• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ishlãh Dalam al-Qur’an Dan Hadis

Dalam dokumen Konsep Ishlah dalam Perspektif Fikih (Halaman 32-43)

BAB II KONSEP ISHLÃH

B. Ishlãh Dalam al-Qur’an Dan Hadis

Dari berbagai ayat yang menjelaskan tentang ishlãh, akan penulis deskripsikan beberapa ayat yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis ini. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah:

1. QS. al-Nisa’ (4): 114

ِ

Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”

Ketika menafsirkan ayat ini, Rasyid Ridla menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus Thu'mah ibn Ubairiq yang dititipi baju besi oleh seorang Yahudi. Ketika tiba waktunya baju tersebut diambil oleh pemiliknya, Thu'mah berkonspirasi untuk mengingkari orang Yahudi tersebut bahkan meremehkannya. Karena terjadi keributan, maka akhirnya peristiwa ini sampai kepada Nabi. Hampir-hampir saja Nabi membela

Thu'mah. Kemudian turunlah ayat ini, menjelaskan kepada Nabi perihal yang sebenarnya terjadi dan penyelesaiannya.39

Al-Thabari menjelaskan makna ishlãh baina al-nãs yaitu mengadakan perdamaian antara dua pihak yang sedang bertikai dalam batas-batas yang dibenarkan syari’at Islam, untuk menormalisasi hubungan kedua belah pihak.40 Yang dimaksud dengan batas-batas yang dibenarkan syara' adalah tidak diperbolehkan isi perjanjian damai tersebut menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan yang semisalnya. Dari ayat 114 surat al- Nisa' di atas dapat diambil istinbãth hukum antara lain: boleh berdesas-desus atau berbisik-bisik dalam hal sedekah, amar ma'ruf nahi munkar, perdamaian, dan anjuran berlaku adil walaupun kepada non muslim.

Jika diteliti lebih lanjut maka ayat 114 surat al- Nisa' di atas -dalam kaitannya dengan hukum Islam- merupakan kasus perdata berupa wanprestasi terhadap perjanjian, atau kasus pidana berupa penggelapan yang dilakukan oleh Thu'mah terhadap teman Yahudinya. Perbuatan Thu'mah telah menyebabkan terjadinya perselisihan antara Thu’mah dengan teman Yahudinya dan diselesaikan oleh Rasulullah dengan perdamaian antara keduanya dengan keharusan atas Thu’mah mengembalikan baju besi milik teman Yahudinya tersebut.

2. QS. al-An’am (6): 54 ⌧ ⌧ ☺ ☺ 39

Rasyid Ridla, Tafsir al- Manãr, (Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- 'Ammah al- Kitab, 1975), juz ke-2, h. 406-407

40

Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarĩr al- Thabari, Tafsĩr al- Thabari, (Mesir: Syirkah Maktabah Musthafa al- Babi al- Halabi wa auladuhu, 1373), jil. ke-4, juz ke-5, h. 276

⌦ ⌧

Artinya: ”Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum”. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Sebab turunnya surat al-An’am ayat 54 di atas ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya (QS. 6: 51, 52, 53) yang menerangkan tentang larangan kepada kaum mukminin untuk mengadakan penilaian martabat terhadap sesama manusia. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah saw. yang sedang duduk bersama Khabab ibn al-Arat, Suhaib, Bilal, dan Ammãr (mereka adalah para hamba sahaya yang sudah dimerdekakan). Mereka berkata: “Hai Muhammad, apakah engkau rela duduk setingkat dengan mereka, adakah mereka itu telah diberi nikmat oleh Allah lebih dari pada kami. Sekiranya

engkau usir mereka, kami akan menjadi pengikutmu”. Maka Allah

menurunkan ayat 51,52, dan 53 tersebut yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan wahyu yang melarang kaum mukminin untuk menilai derajat seseorang, karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Setelah itu para pembesar Quraish tersebut meminta maaf karena ucapan mereka itu. Kemudian turunlah ayat selanjutnya, yaitu QS. al-An’am(6): 54 sebagai jaminan ampunan kepada orang-orang yang taubat akibat berbuat kesalahan karena ketidaktahuannya.41

41

Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1985), cet. V, h. 205-206

Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Mahan,42 ia berkata bahwa pada suatu waktu datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata:

“Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar”. Rasulullah SAW. tidak

memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan diterima oleh Allah swt.

3. QS. al-Ma’idah (5): 39

☺ ⌧

⌦ ⌧

Artinya: ”Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebab turun ayat ini tidak lepas dari ayat sebelumnya yaitu ayat 38, bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang perempuan melakukan pencurian. Kemudian perempuan itu dipotong tangannya sebagaimana yang diperintahkan Allah pada ayat 38 ini. Pada suatu waktu dia bertanya kepada Rasulullah: “Adakah tobatku masih diterima wahai Rasulullah?”, Sehubungan dengan pertanyaan perempuan itu Allah SWT. Menurunkan ayat ke-39 yang dengan tegas menyatakan bahwa Allah selalu menerima taubat seseorang yang telah melakukan kejahatan, asalkan dia bersedia untuk memperbaiki diri dan mengganti perbuatan jahat itu dengan

42

Abi al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wãhidy al-Nisabury, Asbãb al-Nuzũl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 122, lihat juga al-Imam Jalãluddĩn al-suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat suci Al-Qur’an, terj. H.A Musthafa, (Semarang: Penerbit CV. Sy-Syifa’, 1993), cet. I. h. 206-207

perbuatan yang baik (H.R. Ahmad dan yang lain dari Abdillah ibn Amrin).43

4. QS. Ali Imran (3): 89

⌦ ⌧

Artinya: ”Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dikemukakan oleh al-Nasa’i, Ibn Hibban dan al-hakim yang bersumber dari Ibn ’Abbas bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar murtad setelah masuk Islam, dan ia menyesal atas kemurtadannya. Ia minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap Rasulullah SAW. untuk menanyakan apakah diterima taubatnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. 3: 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya sehingga ia Islam kembali.44

Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh Musaddad di dalam musnadnya dan ’Abd al-Razzaq yang bersumber dari Mujahid menyatakan bahwa al-Harts ibn Suwaid menghadap kepada Nabi SAW. dan masuk Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan kufur lagi. Maka turunlah ayat tersebut di atas. Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang kaumnya. Maka berkata al-Harts: “Sesungguhnya Allah yang paling benar

43

A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), cet. I, h. 21

44

Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63, Lihat juga Qamarudin saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 101

di antara tiga”. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang muslim yang patuh.45

5. QS. al-Nisa’ (4): 35 ☺ ☺ ☯ ☺ ⌧ ☺

Artinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan bahwa pada suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah untuk mengadukan masalahnya, bahwa mukanya ditampar oleh suaminya. Rasulullah bersabda: “Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda itu, maka turunlah ayat 35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini, wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishash terhadap suaminya.46

Diriwatkan pula oleh Ibn Mardawaih dan Ali ibn Abi Thalib bahwa suatu waktu datang seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar menghadap Rasululah bersama istrinya. Istrinya mengadu kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah suamiku ini telah memukul mukaku

sehingga terdapat bekas luka”. Rasulullah bersabda: “Suamimu tidak hak

45

Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63

46

untuk melakukan demikian, dia harus diqishash”. Sehubungan dengan itu maka diturunkanlah ayat ke 35 dari surat al-Nisa’ sebagai ketegasan hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian, hukum qishash yang hendak dijatuhkan Rasulullah menjadi gugur, tidak jadi dilaksanakan.47

Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, ‘Abd al-Razzaq dari ‘Ubaidah bercerita:

“Aku melihat ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. tatkala didatangi oleh seorang perempuan bersama suaminya, yang masing-masing diantar oleh sekelompok orang dari golongannya. Mereka datang untuk mengadukan perpecahan (syiqaq) yang timbul antara dua orang suami-istri itu. Kedua golongan menunjuk orang yang mewakili masing-masing untuk menjadi juru damai. Kepada kedua Hakam yang diajukan itu, Imam Ali ibn Abi Thalib berucap: “Apakah kamu berdua mengetahui apa kewajiban kalian?, kewajiban kalian ialah menyelidiki sebab perpecahan kedua suami-istri ini, jika menurut pandangan kalian, keduanya masih dapat dipertemukan kembali maka damaikanlah, dan sebaliknya jika kamu berdua berpendapat, untuk kemaslahatan mereka berdua lebih baik bercerai, maka

perceraikanlah.”48 6. QS. al-Baqarah (2): 220 ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧

Artinya: ”Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang

47

A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 239

48

mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sebab turun ayat ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, dan al-Hakim yang bersumber dari Ibn Abbas yang berkata bahwa ketika turun ayat “walaa taqrabũ mãla al-yatĩmi illã billatĩ

hiya ahsan” (QS. Al-An’am (6): 152) dan ayat “innalladzĩna ya’kulũna

amwãla al-yatãmã zhulman”, sampai akhir ayat (QS. Al-Nisa’(4): 10),

orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak-anak yatim yang menjadi tanggung jawabnya itu. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa khawatir jangan-jangan mereka termasuk dalam kategori orang-orang yang memakan harta milik anak-anak yatim. Demikian juga sisanya dibiarkan begitu saja sampai membusuk kalau tidak dihabiskan olen anak-anak yatim itu. Lalu mereka menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal tersebut. Maka turunlah ayat (QS. Al-baqarah (2): 220) yang pada pokoknya membenarkan men-tasarruf-kan harta benda anak-anak yatim asal dengan ketentuan dan cara yang baik, yang tidak merugikan anak-anak yatim tersebut kelak ketika sudah dewasa.49

7. QS. al-Baqarah (2): 224

☺ ⌧

Artinya: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan ishlãh di antara manusia. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

49

Diriwayatkan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sumpah Abu Bakar untuk tidak memberi nafkah lagi kepada Misthah (seorang fakir miskin yang hidupnya menjadi tanggungannya). Hal ini ia lakukan lantaran Misthah termasuk orang yang ikut serta memfitnah Siti Aisyah. Ayat tersebut turun sebagai teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan.50 8. QS. al-Hujurat (49): 9 ⌧ ☺ ☺ ☺ ☺ ☺

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah

kamu berlaku adil; SesungguhnyaAllah mencintai orang-orang

yang berlaku adil”.

Ada beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini. Pertama, diriwayatkan oleh al-Syaikhan dari Anas, bahwa Nabi diminta mengunjungi Ibn Ubay. Ketika Nabi sampai di suatu tempat bernama Sabikhah, keledai yang dikendarai Nabi kencing. Melihat itu, Ibn Ubay berkata: ”Jauhkan keledaimu dariku, sesungguhnya baunya menyakitiku.”

50

Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 76.

Salah seorang sahabat yaitu Ibn Rawahah berkata: “Sesungguhnya baumu

lebih busuk dari bau keledai ini.” Maka salah seorang pengikut Ibn Ubay

membalas sehingga terjadi perang mulut yang akhirnya menimbulkan perang dengan menggunakan tangan dan sandal. Maka turunlah ayat ini sebagai perintah untuk menghentikan perkelahian dan menciptakan perdamaian.51

Kedua, Menurut riwayat dari Ibn Jarir dari Ibn Abi Hatim dari

al-Sudi, dia berkata: ”Umran, salah seorang dari kalangan Anshar mempunyai istri bernama Ummu Zaid. Istrinya ingin menjenguk keluarganya tetapi tidak diizinkan oleh Umran, bahkan ia menyekap istrinya. Kemudian istrinya mengutus seorang perempuan pembantunya untuk melaporkan perihalnya kepada keluarganya. Maka datanglah keluarga Ummu Zaid, menuntut agar ia dibebaskan. Tetapi Umran mempertahankannya. Maka terjadilah dorong-mendorong dan pertengkaran antara suami istri itu disertai oleh kaumnya masing-masing. Maka turunlah ayat ini kepada Nabi untuk mendamaikan keduanya.52

9. QS. al-Anfal (8): 1

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu; dan

51

Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa Auladuh, 1953), h. 87, lihat juga Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 472.

52

taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dan al-Hakim dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang membunuh (musuh), ia akan mendapat sejumlah bagian tertentu dan barang siapa yang menawan musuh, ia pun akan mendapat bagian

tertentu pula.” Pada waktu itu orang-orang tua tinggal menjaga bendera,

sedang para pemuda maju ke medan jihad menyerbu musuh dan mengangkut ghanimah. Berkatalah orang-orang tua kepada para pemuda: “Jadikanlah kami sekutu kalian, karena kami pun turut bertahan dan

menjaga tempat kembali kalian”. Hal ini mereka tujukan kepada Nabi

SAW. maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa ghanimah itu merupakan ketetapan Allah dan jangan menjadi bahan pertengkaran.53

Adapun ishlãh sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. adalah sebagaimana diriwayatan oleh Abu Dawud sebagai berikut:

دوادﻮ ا ﻪىور مﺮ وا ﺎ اﺮ ا ﺎ ا ﻦ ﺴ ا ﻦ ﺰﺋﺎﺟ ا

ةﺮ ﺮه ا ﻦ ﻪ و نﺎ ﻦ او آﺎ و

Artinya: Perdamaian itu boleh (dilakukan) di antara muslimin, kecuali ishlãh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. (H.R. Abu Dawud, Hakim, dan Ibn Majah dan ia menshahihkannya dari Abu Hurairah)

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:

ﺔ ﺪ ا اوﺬﺧا اوؤﺎﺷ ناو اﻮ ﺘ اوؤﺎﺷ ﻦ ﻓ لﻮﺘ ا ءﺎ وا ﻰ ا ﻓد اﺪ ﺘ ﻦ

ﻮﻬﻓ ﻪ اﻮ ﻮ ﺎ و ﺔ ﺧ ﻦ راو ﺔ ﺬﺟ ﻦ و ﺔ ﻦ

ﻪىور ﻬ

ﺮﻏ ﻦﺴ ﺪ لﺎ و يﺬ ﺮﺘ ا

Artinya: Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali terbunuh, melakukan qishash atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 khalifah. Apa-apa yang disepakati dalam perdamaian, maka hal itu bagi mereka.

53

Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 219

Dalam dokumen Konsep Ishlah dalam Perspektif Fikih (Halaman 32-43)

Dokumen terkait