• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dan Adat dalam Pernikahan Masyarakat Bugis di Papua Barat

Dalam dokumen Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung (Halaman 42-72)

Ismail Suardi Wekke12 1

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong, Indonesia 2E-mail: iswekke@gmail.com

“Utettong ri ade’e, najagainnami siri’ku”. (Mattulada, 1975: 65). (Saya taat kepada adat, hanya karena dipeliharanya siri (harga diri) saya)

Pendahuluan

Kepatuhan masyarakat Bugis terhadap adat dan agama dilakukan secara bersamaan dan sama kuatnya. Dalam konsep pangngaderreng (undang-undang sosial) terdiri atas lima unsur yang saling mengukuhkan. Dua diantaranya adalah adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat Islam). Nurhayati Rahman mengemukakan bahwa kedua lembaga ini mempunyai tugas dan fungsi yang sesuai dengan tugasnya masing-masing (Rahman, 2006: 387). Pampawa adeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan.Sementara pampawa saraq dipangku qadi, imam, khatib, bilal dan doja (penjaga masjid) akan menangani persoalan yang berhubungan dengan fiqh Islam. Tradisi ini merupakan praktik pengaturan sosial yang berlangsung turun temurun sampai sekarang. Bahkan tradisi yang didapatkan di tanah leluhur kemudian tetap berkembang sampai ke tanah perantauan. Kecenderungan orang Bugis yang memiliki tradisi sompeq (merantau) sehingga penyebarannya mencapai berbagai negara. Termasuk sampai ke pulau Papua yang sekarang ini terbagi dalam dua daerah administrasi yaitu Papua dan Papua Barat.

Adeq, saraq, sompeq merupakan bagian dari kelangsungan kehidupan orang Bugis. Hal ini dipandang oleh Berger sebagai tradisi yang diterima suatu masyarakat merupakan memori kolektif. Ini merupakan hasil dari potensi yang ada dalam setiap individu untuk mengaktualisasikan makna bermasyarakat. Bagian-bagian kecilnya termasuk dalam simbol-simbol yang menyertai sebuah peristiwa. Jika kemudian makna kolektif yang ada dihayati secara kelompok, maka dapat saja berfungsi untuk menjaga keutuhan tradisi yang

berlangsung turun temurun (Berger, 1969). Dengan adanya keterhubungan antara masa lalu dan masa kini, maka ada produksi makna baru atas berlangsungnya peristiwa. Selanjutnya timbul solidaritas dan emosional berkat peristiwa yang ada sebelumnya. Tidak saja disatukan oleh ritual yang ada dalam agama, tetapi juga telah menjadi solidaritas masyarakat. Namun demikian, simbol-simbol ini tidak dapat melepaskan diri dari modernitas yang mulai berkembang secara cepat dengan kehadiran pelbagai elemen teknologi. Jika mengikuti kritik Habermas, maka tumbuhkembangnya modernitas akan memberikan distorsi bagi tradisi tersebut (Habermas, 1987: 116-118). Jika kebudayaan, masyarakat dan sosialisasi berjalan secara seiring, maka akan terjadi integrasi masyarakat dan sosialisasi.

Keterbukaan orang Bugis dalam menerima Islam dalam

pangngaderreng, kemudian menambahkan saraq dalam konsep tersebut membuktikan bahwa ada keterbukaan dalam dinamika kehidupan mereka. Jika penjelasan Ignas Kleden dapat diterima, maka ini disebut dengan proses alami dimana dunia sosial yang dibentuk manusia berdasarkan pengalaman dan proses belajar (Kleden, 1982: 12). Cara ini dilakukan oleh setiap individu untuk melengkapi kekurangan yang ada. Adapun pengalaman belajar semata-mata akan tumbuh dari pengembaraan dalam ruang dan waktu. Sementara orang Bugis adalah diantara kategori yang suka mengembara dalam menghadapi lingkungan alam. Pengalaman-pengalaman yang ada akan memantapkan proses dalam kebudayaan sehingga dalam perkembangan berikutnya menjadi tahapan untuk perkembangan yang akan datang. Tidak lagi dengan memulai dari awal proses yang sudah ada. Tahap internalisasi Islam kemudian berkembang bersamaan dengan adat istiadat yang sudah ada sebelumnya. Dengan datangnya Islam justru tidak menghapus apa yang sudah ada tetapi kemudian adat diadaptasi sesuai dengan ajaran Islam yang datang dari tanah Arab.

Bagi orang Bugis, adat tidak sekedar berarti kebiasaan. Dalam pemahaman Matthes, beliau memahami adat dalam tradisi Bugis sebagai

gewonten (kebiasaan). Sementara Lontara memberikan penjelasan bahwa adatmerupakan syarat bagi kehidupan manusia. Dalam ungkapan “iyya

nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttayya tammattikkamo balloka,

tanaikatonganngamo jukuka, anyalatongi aseya” (jika dirusak adat kebiasaan

negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak akan menjadi) (Matthes, 1943: 2). Dengan demikian maka tidak saja adat

berarti kebiasaan tetapi menjadi esensi sebuah kehidupan. Ketika dilanggar, maka maka seluruh anggota masyarakat yang akan ikut menanggungnya. Berbeda dengan Matthes, Mattulada justru memahami adat sebagai sesuatu

yang luhur dengan kalimat “adat itulah yang memberikan bentuknya dalam

wujud watak masyarakat dan kebudayaan serta orang-orang yang menjadi

pendukungnya” (Mattulada, 1975: 315). Dengan demikian, posisi adat

menjadi penting dalam kalangan orang Bugis. Adat merupakan salah satu gagasan yang senantiasa menopang keberlangsungan kehidupan pranata sosial. Dengan demikian, menjadi relevan untuk meneliti konsep adat, dalam hal ini adalah kajian pernikahan.

Konsep yang menjadi pegangan masyarakat Bugis seperti diuraikan di atas, tetap dipegang teguh. Dimana sebagai unsur masyarakat Indonesia, dengan kajian perilaku budaya masyarakat Bugis menjadi usaha dalam memahami dinamika sosial yang ada. Tidak saja yang berlangsung di jaman dahulu tetapi untuk sekarang dan besok. Penelitian ini berupaya mengungkapkan pembahasan tentang kesatuan Islam dan adat dalam pernikahan Bugis perantau di Papua Barat.

Kerangka Teoritis

Budaya adalah hasil transmisi yang berjalan dalam pola kesejarahan. Di dalamnya terkandung simbol sekaligus adanya sebuah sistem yang turun- temurun. Keberlangsungan ini tentu terjadi secara otomatis sebagai sikap

manusia terhadap kehidupan. Geertz mengistilahkannya dengan “sistem kebudayaan” (Geertz, 1973). Sementara Chaterjee memberinya istilah

dengan “nilai budaya” (Chaterjee, 2007: 92-103). Ini merupakan konsepsi apa yang dipandang dalam sebuah komunitas sebagai nilai yang berharga. Sehingga berwujud dalam bentuk idealisme karena berasal dari alam pikiran. Secara bersama-sama Geertz dan Koentjaraningrat memandang bahwa budaya merupakan proses memaknai realitas kehidupan yang khas masing- masing dalam lingkup waktu dan tempat tertentu. Dalam kehidupan tersebut, proses sejarah menjadi bagian dimana keberlangsungan aspek-aspek material yang menjadi warisan.

Jika melihat Islam dalam hubungan normatif dan popular atau formal dan lokal, maka salah satu penjelasan dapat diajukan adalah argumentasi Mark R. Woodward yaitu empat hal. Pertama, Islam universalis. Ajaran yang terkadung dalam al-Quran dan Hadis merupakan ultimate truth. Dalam bahasa

ulumul Quran disebut qath’i. untuk kredo religius seperti ini pada umumnya disepakati sehingga tidak memerlukan interpretasi lebih detail. Kedua, Islam esensialis. Istilah ini digunakan Mark R. Woodward menggunakan kata Richard C. Martin untuk menjelaskan praktek-praktek ritual. Walaupun tidak ada mandat secara khusus dari al-Quran dan Hadis tetapi secara luas diamalkan oleh umat Islam dengan mengambil dasar bahwa itu adalah bersumber dari keduanya. Diantara ritual ini antara lain, maulid nabi, tahlilan, yasinan, perayaan haul, dll. Islam dalam kategori ini berada dalam jajaran Islam yang sangat inklusif.

Selanjutnya, ketiga, Islam sebagaimana yang diterima atau dipahami (received Islam). Seperti halnya adanya dominasi kaum sufi dalam perkembangan Islam lokal di daerah Jawa. Terakhir, keempat, Islam lokal. Keberadaan Islam dalam kategori ini dimana adanya seperangkat teks tertulis, tradisi lisan dan juga ajaran spiritual yang tidak terdapat di tanah kelahiran Islam, Arab, seperti naskah mistik di Jawa atau praktik keseharian yang disesuaikan dengan ajaran Islam (Woodward, 28: 54-89). Penjelasan Mark R. Woodward menggambarkan bahwa adanya interaksi ajaran Islam dengan budaya setempat. Sehingga dalam memahami Islam tidak bisa sebatas hanya menggunakan pendekatan tekstual semata-mata. Namun diperlukan adanya pendekatan kontekstual untuk dapat memahami motif kesejarahan sebagai bagian dari komprehensifitas Islam. Bisa saja ditemukan adanya normatif dan praksis dalam kerangka konteks baik ruang maupun waktu (Eickelman, 1982: 1-16).

Islam sebagai sebuah ajaran membawa syariat secara jelas terimplementasi dalam nilai-nilai keadilan (al-‘adl), kemaslahatan (al-

mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah) pluralisme (al-ta’addudiyah), dan hak asasi manusia (al-

huquq al-insaniyah) ( Dalam memahami tujuan syariat ini, maka Ibnu al- Qayyim al-Jawziyah merumuskan beberapa hal yaitu kepentingan manusia adalah tujuan dibangunnya syariat Islam. Termasuk tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal seperti kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Ketika pembentukan hukum dilakukan, maka secara otomatis harus memperhatikan prinsip-prinsip ini. Ketikaada hukum yang dibentuk dan justru menyelahai prinsip ini, maka sesungguhnya pembentukan hukum tidak lagi sesuai dengan cita-cita hukum Islam itu sendiri (al-Jawziyah, 3). Sementara Izzukddin Ibn Abdissalam juga menyimpulkan bahwa

kemaslahatan manusia justru menempati arah yang utama dalam ketentuan beragama (Abdissalam, 72). Maka prinsip yang ada ini senantiasa digunakan dalam memotret kondisi keagamaan yang tumbuh dalam masyarakat.

Dalam pengelompokan muslim yang mengamalkan Islam, maka Djajadiningrat membagi kedalam tiga kelompok. Pertama, bukan saja paham akan rukun Islam dan dan juga kepercayaan dasar tetapi memahami secara mendalam perkara-perkara hukum Islam. Termasuk kategori ini guru atau kiyai yang mendalami secara khusus agama sebagai pengetahuan. Sekaligus mengajarkan dan menjadi rujukan bagi masyarakat. Kedua, memperlajari agama semata-mata untuk kepentingan pribadi. Tidak seperti golongan pertama yang mengajarkan. Tetapi golongan kedua semata-mata mempelajari pokok kewajiban agama dan berusaha untuk menjalankan apa yang dipelajari tersebut secara taat. Terakhir, praktik yang dilaksanakan semata-mata berdasarkan kebiasaan dan contoh yang didapatkan dari lingkungan. Termasuk tata cara menjalankan ibadah, tidak dipelajari secara khusus namun muncul dari kebiasaan mencontoh (Djajaningrat, 1936: 198-199).

Dari kerangka teoritis ini dapat disimpulkan bahwa agama yang menjadi praktik bagi pemeluk bisa saja terjadi adaptasi dalam lingkungan yang berbeda. Tidak mesti praktik keseharian yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan, harus mengalami kesamaan dengan tempat asal Islam di Arab. Adapun hal-hal yang tidak termaktub dan diatur secara khusus sebagaimana aqidah, maka tetap saja ada peluang untuk melakukan ekstensifikasi sesuai dengan lingkungan dan kelangsungan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa sesuangguhnya Islam tidak harus berwajah Arab. Ada peluang setiap jengkal tanah di bumi ini menjadi Islam dengan bentuk penerimaan yang berbeda. Kesamaan tetap harus ada dalam konteks tauhid dan ritual pokok. Namun dalam hal-hal yang menjadi kehidupan dunia, maka ajaran Islam secara tegas memberikan kesempatan kepada setiap kaum dan pemeluknya untuk menjalankan tradisi yang dianut dan difahami di lingkungan masing-masing.

Kajian Terdahulu

Kajian Bugis awalnya dimulai dari para misionaris. Di saat masih dalam suasana kolonialisme penelitian dilakukan untuk kepentingan penyebaran agama serta untuk melanggengkan kekuasaan penjajah. Sejak awal untuk mengetahui bahasa dan kebudayaan wilayah Asia, maka di

Belanda sebuah mata kuliah yang disebut Indologi diadakan yaitu studi tentang Indonesia (Alatas, 1972: 175). Tetapi oleh kalangan pejabat, ini digunakan dalam kerangka kepentingan politis untuk memahami keberadaan daerah jajahan. Sebelum kedatangan Matthes telah ada seorang penjelajah yang mengarungi daerah pesisir, James Brooke. Catatan penjelajah ini kemudian dapat dirujuk sebagai catatan mengenai penduduk dan masyarakat yang bermukim di Bobe, Tosora dan seluruh pesisir selatan pulau Sulawesi (Mundy, 1848: 30-31). Setelahnya, John Crawfurd juga menulis mengenai adat istidata orang Melayu. Crawfurd adalah teman dekat Raffles, menduduki jabatan pemerintahan yang penting di Betawi (Crawfurd, 1820: 287).

Berkenaan dengan kajian Bugis, salah satu ilmuwan yang sering dirujuk adalah Matthes. Walaupun Matthes dikirim ke tanah Bugis bukan dalam konteks sebagai ilmuwan di perguruan tinggi tetapi karyanya yang lengkap kalau tidak dikatakan sempurna menjadi rujukan para ilmuwan di perguruan tinggi sampai sekarang. Keberadaan Matthes di tanah Bugis untuk melakukan penterjemahan Injil yang ditugaskan Perhimpunan Penginjil Belanda. Namun sebelum itu dilaksanakan, maka Matthes berusaha untuk memahami bahasa Bugis beserta dengan gramatikanya sekaligus mendalami kebudayaan masyarakat yang menggunakan bahasa Bugis. Keberadaanya bahkan mencapai 23 tahun penelitian. Ds. H. van den Brink menggambarkan bahwa ada hubungan kerja yang dibangun Matthes dengan berbagai kalangan untuk memperoleh maklumat. Demikian pula menyalin kembali lontara yang oleh pemiliknya tidak diserahkan. Sementara untuk membantu tugas-tugasnya Matthes meminta bantuan kepada bangsawan dan ilmuwan yang melakukan itu, termasuk Arung Pancana yang memang memiliki kemahiran dan keterampilan tertinggi untuk memahami naskah. Bahkan yang kuno sekalipun (Brink & Mattbes, 1943: 79). Karya ini merupakan salah satu buku yang menggambarkan perjalanan Matthes dalam kapasitas sebagai misionaris di tanah Bugis.

Selanjutnya tahapan kedua, penelitian tentang Bugis dilakukan para ilmuwan yang berbasis di perguruan tinggi. Pada tahap ini ilmuwan yang melakukan penelitian tersebut umumnya berasal dari perguruan tinggi luar negeri. Diantara ilmuwan itu antara lain Pelras, Acciaioli, Andaya, Lineton, Harvey, Bigalge, dan Sutherland (Pelras, 10: 5-10; Acciaioli; Andaya, 1981; Lineton, 1975: 10; Harvey, 1974; Sutherland, 1978). Sementara yang khusus meneliti tentang pernikahan hanya Millar. Kajian Millar membahasa

pernikahan Bugis dengan mengambil latar wilayah di Soppeng. Catatan Millar memberikan gambaran bagaimana tradisi pernikahan yang dilangsungkan pada sebelum 1981. Kesimpulan penelitian ini bahwa justru sikap orang Bugis terhadap pernikahan yang senantiasa mempertahankan dan menampilkan siri merupakan bentuk keteguhan dan kemajuan. Pencapaian sosial bagi orang Bugis adalah penting, sehingga dalam komunitas public perlu melakukan penghargaaan bagi simbol-simbol tersebut. Kesalahan dalam melakukan penghargaan akan dianggap merupakan pelecehan terhadap siri (Millar, 1981).

Salah satu fase penelitian Bugis yang mendapat perhatian kalangan peneliti adalah kehadiran kajian Bugis di dunia Melayu. Kajian dengan tema tersebut antara lain dilaksanakan Andi Ima Kesuma. Penelitian ini menyoroti Migrasi dan Orang Bugis. Kondisi sosial yang melatarbelakangi sehingga terjadi migrasi orang Bugis ke Johor menunjukkan bahwa ada peperangan sebagai akibat rivalitas antar-kerajaan dalam memperebutkan hegemoni. Tetapi faktor utama adalah proses sosial yang pada akhirnya wujudnya gagasan nusantara. Termasuk peran orang Bugis dalam penguatan berdirinya kerajaan Johor, Selangor dan Perak di Malaysia (Kesuma, 2004: 136-137). Penelitian Palawa berkenaan dengan penguatan kapasitas intelektual yang berlangsung di Pulau Penyengat. Raja Ali Haji menjadi penggerak intelektual yang kemudian diistilahkan sebagai Sekolah Penyengat (Palawa, 2003: 96). Raja Ali Haji menulis dua karya monumental yaitu Tuhfah al-Nafi dan Salasilah Melayu dan Bugis. Etnis Bugis dan Melayu dalam beberapa wilayah justru memperlihatkan adanya akulturasi budaya dimana memang sejak awal ada kesamaan dalam beberapa hal (Putten, 2001: 343). Ini hasil penelitian yang dihasilkan Putten yang khusus meneliti tentang keturunan Bugis di Melayu.

Andaya dan Matheson keduanya meneliti tentang pemikiran Islam yang melihat hubungannya dengan tradisi Melayu. Jati diri yang muncul dalam produk keilmuan Melayu dipengaruhi oleh Islam. Sehingga terlihat ada pengaruh tradisi Islam dan bahasa Arab dalam pergumulan pemikiran Raja Ali Haji sehingga memunculkan ekspresi gagasan yang muncul dalam berbagai kitab (Andaya & Matheson dalam Reid & Marr, 1983: 99). Andaya dan Matheson memberikan argumentasi bahwa kehadiran Raja Ali Haji sebagai pemikir tidak saja terbatas dengan menjadi ilmuwan yang berdiri di menara gading. Tetapi pada saat yang sama juga melakukan perlawanan terhadap

control administrasi Belanda di Riau. Namun demikian Raja Ali Haji tidak pernah menutup diri untuk membuka dialog keilmuan dengan kalangan Eropa. Salah satu bukti yang dapat diajukan adalah persabatannya dengan Von de Wall yang bertugas sebagai asisten residen Belanda (Putten & al- Azhar, 2007).

Hubungannya dengan budaya, A. Rahman Rahim meneliti Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Dalam penelitian tersebut dijelaskan ada lima nilai utama yang diamalkan oleh orang Bugis yaitu kejujuran (lempu’), kecendekiaan (acca) , kepatutan (asitinajang), keteguhan (getteng) dan usaha (reso) (Rahim, 2011: 119-138). Kajian A. Rahman Rahim adalah merupakan bagian dimana fase penelitian Bugis justru dihasilkan anak-anak Bugis sendiri. Diantara peneliti yang menghasilkan disertasi adalah H. D. Mangemba, Andi A. Abidin, Daeng A. R. Patunru, Mattulada, Husain Ibrahim, Andi Makkarausu Amansjah, Saharuddin Kaseng, A. Hasan Walinono, Fachruddin Ambo Enre, dan Ahmad Manggau (Mangemba, 1972; Abidin, 1979; Patunru, 1964; Mattulada, 1975; Kaseng, 1975; Walinono, 1979; Enre, 1983; Manggau, 1983). Penelitian tentang hubungan antara adat dan Islam juga telah dilakukan Abd. Kadir R dengan judul “Pertautan Adat

dan Syara’ dalam Dimensi Sosial di Kota Gorontalo”. Penelitian ini

menjelaskan sejarah sosial Islam yang ada di kota Gorontalo dengan merekonstruksi proses Islamisasi pada kesultanan di kawasan tersebut. Pada saat penerimaan Islam sebagai agama, Abd. Kadir melihat ada upaya untuk menggabungkan antara adat dan syara sehingga melahirkan dinamika sosial. Penelitian ini secara khusus juga mengekplorasi bagaimana Islam yang datang belakangan dibandingkan dengan adat yang sudah ada sejak masa kesultanan belum mendapatkan interaksi dengan masyarakat luar. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah Islamisasi berlangsung dengan sukarela diawali dengan masuknya Islam ke kalangan bangsawan. Selanjutnya diikuti oleh seluruh warga. Tetapi Islamisasi tidak berhenti sekedar pada penerimaan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Ada beberapa fase yang

dilalui yaitu fase adaptasi, akulturasi dan pembentukan syara’ sebagai sendi

adat yang bersendikan pada kitabullah. (Kadir R, 2010: 213-221).

Sementara penelitian yang khusus mengkaji pernikahan dilaksanakan juga oleh Ayu Asri. Penelitian tersebut mengkaji kehidupan anak yang berasal dari perkawinan campur. Perkawinan campur yang dimaksud adalah laki-laki Minang dengan perempuan Batak. Ayu menguraikan permasalahan hak waris

anak, serta status dalam masing-masing adat. Dimana garis pengakuan di suku Minang didasarkan pada ibu sementara pada suku Batak didasarkan pada ayah. Anak hasil perkawinan campur ini kemudian tidak mendapatkan kedua-duanya di masing-masing suku baik suku ayahnya maupun suku ibunya (Asri, 2011). Sementara Ulfa Maria meneliti dengan keharmonisan keluarga dan kenakalan remaja. Dalam penelitian ini, Maria mendapatkan kenakalan remaja disebabkan antara lain adanya keharmonisan dalam keluarga (Maria, 2007). Kedua penelitian ini tidak khusus mengkaji pernikahan tetapi justru melihat dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan. Penelitian Asri mengkaji dampaknya terhadap hak waris anak. Sementara Ulfa justru mengungkapkan fenomena kenakalan remaja yang justru dapat berawal dari ketidakharmonisan keluarga.

Berdasarkan uraian di atas dari penelitian-penelitian yang berkenaan dengan Bugis, Adat, dan demikian pula dengan Islam, maka penelitian ini menemukan relevansi dalam konteks Papua Barat. Penelitian yang sudah ada sementara ini hanya menggambarkan tentang situasi yang berbeda dan tidak secara khusus mengkaji adat dan Islam. Demikian pula kajian Islam yang sudah ada, juga tidak mengkaji pernikahan. Oleh karena itu disction penelitian adalah kekhasan kajian pada pengungkapan hubungan adat dan Islam dalam kerangka budaya Bugis di Papua Barat.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip studi etnografi (ethnographic studies) dengan melakukan upaya untuk mendeskripsikan dan menginterpretasi peristiwa budaya yang berlangsung dalam pernikahan. Acara yang dilangsungkan selama pernikahan merupakan ritual atau cara hidup yag khas yang dipraktikkan orang Bugis. Maka, penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara yang dibentuk secara alamiah. Dalam berbagai kesempatan pernikahan berupaya memahami simbol-simbol yang ada sehingga kemudian tertuang sebagai hasil penelitian. Studi etnografi yang dilakukan ini masuk dalam kategori mikro etnografi dimana peneliti secara khusus hanya mengamati satu aspek saja dalam pernikahan orang Bugis yaitu kaitannya dengan agama Islam.

Penelitian dilaksanakan selama sepuluh bulan yaitu mulai Maret sampai November 2012. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan berperan serta (participant observation) di beberapa wilayah

yaitu Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Fak- fak, kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Teluk Bintuni. Dari keseluruhan wilayah Provinsi Papua Barat, hanya Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Raja Ampat yang tidak diobservasi. Memandang bahwa jumlah orang Bugis di kedua wilayah tersebut adalah yang terkecil diantara wilayah lain. Observasi yang dilakukan secara khusus adalah bertujuan untuk menggali data. Adapun menghadiri pernikahan yang merupakan bagian dari aktivitas sebagai undangan juga digunakan untuk melakukan verifikasi data. Ini dimaksudkan untuk menjaga latar alamiah yang ada selama penelitian berlangsung. Juga sebagai konteks keutuhan (entity) penelitian. Sebagaimana diuraikan Lincoln dan Guba bahwa diperlukan adanya keutuhan agar supaya tidak memisahkan dari konteks yang ada (Lincoln; Guba, 1985: 39). Ini didasarkan pada dua asumsi yaitu tindakan pengamatan akan mempenguhi apa yang dilihat sehingga diperlukan keutuhan dalam rangka pemahaman dan faktor kedua adalah konteks akan menentukan apakah teman itu mempunyai makna bagi konteks yang lain. Terakhir, sebagian struktur bersifat determinan terhadap pertanyaan yang dicari.

Selama observasi ada tiga aspek yang selalu diperhatikan yaitu pertama pertanyaan penelitian sebagai acuan pokok. Mulai dari menyiapkan identifikasi objek, penyusunan instrument, pengumpulan data, pemilahan data, pengecekan data, dan juga penyusunan laporan. Kedua, untuk memudahkan observasi, maka rekaman video digunakan selama pengumpulan data. Ini memungkinkan dilakukan pengecekan secara berulang dengan kondisi yang sebenarnya. Termasuk meminta bantuan tenaga-tenaga professional untuk merekam atau menyalin dari dokumentasi acara yang ada (Patton, 1980). Terakhir, ada beberapa observasi pendahuluan sebelum pelaksanaan observasi yang sebenarnya. Sehingga kesan yang didapatkan selama kajian awal akan diverifikasi dalam observasi utama yang dilakukan (Goets & LeCompte, 1984: 112). Walaupun demikian, juga disadari bahwa ada saja kekurangan dalam pelaksanaan observasi yaitu reaktivitas peneliti dalam lingkungan dan juga ada kemungkinan bisa dalam interpretasi. Demikian pula ada kesulitan dalam melakukan replikasi observasi sebagai bagian dari pembuktian kebenaran. Hanya saja mengatasi keterbatasan ini digunakan alat bantu yang dapat diverifikasi dan digunakan peneliti selanjutnya dalam memahami konteks yang ada.

Walaupun ada perbedebatan bahwa penelitian kualitatif tidak perlu memperhitungkan reliabilitas karena tidak dapat direplikasi (Holstein & Gubrium dalam Silverman, 1997; Hughes & Sharrock, 1997; Marshall & Rossman, 1999), walaupun demikian, penelitian ini tetap memandang bahwa perlu dilakukan langkah-langkah dalam mendapatkan reliabilitas data (Kirk & Miller, 1986; Perakyla dalam Silverman, 1997). Untuk memastikan keandalan data dilakukan beberapa langkah antara lain mengindari bias agar

Dalam dokumen Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung (Halaman 42-72)

Dokumen terkait