• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama menurut bahasa aslinya (bahasa latin) berarti kesadaran dan kesalehan di satu sisi, dan menghubungkan atau mengikat di sisi lain. Dengan kata lain, agama didefinisikan sebagai seperangkat doktrin spiritual dan metafisika yang mengikat orang yang memeluknya. Agama, selama bertahun-tahun juga menjadi system pengertian (signification), sistem symbol dan sistem ibadah yang menyediakan sense of identity yang mendalam bagi penganutnya untuk menghadapi hidup di dunia yang kompleks ini sebagai sebuah tantangan eksistensial.26 Dalam sejarah kehidupan manusia, sebenarnya agama menjadi wadah pencarian hidup, kebenaran dan kepastian yang hakiki. Namun demikian, sisi negatifnya dari proses pencarian kebenaran tersebut seringkali kehilangan dinamikanyadan mengkristal menjadi dogma-dogma yang tidak bisa dirubah. Kemudian dogma-dogma ini dilengkapi dengan rangkaian ibadah yang menjadi

„pelipur lara’ dan rasa kepatuhan simbolik (a senses of syimbolic fulfillment) bagi orang-orang yang beriman.27

25

Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 70

26

Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 87

27

Jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang telah using yang dengan sendirinya memilki mekanisme sosio-legal dan politik-ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak

khusus dan kekuasaan „kasta yang tinggi’ dan kelas atas.

Ketika membahas mengenai Islam dan tantangan kemiskinan, perlu dipahami pendekatan yang dipakai Al-Qur’an dalam membahas masalah-masalah tertentu yang berkaitan dengan tema tersebut. Nabi-nabi yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan oleh sang pemikir Islam Iran, Ali Shari’ati,

berasal dari kalangan masyarakat biasa, bukan bagian dari kelompok kemapanan atau pemimpin yang berkuasa (kecuali Nabi Daud dan Sulaiman). Kitab suci

Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan,













































Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”28

28

Jelaslah, Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan mnegutus Nabi-nabi itu berdiri di tengah-tengah masyarakat dan tidak pernah mengidentifikasi diri dengan penguasa atau dengan kelas yang berkuasa.

Pendekatan yang dipakai Al-Qur’an adalah dengan menggambarkan para

penguasa, pimpinan dan mereka yang diatas sebagai mustakbirin (sombong, mabuk kekuasaan), dan menyebut rakyat jelata atau masyarakat awam dengan mustad’afin (lemah dan tertindas). Nabi-nabi Tuhan selalu berasal dari golongan masyarakat lemah dan berjuang demi membebaskan mereka dari cengkraman

para penindas. Nabi Musa melawan raja fir’aun yang kuat untuk membebaskan bangsa Israel yang tertindas karenanya. Raja Fir’aun disebut mustakbirin

(penindas yang sombong) dan bangsa Israel mustad’afin. Semua kelas yang

berkuasa mendukung Fir’aun dalam menghadapi Nabi Musa, seperti yang

dinyatakan Al-Qur’an, “Berkatalah para pemuka kaum Fir’aun, „apakah kau

biarkan Musa dan kaumnya berbuat kerusakan di muka bumi dan meninggalkanmu dan tuhan-tuhanku?’ Fir’aun menjawab, „kita akan membunuh

anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan anak-anak perempuan mereka hidup.

Sehingga kita akan lebih berkuasa dari mereka’”29

Al-Qur’an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri di pihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas. Al-Qur’an menyesalkan,

bahkan menegur orang-orang yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya.

Peringatan itu berbunyi, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan

29

membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang bekata,

„Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim.

Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu.’”30

Teologi Qur’ani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan, namun juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi orang-orang jahat ini dan untuk menyelamatkan golongan yang lemah dan tertindas sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas. Selanjutnya, Al-Qur’an juga menegaskan janji Allah untuk mengangkat golongan

yang lemah dan tertindas sebagai pemimpin berkuasa. Dalam surat Al-Qashash,

28: 5 disebutkan, “Kami ingin member karunia kepada mereka yang tertindas di

atas bumi, menjadikan mereka pemimpin dan pewaris.”31

Al-Qur’an juga mengatakan bahwa tidak akan ada kota yang dapat bertahan, jika di dalamnya berlangsung ketidakadilan dan eksploitasi, “Berapa banyak kota-kota yang telah Kami hancurkan yang penduduknya berbuat kejahatan, sehingga runtuh berantakan, dan betapa banyak mata air yang ditinggalkan dan puri-puri yang tinggi menjulang kami binasakan.”32

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang secara keras mengecam penindasan dan

30 Al-Qur’an 4: 75 31 Al-Qur’an, 28: 5 32 Al-Qur’an, 22: 45

ketidakadilan. Dalam sunnah dikatakan bahwa Nabi menempatkan kekafiran itu itu lebih rendah satu tingkat di bawah penindasan dan ketidakadilan.33

Al-Qur’an juga dengan tegas mengecam penumpukan harta kekayaan dan sifat sombong. Dikatakan, “Celakalah orang yang menyebarkan fitnah dan

mengumpat, yang mengumpulkan kekayaan dan penimbunannya, yang mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Ia akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Apakah Huthamah itu? Ialah api Allah yang dinyalakan, yang merasuk ke dalam hati, menutupi mereka seperti kubah dengan tiang-tiang yang

menjulang.”34

Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab dengan membangun stuktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam sturktur sosial yang seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan dibidang sosial, ekonomi, hukum dan politik. Al-Qur’an sangat menekankan keadilan dan

menggunakan istilah ‘adl dan qist35 untuk membangun stuktur sosial tersebut di atas. Istilah lain adalah ‘adl dan ihsan (keadilan dan kebaikan) yang dipakai untuk mengungkapkan pentingnya keadilan ekonomi. Keadilan itu juga harus ada dalam transaksi ekonomi. “Supaya kamu jangan melampaui batas timbangan. Tegakkan

33

Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 92

34

Al-Qur’an, 104: 1-4

35

Asghar Ali Engineer, ”Islam and Liberation Theology”, terj. Agung Prihantoro, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, hlm. 59-60.

neraca dengan keadilan dan jangan kamu kurangi sukatannya.”36

Keadilan dan keseimbangan ekonomi ini diperlukan, karena dengan demikian berarti kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal dan seterusnya dapat terpenuhi, sehingga kecenderungan gaya hidup boros dapat ditekan.

Al-Qur’an menyeru kepada orang-orang yang beriman agar menghindari

pemborosan. “Hai Bani Adam! Bawalah perhiasanmu kapan saja dan dimana

sajakamu sembahyang. Makan dan minumlah. Tapi jangan berlebih-lebihan.”37

Kita ketahui bahwa masyarakat kapitalis barat sekarang ini, yang didasarkan pada stuktur yang menindas dan eksploitatif, hidup makmur dengan merampas sumber-sumber ekonomi dunia ke tiga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang sangat banyak dan dengan standar hidup yang tidak masuk akal serta sangat tinggi, dengan mengorbankan penderitaan masyarakat Afrika, dan Asia dan Amerika Latin. Budaya konsumtif dan suka pamer ala barat merupakan bencana besar bagi kemiskinan dunia. Sebaliknya, ekonomi sosialis yang dapat menjamin kebutuhan pokok masyarakat, menghambat konsumerisme dan suka pamer. Ekonomi sosialis menekankan pada produksi barang-barang untuk mencukupi kebutuhan pokok, bukannya produksi barang-barang mewah.

Melihat masalah ekonomi dunia yang kompleks sekarang ini, keadilan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan hanya dapat diciptakan bila konsep keadilan tidak hanya dipahami dalam bidang ekonomi, namun juga dalam bidang

36

Al-Qur’an 55: 8-9

37

sosial dan hukum. Mengkaji konsep keadilam Qur’ani yang sebanarnya sangat lengkap. Setelah mengatakan , ”Tuhanku memerintahkan berbuat adil”,38

Al-qur’an melanjutkan dengan, “Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi dari Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau orang tuamu, atau kerabatmu, baik ia kaya maupun miskin, karena Allah akan melindungi keduanya. Janganlah ikuti hawa nafsu, supaya kamu tidak

menyimpang dari kebenaran…”39

System kapitalisme modern sangat eksploitatif, sehingga menimbulkan struktur sosio-ekonomi yang tidak adil. Dalam struktur seperti ini tidak akan ada keadilan sosial, ekonomi dan politik, khususnya yang disebutkan dalam

Al-Qur’an. Bahkan seandainya peraturan politik yang ada tidak selaras dengan

kepentingan kelas yang berkuasa dalam masyarakat Marxian, dan tidak selaras dengan kepentingan masyarakat banyak dalam masyarakat modern-demokratis, kita tetap saja sulit untuk menolak hegemonikelas kapitalis dan praktek-praktek yang eksploitatif. Bentuk bentuk eksploitasi sesama manusia sudah menjadi ketidakadilan yang parah dan tidak sesuai dengan doktrin keadilan dalam Islam. Masyarakat barat sebagai masyarakat kapitalis yang mengeksploitasi dunia ketiga melanggengkan kejahatan tersebut dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan generasi berikutnya yang akan kehilangan sumber-sumber kekayaan yang tidak dapat diciptakan lagi karena telah dihabiskan oleh generasi

38

Al-Qur’an, 7: 29

39

sebelumnya secara besar-besaran. Generasi yang akan datang sangat sulit untuk memenangkan perang melawan kemiskinan ini jika jerat-jerat kapitalisme masih tetap mengikatnya.

Nabi Muhammad SAW membenci kemiskinan dan kelaparan. Ada banyak hadist yang membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Hadist yang diriwayatkan oleh Nissi berbunyi, “Ya Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari

keadaan teraniaya dan perilaku aniaya terhadap orang lain.” Ini merupakan hadist

nabi yang perlu diperhatika, karena berkaitan dengan kemiskinan, kekurangan, kehinaan, penindasan, sikap saling membantu dan bekerja sama. Nabi dengan mengucap doa tersebut berarti mewajibkan semua umat Islam untuk memerangi kemiskinan. Hadist lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud berbunyi,m “Ya

Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kufr dan kemiskinan.” Tidak salah kalau kufr dan faqr keduanya sama-sama dikecam. Hadist lain yang diriwayatkan oleh

Baihaqi dan Tabrani berbunyi, “Kemiskinan mengakibatkan kekafiran.”

Semua hadist yang dipaparkan tadi mewajibkan umat untuk menyatakan perang terhadap kemiskinan. Kemiskinan itu sama celanya dengan kekafiran, dan karena seorang muslim harus memerangi kufr, berarti ia juga harus memerangi kemiskinan. Membiarkan kemiskinan sama halnya dengan memelihara kekafiran. Paham atau system yang berusaha mengekalkan kemiskinan, kelaparan, dan kekurangan, harus dilawan karena akan mengarah kepada feodalisme atau

kapitalisme. Sehingga perang melawan kemiskinan merupakan bagian integral dari keyakinan Islam.40

Islam adalah sebuah agama, dan agama dalam pengertian umum utamanya dipahami sebagai narasumber masalah-masalah spiritual. Namun demikian, sejarah Islam menapaki jalan yang berbeda. Islam yang dilahirkan di Arab bukan hanya membicarakan masalah spiritual, namun juga banyak masalah-masalah lain. Islam lahir sebagai tanggapan atas suatu kondisi historis dan adanya kebutuhan akan petunjuk hidup yang komprehensif dalam bidang religio-kultural dan sosio-ekonomi. Lebih dari itu, perkembangan sejarah Islam selanjutnya semakin mengokohkan keterlibatan Islam dalam berbagai bidang yang kemudian diperlakukan bukan hanya sebagai bagian integral dari doktrin Islam, namun juga nyaris dianggap sebagai hal yang suci. Para fuqoha dalam merespon kebutuhan masyarakat Islam yang terus berkembang menetapkan aturan-aturan berkenaan dengan bidang-bidang yang baru, termasuk bidang agricultural dan perdagangan dengan mengacu pada sunnah nabi, ijtihad, dan perdagangan, serta tentu saja berpedoman pada ayat-ayat Al-Qur’an.

Telah menjadi perdebatan bagi para sarjana Islam, apakah Islam itu mendukung industrialisasi atau tidak. Ada banyak pendapat tentang masalah ini. Beberapa sarjana berpendapat tanpa memberikan bukti nyata bahwa Islam lebih banyak menghambat daripada mendukung industrialisasi, apalagi modernisasi. Pendapat mereka ini tampaknya tidak tepat. Agama, apakah Islam, Hindu,

40

Kristen, Yahudi atau Budha tidak dapat dikatakan menjadi penghambat medernisasi atau industrialisasi. Anggota masyarakat yang terbelakang mempunyai pandangan agama yang juga terbelakang dan menafsirkannya dalam pengertian teologi tradisional. Pada akhirnya yang menentukan bagaimana orang memandang agama atau system pengetahuan lainnya adalah kondisi lingkungannya.41

Perlu dicatat bahwa agama tidak bisa dipungkiri telah menjadi sebuah kekuatan tersendiri dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap cara berpikir sebagian besar masyarakat. Kenyataan ini sulit diingkari oleh para pengamat sosial, dan yang perlu digarisbawahi dengan tebal adalah agama selalu dan terus menjadi kekuatan yang amat besar di Negara-negara sedang berkembang. Tetapi ini tidak berarti bahwa seluruh masyarakat di Negara-negara sedang berkembang ini mempunyai pandangan yang sama terhadap agama. Masyarakat yang berada di bawah system kapitalis seringkali tingkat perkembangannya tidak sama dan penafsiran atau pemahaman terhadap agama tergantung pada tingkat perkembangan dan kebutuhannya. Jika masyarakat merasa perlu melaksanakan industrialisasi, agama akan ditafsirkan kembali sesuai dengannya. Jika masyarakat tidak memiliki keinginan untuk melakukan perubahan dan merasa diuntungkan dengan keadaannya kini, maka agama juga tidak perlu diubah penafsirannya. Dengan kata lain, keadaan statis akan menghasilkan pandangan agama yang statis pula.

41

Setelah mengupas perkembangan kapitalisme dan industrialisasi dalam masyarakat Islam, kini kita perlu membahas kebijakan yang dikeluarkan Negara-negara Islam berkenaan dengan kapitalisme dan industrialisasi. Banyak ahli Islam dan ulama ketika mendiskusikan kebijakan industrial dalam masyarakat Islam cenderung berpendapat bahwa kebijakan industrial dalam masyarakat Islam dapat dilakukan jika syarat-syarat seperti larangan diproduksinya minuman keras dan terciptanya system ekonomi yang bebas bunga dapat dipenuhi. Ini merupakan pandangan yang sangat dangkal dan pendekatan seperti itu mengingkari masalah-masalah yang berat dan kompleks sebagai akibat dari kapitalisme industrial.42 Industrialisasi tidak dapat dijalankan dengan kerangka berpikir kapitalisme yang tanpa kendali. Keadilan sosial dan eksploitasi tidak dapat menjadi satu. Perkembangan kapitalisme didasarkan pada eksploitasi dan akumulasi modal.

Al-Qur’an mengajarkan praktek dagang yang jujur dan mencari keuntungan dengan

cara yang adil (bukan mencari keuntungan secara berlebihan) demi tujuan-tujuan sosial. Keuntungan yang adil didasarkan pada tukar-menukar komoditi harus dibedakan dari keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi. Ekonomi perdagangan didasarkan pada tukar-menukar barang, sedangkan ekonomi industrial pada produksi barang.43

Al-Qur’an memberikan konsep ekonomi perdagangan yang terjadi pada saat turunnya Al-Qur’an. Jika kita akan menerapkan kebijakan ekonomi

42

Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 126

43

industrial yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah maka kita harus dapat mengaplikasikan konsep ini secara kreatif dalam system ekonomi industrial. Perlu diingat bahwa larangan terhadap diadakannyaruba secara integral terkait dengaan konsep ‘adl dan ihsan. Dalam pengertian ini, riba lebih dari sekedar bunga. Kebanyakan ulama dan kaum Islam modernis mengartikan riba sebagai bunga, tidak lebih dari itu. Mereka memperjuangkan penghapusan bunga bank dan membuat bank yang bebas bunga.

Prof. Fazlur Rahman berpendapat44 “Apa yang dimaksud dengan riba bukanlah bunga bank, namun bunga dalam pengertian hutang yang harus dikembalikan dalam jumlah dua kali lipat dengan jangka waktu tertentu, dan ini eksploitasi yang sangat dilarang oleh Al-Qur’an”. Namun kedua pandangan tersebut tidak sepenuhnya mewakili semangat Al-Qur’an yang sebenarnya.

Konsep riba harus dilihat dalam pandangan Al-Qur’an tentang keadilan distributif

‘adl dan ihsan yang menguntungkan golongan masyarakat lemah. Sedangkan penghapusan bunga bank tidak sampai tujuan ini. Menurut semangat Al-Qur’an,

riba harus dimaknai bukan hanya sebagai bunga, namun dimaknai sebagai eksploitasi secara umum. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa Al-Qur’an

menggunakan bahasa yang sangat keras dalam mengutuk riba. Dalam sebuah ayat tentang riba disebutkan,

44





























































































Artinya : “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba45 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.46 Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu47 (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.48 Dan dalam ayat selanjutnya

disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.49

45

] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

46

orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

47

Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

48

Al-Qur’an, 2: 275

49

Kita lihat bahwa Al-Qur’an mengajarkan perdagangan yang jujur dan

mengecam riba yang ditafsirkan sebagai bunga dan eksploitasi dalam segala bentuknya. Al-Qur’an menyatakan perang kepada mereka yang tidak

menghentikan riba dan seharusnya membuat kita berpikir serius tentang implikasi dari ayat-ayat tentang pelarangan riba. Pada dasarnya Al-Qur’an berpihak pada

masyarakat yang berkeadilan dan segala yang menggangu terwujudnya masyarakat yang seperti ini diperhatikan secara serius oleh Al-Qur’an. Bukan

hanya bunga perbankan yang secara umum dikecam ulama dan sejumlah kaum muslim modernis, namun juga seluruh praktek yang eksploitatif, termasuk keuntungan yang diperoleh dengan cara yang tidak adil yang dikecam Al-Qur’an

dengan istilah riba.50

Dalam ekonomi industrial, profit lebih eksploitatif daripada bunga. Namun sekarang ini, di Negara-negara Islam yang diprotes hanyalah bunga, sedangkan profit dihalalkan. Islamisasi ekonomi hanya dilaksanakan dengan membuat bank tanpa bunga, sementara praktek-praktek eksploitasi lainnya masih terus berlangsung.

Kebijakan ekonomi industrial yang Islami seperti diatas tidak dapat melihat persoalan dengan hati jernih. Kebijakan itu hanya akan mendukung kelas yang sedang berkuasa yang sebenarnya bertanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan sosial yang terus-menerus. Sebuah kebijakan industrial yang Islami mestinya tidak hanya berkonsentrasi pada penghapusan bunga perbankan,

50

sementara membiarkan terjadinya distorsi ekonomi dan tidak menyentuh kepentingan-kepentingan pribadi yang sangat berpengaruh. Seharusnya kebijakan itu juga memberantas seluruh praktek eksploitasi, termasuik profit, yang bertentangan dengan konsep keadilan sosial dalam Al-Qur’an dan merugikan

golongan masyarakat lemah. Sebuah kebijakan industrial yang Islami seharusnya mempunyai tujuan ganda, yakni pertumbuhan dan keadilan sosial. Tetapi tidak cukup mengukur pertumbuhan rata-rata ini hanya dalam istilah ekonomi saja. Menurut kebijakan yang Islami juga ditekankan produksi barang-barang yang diperlukan oleh kelas pekerja dan buruh kasar serta golongan ekonomi lemah lainnya.51

Hal ini membawa pada pertanyaan penting yang lain, yakni bagaimana kebebasan usaha-usaha yang bersifat pribadi. Sektor swasta tidak menunjukan adanya kepentingan pribadi terlalu banyak dalam perusahaan-perusahaan barang-barang karena keuntungan yang diperoleh rendah. Kebijakan industrial yang Islami harusnya mendorong sector swasta untuk berinvesstasi di waliayah-wilayah yang tidak begitu menguntungkan, atau pada industry-industri yang komit terhadap terciptanya keadilan sosial. Dalam Islam, mewujudkan keadilan sosial itu lebih penting daripada menciptakan kebebasan pada pemodal untuk mencari keuntungan. Imam Ibn Taymiyyah merangkum semua uraian ini dalam prisipnya yang terkenal bahwa kepentinga umum mendahului kepentingan pribadi.

51

Masyarakat industrial Islam tidak akan mendukung apa yang disebut dengan konsumerisme. Ekonomi kapitalis barat sekarang ini pada dasarnya berlandaskan konsumerisme dan industry persenjataan yang canggih. Istilah yang paling tepat adalah military-industrial complex. Kebijakan industrial yang Islami tidak cukup hanya melarang industry minuman keras, namun juga melarang seluruh perindustrian yang didasarkan pada penciptaan kebutuhan yang artificial yang menekan public untuk mengkonsumsinya. Kebutuhan yang artificial ini bukan hanya mendistorsi perekonomian yang bertentangan dengan kepentingan

Dokumen terkait