• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Ishlah dalam Perspektif Fikih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Ishlah dalam Perspektif Fikih"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)

Disusun oleh:

Arif Hamzah 01.2.00.1.01.01.0009

Pembimbing:

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)

Disusun oleh:

Arif Hamzah 01.2.00.1.01.01.0009

Pembimbing:

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

NIM : 01.2.00.1.01.01.0009 Tmp./tgl. Lahir : Pati, 28 Mei 1976

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya berjudul “Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih” adalah benar karya asli saya, kecuali beberapa kutipan yang secara akademik dapat dibenarkan. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis ini maka sepenuhnya tanggung jawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 24 April 2008 Yang menyatakan,

(4)

Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diajukan pada sidang munaqasyah

tesis pada hari Jum’at, 28 Maret 2008. Tesis ini telah diperbaiki sesuai petunjuk

pembimbing dan penguji serta diterima sebagai salah satu syarat menerima gelar

Magister dalam Bidang Ilmu Agama Islam (MA) Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 April 2008

Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

Penguji Penguji/Ketua Sidang

(5)

= ت

t sy ش= l ل=

= ث

ts sh ص= m م=

= ج

j dh ض= n ن=

= ح

h th ط= w و=

=

ه

= خ

kh zh ظ= ĥ

= د

d ‘ ع= ….’…. ء=

= ذ

dz gh غ= y ي=

= ر

r f ف=

Vokal Panjang Vokal Pendek

=

a ã ﺁ=

= ِ

i ِي= ĩ

=

u و= ũ

Hal-hal khusus:

1. Ta’ marbuthah (ة) mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya menjadi (h) 2. Alif lam (لا) selalu ditransliterasi dengan (al-) meskipun huruf yang menyertaimya

syamsiyah atau qamariyah, kecuali pada penggunaan nama penulis buku mengikuti tulisan yang sebenarnya.

3. Tasydid ( ) ditransliterasikan dengan mengetik ganda huruf yang di-tasydid-kan 4. Kata-kata yang sudah baku di tulis tanpa mengikuti pedoman transliterasi,kecuali

kata al-Qur’an 5. Kata ﻦ ا ditulis Ibn.

6. Diftong يا ditulis ai, dan وا ditulis au

(6)

penulis merasa perlu merumuskan konsep Ishlãh dalam perspektif fikih demi turut serta mewujudkan kedamaian.

Fokus dan tujuan penelitian dalam tesis ini meliputi: pertama, Ingin mengetahui bagaimana Ishlãh di masa lalu berdasarkan sumber-sumber teks keagamaan dan sejarah. Kedua, bagaimana mendudukkan Ishlãh dalam wacana ushul fikih, berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat. Ketiga, bagaimana mengembangkan konsep Ishlãh dalam perspektif fikih. Dan keempat,

Bagaimana penerapan Ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial di Indonesia.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep Ishlãh dalam perspektif fikih. Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba menerapakannnya (membandingkannya) dalam penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat di Indonesia yang pernah dilakukan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ishlãh dapat dilacak akar sejarahnya dalam ajaran Islam, bahkan jauh sebelum datangnya risalah Islam. Ulama fikih hanya membahas ruang lingkup Ishlãh dalam hubungannya dengan jinayat qishãsh diyat. Mereka juga hanya membahas rukun Ishlãh tanpa membahas syaratnya secara rinci. Demikian pula Ishlãh belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.

Dalam konteks ushul fikih, Ishlãh berkaitan erat dengan mashlahat yang merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam. Ishlãh dalam perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari rukun dan syarat yang saling berkait satu sama lain secara konprehensif dan integral. Rukun Ishlãh meliputi

shighat, al-aqidain, dan muhal yang terdiri dari mushalih 'anh dan mushalih 'alaih.

Mushalih 'alaih dapat bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bersifat bendawi seperti membayar denda berupa harta atau uang, sedangkan yang non bendawi dapat berupa perbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah, menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat silaturahmi dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling sabar dan memaafkan. Konsep Ishlãh –dalam perbandingannya dengan poin-poin dalam deklarasi Malino- jika diterapkan secara konprehensip, niscaya dapat secara signifikan menghentikan konflik dan menciptakan perdamaian yang lestari di Indonesia.

(7)

effect so many victims. Therefore, writer is sure that it is important to formulate the concept of Ishlãh in fiqh perspective as a contribution for making peace.

The focus and the aims of this research covers: first, how to know about Ishlãh

based on religious texts and history. Second, how to positionate Ishlãh in ushul fiqh, according to the significance of Ishlãh and its position before mashlahat. Third, how to formulate and develop the concept of Ishlãh in fiqh perspective. And fourth, How to implement Ishlãh to solve social conflicts in Indonesia

This is a qualitative research using the analytical and descriptive method that describes and systemizes factual and accurate data as well as the experts’ views on the Ishlãh concepts in the fiqh perspective. The validity of the discovered concepts is examined by trying to apply and compare it to solve the horizontal conflicts in society, especially in Indonesia, with the effort done.

This research concludes that Ishlãh is traceable on the history in Islamic teaching, even far before the coming of Islam. The fiqh scholars discuss about Ishlãh

only on its relation with jinayat qishãsh diyat. They also discuss some pillars of it without mentioning some conditions comprehensively as well as the discourse of

Ishlãh in ushul fiqh context. Meanwhile, in ushul fiqh, Ishlãh is related strongly with

mashlahat in which it is the main objective of Islamic law. Ishlãh in fiqh perspective is a concept consisting of the pillars and conditions which are related to each other comprehensively. The pillars of Ishlãh cover the shighat, al-aqidain, and muhal

comprising the mushalih 'anh and mushalih 'alaih. Mushalih 'alaih can be materials such as giving some goods or money and immaterial like doing something. Mushalih ‘alaih which is in the form of doing something should cover some works such as avoiding the ugly prejudice, snubbing, and libel, creating justice in all areas of society, tightening silaturahmi in order to rehabilitate relations and conditions, willingness to taubat, patience and forgiveness. The ideal concept of Ishlãh, in comparison with some points in Malino’s Declaration, when it is comprehensively applied, significantly stop and end social conflicts and create the everlasting peace in Indonesia.

(8)
(9)

Rahman Farid (al-Marhum) dan Ibunda Siti Munawiroh. Kasih sayang mereka tak mungkin bisa kubalas. Juga untuk adikku, Abid Syaifullah. Terima kasih atas segala motivasi dan kepercayaan. Tak lupa untuk istriku tercinta, Desi Arisanti. Kesetiaanmu selalu mengilhamiku.

Terimakasih pula untuk Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM. sebagai pembimbing sekaligus penguji dalam penulisan tesis ini. Juga untuk Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA., sebagai penguji, dan Dr. H. Udjang Thalib, MA. Sebagai penguji sekaligus ketua sidang ujian. Saran-saran mereka sangat berharga dalam memperbaiki berbagai kekurangan dalam tesis ini.

Para Pimpinan dan Dosen sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, khusus untuk Prof. Dr. Suwito MA. dan Ibu Nilfa Yetty Tanjung, bimbingan, jeweran dan motivasinya sungguh tak ternilai dengan apa pun. Juga para karyawan dan karyawati Pasca yang terlalu sering penulis repoti.

Tak lupa kepada kawan-kawan Legoso, FAI UHAMKA, dan STIE Ahmad Dahlan, dan khusus untuk kawa-kawan satu pesantren di Qom, spesial buat ustadz Faris yang membantu memberikan bimbingan tesis tak resmi. Juga untuk semua teman yang tak dapat disebut satu persatu namanya. Karena mereka hidup terasa lebih berwarna.

Ciputat, 20 April 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Pedoman Transliterasi ... i

(10)

Daftar Isi ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 9

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 10

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KONSEP ISHLÃH A. Definsi Ishlãh 1. Secara Bahasa ... 13

2. Secara Istilah ... 14

B. Ishlãh Dalam al-Qur’an Dan Hadis... 20

C. Ishlãh Dalam Sejarah ... 30

1. Ishlãh Pada Masa Pra Islam ... 30

2. Ishlãh Pada Masa Islam ... 32

D. Ruang Lingkup Ishlãh ... 37

BAB III DASAR-DASAR HUKUM ISHLÃH A. Kedudukan Ishlãh Dalam Mashlahah ... 39

B. Hukum Ishlãh ... 48

C. Signifikansi Ishlãh ... 50

D. Ishlãh Dalam Jinãyah .... 59

BAB IV FIKIH ISHLÃH A. Obyek Ishlãh ... 89

(11)

vii

BAB V PENUTUP

(12)

Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diperbaiki sesuai petunjuk

pembimbing dan penguji serta telah diserahkan kepada para pembimbing dan penguji

masing-masing satu eksemplar hard copy tesis.

Jakarta, 29 Mei 2010

Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

Penguji Penguji/Ketua Sidang

(13)

Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya berbagai kasus konflik bernuansa SARA yang berujung pada terjadinya berbagai kerusuhan hebat dalam masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Konflik tersebut telah memakan banyak sekali korban baik dari segi fisik bahkan mental. Tidak sedikit harta benda bahkan nyawa melayang. Kerugian yang dialami juga mencakup kerugian material maupun spiritual, seperti hancurnya tatanan dalam masyarakat berupa terputusnya silaturrahmi antar saudara, juga silaturahmi antar tetangga yang tadinya rukun dan damai, belum lagi beban psikologis yang harus ditanggung oleh masyarakat dari yang sudah tua sampai anak-anak. Bahkan ancaman serius bahaya hilangnya satu generasi penerus pembangunan di wilayah bersangkutan.

Praktis bisa dikatakan, bahwa selama beberapa tahun kerusuhan berlangsung, anak-anak tidak mendapatkan makanan yang layak, tanpa pendidikan yang memadai, juga kondisi kesehatan yang kurang terawat, mengingat sebagian besar dari mereka berada dalam pengungsian dengan kondisi serba minim.1 Pendek kata, konflik tersebut telah menelan kerugian tidak terhitung.

Hal ini menyebabkan keprihatinan mendalam dalam diri kita dan sudah sepantasnya melakukan berbagai upaya untuk mencegah, jangan sampai kejadian tersebut terulang kembali, dan menyelesaikan masalah yang saat ini

1 Tahmidy Lasahido dkk.,

Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, (Jakarta:

YAPPIKA, 2003), h. 85-87. Ia menerangkan bahwa kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat termasuk anak. Suatu ketika diselenggarakan lomba melukis anak-anak. Sebagian anak menggambar gunung berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya berwarna merah, kan biasanya hijau atau biru. Maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan sebagian diwarnai

putih. Mereka berkata:”Yang merah rumah orang Kristen, yang putih rumah orang Islam, kalau

ada perang lagi biar gampang ketahuan.”

(14)

belum selesai agar tidak timbul dendam di masa yang akan datang yang pada gilirannya akan memunculkan kembali percik api konflik dan permusuhan.

Hal ini tentunya membutuhkan penyelesaian yang tepat, cepat, dan

membawa kemashlahatan bagi semua pihak yang bersengketa. Penyelesaian yang tepat sangat diperlukan mengingat kerugian yang ditimbulkan amat besar menyangkut nyawa dan harta benda. Adapun penyelesaian yang ingin ditawarkan dalam tesis ini adalah perdamaian atau yang dalam khazanah Islam biasa disebut dengan istilah ishlãh, -baik melalui proses di pengadilan ataupun tidak- dari pada menyelesaikannya secara hukum, baik pidana maupun perdata melalui mekanisme pengadilan pidana atau perdata saja.

Dalam konteks pidana Islam, ishlãh dibicarakan berkaitan erat dengan

qishãsh, yaitu adanya kebolehan keluarga korban untuk memberi maaf kepada

pelaku yang -di muka pengadilan- terbukti melakukan kejahatan. Maaf ini secara otomatis menggugurkan hukuman qishãsh, terlepas dari keluarga korban menuntut diyat (denda) atau tidak. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS. al- Baqarah (2): 178.2

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut di atas. Salah satunya adalah riwayat dari Qatadah, bahwa orang-orang jahiliyah biasa melakukan kezhaliman dan memperturutkan nafsu setan karena kesombongan dan rasa kebanggaan berlebihan terhadap kabilah atau sukunya.

2 Ayat itu berbunyi:

⌦ ⌧

☺ ☺

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishãsh berkenaan

(15)

Jika dua kabilah saling berperang, kemudian hamba salah satu kabilah membunuh hamba dari kabilah musuhnya, maka kabilah yang hambanya terbunuh akan mengatakan: “Kami tidak akan membalas melainkan harus

membunuh orang merdeka dari mereka”. Begitu juga bila yang terbunuh

perempuan, maka mereka akan menuntut balas dengan membunuh laki-laki musuh. Maka turunlah ayat “orang-orang merdeka dengan orang-orang

merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.”3

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, yaitu bahwa

qishãsh adalah syariat Allah demi kemashlahatan hidup, qishãsh diyakini akan

memperkecil frekuensi kejahatan dan menghilangkan rasa dendam antar individu dalam masyarakat, membawa masyarakat menuju kedamain hidup jasmani dan rohani, sehingga dalam jangka panjang dapat memelihara kehidupan seluruh umat.

Dalam hal ini, jika wali atau keluarga korban memberi maaf, maka wajib atas pelaku membayar diyat (denda) tanpa ditunda-tunda. Dengan demikian, diyat (denda) dalam hal ini adalah sebagai hukuman pengganti

qishãsh yang tidak jadi dilaksanakan karena keluarga korban memberi maaf

kepada pelaku. Meski demikian, hakim masih bisa menetapkan hukuman

ta’zĩr atas pelaku karena pelanggarannya terhadap hak-hak publik atau hak

Allah setelah hak hamba yang dominan memberinya maaf dan menggugurkan

qishãsh.

Perlu digarisbawahi, bahwa di samping mensyariatkan qishãsh, Allah secara bersamaan juga mensyariatkan maaf sebagai ajakan untuk berbuat kebajikan, bahwa memaafkan adalah lebih baik dan manusiawi dari pada melakukan pembalasan yang destruktif. Dengan demikian, memaafkan adalah

bagian tak terpisahkan dari mekanisme hukum qishãsh. Oleh karena itu, mengingat qishãsh adalah bagian integral dari Hukum Pidana Islam, maka memaafkan juga bagian integral dari Hukum Pidana Islam.

3 Muhammad Ali al-Shabuni,

Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj.

(16)

Konsep ishlãh muncul sebagai ganti dari qishãsh yang tak jadi dilaksanakan karena adanya maaf dari keluarga korban. Dalam hal ini, keluarga korban merupakan pihak yang mengedepankan perdamaian dalam

menyelesaikan rasa dendam dan permusuhan. Di sinilah posisi strategis ishlãh dalam menyelesaikan permusuhan antar manusia dan kelompok. Oleh karena itu, sudah sepantasnya konsep ishlãh digali hingga ditemukan sebuah formula penyelesaian konflik yang cepat, tepat, dan mampu menciptakan mashlahat bagi semua pihak, berdasarkan khazanah hukum dan intelektual Islam.4

Dalam konteks Indonesia, penyelesaian konflik horisontal agaknya tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum pidana dalam perspektif qishãsh saja, tetapi harus melibatkan perspektif ishlãh. Karena dalam sebuah kerusuhan yang menelan banyak korban, maka kedua belah pihak merupakan korban sekaligus pelaku kejahatan. Jika hanya perspektif qishãsh yang diterapkan, maka proses hukum akan melalui jalan panjang dan berliku, bahkan kemungkinan tidak akan menemui ujung dan pangkalnya. Sementara jika perspektif ishlãh juga diterapkan, maka dengan hati terbuka dan kerelaan masing-masing pihak memaafkan kesalahan pihak lain akan lebih dapat menjamin kerukunan dan perdamaian dalam masyarakat. Di sinilah urgensi

ishlãh ditemukan. Sehingga, jika ishlãh menjadi suatu yang urgen untuk

kemashlahatan umat, maka menjadi suatu yang perlu untuk segera dilaksanakan.

Mengelaborasi lebih lanjut tentang berbagai kasus konflik horisontal di berbagai daerah di Indonesia dan penyelesaiannya melalui jalan damai, kita dapati beberapa kasus besar seperti kerusuhan Poso, Ambon dan lain-lain. Sebagai masyarakat yang telah cukup lama dilanda konflik, baru hampir tujuh

tahun belakangan ini kabupaten Poso di Sulawesi Tengah mulai damai kembali. Sejumlah tonggak peristiwa telah dilalui sebelum mencapai ini.

4 Dalam khazanah Hukum Pidana Islam terdapat satu kaidah yaitu

(17)

Wakil-wakil pihak yang bertikai menandatangani kesepakatan perdamaian berupa Deklarasi Malino pada Desember 2001. Sebagai hasil dari kesepakatan tersebut dan berbagai upaya yang terus dilakukan kedua belah pihak, propinsi

tersebut kini mulai kondusif untuk rekonsiliasi dan pemulihan. Menanggapi perkembangan positif yang dicapai melalui Deklarasi Malino, UNDP bekerja sama dengan Menko Kesra memulai suatu proyek persiapan pada 2003. Proyek tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan awal terhadap proses pemulihan dan rekonsiliasi, serta melakukan kajian dan perencanaan untuk merancang program jangka panjang untuk mendukung perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. 5

Begitu pula halnya yang terjadi di Ambon. Kesepakatan damai yang diikuti oleh pembentukan komite bersama Baku Bae yang dipimpin secara bersama oleh pihak muslim dan pihak Kristen telah memberikan efek positif bagi perkembangan masyarakat maluku dan Ambon khususnya. Salah satu kegiatan untuk mempertemukan pihak muslim dan kristen adalah kursus komputer. Di sana, selain belajar untuk memperoleh keterampilan, mereka juga bergaul antara satu sama lain, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, saling mengundang, bahkan timbul kembali persahabatan. Selain kegiatan belajar, juga diadakan konseling.6

Di samping itu, dalam forum-forum tertentu, masyarakat yang semasa konflik dulu saling menyelamatkan dipersilahkan mengekspos pengalaman mereka. Yang dimaksud di sini adalah bahwa semasa konflik terjadi, banyak orang Kristen menyelamatkan orang Islam dan begitu juga sebaliknya. Cara menyelamatkan itu antara lain dengan saling menyelundupkan atau membocorkan rencana penyerangan. Dengan demikian calon korban bisa

menyelamatkan diri. Ini berlaku bagi kedua belah pihak. Media massa yang dulu juga terlibat konflik, media Kristen misalnya, sempat memihak kelompok

5 Tahmidy Lasahido dkk.,

Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, 160

6

Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian

(18)

Kristen dan media Islam memihak Islam, sekarang telah sadar untuk menggunakan media demi menegakkan perdamaian.7

Menilik kondisi negara ini, maka pada dasarnya ada dua pilihan yang

dapat dilakukan oleh Negara kita Indonesia dalam menghadapi berbagai kasus konflik horisontal. Yaitu melupakan masa lalu dan memberikan pengampunan dan maaf atas segala kesalahan yang terjadi di masa lalu, atau tetap mengusut tuntas semua tindakan kejahatan yang terjadi dan memberikan hukuman yang setimpal dengan segala konsekuensinya.8 Dengan kata lain, dapat ditempuh jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum yang dalam hal ini melalui mekanisme peradilan, dan jalur non litigasi yaitu jalur non peradilan.

Lebih jauh mengelaborasi jalur non peradilan ini, telah terbit UU. No. 20 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alaternatif Penyelesaian Sengketa. Sebagaimana diterangkan dalam pasal satu bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan

putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

7 Sri Yanuarti dkk.,

Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang, h. 131

8 Munir,

(19)

Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.9

Menurut hemat penulis, pengusutan kejahatan akibat konflik horisontal melalui jalur pengadilan adalah hal yang amat sulit dilakukan serta membutuhkan energi dan pengorbanan yang luar biasa sedangkan hasilnya belum tentu memuaskan semua pihak. Pendek kata, banyak yang harus dikorbankan, sementara kita dituntut untuk juga menatap ke depan membangun bangsa ini menjadi bangsa yang terhormat di mata rakyat sendiri dan dunia internasional. Oleh karena itu, penyelesaian melalui mekanisme pengadilan meskipun tetap perlu dilakukan namun efektifitasnya sangat minim dalam kondisi bangsa yang kurang stabil di segala bidang. Oleh karena itu, jalur non pengadilan lebih baik untuk dikedepankan.

Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia lain. Pemerintah akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM dengan berupaya mendamaikan kecenderungan menghukum dan memberi maaf. Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil karena perangkat hukum yang ada sebagian besar adalah hasil rezim lama yang tak memadai, baik secara administratif maupun substantif.10 Berdasar kondisi tersebut, pemerintahan biasanya menerapkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang hanya diterapkan dalam waktu sementara pula. Di sini prinsip hukum yang kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada. Dalam konteks inilah wacana pencarian kebenaran dan pengupayaan rekonsiliasi menjadi isu sentral yang realistis demi pembangunan.

Peristiwa menarik berkaitan dengan ishlãh di Indonesia adalah munculnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu melalui rekonsiliasi dalam pendekatan Islam, seperti Ishlãh kasus Tanjung Priok. Terlepas dari berbagai kontroversi dan kekurangan, hal ini tentu saja

9

UU. No. 20 tahun 1999, Diktat, Tidak diterbitkan, h. 2-6

10 Contoh yang paling tepat untuk negara yang menerapkan pendekatan ini adalah Afrika

(20)

diharapkan bisa menjadi model penyelesaian terbaik terhadap berbagai kasus di masa lalu, sambil terus berupaya melengkapi kekurangan yang ada.

Kesepakatan damai yang dituangkan dalam sebuah piagam ishlãh ini

adalah suatu penyelesaian secara damai terhadap kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Ishlãh ini terjadi pada tanggal 7 Maret 2001 antara mantan Panglima Kodam Jaya Jend. (Purn.) Try Sutrisno dan pejabat keamanan yang menjabat pada waktu tragedi terjadi pada tanggal 1 September 1984, dengan pihak keluarga korban.11

Peristiwa ini segera menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, khususnya praktisi hukum. Mereka berpendapat bahwa meskipun telah terjadi

ishlãh, namun penyelesaian melalui jalur hukum tetap harus dilakukan melalui

proses peradilan.12 Di samping itu, ketidaksetujuan ini juga didasarkan pada kekhawatiran mandulnya sistem hukum yang berlaku, karena ishlãh yang disepakati terkesan menganggap enteng kejahatan berat yang telah dilakukan di masa lalu dengan memutuskannya tanpa melalui proses peradilan terlebih dahulu.

Ketidaksetujuan ini senada dengan adanya kaedah dalam hukum Pidana Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Satria Effendi M. Zein, bahwa apabila bergabung hak individu dan hak publik, sementara hak individu lebih dominan, maka meskipun hukum qishãsh bisa dimaafkan oleh keluarga korban, namun pengadilan tetap berkewajiban mengenakan hukuman ta’zĩr sebagai hukuman atas pelanggaran hak publik.13

Terlepas dari berbagai komentar baik yang pro maupun kontra, perlu disadari bersama bahwa untuk merajut masa depan Indonesia baru dan khususnya masyarakat yang didera konflik berkepanjangan, ishlãh dinilai

11 Al- Chaidar wa Iddatu Ashkhas Amilu Lihisabi Tapol,

Mihnatul Islam Fi Indonesia, Terj.

Muhammad Thalib, Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah

Press, 2000), cet. ke-5, h. 31. Lihat Juga Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau

Keadilan?, Kompas (Jakarta: 10 Juni 2001), h. 6. Juga Try Sutrisno dan Korban Tanjung Priok Berdamai, Kompas (Jakarta: 8 Maret 2001), h. 1

12 Hendardi,

Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?, h. 6

13 Satria Effendy M. Zein,

Arbitrase Dalam Masyarakat Islam, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Muamalat,

1994), h. 13-14. Lihat Juga Said Aqil Husin Al- Munawwar, Al- Quran Membangun Tradisi

(21)

mampu mengobati luka rakyat. Ishlãh dapat mencegah masyarakat membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga

tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.

Dengan demikian, ishlãh lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi menjamin agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara berkelanjutan. Untuk tujuan akhir itu, berarti individu, kelompok, dan negara “harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf untuk pelaku. ishlãh dengan demikian adalah kesediaan memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di masa depan. Singkatnya, ishlãh lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada penuntutan pidana.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah

Tesis ini ingin mengungkap beberapa masalah sebagaimana penulis rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana ishlãh di masa lalu dengan mengutip sumber-sumber teks keagamaan dan sejarah.

2. Bagaimana mendudukkan ishlãh dalam (wacana) ushul fikih, berkaitan dengan signifikansinya dan kedudukannya dalam mashlahat.

3. Bagaimana pengembangan ishlãh dalam perspektif fikih

4. Bagaimana penerapan ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial di Indonesia

Untuk itu, penulis membatasi pembahasan rumusan masalah tersebut di atas yaitu dalam lingkup konflik sosial, khususnya konflik sosial bernuansa SARA yang terjadi di Indonesia bagian timur seperti Poso.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Penulisan tesis ini bertujuan untuk:

(22)

2. Menemukan dasar-dasar pijakan dalam menetapkan hukum ishlãh, berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat.

3. Merumuskan konsep ishlãh dalam perspektif fikih

4. Menjajagi penerapan ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial bernuansa SARA di Indonesia.

Adapun kegunaan tesis ini adalah:

1. Melengkapi persyaratan untuk dapat meraih gelar magister Agama

2. Memberikan deskripsi yang jelas tentang konsep ishlãh dan penerapannya, sehingga bisa memberikan kontribusi secara intelektual kepada rekan sejawat dan praktisi hukum pada umumnya.

3. Memberikan kontribusi kepada masyarakat muslim pada khususnya dan seluruh rakyat Indonesia umumnya dalam membangun kehidupan yang maju, damai dan beradab.

D. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis,14 yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep ishlãh, khususnya dalam perspektif fikih.

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, dilakukan studi pustaka dengan menelusuri berbagai sumber yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Kemudian untuk menganalisis data yang terkumpul, digunakan metode analisis isi dengan menilai, mengidentifikasi data, dan menganalisanya sehubungan dengan rumusan masalah yang diteliti sehingga didapatkan konsep ishlãh dalam perspektif fikih yang komprehensif. 15

Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba membandingkannya dengan penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat Indonesia yang pernah dilakukan. Dalam hal ini akan diambil satu contoh penyelesaian konflik di Poso berupa deklarasi Malino. Dengan begitu,

14

Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 63-74

15 Noeng Muhadjir,

(23)

pemahaman yang didapatkan dari konsep tersebut adalah pemahaman yang komprehensif dan integral.

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Beberapa kajian tentang ishlãh pernah dilakukan oleh beberapa orang dalam beberapa bentuk tulisan ilmiah. Adapun yang sampai kepada penulis adalah tesis Muhammad Adil yang berjudul "Ishlãh dalam Pelanggaran HAM

Berat". Tesis ini membahas permasalahan ishlãh antara dua kubu yang

berseteru dalam kasus pelanggaran HAM berat yaitu tragedi Tanjung Priok dan tragedi Lampung. Pembahasan dalam tesis ini lebih terfokus pada upaya penyelesaian konflik dengan tetap berupaya menyelesaikannya secara hukum melalui proses pengadilan, karena meskipun penulis mengakui bahwa memang telah terjadi ishlãh antara kedua belah pihak, namun tetap dipermasalahkan keabsahan ishlãh yang telah disepakati tersebut. Di samping itu, penulis juga belum menemukan konsep ishlãh secara fikih itu sendiri secara lebih gamblang dan sistematis.

Di samping itu, penulis juga menemukan tesis dengan judul "Ishlãh,

Suatu Tinjauan Tematik" karya Tuti Alawiyah. Tesis ini membahas ishlãh dari

segi bahasa dan dalam tinjauan ilmu tafsir. Adapun karya ilmiah yang berkaitan dengan ishlãh dalam bentuk disertasi dan skripsi belum penulis temukan.

Fakta bahwa baru dua tulisan ilmiah yang membahas tentang ishlãh dengan stressing yang berbeda menyebabkan penulis tertarik untuk mengelaborasi tema ini, tentunya dengan penekanan pembahasan yang berbeda dari karya tulis ilmiah yang telah ada.

F. Sistematika Penulisan

(24)

Dilanjutkan dengan bab kedua (Ishlãh dalam Islam). Bab ini terdiri dari pembahasan definisi ishlãh, Ishlãh dalam al-Qur’an, ishlãh dalam sejarah, dan ruang ligkup ishlãh.

Bab ketiga (dasar-dasar hukum ishlãh), berisi kedudukan ishlãh dalam

mashlahat, hukum ishlãh, signifikansi ishlãh, dan ishlãh dalam jinayah.

Bab keempat (Konsep Ishlãh dalam Perspektif Fikih) berisi pembahasan obyek ishlãh, subyek ishlãh, rukun ishlãh, syarat ishlãh yang terdiri dari pembahasan muatan mushalih ‘alaih dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mediator, dan penerapan ishlãh dalam konflik sosial di Indonesia yang berisi pembahasan dan pembandingan konsep ishlãh yang telah ditemukan dengan konsep ishlãh yang dihasilkan dalam deklarasi Malino yaitu perjanjian damai antar kelompok yang bertikai di Poso.

(25)

A. Definisi Ishlãh 1. Secara Bahasa

Secara bahasa, akar kata ishlãh berasal dari lafazh – – ﺎ yang berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata ishlãh merupakan bentuk mashdar dari wazanلﺎ ﻓإ yaitu dari lafazh ا – – ﺎ إ , yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan, (penyelesaian pertikaian). Kata ح merupakan lawan kata dari ﺔ / دﺎﺴﻓ (rusak).15 Sementara kata ا biasanya secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. Akan tetapi, jika ishlãh tersebut dilakukan oleh Allah pada manusia, maka ﷲا ح إ mengandung beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang sempurna, kadang-kadang dengan menghilangkan suatu kejelekan/kerusakan setelah keberadaannya, dan kadang-kadang pula dengan menetapkan kebaikan kepada manusia itu sendiri melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya.16

Ibn Manzhur berpendapat bahwa kata ﺎ ا sebagai antonim dari kata دﺎﺴﻓ , dan biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi kerusakan, sehingga terkadang dapat dimaknai dengan ﺔ ﺎ إ..17 Sementara Ibrahim Madkur dalam mu’jamnya berpendapat bahwa ﺎ إ yang berasal dari kata mengandung dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta terhindar dari kerusakan, sehingga jika kata tersebut mendapat imbuhan

15

Tim Penyusun Pustaka Azet, Kamus Leksikon Islam, (Jakarta: Pustazet Perkasa,. 1998) h. 224. lihat juga, Peter Salim dkk., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), cet.I, h. 581

16

Al-Rãghib al-Ashfahani, al-Mufradãt fĩ Gharĩb al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), h. 284-285

17

Ibn Manzhũr, Lisãn al-'Arab, (Mesir: al-Dãr al-Mishriyyah Lita’lĩf wa al-Tarjamah, t.th), Jil. 3-4, h. 348-349

(26)

Menurut Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, kata ﺎ إ berasal dari kata . Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Shalãh menunjuk pada arti yang berlawanan dengan kerusakan (al-fasãd). Ini berarti telah memperbaiki dengan perbaikan. Dikatakan shalaha (yang di-fathah lam-nya) sesuai dengan yang dihikayatkan oleh Ibnu al-Sukiyat bahwa shalaha adalah shalaha-shulũhan bermakna memperbaiki, sesuatu perbaikan”.19

2. Secara Istilah

Secara istilah, term ishlãh dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia.20 Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, ishlãh dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan jelek. ‘Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya.21

Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata ishlãh mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk dimanfaatkan.22

18

Ibrãhĩm Madkũr, al-Mu’jam al-Wajiz, (tp., t.th), h. 368. Lihat juga Ahmad ‘Athiyyatullah, al-Qãmũs al-Islãmi, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), Jilid 4, h. 321

19

Lihat Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, Mu’jam Maqãyis al-Lughah, (Mesir: Maktabah al-Khabakhiy, 1981), Jil. 3, h. 303

20

E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1990), Jil. IV, h. 141

21

Abd Salam, Mu’jam al-Wasĩth, (Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th), Jil. I, h. 522

22

(27)

Kata ishlãh juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah tajdĩd (pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah pada kemajuan dan perbaikan keadaan.23 Dengan demikian, ishlãh bertalian erat dengan tugas para Rasul yang terus ditindaklanjuti hingga sekarang dan seterusnya.24 Walaupun zaman para Nabi telah berakhir, namun pekerjaan ishlãh yakni perubahan ke arah perbaikan berlanjut terus sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ishlãh merupakan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi.25 Perubahan ini bukan semata-mata untuk menambah hasil guna atau kemakmuran, akan tetapi lebih merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kebajikan masyarakat.

Jhon O.Voll mengemukakan bahwa dua dari pengertian-pengertian utama dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan adalah kata ishlãh dan

tajdĩd. Ishlãh biasa diterjemahkan sebagai perubahan dan pembaruan.

Secara bersama-sama, kedua kata tersebut mencerminkan satu tradisi berkelanjutan, yaitu tentang upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam sejarah kamunitas kaum muslimin.26

Menurut Syafi’i Ma’arif, perkataan tajdĩd berarti pembaruan, inovasi, restorasi, medernisasi, penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka bila dihubungkan dengan

Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyãf, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1995), cet. I, Jil. I, h. 70.

23

John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42

24

Nabi Syuaib umpamanya, berkata kepada umatnya: “Saya hanya menginginkan ishlãh pada batas-batas kekuasaan saya” Lihat QS. 11: 88, dan mereka yang mengerjakan ishlãh (Muslihun), sering dipuji dalam al-Qur’an, yang dilukiskan sebagai pelaksana perintah Tuhan dan kepada mereka pasti diberi pahala (QS. 33: 31). Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi, Islam Versus Barat, terj. Dari Ma’rakat al-Mushthalahat baina al-Gharb wa al-Islam, oleh Mushthalah Maufur, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 192-194

25

John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, h. 33

26

(28)

pemikiran tajdĩd dalam Islam, tajdĩd adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Menurutnya, kerja tajdĩd adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan ajaran-ajaran Islam dalam konteks ruang dan waktu.27

Sementara menurut ulama fikih, kata ishlãh diartikan sebagai perdamaian, yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di antara manusia yang bertikai, baik individu maupun kelompok.28 Sejalan dengan definisi di atas, Hasan Sadily menyatakan bahwa ishlãh merupakan bentuk persoalan di antara para pihak yang bersangkutan untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baik-baik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga, pengadilan, peperangan dan lain-lain.29

Sayid Sabiq menerangkan bahwa ishlãh merupakan suatu jenis akad untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan. Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan

ishlãh tersebut dengan Mushãlih, adapun hal yang diperselisihkan disebut

dengan Mushãlih 'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushãlih 'alaih atau badal al- shulh.30

Dari keterangan di atas dapat diterangkan lebih lanjut bahwa, meskipun kata ishlãh dan kata shulh merupakan sinonim, namun kata

27

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi), (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet. I, h. 95

28

Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidãyah fi Syarh al-hidãyah,

(Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jil. 9, h. 3. Definisi ishlãh dalam konteks inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tesis ini.

29

Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar baru – Van Hoeve, 1982), h. 1496

30

(29)

ishlãh lebih menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata shulh lebih menekankan arti hasil dari proses ishlãh tersebut yaitu berupa shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat juga dinyatakan bahwa ishlãh mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut. Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.

Selanjutnya perlu dijelaskan pula mengapa Sayyid Sabiq menggunakan istilah mushãlih bagi para pihak yang hendak berishlãh, dan tidak menggunakan istilah mushlih. Agaknya, penggunaan istilah mushãlih ditujukan untuk menunjukkan adanya keinginan berdamai dari kedua pihak yang berkonflik, dan demikianlah seharusnya dalam ishlãh, bukan salah satu pihak saja. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan wazan fã'ala mengandung arti musyãrakah atau resiprokal.

Hasbi al-Shiddieqy menerangkan lebih lanjut bahwa pengertian

ishlãh atau memperbaiki hubungan manusia yang bersengketa ialah

mengeluarkan tali yang kuat dan kokoh di antara sesama manusia yang di dalamnya telah tumbuh persengketaan, baik mengenai urusan darah, urusan harta dan kehormatan, maupun mengenai urusan politik dan taktik perjuangan”.31 Dari pengertian di atas, ia menegaskan bahwa di antara amal usaha yang lazim diwujudkan oleh umat Islam adalah memperbaiki hubungan antar orang atau antar golongan. Umat Islam tidak membiarkan persengketaan itu berjalan terus, melainkan berusaha menghilangkannya dan menghidupkan kembali hubungan yang baik antara orang-orang yang bersengketa dan berselisih itu.

Lebih jauh, para ulama fikih mengartikan ishlãh dengan perdamaian antara kaum muslimin dengan ahl al-harb, antara ahl al-'adl (yang berdiri di pihak kebenaran hukum) dengan ahl baghy (penyelewengan yang keluar

31

(30)

dari hukum), juga antara suami dan istri ketika dikhawatirkan terjadi perpecahan.32 Ibn Qudamah membagi ishlãh berdasarkan pihak-pihak yang bersengketa menjadi empat macam yaitu ishlãh antara ahl al- 'adl dengan ahl al- baghy, antara suami dengan istri, antara sesama muslim, dan antara muslim dengan ahl al- harb.33

Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, para ulama ushul fikih juga membahas kata ishlãh dan menjadikannya sebagai salah satu metode menemukan hukum dalam bentuk istishlãh/mashlahah. Al-Ghazali menerangkan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madhãrat.34

Tujuan utama dari Syãri' (legislator) adalah mashlahah manusia, demikian diungkapkan oleh al-Syãtibi.35 Lebih jauh ia mendefinisikan

mashlahah sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan,

yaitu mashlahah yang membicarakan substansi kehidupan manusia dan pencapain apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi

mashlahah dalam tiga kategori; dharũriyyah, hãjjiyyah, dan tahsĩniyah.

Mahslahah kategori dharũriyyah (primer) yang tidak bisa tidak harus

terpenuhi, terdiri dari memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di atas.36

32

Saad Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, terj. K.H.A. Sahal Mahfuzh dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 76 Lihat juga Hasbi al-Shiddieqy,

al-Islam II, h. 448-450.

33

Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke-4, h. 339

34

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Jil. 2, h. 324

35

Al- Syãthibi, al- Muwãfaqãt fĩ Ushũl al- Ahkãm, juz II, tt., t.th. h. 35-36

36

(31)

Selanjutnya, dalam hubungannya dengan keserasian dan kesejalanannya dengan nash, mashlahah dibagi dalam tiga kategori yang meliputi: pertama, Mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang sesuai dan berdasarkan nash. Sebagai contoh mashlahah bentuk ini adalah haramnya khamr. Kedua, mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang bertentangan dengan nash, contohnya adalah pembagian waris satu banding satu (1:1) bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga,

mashlahah mursalah, yaitu suatu cara penetapan hukum terhadap masalah

yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijma’, hanya dengan mendasarkan pada pemeliharaan Mashlahah dengan syaratsejalan dengan kehendak syara’.37 Apabila ia diterapkan akan dapat memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta, serta dapat menghilangkan kesulitan.38

Oleh karena fungsi dan tujuannya untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok dan dapat menghindarkan kesulitan, maka Mashlahah merupakan tujuan syari’at secara umum karena mengarah pada terwujudnya manfaat dan kebaikan bagi umat. Maka setiap yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nash.

Berbagai variasi makna ishlãh di kalangan para ulama sesuai spesialisasinya masing-masing tersebut pada dasarnya berkisar pada anjuran kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek. Untuk lebih luas dan dalam mengetahui konsep ishlãh, maka perlu kiranya dideskripsikan perspektif al-Qur’an dan perspektif sejarah mengenai

ishlãh, agar didapatkan pengertian yang lebih komprehensip. Maka

pembahasan berikut akan menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan

37

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 329-330

38

(32)

dengan term ishlãh disertai penjelasan tentang sebab turun ayat-ayat tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan singkat mengenai sejarah ishlãh dalam rentang sejarah kemanusiaan, khususnya dalam sejarah Islam.

B. Ishlãh dalam al-Qur’an Dan Hadis

Dari berbagai ayat yang menjelaskan tentang ishlãh, akan penulis deskripsikan beberapa ayat yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis ini. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah:

1. QS. al-Nisa’ (4): 114

ِ

Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”

(33)

Thu'mah. Kemudian turunlah ayat ini, menjelaskan kepada Nabi perihal yang sebenarnya terjadi dan penyelesaiannya.39

Al-Thabari menjelaskan makna ishlãh baina al-nãs yaitu mengadakan perdamaian antara dua pihak yang sedang bertikai dalam batas-batas yang dibenarkan syari’at Islam, untuk menormalisasi hubungan kedua belah pihak.40 Yang dimaksud dengan batas-batas yang dibenarkan syara' adalah tidak diperbolehkan isi perjanjian damai tersebut menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan yang semisalnya. Dari ayat 114 surat al- Nisa' di atas dapat diambil istinbãth hukum antara lain: boleh berdesas-desus atau berbisik-bisik dalam hal sedekah, amar ma'ruf nahi munkar, perdamaian, dan anjuran berlaku adil walaupun kepada non muslim.

Jika diteliti lebih lanjut maka ayat 114 surat al- Nisa' di atas -dalam kaitannya dengan hukum Islam- merupakan kasus perdata berupa wanprestasi terhadap perjanjian, atau kasus pidana berupa penggelapan yang dilakukan oleh Thu'mah terhadap teman Yahudinya. Perbuatan Thu'mah telah menyebabkan terjadinya perselisihan antara Thu’mah dengan teman Yahudinya dan diselesaikan oleh Rasulullah dengan perdamaian antara keduanya dengan keharusan atas Thu’mah mengembalikan baju besi milik teman Yahudinya tersebut.

2. QS. al-An’am (6): 54

⌧ ☺

39

Rasyid Ridla, Tafsir al- Manãr, (Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- 'Ammah al- Kitab, 1975), juz ke-2, h. 406-407

40

(34)

⌦ ⌧

Artinya: ”Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum”. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebab turunnya surat al-An’am ayat 54 di atas ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya (QS. 6: 51, 52, 53) yang menerangkan tentang larangan kepada kaum mukminin untuk mengadakan penilaian martabat terhadap sesama manusia. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah saw. yang sedang duduk bersama Khabab ibn al-Arat, Suhaib, Bilal, dan Ammãr (mereka adalah para hamba sahaya yang sudah dimerdekakan). Mereka berkata: “Hai Muhammad, apakah engkau rela duduk setingkat dengan mereka, adakah

mereka itu telah diberi nikmat oleh Allah lebih dari pada kami. Sekiranya

engkau usir mereka, kami akan menjadi pengikutmu”. Maka Allah

menurunkan ayat 51,52, dan 53 tersebut yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan wahyu yang melarang kaum mukminin untuk menilai derajat seseorang, karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Setelah itu para pembesar Quraish tersebut meminta maaf karena ucapan mereka itu. Kemudian turunlah ayat selanjutnya, yaitu QS. al-An’am(6): 54 sebagai jaminan ampunan kepada orang-orang yang taubat akibat berbuat kesalahan karena ketidaktahuannya.41

41

(35)

Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Mahan,42 ia berkata bahwa pada suatu waktu datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata:

“Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar”. Rasulullah SAW. tidak

memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan diterima oleh Allah swt.

3. QS. al-Ma’idah (5): 39

☺ ⌧

⌦ ⌧

Artinya: ”Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebab turun ayat ini tidak lepas dari ayat sebelumnya yaitu ayat 38, bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang perempuan melakukan pencurian. Kemudian perempuan itu dipotong tangannya sebagaimana yang diperintahkan Allah pada ayat 38 ini. Pada suatu waktu dia bertanya kepada Rasulullah: “Adakah tobatku masih diterima wahai Rasulullah?”, Sehubungan dengan pertanyaan perempuan itu Allah SWT. Menurunkan ayat ke-39 yang dengan tegas menyatakan bahwa Allah selalu menerima taubat seseorang yang telah melakukan kejahatan, asalkan dia bersedia untuk memperbaiki diri dan mengganti perbuatan jahat itu dengan

42

(36)

perbuatan yang baik (H.R. Ahmad dan yang lain dari Abdillah ibn Amrin).43

4. QS. Ali Imran (3): 89

⌦ ⌧

Artinya: ”Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dikemukakan oleh al-Nasa’i, Ibn Hibban dan al-hakim yang bersumber dari Ibn ’Abbas bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar murtad setelah masuk Islam, dan ia menyesal atas kemurtadannya. Ia minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap Rasulullah SAW. untuk menanyakan apakah diterima taubatnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. 3: 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya sehingga ia Islam kembali.44

Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh Musaddad di dalam musnadnya dan ’Abd al-Razzaq yang bersumber dari Mujahid menyatakan bahwa al-Harts ibn Suwaid menghadap kepada Nabi SAW. dan masuk Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan kufur lagi. Maka turunlah ayat tersebut di atas. Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang kaumnya. Maka berkata al-Harts: “Sesungguhnya Allah yang paling benar

43

A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), cet. I, h. 21

44

(37)

di antara tiga”. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang muslim yang patuh.45

5. QS. al-Nisa’ (4): 35

☺ ☺

☯ ☺ ⌧

Artinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan bahwa pada suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah untuk mengadukan masalahnya, bahwa mukanya ditampar oleh suaminya. Rasulullah bersabda: “Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda itu, maka turunlah ayat 35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini, wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishash terhadap suaminya.46

Diriwatkan pula oleh Ibn Mardawaih dan Ali ibn Abi Thalib bahwa suatu waktu datang seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar menghadap Rasululah bersama istrinya. Istrinya mengadu kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah suamiku ini telah memukul mukaku

sehingga terdapat bekas luka”. Rasulullah bersabda: “Suamimu tidak hak

45

Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63

46

(38)

untuk melakukan demikian, dia harus diqishash”. Sehubungan dengan itu maka diturunkanlah ayat ke 35 dari surat al-Nisa’ sebagai ketegasan hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian, hukum qishash yang hendak dijatuhkan Rasulullah menjadi gugur, tidak jadi dilaksanakan.47

Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, ‘Abd al-Razzaq dari ‘Ubaidah bercerita:

“Aku melihat ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. tatkala didatangi oleh seorang perempuan bersama suaminya, yang masing-masing diantar oleh sekelompok orang dari golongannya. Mereka datang untuk mengadukan perpecahan (syiqaq) yang timbul antara dua orang suami-istri itu. Kedua golongan menunjuk orang yang mewakili masing-masing untuk menjadi juru damai. Kepada kedua Hakam yang diajukan itu, Imam Ali ibn Abi Thalib berucap: “Apakah kamu berdua mengetahui apa kewajiban kalian?, kewajiban kalian ialah menyelidiki sebab perpecahan kedua suami-istri ini, jika menurut pandangan kalian, keduanya masih dapat dipertemukan kembali maka damaikanlah, dan sebaliknya jika kamu berdua berpendapat, untuk kemaslahatan mereka berdua lebih baik bercerai, maka

perceraikanlah.”48

6. QS. al-Baqarah (2): 220

☺ ⌧

⌧ ☺

Artinya: ”Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang

47

A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 239

48

(39)

mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sebab turun ayat ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, dan al-Hakim yang bersumber dari Ibn Abbas yang berkata bahwa ketika turun ayat “walaa taqrabũ mãla al-yatĩmi illã billatĩ

hiya ahsan” (QS. Al-An’am (6): 152) dan ayat “innalladzĩna ya’kulũna

amwãla al-yatãmã zhulman”, sampai akhir ayat (QS. Al-Nisa’(4): 10),

orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak-anak yatim yang menjadi tanggung jawabnya itu. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa khawatir jangan-jangan mereka termasuk dalam kategori orang-orang yang memakan harta milik anak-anak yatim. Demikian juga sisanya dibiarkan begitu saja sampai membusuk kalau tidak dihabiskan olen anak-anak yatim itu. Lalu mereka menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal tersebut. Maka turunlah ayat (QS. Al-baqarah (2): 220) yang pada pokoknya membenarkan men-tasarruf-kan harta benda anak-anak yatim asal dengan ketentuan dan cara yang baik, yang tidak merugikan anak-anak yatim tersebut kelak ketika sudah dewasa.49

7. QS. al-Baqarah (2): 224

Artinya: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan ishlãh di antara manusia. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

49

(40)

Diriwayatkan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sumpah Abu Bakar untuk tidak memberi nafkah lagi kepada Misthah (seorang fakir miskin yang hidupnya menjadi tanggungannya). Hal ini ia lakukan lantaran Misthah termasuk orang yang ikut serta memfitnah Siti Aisyah. Ayat tersebut turun sebagai teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan.50

8. QS. al-Hujurat (49): 9

☺ ☺

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah

kamu berlaku adil; SesungguhnyaAllah mencintai orang-orang

yang berlaku adil”.

Ada beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini. Pertama, diriwayatkan oleh al-Syaikhan dari Anas, bahwa Nabi diminta mengunjungi Ibn Ubay. Ketika Nabi sampai di suatu tempat bernama Sabikhah, keledai yang dikendarai Nabi kencing. Melihat itu, Ibn Ubay berkata: ”Jauhkan keledaimu dariku, sesungguhnya baunya menyakitiku.”

50

(41)

Salah seorang sahabat yaitu Ibn Rawahah berkata: “Sesungguhnya baumu

lebih busuk dari bau keledai ini.” Maka salah seorang pengikut Ibn Ubay

membalas sehingga terjadi perang mulut yang akhirnya menimbulkan perang dengan menggunakan tangan dan sandal. Maka turunlah ayat ini sebagai perintah untuk menghentikan perkelahian dan menciptakan perdamaian.51

Kedua, Menurut riwayat dari Ibn Jarir dari Ibn Abi Hatim dari

al-Sudi, dia berkata: ”Umran, salah seorang dari kalangan Anshar mempunyai istri bernama Ummu Zaid. Istrinya ingin menjenguk keluarganya tetapi tidak diizinkan oleh Umran, bahkan ia menyekap istrinya. Kemudian istrinya mengutus seorang perempuan pembantunya untuk melaporkan perihalnya kepada keluarganya. Maka datanglah keluarga Ummu Zaid, menuntut agar ia dibebaskan. Tetapi Umran mempertahankannya. Maka terjadilah dorong-mendorong dan pertengkaran antara suami istri itu disertai oleh kaumnya masing-masing. Maka turunlah ayat ini kepada Nabi untuk mendamaikan keduanya.52

9. QS. al-Anfal (8): 1

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu; dan

51

Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa Auladuh, 1953), h. 87, lihat juga Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 472.

52

(42)

taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dan al-Hakim dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang membunuh (musuh), ia akan mendapat sejumlah bagian tertentu dan

barang siapa yang menawan musuh, ia pun akan mendapat bagian

tertentu pula.” Pada waktu itu orang-orang tua tinggal menjaga bendera,

sedang para pemuda maju ke medan jihad menyerbu musuh dan mengangkut ghanimah. Berkatalah orang-orang tua kepada para pemuda: “Jadikanlah kami sekutu kalian, karena kami pun turut bertahan dan

menjaga tempat kembali kalian”. Hal ini mereka tujukan kepada Nabi

SAW. maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa ghanimah itu merupakan ketetapan Allah dan jangan menjadi bahan pertengkaran.53

Adapun ishlãh sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. adalah sebagaimana diriwayatan oleh Abu Dawud sebagai berikut:

دوادﻮ ا

ﻪىور

مﺮ

وا

ﺎ اﺮ

ا

ا

ﻦ ﺴ ا

ﺰﺋﺎﺟ

ا

ةﺮ ﺮه

ا

و

نﺎ

ﻦ او

آﺎ و

Artinya: Perdamaian itu boleh (dilakukan) di antara muslimin, kecuali ishlãh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. (H.R. Abu Dawud, Hakim, dan Ibn Majah dan ia menshahihkannya dari Abu Hurairah)

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:

ﺔ ﺪ ا

اوﺬﺧا

اوؤﺎﺷ

ناو

اﻮ ﺘ

اوؤﺎﺷ

ﻦ ﻓ

لﻮﺘ ا

ءﺎ وا

ﻰ ا

ﻓد

اﺪ

ﻮﻬﻓ

اﻮ ﻮ

ﺎ و

ﺔ ﺧ

ﻦ راو

ﺔ ﺬﺟ

و

ﻪىور

ﺮﻏ

ﻦﺴ

لﺎ و

يﺬ ﺮﺘ ا

Artinya: Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali terbunuh, melakukan qishash atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 khalifah. Apa-apa yang disepakati dalam perdamaian, maka hal itu bagi mereka.

53

(43)

C. Ishlãh dalam Sejarah

1. Ishlãh Pada Masa Pra Islam

Ishlãh dalam arti perjanjian antar dua kelompok yang bertikai untuk

mengakhiri pertikaian sebenarnya telah dikenal jauh pada masa pra Islam. Oleh karena itu, Majid Khadduri menyebutnya sebagai institusi yang sangat tua lagi antik. Institusi ini bertujuan untuk menyelesaikan permusuhan dengan cara damai, untuk merekonsiliasi antar pihak, dengan berusaha mendamaikannya dengan mengadakan pernyataan persetujuan yang bersifat kompromistis, tanpa adanya tekanan dari salah satu pihak yang lebih kuat terhadap lawannya yang lebih lemah. 54

Dikatakan tua karena institusi ini telah ada dan diterapkan prosedur-prosedurnya sejak sekitar millenium keempat sebelum masehi atau tepatnya tahun 3100 SM., yaitu perjanjian damai antara Ennatum, raja Lagash, salah satu negara kota terbesar di Mesopotamia dengan masyarakat Umma, satu negara kota lainnya di Mesopotamia. Perjanjian damai itu dapat menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung lama.55 Begitu juga yang terjadi di Mesir dan daerah sekitarnya.

Pada masa Arab pra Islam, para ketua suku dan ketua adat (dukun), biasa memerankan diri sebagai penengah pertikaian dalam sukunya. Salah satu yang terkenal adalah para tetua dari Bani Tamim yang mempunyai reputasi cukup baik dalam menyelesaikan pertikaian antar suku. Orang-orang dengan reputasi tinggi inilah yang biasa diminta atau berperan sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar pihak. Mereka biasa memanfaatkan momen budaya tahunan seperti perayaan pasar Ukãz, di mana bangsa Arab dari berbagai suku berkumpul untuk bergembira dalam

54

Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, (Clark, New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd., 2006), h. 231. Dalam karyanya tersebut, ia menggunakan istilah arbitrase dalam menyelesaikan berbagai konflik. Maka dalam konteks ini, arbiter adalah mediator dari para pihak yang berkonflik.

55

(44)

festival seni, budaya, dan ekonomi. Atau juga dengan memanfaatkan momen bulan haram di mana perang dilarang selama masa itu.

Salah satu kasus peperangan antar suku yang dapat didamaikan oleh para mediator handal ini adalah perang antara suku ‘Abs dan suku Dhubyan yang berhasil dimediasi oleh al-Harits ibn ‘Auf dan Kharija. Begitu juga Rasulullah sebelum kenabian, menjadi mediator dan arbiter dalam menyelesaikan konflik antar pemimpin Arab dalam hal siapa yang paling berhak meletakkan hajar aswad di tempatnya setelah proses rehabilitasi Ka’bah selesai.56

Bagi mereka, meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya adalah tugas terakhir dan paling prestisius. Oleh karena itu wajar kalau kemudian mereka saling berebut untuk menempatkannya kembali. Keberhasilan suatu suku mengembalikan hajar aswad kembali di tempatnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi suku tersebut. Di sinilah letak krusialnya permasalahan peletakan kembali hajar aswad. Dengan kebijaksanaannya, Muhammad SAW. membentangkan selembar kain dan meletakkan hajar

aswad di tengah-tengah kain, kemudian mempersilahkan tiap kepala suku

memegang ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama.57

2. Ishlãh Pada Masa Islam

Dalam sejarah Islam, kita mengetahui beberapa peristiwa penting dalam perkembangan Islam yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, khususnya dalam hal membuat perjanjian damai dengan pihak luar Islam maupun mendamaikan antar pihak tertentu dalam Islam yang sedang bertikai. Pada tahun kesepuluh dan kesebelas kenabian, tepatnya setelah isra’ mi'raj, Rasulullah berhasil mendamaikan dua suku Arab

56

Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-233, lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17

57

(45)

utama Yatsrib yang selalu bertikai yaitu ’Aus dan Khazraj. Peristiwa ini menjadi titik tolak hijrah Rasulullah dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Kemudian setelah sampai di Madinah, Rasulullah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di Madinah dan sekitarnya.58 Salah satu momen penting pada awal periode Madinah adalah terjadinya arbitrase antara Rasulullah dengan Bani Quraizhah, salah satu suku Yahudi, di mana kedua belah pihak mewakilkan penyelesaian perselisihan kepada seoarang mediator yang dipilih dan disepakati kedua belah pihak.59

Pada tahun keenam Hijrah, Nabi memimpin sekitar seribu jamaah haji dari Madinah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Penduduk Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota, hingga akhirnya diadakan sebuah perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah, yang isinya antara lain, pertama, Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun ini, tapi ditangguhkan sampai tahun depan. Kedua, Lama kunjungan hanya dibatasi tiga hari saja. Ketiga, Kaum muslimin wajib mengembalikan orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah. Sebaliknya, Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang kembali ke Mekah. Keempat, Selama sepuluh tahun diadakan gencatan senjata antara penduduk Mekah dan Madinah. Kelima, Tiap kabilah yang ingin masuk dalam persekutuan baik muslimin maupn Quraisy, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.60

Pada tahun 41 H, yaitu masa akhir Khulafa’ Rasyidun, sepeninggal Ali Ibn Abi Thalib, kekhalifahan dilanjutkan oleh anaknya Hasan. Oleh karena kedudukannya yang lemah secara politik sementara kondisi

58

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1983), h. 105

59

Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234

60

(46)

permusuhan antar masyarakat Islam semakin parah dan memburuk, maka diadakan perjanjian damai antara dirinya dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Terlepas dari apa isi perjanjian tersebut dan bagaimana sikap para pihak dalam melaksanakan isi perjanjian di masa sesudahnya, perjanjian ini berhasil mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan yaitu Mu’awiyah. Tahun dilaksanakannya perjanjian ini kemudian disebut dengan ’am jamã’ah (tahun persatuan).61

Setelah masa sahabat, bahkan jauh pada masa sesudahnya, sejarah juga merekam membaiknya hubungan antara kelompok Sunni dan Syi’ah pada masa khilafah Umawiyah khususnya pada masa Khalifah Umar ibn Abd al-’Aziz. Syi’ah -yang menjadi oposisi waktu itu- mulai berdekatan kembali dengan pemerintah dan terjalin hubungan yang baik. Di samping itu, berabad-abad sesudahnya, yaitu pada tanggal 2 November 1192, dibuat perjanjian antara tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin al-Ayyubi dengan tentara salib yang disebut dengan Shulh al-Ramla

Gambar

Tabel ruang lingkup ishlãh berdasarkan subyek konflik

Referensi

Dokumen terkait

Bab keempat adalah hasil dan pembahasan yang berisi mengenai kelogisan dan ketidaklogisan hubungan antarklausa dalam kalimat, serta kelogisan dan ketidaklogisan

Konsep jual beli dalam Islam yang diutarakan oleh Abu al-Rahman terdiri dari syarat dan rukun, baik menyangkut penjual dan pembeli, maupun barang yang

Bab II, dalam bab ini dijelaskan tentang manajemen produksi dalam perspektif ekonomi Islam, yang berisi tentang teori-teori yang berhubungan yang akan diteliti, yaitu

Bab lima berisi tentang analisis dari uraian diatas tentang matlak dalam perspektif interkonesi menurut fikih dan astronomi yang meliputi peristiwa Hadis Kuraib

Kedua, sistem bagi hasil yang diterapkan pada BMT gunungjati telah sesuai dengan perspektif hukum ekonomi syariah antara teori dengan praktek melihat dari rukun dan

Suatu teknik yang dilakukan dengan cara menguraikan sejarah munculnya sesuatu hal yang menjadi obyek penelitian dalam perspektif waktu terjadinya fenomena-fenomena

Praktik Jual Beli Daging Lutung Jawa yang Dijadikan Makanandalam Perspektif Hukum Islam.. Jika dianalisis dari segi rukun dan syarat jual beli, mulai

Tinjauan Umum Tentang Kewarisan C.1 Pengertian dan Asas Kewarisan C.2 Syarat dan Rukun Kewarisan C.3 Sebab – sebab Mewarisi C.4 Halangan Mewarisi BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN Pada