• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

Religion, State and Society:

Exploration of Southeast Asia

Editors

(2)

Editors

Suyatno Ladiqi, Ismail Suardi Wekke, Cahyo Seftyono

Cover and Layout Ustad Mangku Alam

Publisher

Political Science Program

Department of Politics and Civics Education Universitas Negeri Semarang

Distributor Political Science Program

Department of Politics and Civics Education C4 Building 1st Floor Faculty of Social Sciences Universitas Negeri Semarang, Semarang 50229 Indonesia

Telp. (024) 8506014, Fax. (024) 8506014, Email: jurusanpkn@mail.unnes.ac.id

First Edition May 2017

vii; 168 halaman; 15 cm x 23 cm

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

I S B N 9 7 8 – 6 0 2 – 7 1 5 2 4 – 3 – 4

(3)

The religion, social and political issues in Southeast Asia as well as those occurring in some developing countries are a dynamic process of finding patterns the social life. Two of the few countries that are rapidly wrestling with these studies are Indonesia and Malaysia. In the book that is in your hands, some academic papers highlight it.

There are various reasons for the emergence of ideas for collaborative scientific writing related to the dynamics of the society of Southeast Asia through various discourses. But the main thing is the emergence of academic networks among social-political researchers who have been or are interested in studies related to Southeast Asia. There are several researchers from Indonesia and Malaysia from various academic institutions presents the latest findings on their research.

(4)

and even international tourist attraction in Malaysia. If during this public policy is identical with administrative processes in the making, implementation, and evaluation at the level of government institutions then the presence of local actors such as traditional elders is an unavoidable aspect. The last chapter, Fazlur Rahman (Chapter 5) analyze about common Indonesian political dynamics based on relation between contemporary religion activism in media, which bring blasphemy issue in Jakarta Local Election 2017.

Some authors also raise the governance issues. Zalinah Ahmad (Chapter 6) by asking about the need for reform in public policy to present some notes in his writings. According to Zalinah, success in public affairs matters not only the authority of the government alone but also how the community participates in the success of government policy. Not only people as citizens but also communities in various institutions including NGOs. This is in line with Andi Luhur (Chapter 7), which raised about Open Government. In the struggle for open government, especially in Gowa Regency, Luhur explained about the participation and transparency that is played not only by the government but also the actors in society. Although there is a lot of appreciation for this effort, the process towards open government especially good governance is still through a winding road. This is because there are political elites with an interest in this issue. Public

participation in policy processes is also demonstrated Rozita’s article

(Chapter 8) by presenting the role of youth in reducing crime rates. This is due to the growing number of youths, as well as how they are consciously able to engage in the social process of society as well as government policy.

Society and its political impact also has interesing finding in this book. Agus Sutisna (Chapter 9) by revealing the exciting moment when Indonesia is celebrating electoral-based democratization. Instead of successfully consolidating local democracy, improving the quality of participation as a signal of strengthening the sovereignty of the people, and giving birth to competent regional leadership and integrity as a prerequisite for the realization of good governance, direct elections actually spawned a number of new problems. Ustad Mangku Alam (Chapter 10) presents the existence of volunteers in the political process in Indonesia. Volunteers originally based on social activities, but currently switching the role as political actors. They encourage the emergence of alternative leaders in the dynamics of contemporary politics in Indonesia.

Presenting the findings of Jokowi’s volunteers in the 2014 elections and Ahok’s

volunteers in the 2017 election, Alam found that volunteers today are becoming a representative political tool to be a channel of ideas other than the path of

(5)

peace society as well as state with their governmental rules.

These collaborative writing seems to be one of the most recent contributions of knowledge from the social network of Southeast Asian social politics, especially Indonesia and Malaysia. We feel fortunate to be able to present a piece on Southeast Asia from various disciplines and studies. Therefore, we hope that this book will be accepted as a token of our gratitude, and hopefully to inspire and stimulate Southeast Asians to know and care each other.

Indonesia, 15 June 2017

(6)

iii Preface

vi Contents

1-14 Chapter 1

Lokalitas Islam Gorontalo

Basri Amin

15-34 Chapter 2

Perempuan dan Kepemimpinan Menurut Pespektif Islam

Indria Nur

35-64 Chapter 3

Islam dan Adat dalam Pernikahan Masyarakat Bugis di Papua Barat

Ismail Suardi Wekke

65-74 Chapter 4

Connecting Local Actors into National Policy Processes: An Issue on Ecotourism in Malaysia

Cahyo Seftyono

75-85 Chapter 5

Religious Blasphemy in Indonesian Digital Public Sphere: The Intersection between Civility, Authority, and Ideology

Fazlur Rahman

86-91 Chapter 6

Public Service Delivery: Do We Need any Reforms?

Zalinah Ahmad

92-104 Chapter 7

Open Governance, Close Government Participation and Transparency in Local Governance, Gowa Regency Indonesia

(7)

Rozita Abdul Mutalib, Zalinah Ahmad, Rozita Arshad, Fazilah Mohd. Othman

115-139 Chapter 9

Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung: Tinjauan Teori dan Sisi Gelapnya

Agus Sutisna

140-150 Chapter 10

Relawan: Dari Gerakan Sosial ke Proyek Politik

Ustad Mangku Alam, Erisandi Arditama, Cahyo Seftyono

151-165 Chapter 11

Community-Based Peacebuilding in Malaysia: Penang Experience

Aizat Khairi, Mior Khairul Azrin Mior Jamaluddin

(8)

Lokalitas Islam Gorontalo

Basri Amin12 1

Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia 2E-mail: basri@ung.ac.id

Pendahuluan

Gorontalo dikenal sebagai salah satu “daerah contoh” yang berhasil menjadikan agama Islam sebagai identitas utama dari bangunan budaya dan perkembangan masyarakatnya. Pengaruh Islam di kawasan ini diyakini sebagai sebuah perjalanan panjang yang cukup unik, baik ditinjau dari posisi geografisnya maupun dilihat dari narasi sejarah yang sukses dalam periode kesultanan-kesultanan Islam yang pernah ada.

Perkembangan kajian tentang sejarah dan dinamika perkembangan Islam di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi harus diakui bahwa publikasi yang benar-benar ‘komprehensif’ belum bisa menempatkan kawasan Utara Nusantara, khususnya Gorontalo, secara memuaskan (Taulu, 1977; Hamka, 1981; Hasjmy, 1989; Qoyim, 1993; Tjandrasasmita, 2000; Polontalo, 2008). Padahal, adalah suatu realitas penting yang kita saksikan hingga kini bahwa agama Islam menjadi kekuatan besar yang mempengaruhi sendi-sendi sosial kebangsaan kita. Sejak abad XV agama Islam resmi menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di kepulauan nusantara, termasuk di wilayah timur Nusantara (Abdullah, 1987, 1996; Putuhena, 1996; Nur, 1996).

(9)

Namun demikian yang harus diakui adalah bahwa perkembangan atau penyebaran Islam, khususnya di Gorontalo, menyebabkan hal-hal spesifik dan juga memunculkan kenyataan-kenyataan sosial baru (Polontalo, 1998; Niode, 2007). Ini terjadi karena umumnya gerakan sosial keagamaan memang selalau bersentuhan dengan tata sosial yang ada. Karena itulah sehingga bisa dikatakan bahwa kontak awal antara pengembang-pengembang agam Islam dengan jenis kebudayaan dan masyarakat lokal merupakan suatu proses akomodasi dan adaptasi budaya, termasuk politik.

Kilasan Historis Islam Gorontalo

Raja Amai (1523 - 1550) merupakan peletak dasar Islamisasi di Gorontalo setelah melakukan perkawinan dengan Owutango—putri Raja Palasa Ogomonjolo (Kumojolo) di Siyendeng, Tomini yang mempunyai pertalian darah dengan Raja-Raja Ternate.1

Proses peng-Islaman Raja Amai dimulai dari kunjungannya untuk memperkuat hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini. Di Kerajaan Palasa, Raja Amai terpikat dan kemudian melamar putri Owutango. Setelah disepakati dalam Kerajaan Palasa, akhirnya lamaran Raja Amai diterima dengan suatu syarat harus di Islamkan dan begitupula secara langsung adat istiadat yang berlaku pada masyarakat Gorontalo harus bersumber pada Al-Quran. Hal ini terbukti Raja Amai melakukan pembaharuan dalam kerajaan dengan mengembangkan prinsip adat dan kebiasaan masyarakat disesuaikan dengan ajaran Islam.2

Setelah pelaksanaan perkawinan, Raja Amai kembali ke Gorontalo bersama istrinya putri Owutango dan didampingi 8 raja-raja kecil di bawah vasal Palasa yaitu Tamalate, Lemboo, Siyendeng, Hulangato, Siduan, Sipayo, Songinti dan Bunuyo. Mereka ini diharapkan bertugas membantu Raja Amai dalam membimbing masyarakat serta merancang adat istiadat yang

1

Richard Tacco, Het Volk Van Gorontalo: Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal

Karakteristiek…, hlm. 26. Salah satu aspek dari peristiwa proses Islamisasi di Gorontalo perlu

mendapatperhatian selanjutnya. Taufik Abdullah (1996) memberi indikasi bahwa islamisasi Gorontalo

berlainan dengan kerajaan di Nusantara pada umumnya, seperti Gowa yang peng-Islamannya

diperkenalkan melalui para mubaligh lewat raja-raja. Dalam kasus Gorontalo –yang mempunyai

hubungan dengan Ternate- tampaknya unsur “diplomatik kerajaan” berperan penting dalam proses

penyebaran Islam di wilayah ini.

2

(10)

berpedoman pada Islam.3 Kedatangan Raja Amai dan para pembesar Kerajaan Palasa di Gorontalo disambut pembesar Kerajaan Gorontalo. Selanjutnya 8 raja-raja kecil Palasa diberi gelar Olongia walu lonto otolopa.

Di Kerajaan Gorontalo, mereka membagi tugas sesuai dengan bidang dan kemampuan yang dimilikinya, seperti Raja Tamalate, Lemboo, Siyendeng dan Hulangato ditugaskan merancang adat-istiadat yang akan diberlakukan pada masyarakat Gorontalo. Selain itu, Raja Tamalate dan Siyendeng juga mengajarkan tentang cara pembuatan peralatan rumah tangga seperti tolu, tutup saji dan pembuatan garam dapur. Demikian pula bagi Raja Siduan, Sipayo, Songinti dan Bunuyo bertugas mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan mantera-mantera dan dukun dalam pengobatan. Di samping itu, 8 raja tersebut juga bertugas sebagai muballigh dalam pengembangan ajaran Islam pada masyarakat.4

Mereka diberikan lokasi pemukiman tersendiri oleh Raja Amai di daerah Hunto (Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan sekarang). Di daerah tersebut juga didirikan sebuah tempat ibadah yang disebut Tihi Lo

Hunto (Mesjid Sultan Amai sekarang).5 Dari lokasi dan masjid inilah kemudian menjadi pusat kegiatan pendidikan dan kebudayaan Islam (awal) di Gorontalo. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan berupa dakwah dan tablig tentang keagamaan-kemasyarakatan dalam hubungan dunia dan akhirat. Demikian pula dalam aktifitasnya mulai memperkenalkan dan mengembangkan prinsip adat dan kebiasaan yang berlaku pada kerajaan dengan cara ajaran Islam, sehingga adat memegang peranan penting dalam saluran Islamisasi. Pada tahun 1566 agama Islam secara resmi menjadi agama kerajaan dan mengatur adat istiadat dengan memasukkan pengaruh Islam di dalamnya.6

Dalam kerajaan mulai ditetapkan bahwa pentingnya adat istiadat disesuaikan dengan syariah Islam, hasil rumusan ini dikenal dengan prinsip

“saraa topa-topango to adati” artinya syarah bertumpu pada adat. Pada

3

S. R. Nur, Beberapa Aspek Hukum Adat Tata Negara Kerajaan Gorontalo Pada Masa Pemerintahan

Eato 1673-1679 (Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1979), hlm. 21; Daulima, F. (2007). Kisah

Puteri Owutango dari Palasa: Kisah awal mula tersebarnya agama Islam di daratan Gorontalo.

(Gorontalo, LSM Mbui Bungale).

4

Tahir A. Giu “Adat Istiadat di Kampung IV Kecamatan Paguat” dalam Makalah Seminar Adat

Gorontalo (Limboto, 1971), hlm. 1.

5Kata Hunto berasal dari “Ilohuntuwa”, artinya tempat raja dan rakyat berkumpul

(Lipoeto, 1950, jilid XII: 16)

6

K. Abdussamad, et al., (peny.), Empat Aspek Adat Gorontalo (Jakarta: Yayasan 23Januari 1942,

(11)

rancangan adat yang dibuat Raja Amai bersama 8 raja-raja kecil tersebut telah menghasilkan suatu rumusan adat sebanyak 185 adat yang diberlakukan.7 Prinsip-prinsip adat itu menjadi pegangan utama dalam menjalankan pemerintahan kerajaan serta hubungannya dengan masyarakat yang berpola pada kehidupan Islami.

Dapat dikatakan bahwa proses terjadinya perkawinan kedua golongan elite kerajaan lebih menguntungkan dan mempercepat saluran Islamisasi dalam masyarakat Gorontalo. Secara diplomatik, kedua kerajaan secara langsung berhubungan dengan Ternate.8 Perubahan serempak dalam skala luas, menempatkan penguasa lokal dan pengikutnya beralih memeluk agama Islam. Keberhasilan Islam disebabkan bahwa status politik kerajaan menjadi faktor penentu proses Islamisasi dengan lebih mudah penerimaan dan penyebarannya di kalangan rakyat, karena raja mempunyai wibawa dan kharisma di tengah masyarakatnya. Namun beberapa di antaranya dalam lingkungan penduduk masih menganut kepercayaan aninisme, antara lain dengan adanya penyembahan kepada kekuatan gaib.

Pada tahun 1590 Raja Amai digantikan oleh putranya Motolodulakiki sebagai Olongia To Tilayo. Dalam kehidupan penduduk penganut aninisme yang kebiasaannya menyembah dewa Gunung Tilongkabila—Toguwata, Malenggabila, dan Longgibila—secara perlahan mulai berpindah ke agama Islam. Faktor ini didukung oleh kebijakan raja yang menarik penduduk memeluk agama Islam. Untuk lebih memahami ajaran Islam, Motolodulakiki mengutus pembesar kerajaan guna mempelajari ajaran Islam di Ternate, sehingga dalam ajaran Islam tersebut lebih ditekankan pada ajaran tauhid dan ma'rifat. Semasa pemerintahannya, Motolodulakiki berhasil mengembangkan proses Islamisasi dan memperluas sosialisasi Islam di tengah masyarakat. Hal

ini terbukti setelah diberlakukannya hukum adat dalam “adati hula-hula to saraa, saraa hula-hula to adati” (adat bersendi saraa, saraa bersendi adat), artinya hukum adat dan hukum Islam mempunyai kedudukan yang sama.9

Pengaruh Islam yang besar pada abad-abad setelah periode Raja Amai dapat terlihat misalnya dalam soal pengembangan ilmu-ilmu agama. Hal ini dibuktikan sendiri oleh Riedel dalam tulisannya tahun 1870 yang berhasil

7

S. R. Nur, Beberapa Aspek Hukum Adat Tata Negara…, hlm. 301.

8

Hubungan erat dengan Ternate menghasilkan persentuhan kebudayaan yang membawa pengaruh Ternate, sampai pada nama gelar jabatan dalam birokrasi Kerajaan Gorontalo. Faktor ini juga didukung adanya hubungan jalur pelayaran dan perdagangan dengan Ternate.

9

Richard Tacco, Het Volk Van Gorontalo: Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal

(12)

mendaftarkan 77 Kitab Islam klasik yang beredar dan diajarkan di wilayah Gorontalo.10

Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang “lokalitas Islam” di

Gorontalo dengan mendiskusikan hubungan antara dimensi normatif (ajaran) Islam dan adaptasinya di tingkat lokal berupa dimensi “adat”.11 Kajian ini bersifat telaah tekstual berdasarkan sumber-sumber dokumentasi pemikiran di Gorontalo. Apa yang disajikan dalam tulisan ini sudah tentu sangat terbuka untuk dikembangkan, bahkan diperdebatkan karena belum sepenuhnya mampu menyuguhkan sebuah pembacaan yang tuntas. 12

Islam dan Falsafah Adat Gorontalo

Bermula dari pencermatan umum bahwa sejauh ini mungkin masih banyak orang yang bertanya soal falsafah daerah Gorontalo yang sudah

populer kita kenal: “Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah”, atau adati hulahulaa to syaraa, syaraa hulahulaa to Quruani” (selanjutnya disingkat adat-syara-kitabullah/Quran -ASQ). Mungkin juga ada di antara kita yang masih bertanya tentang aspek originalitasnya. Apakah ASQ itu berasal dari negeri Gorontalo, atau itu “diambil” dari tempat-tempat lain, oleh orang-orang tertentu, dan pada masa-masa tertentu.

Tema ini sering pula disambungkan dengan daerah Minangkabau,

Sumatera Barat, yang sekian lama dikenal sebagai “pemilik” falsafah ASQ. Perbincangan-perbincangan orang per orang dan forum-forum ilmiah sudah beberapa kali diselenggarakan di Gorontalo. Juga, sudah beberapa buku yang terbit. Sayangnya, karena khusus untuk topik ASQ ini tampaknya belum sepenuhnya tuntas pembahasannya. Ini terlihat, misalnya pada kumpulan

10

J.G.F. Riedel, De landschappen Hulontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattingola, of Adangile,

geographische, statistische, historische en ethnographische (TBG, 1870) mendaftarkan

kitab-kitab Islam tersebut, seperti: Zuhratul muriidi, Bidayatul mubtadii, Ihyaúl Úluumu (mi) diin,

Kasyfulkirami, Ushulul i’tiqadi, dsb.

11Tulisan ini merupakan pengembangan dari kajian penulis sebelumnya. Baca: Basri Amin, Memori

Gorontalo: Teritori, Tradisi dan Transisi (Ombak Jogjakarta, 2012). Penulis berterimakasih kepada Wati Razak Unonongo, Firda Amalia Agussalim, Yeyen Lestari Ngiu, Fiskawati Tahir, Sri Mulyati, Sulistiya Abd. Latif dan Moh. Risky Kasim yang membantu persiapan dan perbaikan tulisan ini.

12

Tinjauan tertulis pernah disampaikah oleh antropolog Unsrat Manado, Mahyudin Damis (2011) Kritik Terhadap Falsafah “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah” di Gorontalo. Lihat

(13)

makalah Kongres Nasional Bahasa dan Adat Gorontalo I, Universitas Negeri Gorontalo, 13-15 Mei 2008. 13

Dalam faktanya, pada tanggal 18-21 September 1971 sebuah seminar besar adat istiadat daerah Gorontalo diselenggarakan di Limboto untuk menjawab banyak hal tentang ke-Gorontalo-an itu. Seminar ini bukan hanya menghasilkan sebuah dokumen historis yang penting (300 halaman lebih), tapi sekaligus bisa menjadi salah satu tonggak literasi dan pencapaian peradaban daerah Gorontalo. Dinamika yang terjadi dalam forum ini direkam dengan baik, partisipan yang terlibat jumlahnya lebih dari memadai (dari dalam dan luar Gorontalo), dukungan pemerintah yang besar dengan dedikasi kerja panitia yang luar biasa.

Pada forum seminar 1971 inilah antara sarjana dan non-sarjana,

perwakilan semua kampung di Gorontalo, dan unsur pemerintah “bertemu”

dan menentukan formula-formula “identitas” Gorontalo itu. Tentu saja ada banyak situasi yang terjadi yang sulit kita ketahui hanya dengan melihat dan membaca dokumennya. Kita misalnya tak bisa melihat foto-foto dan rujukan-rujukan tertulis. Tapi perdebatan-perdebatan yang terjadi dan kesetaraan posisi dalam mengutarakan pendapat relatif sangat terbuka prosesnya dalam forum ini, bahkan ada yang menggunakan bahasa asing (Belanda dan Inggris). Di ujung acara dibentuk komisi-komisi perumus hasil akhir, tapi tentu saja tidak semua tema utama berhasil dituntaskan pada seminar ini, bahkan ada beberapa agenda lanjutan dalam bentuk penelitian yang lebih mendalam adalah Kuno Kaluku pada Seminar 1971 itu yang

memberikan prasaran tentang “Sejarah Adat Istiadat dan Agama Islam

yang secara terbuka memformulasi ungkapan “Adat bersendi syara, syara

bersendi kitabullah” (halaman 30). Dalam disertasi S.R Nur (1979), kita bisa

mengenal Kuno Kaluku sebagai pensiunan Kepala Jawatan Penerangan Gorontalo. Dia adalah salah satu pemrasaran utama dalam seminar 1971.

Kuno Kaluku sendiri mengakui bahwa ASQ ini “tidak pernah tertulis”,

tapi ia merupakan tuntutan yang harus ditaati sebagai fatwa leluhur yang telah disempurnakan oleh agama Islam. Kaluku menjelaskan perkembangan pemahaman ini dengan lumayan rinci dan sistematis –sambil mengakui bahwa

13

Dari total 27 makalah pada Kongres besar ini, hanya ada satu tulisan yang menyebut soal ASQ, yaitu oleh D.K. Usman (halaman 139). Tapi, rujukan tekstual yang beliau ajukan masih jauh dari memadai (seperti salah tulis dan lemah dalam akurasi data waktunya), meskipun beliau berhasil menyampaikan beberapa

“ungkapan falsafah” yang dalam pandangan hidup masyarakat Gorontalo. Kita bersyukur karena forum

(14)

ada banyak hal yang telah dirusak oleh kolonialisme--. Penyampaian Kaluku kemudian diperkaya oleh beberapa pembahas lain yang hadir, terutama bagaimana unsur-unsur utama dalam “alam semesta” (angin, api, air dan tanah) dan kemudian disempurnakan oleh elemen manusia (budi, kemauan dan hidup) oleh Agiorno H Dungga, SH. (halaman 126-151).

Pemahaman ‘lokal’ tentang adat di Gorontalo sungguh-sungguh sangat terasa adanya suatu konvergensi (pengcocokan) di satu pihak, dan distingsi (pembedaan) di pihak lain antara keberadaan unsur adat asli

(sebelum Islam) dan ‘adat pengukuh’ berupa tata adat baru (pengaruh Islam)

dalam penggambaran yang dilakukan sejauh ini. Oleh K. Kaluku (1971), disebutkan beberapa konsep adat: ‘adat yang sebenarnya adat’ (adat asali,

adat alam), ‘adat yang diadatkan’ (kebulatan mufakat dan musyawarah) dan ‘adat yang teradatkan’ (adat kebiasaan masyarakat). 12

Lebih jauh K. Kaluku (dalam S.R Nur, 1979: 195-196) menguraikan adat Gorontalo:

Adat Gorontalo yang berdasarkan ketentuan-ketentuan alam itu adalah merupakan suatu rahmat yang diperoleh oleh moyang orang Gorontalo dari Tuhan Yang Maha Esa...Kedatangan agama Islam ke Gorontalo adalah rahmat baru bagi orang Gorontalo dengan langsung mendapat petunjuk dar Tuhan melalui kitab suci Al-Quran yang disampaikan oleh Nabi Besar Muhammad SAW

....Maka agama Islam dengan kedatanagannya ke Gorontalo

bukanlah menghancurkan adat Gorontalo, seperti dia Islam menghancurkan kepercayan lainnya, tetapi kedatangan agama Islam itu adalah menyempurnakan adat Gorontalo yang telah ada itu...Yang demikian itu tidaklah mengherankan, sebab sesungguhnya orang dan masyarakat Gorontalo alam berkembang ini menjadi guru. Dan alam itu adalah amanat yang diterima dari Allah SWT oleh moyang kita untuk dipergunakan bagi dirinya dengan niat meninggalkan jasa dan selanjutnya

diwariskan kepada anak cucu dikemudian hari”.

(15)

“Tiba-tiba datanglah suara dari atas, demikian: “Ta addub yaa

qalamu fasaara adatun”. (Hai qalam, beradablah engkau!)

Inilah yang disebut adat. Disebutlah dalam hadist: (a). Laa diena liman laa adabalahu (tiada beragama barangsiapa yang tak beradab atau beradat), (b). Al adabu fauqal ilmu (adab itu di atas ilmu). Sumber dari semua kaidah (butu-topayu) adalah: (1). Banguasa talalo (bangsa manusia kita jaga dan hormati), (2.) Lipu Poduluwalo (negara dibela), (3). Batanga Pomaya (badan diamalkan), (4). Alata potombulu (harta dibelanjakan di jalan Allah), dan (5). Nyawa podunggalo (keikhlasan hati kepada

Allah)”

Kutipan di atas cukup jelas memperlihatkan bagaimana “lokalisasi”

pemahanam agama (Islam) yang spritualistik diwujudkan melalui suatu proses

“penyambungan pemahaman” dalam konteks masyarakat Gorontalo. Di satu sisi

ada penyesuaian linguistik, tapi di sisi lain ada pengukuhan tentang

“bersatunya” elemen (lokal) Gorontalo dan substansi (universal) ajaran Islam.

Tentang ASQ – Gorontalo

Adalah Prof. S.R. Nur (almarhum) dalam disertasinya (1979)

Beberapa Aspek Hukum Adat Tata Negara Kerajaan Gorontalo Pada Masa Eato (1673-1679)” yang menegaskan bahwa rumusan “adati hulahulaa to saraa, saraa hulahulaa to Quruani” adalah sebuah rumusan adat yang lahir pada masa Sultan Eato (1673-1679). Ketentuan inilah yang bisa dikatakan sebagai sebuah dasar falsafah dari kehidupan masyarakat Gorontalo yang

“tidak bisa dirubah-rubah menurut tuja’i-tuja’I yang berhasil dikutipkan dalam tulisan klasik M. Lipoeto (1945, jilid VI: 23, 24. dalam Nur, 1979: 197). S.R. Nur memperkuat kesimpulan ini dengan merujuk beberapa informan kunci (penutur) dalam risetnya.

(16)

yang ditulis Lipoeto telah dibenarkan oleh tiga orang penutur utama sebagai sumber data tulisan S.R. Nur, meskipun mereka kemudian menambahkan bahwa kedatangan raja-raja tersebut terjadi pada beberapa hari sebelum Maulid Nabi Muhammad SAW 932 Hijriyah, sekitar 1525 Masehi. Adapun keberhasilan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan rakyat adalah hasil yang dicapai pada masa Matolodulakiki (1550-1585).

Berdasarkan sumber-sumber penutur dan tulisan Lipoeto (1950), secara

ringkas ditemukan penjelasan bahwa falsafah: “Saraa topa-topanga to adati

(syarak yang bertumpu pada adat) adalah sintesis kultural yang dicapai pada masa Raja Amai (1523?). Pada masa Amai inilah berhasil disusun 185 pasal adat Gorontalo yang diwariskan kepada orang tua-tua Gorontalo, yang kemudian hal itu pertama kali disampaikan rinciannya oleh B. Ismail (Kepala Kampung Poowo, Kecamatan Kabila), sebagaimana bisa kita baca pada halaman 203 - 205 Himpunan Bahan-Bahan Seminar Adat Gorontalo 1971. Dalam beberapa sumber, cukup sering ditegaskan bahwa falsafah “Adati hulahulaa to saraa, saraa hulahulaa to adati” (adat bersendi syarak, syarak bersendi adat) berlaku pada masa Matolodulakiki (1550 -1585).

Semua data tertulis di atas dikonfirmasi dalam tulisan S.R. Nur halaman 220 - 221 dengan sandaran sumber data penutur dan tulisan M. Lipoeto (1950 jilid XII). Saya pribadi belum pernah berhasil membaca 13 jilid tulisan Lipoeto itu, hanya sekitar 6 - 8 jilid yang sempat saya baca, sementara di Leiden hanya ada 1 jilid saja.

Perjumpaan Islam dan Lokalitas

Perjalanan dan perjumpaan antara Islam yang datang dan lokalitas Gorontalo tentu memiliki dinamikanya sendiri yang tidak dengan mudah kita sederhanakan secara tekstual. Dari sinilah periodisasi peristiwa, pola-pola kesadaran hidup, perkembangan bahasa, struktur masyarakat dan teritori, dan reproduksi ritual lokal menjadi sebuah tuntutan untuk dikaji dan dipahami. Sayangnya, kita amat terbatas untuk memperoleh jawaban dari sumber-sumber tertulis Gorontalo (baca: dokumen). Sumber penuturan, artefak dan ritual adalah elemen-elemen yang begitu dominan dan dengan mudah kita cermati di permukaan. Yang jelas, keunikan Gorontalo secara tradisional (dalam sistem hukum adat), telah dilegitimasi oleh ahli hukum adat terkenal Belanda Van Vollenhoven ketika menempatkan daerah Gorontalo pada urutan ke-9 dalam

(17)

Adatrecht van Nederlandsh-Indie” (1918, 1931) berdasarkan struktur

teritorial dan asal-usul penduduknya dimana praktik “hukum lokal” diterapkan secara khas atau campuran.

S.R. Nur sendiri tidak begitu memperhatikan lebih jauh soal

“originalitas” ASQ ini. Uraiannya pun relatif terbatas, hanya muncul secara

terbatas pada 5 halaman disertasinya (lihat: halaman 197, 220 - 222). Demikian juga dalam dokumen Seminar Adat 1971. Dari sini cukup jelas bahwa para pendahulu kita tidak memperhitungkan akan pertanyaan-pertanyaan (tekstual dan geneologis) generasi Gorontalo berikutnya tentang ASQ. Yang terang, dokumen Seminar 1971 itu bisa dikatakan sebuah tonggak intelektual yang penting artinya bagi Gorontalo. Forum ini memfasilitasi sebuah perdebatan, yang saya kira, belum tertandingi fokus dan pendalamannya hingga kini di Gorontalo. Prosiding Seminar cukup tersusun rapi, dengan bahasa tulisan yang lumayan tertata. Namun, forum ini relatif masih gagal memperlihatkan bahwa beliau-beliau yang hadir pada saat itu familiar dengan literatur Gorontalo. Nyaris perbincangannya tak pernah menyebut buku dan kitab-kitab Gorontalo secara mendalam. Yang ada justru teori-teori asing tentang hukum, sains dan budaya.

S.R. Nur sebagai orang yang sangat mumpuni kedalaman pengetahuannya tentang histori Gorontalo bahkan menyebut sedikit sekali soal falsafah ASQ, itu pun hanya dengan merujuk sumber-sumber lisan dan tulisan M. Lipoeto (terbit 13 jilid, pada periode 1943 - 1950). Bisa dikatakan bahwa inilah satu-satunya sumber tertulis yang berpengaruh dalam perkembangan penulisan Gorontalo. Meskipun sebelum 1940-an, Richard Tacco (1935) telah menulis dalam bahasa Belanda tentang “kebudayaan gorontalo, sejarah, tradisi

dan karakter sosial ekonomi”. Dikemudian hari, perkembangan bahan tertulis

Gorontalo kembali diperkaya oleh karya tulis lainnya, seperti oleh Kuno

Kaluku, “Lukisan Segi Kebudayaan Limo lo pohalaa” (1965) dan “Sekuntum Bunga kebudayaan Limo lo Pohalaa Gorontalo” (1968). Selain itu, ada pula beberapa manuskrip yang tak sempat diterbitkan, seperti yang berhasil diidentifikasi oleh S.R. Nur (1979), rinciannya sebagai berikut: Radjik Nur (1937), “Buku Bangsa Limo Pohalaa (Gorontalo-Limboto, Limboto-Gorontalo),

(18)

Istiadat” (1968); A.I, Baga “Sekapur Sirih tentang kebudayaan Gorontalo” (1968); Sjarif Husain, “Perang Panipi” (1968); Moetalib Lipoeto, BA, “Struktur Kerajan Limboto dan Gorontalo” (1965); Achmad Rahman “Kronik-kronik dan Salinan-Salinan Buku Tua” (tanpa tahun), S. Berahim

(1967), “Istilah Negara (U Lipu)” dan D. Bone “Nama Raja-Raja Gorontalo

(tanpa tahun); Idrak Dai (1970), “Sedjarah Hulijahu di dunia dan Boalemo” (salinan dari buku-buku tua).

Tradisi tulisan kita memang sangat terbatas. Kekuatan “penuturan”

dan impresi-impresi oral dan ritual cukup dominan dalam setiap periode perkembangan masyarakat Gorontalo sejauh ini. Meski demikian, keliru pula kalau kita menyimpulkan bahwa Gorontalo tak punya akar literasi dan tradisi intelektual. Publikasi yang ada bisa dengan meyakinkan menegasi

kesimpulan yang pesimistis itu. Sebagai “buah tangan” asli Gorontalo yang tercatat, ungkapan falsafah ASQ itu bisa dikatakan barulah secara eksplisit terdengar, terbaca dan dibahas pada tahun 1971, meski sebelumnya telah disebutkan oleh M. Lipoeto tahun 1945.

Adalah Kuno Kaluku, seorang yang menyampaikan risalah tertulis dan membangun argumen tentang ASQ Gorontalo itu secara ekspisit, meskipun kemudian tidak menjadi suatu tema penting yang kemudian disimpulkan secara tekstual dalam komisi perumusan akhir. Kalau demikian, lalu dari mana akar-akar falsafah ini? Dengan membaca studi S.R. Nur yang telah melakukan riset panjang (sejak 1961) dan penghayatan budaya (sejak 1934), bisa dijadikan sandaran formal yang berotoritas bahwa ASQ itu merupakan salah satu pencapaian kultural dari peradaban Islam Gorontalo pada masa Sultan Eato (1673 - 1679), di mana akar-akar awalnya terproses dari masa Amai (1523/1525) dan Matolodulakiki (1550 - 1585).

Sebuah formula kata-kata tidak bisa menjadi titik permulaan dari sebuah garis panjang kehidupan yang sudah dijalani sebuah masyarakat sekian lama. Memori kolektif mereka jauh lebih luas dan dalam daripada akumulasi kata-kata yang dihasilkannya. Tapi, dari sanalah kita memperoleh petunjuk atau titik masuk untuk menyelami kompleksitas itu. Setiap masa tentu punya kompleksitasnya sendiri, tapi jawaban-jawaban yang dilahirkan oleh setiap zaman pun tetap hadir dan dibuktikan oleh masyarakat pada setiap zaman yang berbeda-beda itu.

(19)

komprehensif. Yang hendak didorong adalah semata pengayaan pengetahuan tentang Islam dan lokalitas Gorontalo, dengan menyandarkan diri pada studi-studi dokumentatif. Pendekatan ini tentu sangat terbatas dan membutuhkan dukungan dan peralatan lain bila kita bermaksud mendalami tema-tema khusus yang pelik. Tapi, apa pun itu motivasinya, bahan-bahan dokumentatif akan sangat membantu penelusuran sumber-sumber pengetahuan yang lebih utuh dan mendalam. Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan baru terus bermunculan, sementara jawaban, metode dan sumber-sumber data belum bisa mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan yang meyakinkan.

Kesimpulan

Islam sebagai suatu fakta historis dan sebagai kekuatan kultural serta sumber nilai-nilai etik dan moral masyarakat, selayaknya kita elaborasi dan maknai proses dan konteks kesejarahannya. Ini tidak dimaksudkan sebagai romantisme kesejarahan, tetapi semata-mata karena kita yakin bahwa dengan mengenal masa lalu maka kita dimungkinkan untuk merumuskan strategi hidup saat ini dan dimasa depan.

Islam di Gorontalo sebagaimana terdapat dalam beberapa literatur yang ada, ditemukan masih kurang kajian dan pembahasannnya. Tidak dalam pengertian ketidakjelasan waktu dan ruang sosiologisnya tetapi pada aspeknya yang lebih komprehensif. Terutama bila dihubungkan dengan posisi Islam ketika disebarkan dan ketika diterima di masing-masing lokalitas. Juga dalam hubungannya dengan penjajahan serta interaksi antara etnik dan daerah di kepulauan Nusantara.

Tulisan ini berusaha memperlihatkan bagaimana lokalitas (budaya) Gorontalo terlibat dalam suatu pergumulan historis yang sangat dinamis. Hal ini terbukti ketika islamisasi Gorontalo berhasil melahirkan pemahaman yang seimbang antara identitas setempat (adat) dan rujukan agama (Islam) dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Abdullah, T, (Ed). (1987). Sejarah dan Masyarakat. Lintasan Historis Islam

di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

(20)

Abdussamad, K. et al., (peny.). (1985). Empat Aspek Adat Gorontalo. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942.

Daulima, F. (2007). Kisah Puteri Owutango dari Palasa: Kisah awal mula

tersebarnya agama Islam di daratan Gorontalo. Gorontalo: LSM Mbui Bungale.

Giu, T.A. (1971). “Adat Istiadat di Kampung IV Kecamatan Paguat” dalam

Makalah Seminar Adat Gorontalo. Limboto.

Haga, B.J. (1981). Lima Pohalaa. Susunan Masyarakat, Hukum Adat dan

Kebijakasanaan Pemerintahan di Gorontalo. Jakarta: LIPI-Djambatan.

Hamka. (1981). Sejarah Umat Islam jilid III dan IV. Jakarta: Bulan Bintang. Hasjmy, A (Ed.). (1989). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di

Indonesia. Jakarta: PT. Almaarif.

Kaluku, K. (1965). Lukisan Segi Kebudayaan dari Limo Lo Pohalaa. Gorontalo: Penerbit Rumah Sangkar Gelatik.

Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900,

Jilid I. Jakarta: Gramedia.

Lipoeto, M.H. (1943). Sedjarah Gorontalo, Doea Lima Pohalaa, I-IV.

Gorontalo: Pertjetakan Ra’jat.

Lipoeto, M.H. (1945). Sedjarah Gorontalo, Doea Lima Pohalaa, V-VI.

Gorontalo: Pertjetakan Ra’jat.

Lipoeto, M.H. (1949). Sedjarah Gorontalo, Doea Lima Pohalaa, VII-XI.

Gorontalo: Pertjetakan Ra’jat.

Lipoeto, M.H. (1950). Sedjarah Gorontalo, Doea Lima Pohalaa, XII-XIII.

Gorontalo: Pertjetakan Ra’jat.

Mattulada. (1978). Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Makassar: UNHAS.

Navis, A.A. (1984). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan

Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.

Niode, A.S. (2007). Gorontalo: Perubahan Nilai-nilai Budaya dan Pranata

Sosial. Jakarta: Pustaka Indonesia Press.

Noorduyn, J. (1991). A critical survey of studies on the languages of

Sulawesi”. Leiden: KITLV.

Nur, S.R. (et.al). (1996). “Ruh Islam Dalam Budaya Nusantara Dalam

(21)

Nur, S.R. (et.al). (1979). Bebrapa Aspek Hukum Adat Tata Negara Kerajaan

Gorontalo pada Masa Pemerintahan EATO (1673-1679). Disertasi. UNHAS Makassar.

Nur, S.R. (et.al). (1981). Buku Bangsa Lima Pohalaa. Jakarta: KITLV-LIPI. Polontalo, I. (1998). Sejarah masuk dan Berkembangnya Islam di Gorontalo.

Paper Seminar Sejarah Perkembangan Islam di Sulut. FKMM Manado. Putuhena, S.A. (1996). Sejarah Agama Islam di Tarnate. Paper Diskusi Ilmiah

Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutera. Ternate.

Qoyim, I. (1993). “Ulama di Indonesia Pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX”. Jurnal Sejarah Jakarta: ramedia.

Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di

Bawah Angin. Jilid I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Riedel, G.J.F. (1870). Het landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo

en Katinggola of Andagile, TBG, XIX.

Steenbrink, S. (1995). Kawan dalam Pertikaian, kaum Kolonial Belanda dan

Islam di Indonesia (1596-1942). Bandung: Mirzan.

Tacco, R. (1935). Het Volk Van Gorontalo: Historich Traditioneel

Maatschappelijk Cultural Sociaal Karakteristiek en Economisch. Gorontalo: Gorontalo Drukkerij.

Taulu, H.M. (1977). Masuknya Agama Islam di Sulawesi Utara Dengan

Perkembangan Dalam Ikatan Kebudayaan dan Hukum Adat Daerah Terutama Minahasa (1523-1977). Manado: Yayasan Manguni Rondor.

Tjandrasasmita, U. (2000). Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota

Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVII Masehi. Jakarta: Menara Kudus.

Tim Peneliti IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo. (1982). Peerjuangan

(22)

Perempuan dan Kepemimpinan

Menurut Pespektif Islam

Indria Nur12

1

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong, Indonesia 2E-mail: nurindhie@yahoo.co.id

Pendahuluan

Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada dimuka bumi, dengan berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, suami isteri, siang malam, bumi langit, dan positif negatif. Keberpasangan mengandung perbedaan sekaligus persamaan. Meskipun demikian, keberpasangan bukan sesuatu yang bersifat suplemen namun bersifat komplemen. Karena itu, perbedaan dan persamaan dalam keberpasangan merupakan sesuatu yang

given, apa adanya dan tidak dapat dihindari. Keberpasangan dengan perbedaan dan persamaan merupakan desain, agar kehidupan berjalan baik dan seimbang.

Lelaki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi harmonis dalam keluarga dan masyarakat. Ini berarti kita dituntut untuk mengetahui keistimewaan dan kekurangan masing-masing, serta perbedaan-perbedaan antara keduanya. Tanpa mengetahui hal-hal tersebut, maka orang bisa mempermasalahkan dan menzalimi banyak pihak. Dan menganiaya perempuan karena mengusulkan hal-hal yang justru bertentangan dengan kodratnya.

Perempuan adalah makhluk yang paling unik. Diskursus tentang keunikan perempuan selalu menarik diperbincangkan dalam berbagai perspektif. Beragam wacana yang muncul tentang perempuan selalu aktual. Salah satu aspek keunikan perempuan yang selalu hangat diperbincangkan adalah pentingnya peran perempuan di area publik. Seperti halnya UU Parpol dan UU Pemilu yang mengamanahkan kuota keterwakilan perempuan 30 persen, baik dalam kepengurusan parpol maupun dalam kompetisi menuju parlemen. Peluang dalam kontestasi politik menghangatkan kembali perbincangan antara fungsi, peran dan tanggung jawab perempuan di area

(23)

muslimah menyikapinya?. Penelitian ini akan membahas kajian secara kualitiatif bagaimana perempuan dan kepemimpinannya menurut perspektif Islam. Sehingga tidak adanya kesimpang siuran dan dilematis bagi perempuan muslim (muslimah) dalam berkiprah di dunia publik atau perpolitikan.

Teori

Islam memberi apresiasi yang sangat tinggi terhadap kaum wanita. Al-Qur’ân sarat dengan simbol dan pesan-pesan tentang wanita. Bahkan ada dua surah yang memberikan apresiasi secara spesifik terhadap posisi dan kedudukan wanita, yaitu QS. Al-Nisa dan QS. Al-Thalaq. Serta pernyataan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam QS. Al-Hujurat:13.

Al-Qur’ân sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan sama. (Asad Muhammad, 1980:933). Sehingga perlulah melakukan rekonstruksi secara kritis tentang gerakan feminisme dikaitkan dengan perspektif agama, khsususnya Islam tentang perubahan sosial. Sehingga dalam memahami ayat-ayat dan hadis tidak secara tekstual saja, melainkan dibutuhkan analisis dan perspektif gender, yang tidak menutup kemungkinan melahirkan tafsir maupun fikih perempuan yang berperspektif keadilan gender. (Mansour Fakih, 2008: 147-148)

Islam telah memberi berbagai hak, kehormatan dan kewajiban kepada perempuan sesuai dengan harkat dan martabat mereka sebagai makhluk yang bertanggung jawab di hadirat Allah SWT baik terhadap diri, keluarga, masyarakat maupun negara. (Qasim Amin, tth: 25-28) Jika Allah saja telah memberikan hak dan tanggung jawab terhadap kaum perempuan, apatah lagi

“manusia” sebagai hamba-Nya. Karena itu, tidak ada alasan bagi kaum laki-laki untuk merasa superior terhadap gender perempuan. Mereka adalah sama-sama makhluk Allah yang akan mempertanggung jawabkan segala aktivitasnya di hadapan Allah Rabbal ‘Alamin.

Selain itu, menolak perempuan untuk tampil dipentas publik atau politik berarti mendiskreditkan mereka yang berarti melanggar Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pembukaan Piagam PBB disebutkan hal-hal yang menunjukkan urgensi persamaan universal antara laki-laki dan perempuan. Diktum itu

(24)

dan martabat individu, dan persamaan hak-hak antara laki-laki dan perempuan, tua dan muda.

Selanjutnya, pasal 13 Piagam PBB tersebut merekomendir Sidang Umum untuk melakukan penelitian-penelitian dan mengeluakan hak-hak asasi manusia. Kemudian pada pasal 1 dan 2 serta dalam pasal 21 yang menyebutkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan urusan-urusan publik negaranya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yakni melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.(Kasjim Salenda,2012:372-373).

Berdasarkan butir-butir yang tertuang dalam universal Declaration of

Human Right, menunjukkan adanya persamaan hak antar semua orang tanpa melihat perbedaan jender (jenis kelamin), warna kulit, bangsa, bahasa, agama dan golongan. Pada prinsipnya, setiap orang memiliki hak dan martabat yang perlu dihormati dalam menjaga keharmonisan interaksi sosial kemasyarakatan.

Seiring dengan laju perkembangan hidup manusia akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi objektif perempuan turut pula berubah. Berdasarkan fakta sejarah, diketahui bahwa sejak saman pra Islam hingga era klasik sangat jarang ditemukan sosok perempuan yang bisa tampil di publik bahkan panggung politik. Hal ini dapat dimaklumi karena hingga abad ke 18 M perempuan belum mendapatkan hak-hak yang diakui secara

yuridis. (Muhammad Anas Qasim Ja’far, 2001: 87). Perempuan hanya

dipandang sebagai makhluk yang tunduk kepada laki-laki, senantiasa menjadi subordinat laki-laki. Hal ini disebabkan karena pemahaman orang terhadap perempuan the second class, bahkan bisa jadi pemahaman

keagamaan yang “kaku” sehingga menempatkan perempuan pada posisi

marginal. Terlebih lagi didukung dengan opini bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin berdasarkan teks Al-Qur’an dan hadis. Pemahaman semacam ini sangat literal tekstual dan diskriminatif terhadap kaum perempuan, padahal Tuhan sendiri mengakui persamaan derajat laki-laki dan wanita. Itulah sebabnya Benazir Bhutto mengatakan bahwa bukan Islam yang menolak kepemimpinan perempuan tetapi kaum prialah yang menolaknya. (Charles Kurzman, 2001: 155)

(25)

bahkan dari segi kualitas sebagai pemimpin melebihi sosok laki-laki. Dengan demikian jika dinilai ada perempuan yang berkualitas tinggi dari segi ketaqwaan dan keilmuwan, maka tidak ada salahnya memberikan tampuk kepemimpinan kepada perempuan.

Sehingga tidak salahlah jika peneliti bersepakat dengan pandangan Mansour Fakih yang menyatakan bahwa diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama, dalam memahami gender sehingga memungkinkan lahirnya tafsir maupun fikih perempuan yang berperspektif keadilan gender.

Metode

Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka dan kualitatif dengan mendeskripsikan berbagai pemikiran para mufassir dalam menyikapi permasalahan perempuan dan kepemimpinan. Selain itu pula menggunakan tekhnik wawancara untuk tokoh perempuan muslimah yang berkiprah di ranah politik dan memegang kepemimpinan.

Hasil dan Pembahasan

A. Kedudukan Perempuan dalam Al-Qur’ân dan Hadis

Islam hadir mengangkat derajat dan harga diri manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah swt. Baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan yang ditegaskan oleh Al-Qur’ân yang kemudian membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah kualitas ketakwaan mereka masing-masing di sisi Allah swt, seperti di tegaskan dalam surah al-Hujurat/49:13 yang berbunyi:

ى نأو ركى نمِ مكاَن خ َ ان اك نن اىنأ ىن ر ىك ا ن َأو نى مكم ى نأو اومرن مَررنَ ا رق ونبومن نى نمبعأو

ر

ا ر َ و خرِ َ ِ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki- laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia

diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”

(26)

kepada Allah dan pengkhidmatan terhadap sesama manusia. Meskipun demikian dalam hal-hal tertentu terdapat perbedaan fungsi dan peran serta tanggung jawab yang diberikan Allah kepada perempuan karena perbedaan kodrat yang dimiliki.

Secara umum, Al-Qur’ân menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan penghargaan dari Allah atas aktivitas amal shaleh mereka, tanpa diskriminasi. Hal ini ditegaskan dalam surah Ali Imran/3: 195, yang berbunyi:

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,

(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”

Diciptakannya perempuan dan laki-laki sama sekali tidak bisa dijadikan legitimasi lebih tingginya derajat kemanusiaan laki-laki atas perempuan, karena al-Qur’ân berkali-kali menegaskan persamaan laki-laki

dan perempuan. Dalam surat Ali’Imrân ayat 195 Allâh berfirman, “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain.”

Maksudnya adalah, laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, begitu juga perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada kelebihan satu sama lain dalam penilaian iman dan amalnya. Bahkan keduanya akan selalu saling membutuhkan, terutama dalam proses reproduksi untuk mempertahankan eksistensinya mereka. Atas dasar persamaan keduanya dalam kapasitasnya

sebagai hamba Allâh itulah Tuhan menegaskan: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik dari laki-laki maupun perempuan).” (QS Ali’Imrân [3]: 195).

Maksud dari ayat-ayat semacam ini tidak lain adalah untuk mengikis habis anggapan bahwa kaum pria adalah superior dan kaum perempuan inferior. Islam memandang kedua jenis kelamin ini dalam posisi yang seimbang karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama derajat kemanusiaannya. Tidak ada kelebihan satu dibanding yang lainnya disebabkan oleh suku, ras, golongan, agama dan jenis kelamin mereka.

(27)

maka akan ditemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan dikelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.

Meskipun demikian, al-Qur’ân juga menyatakan bahwa secara kodrati terdapat pula perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Yang menjadikan adanya petunjuk dan perlakuan yang berbeda antara keduanya.

Dari aspek fisik, terdapat perbedaan antara laki-laki dan dan perempuan. Khususnya dalam hal berpakaian dan bersikap serta bertingkah laku, agar perempuan tetap mampu mempertahankan posisinya sebagai makhluk yang dimuliakan Allah swt. Dalam QS. Al-Nur/24: 31 diberikan petunjuk yang lebih komplit bagi perempuan dari laki-laki. Hal tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan perempuan melainkan untuk memelihara dan pemproteksi mereka agar tidak dilecehkan. Al-Qur’ân juga memberikan tuntutan agar perempuan muslimah menggunakan jilbab agar mereka diketahui identitasnya dan tidak dilecehkan. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Ahzab/33: 59. “Hai Nabi, katakanlah oada istri-istrimu,

anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan

Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Di samping itu, al-Qur’ân memberikan tuntunan bahwa pos dan markas utama perempuan adalah di rumah, tetapi mereka boleh keluar rumah jika memang ada keperluan, dan yang terpenting adalah mereka harus memelihara diri dan kehormatan mereka, tidak berekspresi dan berpenampilan yang mengundang pelecehan seksual terhadap mereka, seperti diisyaratkan dalam surah Al-Ahzab’/33: 33. “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu danjanganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang0orang Jahiliah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahll bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

(28)

pelaksanaan tugas kekhalifahan dan penghambaan diri kepada Allah, maka yang demikian itu adalah bagian dari ibadah dan amal saleh.

B. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Perempuan menjadi pemimpin telah menjadi perdebatan klasik dikalangan para ulama. Padahal perempuan dalam masa Rasul tampil sebagai sosok yang dinamis, santun dan bermoral, dalam jaminan Al-Qur’ân, perempuan bebas berkiprah dalam semua bidang kehidupan, tak terkecual dalam bidang kepemimpinan. Akan tetapi mengapa dalam karya-karya pemikiran Islam yang tampil adalah sosok apatis, rapuh, dan terkungkung dan perempuan menjadi kelas kedua setelah laki-laki?? Padahal beberapa literatur bacaan kita menceritakan kisah perjuangan perempuan membela Islam, diantaranya figur pemimpin perempuan di surga menurut Al-Qur’ân dan Hadis, seperti Asia binti Mazahim, Maryam Binti Imran, Khadijah binti

Khuwaild dan Fatimah binti Muhammad.”

Ada tiga syarat mutlak yang dituntut seorang pemimpin, yaitu kemandirian, kebebasan berpendapat, tindakan agresif. (Amrah Kasim, 2013:3). Ketiga karakteristik ini tidak pernah dianggap ideal dalam diri perempuan di masyarakat Indonesia, karena masyarakat selalu memandang perempuan kurang mandiri, tidak berani mengemukakan pendapat dan agresif sebagai orang yang tidak dapat diterima. Selain itu, sebagian masyarakat menganggap bahwa perempuan yang memiliki ketiga karakteristik tersebut dianggap tidak ideal bahkan dianggap perempuan maskulin.

Meskipun perempuan memiliki potensi menjadi pemimpin, namun perempuan juga memiliki hambatan, baik eksternal maupun internal perempuan itu sendiri. Hambatan eksternal misalnya, beratnya beban perempuan akibat kemiskinan, ketidakadilan dalam pendidikan, ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan, ketidakberdayaan perempuan dalam situasi perang dan konflik, kurangnya akses perempuan dalam setiap level kekuasaan dan pengambilan keputusan, mekanisme yang tidak memadai di tiap tingkat untuk mempromosikan perempuan, kurangnya komitmen untuk mengakui hak-hak perempuan dalam masyarakat, kurangnya pengakuan dan dukungan terhadap peran serta perempuan dalam mengelola sumber daya alam dan melestarikan lingkungan.

(29)

kurang berusaha merebut peluang, perempuan kurang mendapat dukungan baik dari keluarga maupun masyarakat, perempuan masih terbelenggu oleh stereotip sebagai penjaga ranah domestik, perempuan masih kurang memiliki kemampuan menawar, masih terkungkung dalam tradisi misoginis, perempuan masih dihadang pemahaman dan penafsiran agama yang bias nilai-nilai patriarki dan bias gender.

Seperti dalam memahami hadis kadiT .ق ى يف ح قمو م امن كوبهو نوِأة akan mendapatkan kemenangan suatu kaum jika dipimpin oleh perempuan. Namun dalam konteks saat ini, perempuan yang bagaimanakah yang akan membawa kehancuran sebagaimana dalam hadis tersebut? Tentunya hanya perempuan yang tidak memiliki keahlian dan ketakwaan sebagaimana ratu Kisra yang ditunjukkan untuk hadis tersebut. Sehingga jika ada perempuan yang memiliki kadar ketakwaan yang tinggi dan berkualitas dan berkompeten dibandingkan laki-laki, mengapa tidak memiilih perempuan tersebut jika disandingkan dengan laki-laki yang tidak berkualitas dari segi ketakwaan dan ilmu. Hal ini akan berbeda jika memang laki-laki lebih berkompeten, maka seyogyanya didahulukan laki-laki.

Sebagai perempuanpun, tentu kita tidak akan membabi buta memilih pemimpin asalkan perempuan, karena ada pemimpin yang secara biologis adalah berjenis kelamin perempuan tetapi secara idiologis tidak perempuan, artinya sekalipun dia perempuan tetapi tidak peka perempuan apalagi rakyat kecil, maka sangat tidak pantas untuk memilih perempuan tersebut menjadi pemimpin. Bukankah kriteria Rosulullah tentang pemimpin adalah sebuah keahlian? jika segala urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggunya saja saat kehancurannya, jadi Bukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang menjadi ukuran, siapapun jika mempunyai keahlian maka dia berhak menjadi pemimpin. Artinya: “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada

orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat keahliannya.”

(30)

Ada tiga prinsip dasar yang dibawa Nabi setelah tauhid, yaitu keadilan (al-adalah), persamaan (al- musawamah), dan musyawarah (al-syura). Ketiga prinsip ini juga dibawa oleh khulafau al-rasyidin khususnya Abu Bakar dan Umar. Untuk menegakkan keadilan, mereka tidak membedakan antara si kaya-mikin, Arab-non Arab, laki- laki – perempuan. Mereka juga menekankan adanya persamaan antar sesama manusia. Unsur yang membedakan hanyalah kadar ketaqwaan dan amal shaleh. (Toha Husien, 1991: 9) Sehingga prinsip ini pulalah yang dapat menjadi dasar kita bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berkesempatan sebagai pemimpin. Asalkan memenuhi kriteria sebagai pemimpin.

Al-Qur‘anpun telah memproklamirkan bahwa Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, tidak ada perbedaan status atau derajat dalam posisi manusia sebagai hamba (QS.al Dzariyat/51:56). Perempuan memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan laki-laki untuk menjadi hamba secara ideal. Dan sebagai hamba Allah, perempuan memiliki kapasitas dan posisi kualitas seorang hamba Allah adalah ketaqwaannya (QS.Al Hujurat/ 49: 13). Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah (QS. An’am / 6:165), penegasan yang sama dapat ditemukan pada surat al Baqarah /2:30). Fungsi khalifah tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin, atau atribut-atribut manusia yang lain seperti ras, etnis, atau status sosial. Perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab dan kemampuan yang sama sebagai khalifah. Kedua jenis kelamin juga sama-sama harus mempertanggungjawabkan amalnya di dunia selama menjalankan tugas sebagai khalifah.

Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi sebagai manusia. Dalam

al Qur’an terdapat konsep-konsep kesetaraan gender yang bersifat ideal, yaitu pesan yang tegas bahwa prestasi seseorang, baik dalam aktifitas spiritual maupun dalam karier profesional, tidak selalu dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin. Islam memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam meraih prestasi secara maksimal. Terdapat empat ayat yang mengungkapkan pesan ini yaitu, QS Ali Imran/3: 195, QS. Al Nisa’/4: 124, QS. Al Nahl/ 16:97, dan QS Gafir/ 40:40.

(31)

dan keilmuannya tentu akan lebih bisa membawa negeri ini kearah yang lebih baik.

Al-Qur’ân dalam khitob-nya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara umum dapat dikatakan telah menempatkan perempuan pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Tidak seperti pada kehidupan rumah tangga di mana hak dan kewajiban masing-masing dibedakan secara tajam, dalam kehidupan bermasyarakat hak dan kewajiban keduanya tidaklah begitu berbeda. Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’, dilindungi, dan dibebani kewajiban yang sama.

Sebagaimana laki-laki, perempuan berhak untuk mendapatkan hasil usaha mereka, sesuai firman Allâh, “Bagi laki-laki dianugerahkan hak

(bagian) dari apa yang diusahakannya dan bagi perempuan dianugerahkan

hak (bagian) dari apa yang diusahakannya”. (QS al-Nisâ /4]: 32).

Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, meski caranya berbeda. Dalam surat Ali-Imrân /3] ayat 110, “Kamu

adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”.

Jadi, al-Qur’ân pada dasarnya memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek hukum (penyandang hak dan kewajiban) dalam masyarakat pada posisi yang setara. Pembedaan keduanya baru terjadi ketika pembicaraan mengenai hak dan kewajiban mereka menginjak pada tatanan bagaimana caranya masing-masing untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya

Al-Qur’ân menetapkan peraturan-peraturan yang membuat laki-laki lebih leluasa bergerak dan berekspresi dibanding perempuan. Pada saat berinteraksi dengan publik, perempuan lebih terikat oleh batasan-batasan

syara’. Dalam surat al-Ahzâb [33] ayat 33 misalnya, Allâh berfirman, “Dan

hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”.

(32)

kecuali dalam keadaan darurat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Al-‘Arabi dan Ibn Katsir meskipun Ibn Katsir sedikit lebih moderat, yaitu boleh keluar rumah jika ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.

Untuk konteks saat ini, pendapat yang kiranya paling relevan adalah apa yang diungkapkan oleh Abu al-A’la al-Maudûdi. Perempuan boleh-boleh saja keluar rumah jika ada keperluan sepanjang memperhatikan kesucian diri dan memelihara rasa malu. Sayyid Quthb menyatakan bahwa perempuan tidak dilarang oleh Islam untuk bekerja hanya saja Islam tidak senang (mendorong) hal tersebut.

Berdasarkan ayat di atas dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan perempuan seperti ayat tentang aurat, gerak perempuan menjadi lebih terbatas bila dibanding pria. Apalagi kalau mengikuti pendapat sementara ulama yang mengatakan bahwa suara perempuan di depan publik adalah aurat, peran perempuan untuk tampil dalam kehidupan publik jelas sangat terbatasi.

Masalah kepemimpinan perempuan sampai saat ini masih menjadi perdebatan terus menerus. Berkaitan dengan masalah ini, ulama terbagi kedalam tiga kelompok pendapat:

1. Mereka yang tidak memperbolehkan peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik apapun bentuknya. Hujjah yang mereka kemukakan adalah surat al-Nisâ [4]: 34, “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) antar sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”

Walaupun ayat ini diturunkan untuk konteks keluarga, namun mereka menarik pemberlakuan ayat ini ke wilayah publik berdasar qôidah mafhûm aulawiy. Dari situlah mereka lalu berkesimpulan: kalau untuk skala kecil (keluarga, rumah tangga) saja perempuan harus dipimpin laki-laki, apalagi untuk skala besar (urusan publik) yang mencakup wilayah tanggung jawab yang lebih besar. Lalu mereka memperkuat hujjah dengan hadis,

) ى نِن همِ: قة بأما م َن مل و و ل يف ح قمو مام نوِنهو نوِن ة )ِمنن اِانبن

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan” (Abdillah Muhammad al-Bukhari, 1994: 32)

(33)

di atas, karena mereka memakai kaidah ushul fiqh, “Penarikan

hukumberdasarkan pada umumnya lafaz, bukan khususnya sebab”

Pendapat ini adalah pendapat para ulama seperti al-Qurthubî, al-Zamakhsyari, al-Râzi, Ibnu Katsîr, serta ulama-ulama salaf dan sampai saat ini masih menjadi pendapat jumhur ulama.

Berdasarkan hadis di atas, para ulama berkesimpulan bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan umum apapun. Sebab hal itu tidak menjadi kewenangan dan tidak membawa kesuksesan, justru membawa kerugian. Mengingat persepsi mereka, bahwa perempuan lebih mendahului emosi daripada pertimbngan akal. Sifat-sifat kodratnya yang demikian tidak memiliki kemauan yang teguh dalam masalah-masalah yang penting. (Ikhwan Fauzi, 2002: 42)

2. Mereka yang memperbolehkan perempuan memegang jabatan publik tertentu asalkan bukan kepala negara. Hujjah mereka adalah surat al-Taubah [9] ayat 71: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan

perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi

sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah sesuatu kewajiban yang

mencakup berbagai cara perjuangan, diantaranya dengan terlibat dalam kehidupan politik masyarakat. Diantara ulama golongan kedua

ini adalah Sa’id Ramadhan al-Bûthi. Ulama yang dikenal serba bisa dan sangat teguh memegang ajaran salaf ini berpendapat bolehnya perempuan menjadi anggota legislatif, tetapi tidak boleh menjadi kepala negara (al-Imâmah al-Kubrô).

3. Mereka yang membolehkan perempuan memegang jabatan publik apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan mampu menjaga kehormatan. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah

Said ‘Aqil al-Munawar, Quraisy Shihab, Hussein Muhammad, dan semua pemikir-pemikir Islam Liberal.

Kelompok ini berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak politik, jabatan dan kepemimpinan. Berdasarkan firman Allah swt dalam QS. At-Taubah/9: 71... “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi

sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,

(34)

dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesunguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat di atas menunjukkan bahwa perempuan menempati posisi yang sama dengan laki-laki, masing-masing boleh berpartisipasi dalam bidang politik, mengatur urusan masyarakat,

sebagaimana disebutkan ayat di atas “sebagian menjadi penolong bagi yang lain” mereka mempunyai hak seperti laki-laki dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Tidak ada kegiatan yang mengecualikan perempuan dalam rangka melakukan tugas tersebut apalagi dalam upaya menyelesaikan konflik di tengah masyarakat. (M. Tahir Maloko, 2013: 210)

Selain ayat di atas, masih ada ayat lain yang menjunjung tinggi persamaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat/49: 1 dan QS, an-Nisa/4:1. Kaum perempuan juga boleh berbai’at kepada Rasulullah saw sebagaimana halnya laki-laki. Allah swt memerintahkan untuk menerima baiyat daripadanya seperti dijelaskan dalam QS. Al-Mumtahanah/60:12.

Dr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan bahwa: Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa

“Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi

(35)

Pendapat ini disetujui oleh Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah). Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir saat ini, termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa kedudukan Imamah Al-Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.

Ali Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah Utsmaniyah. Bagi Jumah, keputusan wanita untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya. (A. Fatih Suyud, 2009: 11.)

Agaknya untuk beberapa kalangan perbedaan pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang kedua, yaitu yang membolehkan perempuan memegang jabatan-jabatan publik tertentu, tetapi tidak menjadi kepala negara. Alasannya fakta di lapangan menunjukkan bahwa ternyata banyak para perempuan yang mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu melebihi kaum laki-laki. Selain itu, bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Umar bin Khaththâb pernah menugaskan seorang perempuan untuk menjadi bendahara pasar, sebagaimana dikatakan Ibn Hazm. Khusus untuk jabatan kepala negara perempuan tidak boleh memegangnya. Alasannya bukan hanya kerena hadits Nabi saja, akan tetapi didukung juga oleh analisis dari sudut pandang hukum dan psikologis.

Gambar

Figure 1. Diagram of the logics of the
Table 1: Data on the Establishment of Rukun Tetangga in Penang
Table 2: List of Conflict Issues at Rukun Tetangga in Penang

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian Tidak terjadi pengaruh interaksi terhadap perlakuan dosis pupuk hayati Sinar bio dan jenis varietas terhadap variabel pengamatan tinggi

Strategis jangka pendek dalam aspek hukum administrasi tata negara berupa pemberian kewenangan tambahan kepada UPTD Kantor Keimigrasian diperbatasan dalam

• Transfusi darah atau komponen darah yang cukup dalam jangka waktu < 24 jam untuk mengganti. seluruh

Kesalahan pengobatan dapat terjadi pada masing-masing proses dari peresepan, mulai dari penulisan resep, pembacaan resep oleh apoteker, penyerahan obat sampai

Neuron motoris (eferent) adalah sel saraf yang membawa rangsangan dari otak atau dari sumsum punggung ke otot atau ke kelenjar yang menyebabkan mereka

Meskipun demikian AKI untuk tingkat Provinsi tetap dapat diketahui dengan membandingkan 86 orang ibu yang meninggal dengan 19.146 kelahiran hidup pada tahun 2011

    Dalam melihat perkaitan antara salah laku pelajar dengan gaya keibubapaan yang diamalkan hasil kajian menunjukkan bahawa faktor gaya keibubapaan yang diamalkan oleh para ibu

Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan nama kanker serviks, menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di