• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Isotop Stabil Makrozoobentos dan Sumber Makanan

Rasio asimilasi karbon kerang Chlamydinae spp. terhadap potensi sumber makanan seperti spons adalah 6,08 ‰, daun lamun -8,18 ‰, dan makroalga C.

rasemosa 3,37 ‰ (Tabel 10). Rasio karbon yang diasimilasi dari sumber

makanan konsumen tidak ada yang mendekati atau lebih kaya. Nilai asimilasi ini mengindikasikan bahwa sumber makanan kerang tidak berasal dari potensi sumber makanan karena nilai asimilasi kerang terhadap kerang tidak ada yang mendekati atau lebih kaya. Hasil dari nilai asimilasi isotop karbon daun lamun lebih miskin dan nilai isotop karbon spons dan C. rasemosa lebih kaya dibandingkan dengan kerang (Gambar 10). Nilai rasio asimilasi karbon sumber makanan oleh konsumen masuk kisaran nilai yang ditentukan dalam penelitian sebelumnya yaitu -2 ‰ sampai dengan + 2 ‰ (Bouillon et al. 2008).

Tabel 10Nilai asimilasi rasio δ13C dan δ15N Chlamydinae spp. dengan sumber makan di ekosistem lamunPulau Pari.

Makrozoobentos Sumber Makanan ∆=Animal-Diets

δ15

N δ13C

Chlamydinae spp. Haliclona spp. 1,27 6,08

E. acoroides 2,8 -8,18

C. rasemosa 1,94 3,37

Hasil asimilasi karbon sumber makanan dari kerang berbeda dengan penelitian sebelumnya (Lorrain et al. 2002; Kasai et al. 2004; Vonk et al. 2008; Davenport et al. 2011). Sumber makanan kerang pada ekosistem intertidal berasal dari POM (Lorrain et al. 2002; Kasai et al. 2004), fitoplankton (Vonk et al. 2008), campuran fitoplankton dengan mikroalga (Fukumori et al. 2008b), detritus,

mikro, dan mesozooplankton (Davenport et al. 2011). Vonk et al. (2008) menemukan bahwa kelas bivalvia di ekosistem lamun tidak mengasimilasi lamun, yang diasimilasi adalah fitoplankton dan bentik produsen primer. Hal ini dikarenakan sumber makanan yang dikoleksi dalam penelitian berbeda dengan penelitian sebelumnya. Selain itu, mungkin dikarenakan ada pengaruh dari arus, gelombang pantai, dan musim yang menyebabkan potensi sumber makanan seperti produsen primer tidak terdistribusi untuk menjadi sumber makanan. Distribusi potensi sumber makanan pada suatu wilayah di pengaruhi oleh arus,

37

gelombang di ekosistem pantai (Doi et al. 2009), dan musim (Kasai et al. 2004). Faktor fisik di laut diduga tidak membawa dan menghancurkan potensi sumber makanan menjadi partikel-partikel kecil untuk dijadikan sumber makanan.

Gambar 10 Nilai rasio isotop stabil (Error bars mean ± SD; n=3) Chlamydinae

spp. dan produsen primer di ekosistem lamunPulau Pari.

Tumbuhan lamun tidak menjadi sumber makanan mungkin karena sumber makanan tidak dalam bentuk daun lamun, melainkan dalam bentuk partikel lain seperti batang, akar, dan pelepah. Menurut Vonk et al. (2008) material lamun dalam bentuk partikel dapat menjadi sumber makanan biota invertebrata. Selain itu, mungkin dikarenakan perbedaan spesies dan kedalaman yang dapat mempengaruhi asimilasi sumber makanan. Menurut Miyazaki et al. (2011) perbedaan spesies, distribusi, dan ukuran tubuh kerang dapat mempengaruhi asimilasi sumber makanan. Proses asimilasi sumber karbon oleh kerang dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Proses makan kerang secara langsung dilakukan dengan menyaring air menggunakan sifon ventral. Asimilasi sumber karbon secara tidak langsung dilakukan melalui detrivor atau mikroorganisme.

Asimilasi karbon oleh makrozoobentos dari kelas gastropoda dan krustacea di ekosistem mangrove Manko berbeda dan lebih kaya dibandingkan dengan ekosistem lamun di Pulau Pari. Nilai rasio asimilasi masing-masing jenis makrozoobentos terhadap sumber makanan berbeda-beda. Kelas gastropoda

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 -25,00 -20,00 -15,00 -10,00 -5,00 0,00

δ

15

N ‰

δ

13

C ‰

Chlamydinae spp. Haliclona spp. Caluerpa rasemosa Enhalus acoroides

38

jenis unidentified cerithidae, nilai asimilasi yang mendekati adalah pada sedimen yaitu 1,83. Jenis P. verruculata memiliki kesamaan yaitu asimilasi sedimen yaitu 1,65, sedangkan jenis C. mustelina yang diasimilasi adalah sedimen dengan nilai asimilasi -0,83. Kelas Crustacea jenis unidentified grapsidae, nilai asimilasi yang mendekati adalah sedimen dengan nilai asimilasi -0,06 dan jenis unidentified ucatidak mengasimilasi sedimen dan daun mangrove(Tabel 11). Rasio karbon yang diasimilasi dari sumber makanan yang mendekati konsumen adalah sedimen (Gambar 11). Nilai asimilasi ini diduga bahwa sumber makanan makrozoobentos berasal dari sedimen, karena nilai asimilasi makrozoobentos terhadap sumber makanan mendekati nilai kisaran yang telah ditentukan oleh penelitian sebelumnya yaitu Bouillon et al. (2008), sedangkan isotop karbon daun mangrove tidak masuk kedalam kisaran (lebih kaya atau lebih miskin). Hasil dari nilai diduga bahwa di permukaan sedimen terdapat asosiasi organik terlarut seperti bentik mikroorganisme, bentik mikroalga, dan mikrofitobentos.

Tabel 11Nilai asimilasi rasio δ13C dan δ15N makrozoobentos dengan sumber makanan di ekosistem mangrove Manko.

Makrozoobentos Sumber Makanan ∆=Animal-Diets

δ15

N δ13C

Unidentified cerithidae Sedimen 1,34 1,83

Daun Mangrove -2,37 7,41

Cassidulae mustelina Sedimen 0,80 -0,83

Daun Mangrove -2,91 4,75

Peroni verruculata Sedimen 2,52 1,65

Daun Mangrove -1,19 7,23

Unidentified grapsidae Sedimen 3,39 -0,06

Daun Mangrove -0,32 5,51

Unidentified uca Sedimen 4,22 2,37

Daun Mangrove 0,51 7,94

Menurut Couch (1989) bentik mikroalga, mikrofitobentos (Bouillon et al. 2004), bentik mikroorganisme yang berasosiasi dengan sedimen (Kristensen et al. 2010), dan alga filamen merupakan organik terlarut yang ada di permukaansedimen. Selain itu, di lokasi penelitian di ekosistem mangrove, koleksi makrozoobentos berada di sedimen karena pada kondisi air surut dan di permukaan sedimen tidak terdapat detritus dari tumbuhan mangrove. Hasil dari penelitian ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya oleh Bouillon et al. (2004), yang menunjukkan bahwa kelas gastropoda spesies C. mustelina sumber makanannya berasal dari sedimen permukaan, sedangkan unidentified

39

cerithideadan Onchidium spp. (satu famili dengan spesies P.verruculata) sumber makanannya berasal dari organik terlarut dan mikrofitobentos yang berasosiasi di permukaan sedimen.

Selain sedimen sebagai sumber makanan kelas gastropoda, ekosistem mangrove memiliki sumber makanan berasal dari autoton seperti serasah mangrove, alga yang tumbuh pada kulit kayu (Hogarth 2007), fitoplankton (Kurata et al. 2001; Bouillon et al. 2002; Antonio et al. 2010), mikrolaga, zooplankton, jaringan tumbuhan mangrove (Alfaro 2008), dan tumbuhan epifit mangrove (Lopes et al. 2009). Jenis unidentified cerithidea dan Terebralia palustris merupakan spesies yang merupakan satu famili yaitu Potamididae, akan tetapi sumber makanannya berbeda. Menurut Marguillier et al. (1997) dan Lopes et al. (2009) jenis seperti T. palustris (famili Potamididae) sumber makanannya berasal dari daun mangrove. Selain itu, jenis T. palustris sumber makanannya berasal dari diatom (Pape et al. 2008). Hasil yang berbeda ditunjukkan dari spesies Cerithideadecolata, bahwa sumber makanannya berasal dari campuran masukkan lamun dan detritus mangrove (Marguillier et al. 1997).

Gambar 11 Nilai rasio isotop stabil (Error bars mean ± SD; n=3) makrozoobentos dan produsen primer di ekosistem mangrove Manko.

Spesies unidentified grapsidae dari kelas krustacea memiliki sumber makanan yang sama dengan kelas gastropoda yaitu berasal dari sedimen. Sumber makanan kepiting dari jenis grapsoid di penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil yang ada di ekosistem mangrove segara anakan, Indonesia yaitu

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 16,0 -35,00 -30,00 -25,00 -20,00 -15,00 -10,00 -5,00 0,00

δ

1 5

N ‰

δ

13

C ‰

Cerithidae spp. C. mustelina P. verruculata Graspidae spp. Uca spp. Sedimen Kandelia candel

40

berasal dari sedimen (Nordhaus et al. 2011). Selain itu, yang menjadi sumber makanan kepiting grapsoid di ekosistem mangrove seperti cacing (Hsieh et al. 2002), detritus, kulit kayu, daun mangrove, biota, dan alga (Nordhaus et al. 2011). Lebih lanjut, Nordhaus et al. (2011) menyatakan bahwa jenis kepiting grapsoid jenis Episesarma spp. dan Perisesarma spp. yang ada di ekosistem mangrove merupakan kepiting omnivor, dengan salah satu sumbernya adalah jaringan tubuh cacing sepertipada jenis Helice formosensis (Hsieh et al. 2002) dan daging ikan pada jenis Neoepisesarma versicolor (Kristensen et al. 2010).

Pada kelas krustacea jenis Unidentified ucatidak mengasimilasi sedimen dan daun mangrove. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Nordhaus dan Wolff (2007), menyatakan bahwa material tumbuhan dan detritus merupakan sumber makanan jenis Unidentified uca. Selain itu, campuran dari bentik mikroalga, POM sedimen (Hsieh et al. 2002), diatom, alga hijau, mangrove, dan food pellets

(Meziane et al. 2002), diatom dan sianobakteri (Bouillon et al. 2002; 2004), sedimen, dan daun mangrove (Nordhaus dan Wolff 2007). Lebih lanjut, Nordhaus dan Wolff (2007) menyatakan bahwa komposisi sumber makanan pada jenis Uca spp. lebih banyak adalah daun mangrove yaitu sekitar 61,2%.

Nilai asimilasi sumber makanan pada famili Grapsidae dan Ocypodidae, menunjukkan bahwa sebagian habitat berada di permukaan. Menurut Lee (2008) famili Grapsidae merupakan tipe penggali dan epipelic di permukaan sedimen. Selain itu, pada spesies yang mengasimilasi sedimen, hal ini menunjukkan bahwa feedingbehaviordi kelas krustacea adalah sebagai scavenger atau omnivorsedangkan kelas gastropoda adalah sebagai deposit atau detritivorous feederyang berasal dari sedimen. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian Nordhaus dan Wolff (2007) menunjukkan bahwa tingkah laku makan jenis Uca dari kelas krustacea adalah omnivor, sedangkan kelas gastropoda merupakan deposit atau

detritivorous feeder(Lopes et al. 2009).

Berdasarkan perbedaan asimilasi sumber makanan kelas gastropoda dan krustacea diduga karena dipengaruhi kondisi fisik mikrohabitat dan biota itu sendiri. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa asimilasi sumber makanan dipengaruhi oleh fisiologi dan morfologi (DeNiro dan Epstein 1978; 1981), kondisi lingkungan (Meziane et al. 2002), pasang surut (Alfaro 2008), ukuran tubuh, habitat, pemangsaan (Lopes et al. 2009), dan musim (Aya dan Kudo 2010). Kondisi yang mempengaruhi perbedaan asimilasi sumber makanan ini terjadi pada kelas bivalvia (Aya dan Kudo 2010).

42

Dokumen terkait