnya Hafalan Asy Syafi’i

Ar Rabi’ mendengar Asy Syafi’i berkata, “Ketika aku di kutab, (tempat pendidikan dasar bagi anak-anak untuk belajar Al Qur’an) aku mendengar seorang guru sedang mengajar muridnya ayat-ayat Al Qur’an, maka aku menghafalnya. Teman-temanku biasa mencatat pelajaran yang didiktekan oleh pengajar, ketika pengajar selesai memberikan pelajarannya, aku telah hafal semua yang didiktekan. Suatu hari guruku berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku, mengambil upah darimu.” Ketika aku keluar dari kutab, aku mencari pecahan-pecahan tembikar, pelepah kurma dan tulang-tulang yang lebar untuk aku gunakan mencatat hadits. Aku mendatangi perpustakaan dan menyalin buku-buku yang bermanfaat. Ibuku memiliki dua buah guci besar, maka aku penuhi dengan tulang-tulang, pecahan tembikar dan pelepah kurma yang penuh dengan tulisan dan hadits.” (Hulliyatul Auliya` (9/77), Tarikh Baghdad, karya Al Khathib (2/59)).

25. Menjadi Qadhi Bani Najran

(29)

ada dalam buku ini, menyatakan bahwa tanah dan harta yang aku putuskan bukanlah miliknya, tetapi milik Al Manshur bin Al Mahdi dan Al Manshur bin Al Mahdi tetap berhak terhadap tanah dan harta tersebut.” Mereka tidak senang dengan keputusanku, lalu mengabarkannya ke Mekah. Mereka terus membuatku merasa tertekan, hingga akhirnya aku dipindahkan ke Irak. Disanapun aku harus menghadapi perbedaan dengan orang-orang yang berbeda pendapat denganku. Muhammad bin Hasan telah memiliki kedudukan yang baik di Iraq. Aku membaca buku-bukunya dan memahami pendapat madzhab mereka. Apabila dia mengajar, aku sering berdebat dengannya tentang pendapat-pendapatnya.” (Hulliyatul Auliya`, (9/77)).

26. Belajar Meramal

Cucu Asy Syafi’i mendengar ayahnya berkata, “Pada waktu mudanya Asy Syafi’i pernah belajar ilmu ramal dan apabila dia belajar sesuatu, pasti dia menguasainya dengan sangat mendalam. Suatu hari dia duduk disamping seorang wanita yang baru saja cerai, dia berkata, “Engkau akan melahirkan seorang bayi perempuan, di kemaluannya terdapat tanda hitam, ia meninggal dalam usia sekian tahun.” Maka perempuan itu melahirkan anak, seperti yang dikatakan oleh Asy Syafi’i. Akhirnya Asy Syafi’i tidak mau lagi mempelajari ilmu ramal dan dia mengubur buku-bukunya tentang ilmu ramal.” (Hulliyatul Auliya`, (9/77)).

27. Keahlian Memanah

Amru bin Sawad berkata, “Asy Syafi’i berkata kepadaku, ‘Hobiku adalah memanah dan mencari ilmu. Hingga aku terserang penyakit disebabkan memanah dan aku berhenti mencari ilmu.” Amru berkata, “Demi Allah! Engkau lebih mahir dalam ilmu daripada memanah.” (Tarikh Baghdad (2/59-60), Hulliyatul Auliya` (9/77), Manaqib Asy Syafi’i (2/127)).

Asy Syafi’i berkata, “Aku terus-menerus belajar memanah, hingga seorang dokter berkata kepadaku, “Aku khawatir, engkau akan terkena kelumpuhan, karena terlalu sering berdiri dibawah terik matahari.” (Tarikh Baghdad (2/60)).

28. Do’a Penyelamat dari Pembunuhan

(30)
(31)

ini dihadapannya, maka marahnya reda. Inilah yang aku dapatkan dari keberkahan Asy Syafi’i.” (Hulliyatul Auliya` (9/79)).

29. Asy Syafi’i Bangkrut

Amru bin Sawad mendengar Asy Syafi’i berkata, “Selama hidupku aku mengalami tiga kali bangkrut, sehingga aku terpaksa menjual barang-barangku, bahkan perhiasan anak perempuan dan istriku. Namun aku tidak pernah menggadaikan sesuatu.” (Hulliyatul Auliya` (9/77)).

30. Perbedaan tidak Merusak Persaudaraan

Yunus Ash Shudfi –semoga Allah merahmatinya- berkata, “Aku tidak pernah bertemu seseorang yang lebih pandai daripada Asy Syafi’i -semoga Allah merahmatinya.- Suatu ketika aku mendebatnya tentang suatu masalah, kemudian kami berpisah. Setelah sekian lama, dia menemuiku dan menjabat tanganku dengan erat. Dia berkata, ‘Wahai, Abu Musa! Tidakkah lebih baik kita menjadi teman, walaupun kita tidak bisa sepakat dalam suatu masalah.” (Siyar A’lam An Nubala` (10/16)).

31. Ahmad Ibnu Hanbal Belajar kepada Asy Syafi’i

Muhammad bin Majah Al Quzwain berkata, “Suatu hari Yahya bin Mu’in mendatangi Ahmad bin Hanbal. Ketika mereka sedang berbincang-bincang, tiba-tiba Asy Syafi’i lewat dengan menunggang kudanya. Maka Ahmad meloncat menemuinya. Dia mengucapkan salam kepada Asy Syafi’i dan mengikutinya sampai jauh. Yahya tetap duduk di tempatnya. Ketika Ahmad bin Hanbal kembali, Yahya bertanya kepadanya, “Wahai, Abu Abdullah! Berapa kamu dibayar untuk melakukan hal itu?” Ahmad bin Hanbal menjawab, “Jangan bicara begitu, jika engkau ingin menguasai fikih, maka ikutilah ekor kudanya!” (Hulliyatul Auliya` (9/99)). Dalam riwayat yang lain, Yahya bertanya, “Wahai, Abu Abdullah! Engkau melarang kami menemui Asy Syafi’i, kenapa engkau mengikutinya?” Jawabnya, “Diam! Jika engkau mengikuti kudanya, engkau akan mendapatkan berkahnya.” (Hulliyatul Auliya` (9/99)).

32. Asy Syafi’i Pingsan Mendengar Hadits

(32)

“Wahai, Abu Muhammad! Apakah Muhammad bin Idris mati?!” Ibnu Uyainah berkata, “Jika dia mati, maka orang terbaik dijamannya telah mati.” (Hulliyatul Auliya` (9/95), Siyar A’lam An Nubala` (10/18)).

33. At Tirmidzi dan Ilmu Asy Syafi’i

Abdullah bin Muhammad bin Nashar At Tirmidzi berkata, “Aku telah menulis berbagai macam buku selama dua puluh sembilan tahun dan telah mendengar permasalahan-permasalahan yang diajukan oleh Malik dan pendapat-pendapatnya. Tetapi aku belum memiliki pendapat yang bagus terhadap Asy Syafi’i. Ketika aku sedang duduk-duduk di Masjid An Nabawi di Madinah, aku tertidur beberapa saat dan bermimpi melihat Nabi Saw. Aku bertanya, “Wahai, Rasulullah! Apakah aku harus menulis pendapat Abu Hanifah? Jawab Rasulullah, “Tidak.” Tanyaku, “Bagaimana kalau pendapat Malik?” Jawab Rasulullah, “Tulislah apa yang sesuai dengan Sunnahku.” Tanyaku, “Apakah aku harus menulis pendapat Asy Syafi’i?” Rasulullah Saw menggeleng-gelengkan kepalanya, kelihatan marah, lalu berkata, “Itu bukanlah pendapat, akan tetapi jawaban bagi orang-orang yang menyalahi Sunnahku.” Setelah mimpi itu, aku pergi ke Mesir, lalu menyalin buku-buku Asy Syafi’i dan pendapat-pendapatnya.” (Hulliyatul Auliya` (9/100)).

34. Hati-Hatilah terhadap Tiga Perkara

Asy Syafi’i berkata, “Wahai, Rabi’! Terimalah dariku tiga perkara, yaitu: jangan mencela sahabat-sahabat Rasulullah Saw, karena kelak pada hari Kiamat, Nabi Saw akan menjadi lawanmu; jangan mendalami ilmu kalam, karena aku telah mengetahui hal yang membahayakan bagi orang-orang yang mendalami ilmu kalam, ilmu kalam mengajak kepada peniadaan sifat-sifat Allah; dan jangan mempelajari ilmu ramal.” (Siyar A’lam An Nubala` (10/28)).

35. Dilarang Shalat Di Belakang Tiga Orang

(33)

tidak mempengaruhi keimanan, sebagaimana perbuatan baik tidak memberikan manfaat bagi kekafiran.”) Aku bertanya, “Ceritakan padaku sifat-sifat mereka?” Jawab Asy Syafi’i, “Siapa saya yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan belaka, maka dia adalah murji’ah, barangsiapa yang berkata bahwa Abu Bakar dan Umar bukan imam atau panutan kaum muslimin, maka dia adalah rafidhah dan barangsiapa menisbahkan kehendak kepada diri sendiri, maka dia adalah qadariyah.” (Siyar A’lam An Nubala` (10/31)).

36. Tunduk kepada Hadits Nabi Saw

Al Humaidi –semoga Allah merahmatinya- berkata, “Pada suatu hari Asy Syafi’i meriwayatkan sebuah hadits, maka aku bertanya, “Apakah kamu akan menjalankannya?” Jawabnya, “Apa kamu kira aku keluar dari gereja atau aku memakai sabuk orang Majusi, sehingga jika aku mendengar hadits Rasulullah Saw aku tidak mengatakannya?” (Hulliyatul Auliya` (9/106) dan Manaqib Asy Syafi’i (1/474)).

Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Asy Syafi’i berkata, ‘Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan menjadi pijakanku, jika aku meriwayatkan hadits Rasulullah Saw, kemudian aku tidak menjalankannya?” (Hulliyatul Auliya` (9/106), Siyar A’laam An Nubala` (10/35)).

“Apabila hadits benar, maka hadits itu adalah madzhabku dan jika hadits yang benar, maka tinggalkan perkataanku.” (Siyar A’lam An Nubala` (10/35)).

37. Malam Kematian Asy Syafi’i

(34)

keranda perempuan yang usang di dekat keranda untuk Asy Syafi’i.” (Hulliyatul Auliya` (9/101)).

38. Belatung Lalat Kerbau

Abu Bakar Al Mustamli, nama aslinya Muhammad bin Yazid bin Hakim berkata, “Aku melihat Asy Syafi’i di Masjidil Haram, lalu aku mempersiapkan karpet dengan bulu-bulu yang tipis untuk tempat duduk beliau. Ada seorang laki-laki dari Khurasan menemuinya dan bertanya, “Wahai, Abu Abdullah! Bolehkah belatung lalat kerbau dimakan?” Jawabnya, “Haram!” Orang Khurasan itu tidak percaya, “Mengapa haram?” Jawabnya, “Karena diharamkan dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah Saw juga akal. Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7) Ini dari Kitabullah.” (Hulliyattul Auliya` (9/109)).

39. Mengembalikan Lampu

Anak dari saudara perempuan Asy Syafi’i meriwayatkan dari ibunya, “Ibuku berkata, ‘Barangkali dalam satu malam lebih dari tiga puluh kali, kami harus bolak-balik membawa lampu kepada Asy Syafi’i.” Kadang dia berbaring sambil berfikir, setelah itu dia akan memanggil, “Pelayan! Bawa lampu kemari!” Maka pelayan membawa lampu kepadanya. Asy Syafi’i menulis apa yang ada dipikirannya, setelah itu berkata, “Bawa pergi lampu ini!’” Ada yang bertanya kepada anak dari saudara perempuan Asy Syafi’i, “Apa yang dikehendakinya dengan menyuruh membawa pergi lampu?” Jawabnya, “Kegelapan menjadikan hati lebih terang.” (Hulliyatul Auliya` (9/104)).

40. Ummu Basyar dan Asy Syafi’i

(35)

hasil ijtihad dan Sunnah yang berlaku atau wajib bagi manusia untuk meneliti dan membahasnya?” Jawab Basyar, “Dalam pendapatku tidak nas Kitabullah, hasil ijtihad, Sunnah yang berlaku dan tidak wajib bagi orang-orang terdahulu membahasnya, namun kami tidak bisa menyalahinya.” Asy Syafi’i berkata, “Kalau begitu, engkau telah menetapkan kesalahan atas dirimu. Mengapa engkau tidak mempelajari hadits dan fikih, lalu mengajak manusia padanya dan meninggalkan pendapatmu selama ini?” Jawabnya, “Kami telah menyukai pendapat kami.” Ketika Basyar pergi, Asy Syafi’i berkata, “Tidak akan berhasil.” (Manaqibu Asy Syafi’i (1/204) dan Siyar A’lam An Nubala` (9/27)).

41. Motivasi Belajar Memanah

Al Muzni berkata, “Pada suatu hari, aku berjalan bersama Asy Syafi’i menuju Akwam –nama gunung di daerah Ghathfan.- Kami melewati tempat sasaran memanah dan terlihat oleh kami ada seseorang yang sedang memanah. Asy Syafi’i berhenti untuk melihatnya. Asy Syafi’i mahir dalam memanah. Panah orang itu berhasil mengenai sasaran, maka dia berkata, “Bagus! Bagus sekali.” Kemudian Asy Syafi’i berkata kepadaku, “Beri dia tiga dinar!” (Tawala At Ta`sis (halaman: 67) dan Siyar A’lam An Nubala` (10/37)).

42. Kedermawanan Asy Syafi’i di Mekah

Asy Syafi’i berkata, “Hartsamah datang menemuiku, lalu menyampaikan salam dari Amirul Mukminin, Harun Ar Rasyid, dan berkata, “Amirul Mukminin mengutusku untuk memberikan hadiah uang lima ribu dinar kepadamu.”

Hartsamah berkata, “Lalu uang itu diterimanya. Kemudian dia memanggil tukang bekam. Setelah tukang bekam menjalankan tugasnya, dia memberikan lima puluh dinar padanya. Asy Syafi’i mengambil selembar kain dan menjadikannya kantong-kantong kecil, lalu mengisinya dengan uang hadiah yang baru saja dia terima. Setelah itu dia membagi-bagikannya kepada orang-orang Quraisy yang ada di Hudhrah dan Mekah. Ketika pulang ke rumah, dia hanya membawa kurang dari seratus dinar.” (Hulliyatul Auliya` (9/131-132) dan Siyar A’lam An Nubala` (10/38)).

34. Asy Syafi’i Menyendiri

(36)

menemui orang-orang dan menyebarkan ilmumu kepada mereka, niscaya mereka bisa mengambil manfaat darimu.” Dia diam sesaat, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Engkau menyuruhku dengan pergaulan agar kemuliaanmu dalam kesendirianmu tetap terjaga, padahal engkau tidak dekat kepada orang yang menyendiri, walaupun engkau banyak bergaul dengannya. Sesungguhnya beratnya menanggung kesabaran, lebih baik bagiku daripada menanggung beratnya pengorbanan dalam ketaatan. Jangan berusaha mendapatkan bagian dimana engkau memiliki kebutuhan padaku dan tidak ada penghalang yang melindungimu dari keburukan.” (Hulliyatul Auliya` (9/124)).

44. Kisah Asy Syafi’i dan Orang Bodoh

Ahmad bin Yahya Al Wazir berkata, “Pada suatu hari Asy Syafi’i keluar dari pasar lampu, menuju ke rumahnya. Lalu kami mengikutinya, tiba-tiba ada seseorang memaki orang berilmu. Asy Syafi’i menoleh ke arah kami dan berkata, “Bersihkan pendengaran kalian dari mendengar kata-kata kotor, sebagaimana kalian membersihkan mulut kalian dari mengucapkannya. Sesungguhnya orang yang mendengar adalah sekutu orang yang mengucapkannya. Orang bodoh akan mencari kata-kata terjelek yang ada dalam pikirannya. Dia ingin mengeluarkannya dan memasukkannya kedalam pikiran kalian. Jika makian orang bodoh dibalas, maka orang yang membalas merasa senang dan orang yang mengucapkan pertama merasa sedih.” (Hulliyatul Auliya` (9/123)).

45. Penjaga Perbuatan Adalah Takwa

(37)

46. Manusia Paling Tajam Pikirannya

Asy Syafi’i berkata, “Ada seorang laki-laki membuat barang, lalu barang tersebut jatuh darinya. Ada yang berkata kepadanya, “Allah melindungimu dengan tanpa memberikan cobaan kepadamu.”

Asy Syafi’i berkata, “Dialah manusia paling tajam pikirannya.” (Hulliyatul Auliya` (9/124)).

47. Perdebatan di Masjid Al Kheif

Ahmad bin Muhammad, putra dari anak perempuan Asy Syafi’i meriwayatkan dari ayahnya, “Kami melihat Ays Syafi’i mendebat Muhammad bin Hasan, di Masjid Al kheif di Mina. Bersama mereka waktu itu, Basyar Al Muraisi. Muhammad bin Hasan duduk berhadapan dengan Asy Syafi’i, dia bertanya, “Wahai, Abu Abdullah! Aku mendengar bahwa engkau telah menulis buku tentang madzhab kami, kami ingin mendebatnya.” Asy Syafi’i berkata kepadanya, “Aku tidak ingin berdebat, karena perdebatan akan merusak hati. Lebih baik kita bersahabat.” Namun Muhammad bin Hasan memaksa untuk berdebat. Akhirnya keduanya berdebat. Asy Syafi’i mengungguli Muhammad bin Hasan dalam berbagai macam persoalan. Al Azraqi, seorang ulama Mekah, mendekati Basyar dan bertanya, “Bagaimana menurutmu, siapakah yang lebih unggul, sahabat kami atau sahabat kalian?” Basyar menjawab, “Aku melihat sahabat kalian berada diatas angin, sedangkan sahabat kami seperti kehabisan nafas.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/199-200)).

48. Orang dari Bani Muthallib Itu Datang

(38)

Maka aku mendebatnya dan berhasil mematahkan argumen-argumennya. Basyar berkata, “Ini bukan pendapat kalian, namun ini adalah pendapat laki-laki yang pernah aku lihat di Mekah. Laki-laki itu memiliki setengah kecerdasan penduduk dunia.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/201)).

49. Kedengkian Basyar

Az Za’farani berkata, “Basyar pergi haji ke Mekah. Ketika kembali, dia bercerita, ‘Di Hijaz, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Tak pernah aku temui orang seperti dia. Dia bertanya, namun jika ditanya tidak mau menjawab,’ maksudnya Asy Syafi’i. Setelah itu, Asy Syafi’i datang ke Baghdad. Orang-orang berkumpul dan mendatanginya, mereka ingin belajar kepadanya. Mereka merahasiakan cerita Basyar. Suatu hari aku menemui Basyar dan aku katakan padanya, “Asy Syafi’i yang pernah engkau ceritakan telah datang.” Dia berkata, “Dia telah berubah, tidak seperti dulu.”

Az Za’farani berkata, “Sungguh sikap Basyar kepada Asy Syafi’i ini, jika dibuat permisalan adalah seperti sifat orang-orang Yahudi terhadap Abdullah bin Salam. Sebelum Abdullah bin Salam masuk Islam, mereka berkata kepadanya, “Junjungan kami dan putera junjungan kami.” Ketika Abdullah bin Salam berkata kepada mereka, “Aku telah masuk Islam,” maka mereka berkata, “Orang jahat putera orang jahat.”

Basyar berkata, “Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang sepandai Asy Syafi’i”. (Manaqib Asy Syafi’i (1/202)).

50. Orang Paling Pandai Dalam Berdebat

Ibnu Al Banna mendengar Basyar Al Muraisi berkata, “Di Hijaz aku melihat seorang anak muda, seandainya ia diberi umur yang panjang, niscaya akan menjadi orang terkenal di dunia.” Beberapa waktu kemudian, Basyar berkata kepadaku, “Aku merasa bahwa pemuda yang aku ceritakan kepadamu telah datang, mari kita pergi menemuinya!” Maka kami pergi menemuinya. Setelah sampai di sana, kami mengucapkan salam kepadanya. Kemudian Basyar dan Asy Syafi’i terlibat dalam perdebatan yang sengit. Asy Syafi’i membenarkan kesalahan-kesalahan Basyar. Ketika kami keluar, Basyar bertanya kepadaku, “Bagaimana menurutmu?” Jawabku, “Engkau banyak salah dan dia benar.” Dia berkata, “Tidak pernah aku temui, orang yang lebih pandai darinya.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/202)).

(39)

Ummu Asy Syafi’i dan Ummu Basyar Al Muraisi hendak memberikan kesaksian di depan pengadilan di Mekah. Qadhi pengadilan ingin memisahkan keduanya, maka Ummu Asy Syafi’i berkata, ‘Engkau tidak boleh memisahkan kami, karena Allah Swt telah berfirman, “supaya jika seorang lupa, maka yang seorang mengingatkannya.’” (QS. Al Baqarah: 282) Akhirnya qadhi tersebut tidak jadi memisahkan Ummu Asy Syafi’i dan Ummu Basyir.” (Thabaqaat Asy Syafi’iyah, karya As Subki (2/179)).

52. Hujjah Bagi Guru

Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam berkata, “Aku tidak pernah bertemu dengan orang seperti Asy Syafi’i. Suatu ketika, aku pergi ke Madinah. Di sana aku mendapatkan sahabat-sahabat Abdul Malik Al Majisun menyanjung-nyanjung gurunya. Mereka berkata, “Sahabat kami berhasil mengalahkan Asy Syafi’i dalam berdebat.” Aku berkata, “Sungguh aku ingin bertemu dengan orang yang mengalahkan Asy Syafi’i.” Lalu aku menemui Abdul Malik. Aku bertanya kepadanya tentang suatu masalah dan dia menjawabnya, lantas aku bertanya, “Mana Hujjah atau argumennya?” Jawabnya, “Tidak ada, karena Malik berkata demikian.” Aku berkata dalam hati, “Tidak mungkin engkau mengalahkan Asy Syafi’i. Aku bertanya mana hujjahnya, engkau menjawab, ‘Guruku berkata.’” Sesungguhnya engkau dan gurumu yang kalah.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/208)).

53. Ibnu Suwar dan Asy Syafi’i

Abdurrahman bin Abdullah bin Suwar berkata, “Kami berangkat haji ke Mekah. Ikut bersama rombongan kami, Hilal bin Yahya. Sesampainya di Mekah, kami melihat Asy Syafi’i sedang memberikan fatwa. Hilal berkata kepadaku, “Bagaimana menurutmu, jika aku berdebat dengan Asy Syafi’i?” Jawabku, “Jangan! Dia orang yang pandai dan banyak tahu. Dia mengetahui kelemahan pendapat-pendapat kamu dan lebih hafal hadits-hadits daripada kamu. Kamu tidak akan bisa menandinginya, biarkan saja dia, itu lebih baik bagimu!” Dia berkata, “Aku akan bertanya tentang syarat-syarat.” Jawabku, “Pada musim haji seperti ini, engkau bertanya syarat-syarat dan meninggalkan manasik dan sahalat?! Aku khawatir orang-orang awam akan merendahkanmu.” Akhirnya Hilal meninggalkannya dan tidak jadi mendebatnya.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/210)).

(40)

Al Harits bin Suraij An Naqqal berkata, “Suatu hari aku menemui Asy Syafi’i. Ternyata di majlisnya sudah ada Ahmad bin Hanbal, Husain Al Qalasi (salah satu murid Asy Syafi’i yang terkemuka dalam hafalan hadits) dan hadir juga serombongan ahli hadits. Majlis itu penuh sesak dengan manusia. Di depan Asy Syafi’i telah duduk Ibrahim bin Ismail bin ‘Aliyah, sedang berdebat dengannya tentang periwayatan satu orang (istilahnya ilmu haditsnya adalah khabar al wahid). Aku berkata kepada Asy Syafi’i, “Wahai Abu Abdullah! Di depan anda telah menunggu orang banyak, mengapa anda menerima orang mubtadi’ itu?” (Mubtadi’, orang yang membuat bid’ah). Asy Syafi’i berkata kepadaku sambil tersenyum, “Perkataanku kepada orang ini di hadapan mereka, lebih bermanfaat dari perkataanku langsung kepada mereka.” Orang-orang menjawab, “Ya, benar.” Lalu Asy Syafi’i melanjutkan perdebatannya dengan Ibrahim. Asy Syafi’i berkata kepadanya, “Bukankah engkau menganggap bahwa ijma’ adalah hujjah?” Jawabnya, “Ya, benar.” Asy Syafi’i bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu tentang periwayatan satu orang (khabar al wahid), engkau menolaknya dengan ijma’ atau tanpa ijma’?” Maka Ibrahim terdiam, tidak bisa menjawab. Orang-orang yang hadir disitu merasa senang dengan hal tersebut.” (Manaqib Asy Syafi’i (1/211-212)).

55. Pengampunan dan Mahkota

Ahmad bin hanbal berkata, “Aku mimpi bertemu Asy Syafi’i, setelah wafatnya. Dalam mimpi tersebut aku bertanya kepadanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu?” Jawabnya, “Allah mengampuniku, memahkotaiku dan memberiku isteri. Allah berkata kepadaku, ‘Ini adalah balasan bagimu, atas kerendahan hatimu terhadap keridlaan-Ku dan ketawadhu’anmu terhadap anugerah-Ku kepadamu.’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam buku Tarikhnya, sebagaimana disebutkan oleh As Suyuthi dalam Syarhu Ash Shudur (halaman: 286)).

56. Duduk Di Atas Singgasana Emas

(41)

57. Asy Syafi’i dan Si Mata Biru

Al Humaidi berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Idris Asy Syafi’i bercerita, ‘Aku pergi ke Yaman untuk mencari buku tentang ilmu firasat. Aku mendapatkannya, lalu menyalinnya. Ketika aku pulang, aku melewati seorang laki-laki berdiri di halaman rumahnya. Laki-laki itu bermata biru, dahinya menonjol dan tidak memiliki jenggot sedikitpun. Aku bertanya kepadanya, “Adakah rumah untuk menginap?” Jawabnya, “Ya, ada.” Asy Syafi’i berkata, “Sifat-sifat fisik yang aku sebutkan tadi adalah isyarat terburuk dalam ilmu firasat.” Lalu dia mempersilahkanku masuk. Aku mendapatkan orang tadi sangat baik hati, dia menyiapkan makam malam untukku, menyediakan wewangian, memberikan makanan bagi kudaku, juga meminjamkan selimut dan kain. Tetapi semalaman aku tidak bisa tidur, hanya bolak-balik di atas pembaringan. Aku terus berpikir, “Apa yang akan aku lakukan terhadap buku-buku ilmu firasat ini?”

Pagi harinya aku berkata kepada pelayan, “Persiapkan kudaku!” Setelah siap, aku naik. Tak lupa aku berpamitan kepada orang yang menerimaku tadi malam dan berkata kepadanya, “Jika anda pergi ke Mekah dan melewati Dzi Thuwa (lembah dekat Mekah, sekarang dikenal dengan nama Az Zahir, terletak di jalan ke Tan’im) tanyakanlah rumah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.” Orang itu bertanya, “Apakah aku pembantu ayahmu?” Jawabku, “Bukan.” Dia bertanya, “Apakah engkau telah mengambil manfaat dariku?” Jawabku, “Tidak.” Dia bertanya, “Lalu apa yang engkau nikmati tadi malam, apa kamu kira gratis?” Aku balik bertanya, “Memangnya apa yang telah aku nikmati?” Jawabnya, “Aku telah membelikanmu makanan seharga dua dirham dan lauknya sekalian, minyak wangi tiga dirham, rumput untuk kudamu dua dirham, menyewa ranjang dan selimut dua dirham.” Aku berkata kepada pelayanku, “Berikan padanya apa yang dia minta!” Lalu aku bertanya kepada orang itu, “Adakah yang belum terhitung?” Jawabnya, “Sewa rumah, karena aku telah memberikan tempat yang luas untukmu dan menyempitkan bagianku.” Aku menyesal memiliki buku-buku firasat itu. Setelah itu, aku bertanya kepadanya, “Masih adakah yang tersisa yang belum dibayar?” Dia berkata, “Pergilah! Semoga Allah merendahkanmu! Aku tidak pernah melihat orang yang lebih jelek darimu.”4

4 Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adaabu Asy

(42)

58. Gilingan Di Atas Kepala

Abu Muhammad saudara Asy Syafi’i berkata, “Ibuku bercerita, bahwa pada suatu hari dia meletakkan jarinya di mulut bayi. Tiba-tiba pintu rumah diketuk oleh seseorang. Karena Asy Syafi’i sedang tidur siang, maka ibuku segera bangkit. Belum sampai di pintu, sang bayi gelisah dan menangis. Ketika Asy Syafi’i bangun, Ummu Ustman berkata kepadanya, “Celakalah engkau, wahai, Ibnu Idris! Hampir saja hari ini engkau membunuh seseorang.” Maka wajah Asy Syafi’i memerah dan kaget. Dia bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ibuku menceritakan kejadiannya. Setelah itu, Asy Syafi’i bersumpah tidak akan tidur siang, kecuali gilingan (untuk menggiling tepung atau gandum) berputar dekat kepalanya. Akhirnya, bila Asy Syafi’i hendak tidur siang, kami mengambil gilingan dan menggiling didekatnya.” (Hulliyatul Auliya` (9/126)).

59. Ditahan Karena Tuduhan Ikut Kelompok Syi’ah

Ibrahim bin Muhammad Asy Syafi’i berkata, “Asy Syafi’i ditahan bersama sekelompok orang dari golongan Syi’ah, karena dianggap ikut golongan mereka. Suatu hari dia memanggilku dan berkata, “Panggilkan ahli tafsir mimpi.” Maka aku memanggil ahli tafsir mimpi untuknya. Asy Syafi’i berkata, “Semalam aku bermimpi, seakan-akan aku disalib di atas tombak bersama Ali bin Abi Thalib Ra.” Ahli tafsir mimpi berkata, “Jika mimpimu benar, maka engkau akan menjadi orang terkenal dan perkataanmu akan tersebar dimana-mana.” Kemudian Asy Syafi’i dibawa menghadap Harun Ar Rasyid bersama orang-orang yang ditangkap lainnya. Setelah tiba di hadapan Harun Ar Rasyid, Asy Syafi’i menunjukkan kepandaiannya, sehingga dia dibebaskan.” (Hulliyatul Auliya` (9/126)).

60. Menjauhi Kenyang

Asy Syafi’i berkata, “Sejak enam belas tahun yang lalu, aku tidak pernah makan sampai kenyang, kecuali sekali dan itupun aku muntahkan. Kenyang memberatkan tubuh, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan kantuk dan melemahkan ibadah.” (Hulliyatul Auliya` (9/127)).

61. Firasat Asy Syafi’i Terhadap Murid-Muridnya

(43)

Ar Rabi’ berkata, “Aku, Al Buwaithi, Al Muzni dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam menemui Asy Syafi’i, menjelang wafatnya. Asy Syafi’i memandang kami lama sekali, kemudian berkata, “Wahai, Abu Ya’kub! Engkau akan mati dengan pedangmu. Wahai, Al Muzni! Akan terjadi kerusakan dan kekacauan padamu di Mesir dan engkau akan menemui suatu masa, dimana engkau adalah orang paling bengkok di antara yang ada. Wahai, Muhammad! Engkau akan kembali kepada madzhab ayahmu. Sedangkan engkau wahai, Rabi’! engkau adalah orang paling bermanfaat dari mereka dalam menyebarkan buku-bukuku. Wahai, Abu Ya’kub! Berdirilah, engkau akan memimpin halaqah ini.” Ar Rabi’ berkata, “Maka terjadilah, seperti apa yang ia katakan.”

Perkataan Asy Syafi’i kepada Ibnu Abdu

Referensi

Dokumen terkait

Polulasi dari penelitian ini adalah mahasiswa angkatan tahun 2009/2010 Jurusan teknik Elektro Politeknik negeri samarinda, yang terdiri dari Empat kelas; dua kelas

bilangan kuadrat : bilangan hasil pemangkatan dua dari suatu bilangan bilangan kubik : bilangan hasil pemangkatan tiga dari suatu bilangan debit : banyaknya air yang mengalir dalam

Net Profit Margin: Net Profit Margin SRIL yang tinggi disebabkan oleh peningkatan penjualan baik domestik maupun internasional, ditunjukkan oleh penerimaan US$ 680

Delta Dieselindo Utama, generasi senior berencana tidak akan menguji perubahan yang dibawa oleh suksesor agar suksesor dapat dengan bebas mencoba hal-hal baru dan

Pertanyaan penelitian yang muncul adalah “Bagaimana penerapan fengshui pada tata letak massa bangunan di kawasan Kelenteng Sam Poo Kong?” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Sedangkan menurut WHO persalinan normal adalah persalinan yang dimulai secara spontan ( dengan kekuatan ibu sendiri dan melalui jalan lahir), beresiko rendah pada awal persalinan

Ir. Budi Eka Prasetya Ir. Adrianus Rulianto Utomo, MP.. Laporan Praktek Kerja Industri Pengolahan Pangan di Perusahaan Pembekuan Ikan PT. Inti Luhur Fuja Abadi,

“Terdapat pengaruh bimbingan kelompok terhadap tingkat percaya diri siswa yang mengalami masalah pendidikan dan pelajaran di kelas XI IPS SMAN 2 Pekanbaru” Dari hasil