• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Pemikiran Ali Asghar Terhadap Keindonesiaan

Konsep taqwa menurut Ali Asghar di dalam Islam bukan hanya konsep ritualistik, namun juga secara integral terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi. Baginya Al-Qur’an mengajarkan bahwa keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok.56 Dalam UUD 1945 bab kesejahteraan sosial, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan sosial menyangkut pemenuhan kebutuhan materiil yang harus diatur dalam organisasi dan sistem ekonomi yang berdasarkan asas kekeluargaan.

Hal ini mempunyai kaitan antara keadilan sosial dan kesejahteran sosial. Keadilan sosial adalah suatu keadaan dimana seluruh rakyat merasa aman dan tentram karena aturan-aturan main dalam hubungan-hubungan ekonomi yang berdasarkan prinsip-prinsip etik dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sarana materiil yang harus dipenuhi untuk mencapai rasa aman dan tentram yang disebut keadilan sosial. Dua hal ini menyangkut pasal 33 dan 34 dalam UUD 1945. 57

Menurut Ali Asghar syarat yang pokok bagi terwujudnya keadilan adalah mencegah hawa nafsu. Dorongan hawa nafsulah yang menjadikan seseorang menjadi eksploitator, tiran dan penindas. Oleh karena itu dalam masyarakat pancasila roda ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, yaitu harga melalui

sistem pasar dengan sekaligus ada “pengontrolan” sosial atau pengawasan oleh

56

Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 58

57

masyarakat dan pedoman moral oleh seluruh bangsa yang bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa.58

Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi industrial, bahwa penghapusan bunga atau memberlakukan bank bebas bunga tidak akan menyelesaikan substansi persoalan monopoli atau ekonomi yang dikontrol oleh multi Negara.

Kepemimpinan politik Islam saat ini, termasuk para elit dan ulamanya (mereka jujur, namun terlalu konservatif untuk menyadari implikasi buruk dari perekonomian modern), mewarisi sistem ekonomi yang dikontrol oleh kekuatan multinasional. Mereka itu hidup dalam dunia yang konservatif dan dengan teologi tradisional.

Indonesia yang notabene berpaham Pancasila mempunyai pandangan negara menguasai cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi tertentu bukanlah demi ”penguasaan” itu sendiri, melainkan karena penguasaan itu

dipandang menjamin perlindungan kepentingan orang banyak.59

Hanya sedikit pemikir Islam yang radikal yang mengerti kehancuran ekonomi dan terampasnya kekayaan sumber daya dunia ketiga. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah kepada kehancuran

58

Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. hal. 39

59

masyarakat secara total. Dalam Islam, mewujudkan keadilan sosial itu lebih penting daripada menciptakan kebebasan pada pemodal untuk mencari keuntungan.

Pasal 33 UD 1945 mengatur tentang penguasaan bumi, air dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Hal ini demi kemakmuran rakyat secara maksimal dan menghindari eksploitasi alam yang berlebihan.60 Dalam kenyataannya, jaminan perlindungan kepentingan orang banyak, dan peningkatan kemakmuran rakyat secara makmur itulah, yang masih sering dipertanyakan pemenuhannya. Ini dapat ditunjukkan oleh pelayanan yang tidak efisien dari aneka rupa usaha negara disatu pihak, dan kurang adilnya distribusi pendapatan dan kekayaan nasional di pihak lain.61

Industrialisasi tidak dapat dijalankan dengan kerangka berpikir kapitalisme yang tanpa kendali. Keadilan sosial dan eksploitasi tidak dapat menjadi satu. Perkembangan kapitalisme didasarkan pada eksploitasi dan akumulasi modal. Al-Qur’an mengajarkan praktek dagang yang jujur dan mencari

keuntungan dengan cara yang adil (bukan mencari keuntungan secara berlebihan) demi tujuan-tujuan sosial.

Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab dengan membangun stuktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam sturktur sosial yang

60

Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, hal. 52

61

seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan dibidang sosial, ekonomi, hukum dan politik.

Negara sebagai regulator perekonomian harus menentang monopoli hal ini selaras dengan Q.S. Al Hasyr ayat 7. Mekanisme pasar dalam Pancasila adalah pasar yang anti free-fight liberalism yang telah melahirkan monopoli yang merugikan masyarakat. Pasar Indonesia adalah pasar yang menekankan pada asas kekeluargaan, yaitu asas kerjasama yang tidak saling merugikan.62

Kebijakan industrial yang Islami tidak dapat didasarkan pada niat mencari keuntungan semata, sebagaimana yang terjadi dalam ekonomi kapitalis barat. Dasarnya adalah menciptakan keadilan sosial dengan memberantas seluruh bentuk eksploitasi. Tidak perlu ragu-ragu untuk mendorong tumbuhnya sector swasta, atau mungkin malah menghapuskannya jika memang diperlukan dalam rangka menciptakan keadilan sosial.

Demokrasi ekonomi Indonesia menekankan pada pentingnya masalah kemakmuran rakyat: kemakmuran bagi semua orang. Pasal 33 dan pasal 34 UUD 1945 telah memililh dan menentukan sistem ekonomi seperti dijelaskan oleh ayat-ayatnya. UUD 1945 juga telah menetapkan prioritasnya, yaitu membangun

langsung manusianya melalui pasal 27 (ayat 2) bahwa: “Tiap-tiap warga Negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaa.” 63

62

Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,hal. 68

63

Sri Edi Swasono, Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi Indonesia: Pemikiran ke Arah Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal.166.

Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis pasti mengerti arti “disusun” dalam

konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan

emancipatory).64

Politik kemakmuran masyarakat paling tidak harus diarahkan kepada dan dapat menjawab tiga hal pokok berikut ini: (1) bagaimana meningkatkan lepangan kerja dan mengurangi pengangguran, (2) bagaimana mengurangi ketidakmerataan untuk mencapai keadilan sosial, (3) bagaimana kemiskinan untuk mencapai keadaan yang lebih adil dan makmur.65

Jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang telah usang yang dengan sendirinya memilki mekanisme

64

Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 24 desember 2010 dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_9.htm

65

Sri Edi Swasono, Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi Indonesia: Pemikiran ke Arah Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 167.

sosio-legal dan politik-ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak

khusus dan kekuasaan „kasta yang tinggi’ dan kelas atas.66

Dalam perumusan dan pelaksanaan suatu teori maupun dalam penyusunan suatu strategi pembangunan nasional, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari asas politik ekonomi yang dianut. Hal ini telah tercantum dalam UUD 1945 khususnya pasal 33 dan penjelasannya yaitu demokrasi ekonomi. Biarpun hal itu sebenarnya dapat juga dianggap lebih menyangkut tata penyelenggaraan atau instrumentasi suatu strategi.67

Berdasarkan pengalaman usaha pembangunan dimasa lampau dan dengan memberi perhatian terhadap perkembangan pemikiran tentang teori maupun strategi pembangunan di dunia, maka di Indonesia terdapat perkembangan teori dasar pembangunan nasional yang merangkum keserasian berbagai pendekatan dengan penerapan terhadap kondisi dengan potensi dan prospek Indonesia dengan memperhatikan perspektif tahapan-tahapannya dan terutama kepada dasar negara dan filsafat bangsa Pancasila.68

Sejak permulaan tahun 1970-an, kebangkitan kehidupan beragama di Asia Barat menggoncang dunia. Kebangkitan yang oleh media massa barat dicap

sebagai „Fundamentalisme Islam’ talah menjadi perhatian dunia. Namun

66

Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 126

67

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja A.R, Teori & Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hal. 92

68

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja A.R, Teori & Strategi Pembangunan Nasional, hal 92

demikian, meraka memandang kebangkitan Islam dengan sangat negative. Kebangkitan Islam ini juga dianggap sebagai fanatisme keagamaan atau „watak Islam yang sesungguhnya’. Semua persepsi tersebut keliru, karena fenomena ini

tidak menunjukkan watak Islam yang muncul secara tiba-tiba atau pun fanatisme keagamaan yang misterius. Tidak ada fenomenal sosoal yang dapat dikenali atau dijelaskan tanpa dilacak akar sosialnya. Sebuah fenomena yang bersifat transcendental seperti fenomena keagamaan ini bukannya tanpa akar sosial. Akan tetapi, sebuah system berpikir, betapapun transdentalnya, tentu berkaitan dengan masalah sosial dan system keagamaan, betapapun erat hubungannya dengan spiritualitas, bukannya tidak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan struktur sosial yang mendahuluinya.69

Slogan Islam fundamentalis yang terkenal adalah perbankan yang bebas bunga. Slogan ini digunakan secara sangat efektif oleh kelas-kelas eksploitator, ironisnya untuk mengekalkan eksploitasi terhadap ekonomi masyarakat. Seluruh konsep Islamisasi ekonomi direduksi menjadi sekedar menciptakan bank tanpa bunga dan mencegah pembuatan serta penjualan minuma keras. Kitab suci

AlQur’an sangat menentang riba yang ditafsirkan sebagai bunga bank. Al-Qur’an mengatakan, “Orang-orang yang mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan

69

jual beli dan mengharamkan riba.”70 Selanjutnya, Allah berfirman, “Allah mengharamkan riba dan menganjurkan shadaqah.”71

Al-Qur’an sangat keras dalam mencela riba yang secara tradisional

ditafsirkan dengan bunga. Akan tetapi, para ekonom Muslim modern, walaupun menafsirkan riba juga sebagai bunga, berpendapat bahwa penghapusan bunga tidak akan membantu menciptakan ekonomi yang bebas eksploitasi. Sebaliknya, membuat bank tanpa bunga dalam system ekonomi kapitalis yang rentan inflasi ini, mengarah pada eksploitasi yang lebih besar terhadap penabung kecil dan memberikan keuntungan kepada orang-orang kaya yang meminjam uang dari bank tanpa bunga atau bebas biaya untuk semakin memperkaya dirinya. Inflasi itu mengurangi nilai mata uang yang tidak menghasilkan bunga dalam perbankan yang bebas bunga dan disinilah penabung kecil kehilangan uangnya. Dengan demikian, didalam ekonomi kapitalis yang rentan inflasi, Negara-negara yang sudah maju pun tetap saja mudah terkena inflasi, terlebih Negara yang sedang berkembang.72 70 Al-Qur’an, 2: 275 71 Al-Qur’an, 2: 276 72

72 A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisa yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai jawaban dari perumusan masalah yang ditentukan. Kesimpulan tersebut penulis uraikan sebagai berikut : 1. Asghgar Ali memandang penimbunan kekayaan merupakan suatu hal yang

menggangu jalannya roda perekonomian dan menimubulkan eksploitasi umat manusia dalam kegiatan ekonomi sebab penumpukan kekayaan pada segelintir orang menimbulkan kekayaan absolut dan kemiskinan absolut. 2. Keadilan distribusi sebagai alat untuk menghilangkan konsentrasi kekayaan

pada segelintir orang melalui efektifitas pengolahan zakat agar terjaadi pemerataan pendapatan sehingga menghilangkan kemiskinan absolut. Kemudian untuk mengatasi eksploitasi umat dalam ekonomi melalui penghapusan riba, riba bukan hanya sekedar bunga melainkan eksploitasi sesama manusia termasuk industri dan periagaan yang tidak adil dianggap riba.

3. Konsep taqwa menurut Asghar Ali bukan hanya sebuah konsep ritualistik, namun juga integral terkait kewadilan sopsial dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 BAB Kesejahteraan sosial menyangkut kebutuhan materil

yang harus diatur dalam organisasi dan system ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan dengan berlandaskan ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan sosial adalah nlai yang menduduki posisi penting dalam pemikiran system ekonomi Islam. Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.

Asghar Ali belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini. Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya penulis memiliki beberapa saran :

1. Untuk pembaca sebaiknya melihat pemikiran Asghar Ali Engineer secara konprehensif sebab Asghar Ali Engineer merupakan seorang sosiolog bukan ekonom murni yang menyebabkan ia selalu berpikir kritis sesuai keadaan yang dialami.

2. Untuk semua pihak yang berkonsentrasi pada bidang perekonomian hendaknya mampu meneladani kepribadian Rasulullah pada setiap aspek kehidupan dalam langkah dan waktu. Maksudnya bahwa sendi-sendi keislaman yang berkaitan dengan keadilan ekonomi sudah berjalan sejak lama sampai sekarang harus tetap berjalan.

3. Untuk mahasiswa, seyogyanya bersemangat progresif untuk terus mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Asghar Ali Engineer kepada kita.

4. Untuk civitas akademika UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA hendaknya menggali lebih dalam pemikiran Asghar Ali Engineer yang bersifat progresif revolusioner dalam memihak masyarakat lemah menuju masyarakat yang berkeadilan sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an.

Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bakti: jogyakarta 1997

Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: Karim Bussines Consulting,2001).

Al-qu’an al-karim

Engginer, Asghar Ali, 1984, Islam and Its Our Age, Bombay:I.I.S.

______________________, terjemahan Islam and Its Our Age, Jogjakarta:LKIS, 2007, jilid 2.

Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), cet.I. h.12.

Santoso, Listiyono dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Pres, 2003), cet. Ke-1

Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), cet. Ke-1.

Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai Dalam Perekonomian Islam, Didin Hafidudin (penterjemah), (Jakarta:Robbani Press,1977), cet ke-1

Dokumen terkait