BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.7 Isolasi Genom
2.1.7.1. Persiapan untuk Human Genomic DNA
Secara umum, sekitar 90% DNA terdapat di dalam nukleus (kromosom). Pada studi genetika, isolasi DNA lebih banyak berasal dari sel darah tepi. Namun karena prosedurnya yang invasif, sulit untuk memperoleh sampel dari teknik tersebut. Sumber DNA lain dapat berasal dari sel mukosa pipi yang diperoleh dengan pencucian mulut menggunakan salin (teknik yang non invasif dan tidak menyebabkan perdarahan). Isolasi DNA dari sel bucal lebih murah dan membutuhkan jumlah yang sedikit, dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Teknik lain menggunakan folikel rambut dan biasa digunakan sebagai teknik investigasi pada kasus kriminal. Sampel yang berasal dari urin bermanfaat dalam mendeteksi kasus doping dan drug screening test. Tujuan dari isolasi DNA adalah mengisolasi dan mempurifikasi berat DNA dalam jumlah yang banyak.22 Berikut beberapa tahapan dalam purifikasi DNA.
a. Cell breakage (pemecahana sel)
Pemecahan sel merupakan langkah awal dalam purifikasi DNA. Teknik ini dapat membuka sel dan memperoleh DNA yang intak menggunakan bahan kimia berupa detergent dan/atau prosedur enzimatis. Detergen dapat melarutkan asam lemak membran sel dan mengakibatkan sel lisis. Detergen juga memiliki efek inhibitor terhadap seluruh DNAse enzim selular dan dapat mendenaturasi protein, dengan demikian membantu dalam pembersihan protein dari larutan tersebut.23
b. Removal of protein (Membuang protein)
Langkah kedua dalam purifikasi adalah membuang kontaminan berupa protein dari sel lisis. Prosedur ini disebut dengan deproteinisasi. Prinsip kerja prosedur ini bergantung pada perbedaan antara bentuk fisik antara asam nukleat dan protein. Perbedaan ini terletak pada kelarutan, volume spesifik parsial, sensitifitas terhadap enzim pencernaan.23
Deproteinisasi menggunakan pelarut organik merupakan cara yang umum digunakan. Asam nukleat merupakan molekul hidrofilik dan sangat mudah
larut di dalam air. Sedangkan protein, mengandung banyak residu hidrofobik yang menyebabkan protein secara parsial larut di dalam pelarut organik. Pelarut organik biasanya mengandung fenol dan kloroform. Metode yang menggunakan fenol sebagai agen deproteinisasi dikenalkan oleh Kirby (1957), sehingga dikenal sebagai Metode Kirby. Penggunaan campuran kloroform isoamil alkohol dikenalkan oleh Marmur, sehingga dikenal Metode Marmur. Metode ini mendasari banyak modifikasi dan pengembangan dari waktu ke waktu.23
Penggunaan fenol pada metode Kirby memiliki beberapa prinsip. Fenol pada suhu ruang akan membentuk kristal, dengan adanya kandungan air 20% akan membentuk suspensi yang mengandung butiran-butiran fenol tersebar di dalam molekul air. Molekul protein secara umum mengandung banyak residu hidrofobik, yang mana terkonsentrasi dibagian tengah molekul. Ketika protein bercampur dengan fenol dalam volume yang sama, beberapa molekul fenol akan terlarut dalam fase cair (kurang lebih 20% air dan 80% fenol). Sehingga fenol dapat menembus masuk ke dalam protein, menyebabkan protein membengkak dan rusak. Protein yang telah terdenaturasi akan larut di dalam fenol. Sehingga tersisa asam nukleat. Asam nukleat tidak memiliki molekul yang bersifat hidrofobik sehingga tidak larut di dalam fenol.23
Kekurangan metode Kirby adalah produk oksidasi dari fenol dapat bereaksi secara kimia dengan molekul DNA (dan RNA). Fenol juga sangat toksik dan membutuhkan prosedur pembuangan. Untuk mengurangi efek tersebut, beberapa modifikasi yang dapat dilakukan sebagai berikut.23
Menggunakan detergen ionik.
Menggunakan reaksi enzimatis untuk membuang protein sebelum ekstraksi fenol. Hal tersebut menurunkan kebutuhan fenol yang akan digunakan. Sehingga kemungkinan hilangnya molekul DNA dapat diturunkan.
Menambahkan 8-hydroxyquinoline (8HQ) kedalam fenol. 8HQ meningkatkan kelarutan fenol di dalam air. Dengan adanya senyawa ini, fenol dapat diencerkan pada suhu ruang dengan 5% air. 8HQ juga mudah teroksidasi sehingga memegang peranan penting dalam anti-oksidan, menjaga fenol mengalami oksidasi. Bentuk dari 8HQ
berwarna kuning dan saat teroksidasi menjadi tidak berwarna, hal ini merupakan indikator yang baik yang dapat terlihat.
Penggunaan dari metode Marmur berdasarkan pada karakteristik dari pelarut organik. Kloroform tidak larut dalam air dan meskipun banyak ektraksi tidak mengakibatkan hilangnya DNA ke dalam fase organik.23
c. Removal of RNA (Membuang RNA)
Prinsip pembersihan RNA dari DNA menggunakan reaksi enzimatik. Konsekuensi dari prosedur ini tidak dapat membuang semua RNA secara bersih. Prosedur ini menggunakan dua ribonuklease, yaitu ribonuklease A dan ribonuklease T1.
Ribonuklease A (RNase A) merupakan endoribonuklease yang dapat memotong RNA setelah residu C dan U. Reaksi tersebut menghasilkan oligonukleotida yang diakhiri dengan 3’–phosphorylated pyrimidine nucleotide. Ribonuklease T1 (RNase T1) memotong dsRNA dan ssRNA setelah residu G,
menghasilkan oligonukleotida yang diakhiri dengan 3’–phosphorilated guanosine
nucleotide. Karena kedua enzim tersebut spesifik terhadap RNA, penggunaan kedua enzim tersebut dalam RNA removal pada sampel DNA sangat direkomendasikan. Penggunaan hanya salah satu enzim akan menghasilkan DNA yang terkontaminasi dengan oligonukleotida dalam jumlah yang banyak. Sehingga dapat mengganggu pembacaan spektofotometri.23
d. Concentrating the DNA (pemekatan DNA)
DNA didapatkan dengan cara pengendapan menggunakan alkohol. Dalam prosedur ini digunakan dua macam alkohol yakni ethanol dan isopropanol. Pengendapan menggunakan alkohol berdasarkan pada fenomena penurunan kelarutan asam nukleat di dalam air. Kutub positif air berinteraksi secara kuat dengan kutub negatif kelompok fosfodiester DNA. Interaksi ini menyebabkan DNA larut dalam air. Sedangkan ethanol tidak dapat berinteraksi dengan kutub negatif DNA seperti air. Sehingga asam nukleat tidak larut di dalam ethanol.23
Penggantian 95% molekul air di dalam DNA dapat menyebabkan DNA mengendap. Untuk mengendapkan DNA dengan konsntrasi ethanol yang rendah, aktivitas dari molekul air harus diturunkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambahkan garam di dalam larutan DNA.23
e. Determination of the purity and quantity of DNA (Pengukuran kemurnian dan jumlah konsenrasi DNA)
Untuk mengukur kemurnian DNA hasil isolasi, dapat dilakukan pembacaan dengan alat spektofotometer menggunakan cahaya ultraviolet (UV). Keberadaan kontaminan berupa protein dapat diketahui dari rasio nilai optical density (OD) hasil isolasi pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Hasil isolasi dinyatakan murni bila nilai rasio A260 : A280 adalah 2,0. Jika rasio kurang dari 2,0, maka konsentrasi DNA dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut.23
N (μg ml-1
) = 70 A260 – 40 A280
A260 dan A280 merupakan daya serap DNA pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Indikator yang lebih baik dari kemurnian sampel DNA adalah rasio A260 : A234. DNA memiliki daya serap minimum pada 234 nm dan daya serap protein tinggi pada 205 nm. Rasio A260 : A234 merupakan indikator yang sangat sensitif untuk menentukan kontaminasi protein. Rasio antara 1,8-2,0 menunjukkan asam nukleat yang murni. A260 dan A234 merupakan daya serap sampel DNA pada panjang gelombang 260 nm dan 234 nm. Dengan menggunakan kedua panjang gelombang tesebut, konsentrasi DNA dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut.23
N(μg ml-1) = 52,6 A260– 5,24 A234
Identifikasi kontaminasi memiliki makna tertentu. Jika rasio 260/280 rendah, maka terdapat kontaminan yang diserap pada gelombang 280 nm. Hal tersebut bisa disebabkan oleh fenol atau reagen lain pada protokol dan konsentrasi asam nukleat yang sangat rendah (>10 ng/uL). Meskipun kualitas DNA merupakan hal yang penting, namun bergantung kembali pada teknik apa yang digunakan.24