• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISRAILIYAT DAN KISAH AL-QUR'AN

Dalam dokumen KISAH PARA NABI PRA-IBRAHIM (Halaman 41-46)

SEBUAH PENGANTAR

KISAH AL-QUR'AN

D. ISRAILIYAT DAN KISAH AL-QUR'AN

Gaya penyampaian kisah Al-Qur'an yang tidak merinci peristiwanya

men-Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, teta-pi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petun-juk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

(Yūsuf/12: 111)

Perpaduan antara gaya bahasa yang singkat dan padat dengan pesan mulia yang dikandungnya menjadikan kisah Al-Qur'an semakin memikat.

Karena penekanannya pada ‘ibrah maka hal-hal yang tidak mendukung tujuan itu tidak perlu dirinci atau dijabarkan secara panjang lebar.

Sebagai contoh, dalam kisah Nabi Nuh kita tidak menemukan rincian mengenai besar kapal yang dibuat dan kemudian ditumpangi oleh Nabi Nuh dan para pengikutnya, karena

Pendahuluan:

Pelajaran dari Kisah Para Nabi/Rasul 9 dorong masyarakat dari kalangan

bangsa Arab untuk mencari tahu informasinya. Begitu pula informasi tentang awal penciptaan alam semesta dan rahasia wujud. Keingintahuan itu tersalurkan dengan menanyakan informasi tersebut kepada Ahlul Kitab: Yahudi dan Nasrani, yang hidup bersama mereka. Interaksi antara bangsa Arab dengan mereka, terutama orang-orang Yahudi, di Jazirah Arab sudah lama terjalin, sejak mereka hijrah ke sana pada tahun 70 M, setelah lari dari kejaran dan penyiksaan penguasa Romawi, Titus. Selain itu, dalam perdagangan musim panas (riĥlatuș-șaif) ke Syam dan musim dingin (riĥlatusy-syitā') ke Yaman mereka selalu berjumpa dan berkomunikasi dengan Ahlul Kitab yang tinggal di daerah tersebut. Dari situlah budaya dan pemikiran Ahlul Kitab diserap oleh bangsa Arab.

Sebagian dari Ahlul Kitab itu ada yang memeluk agama Islam, seperti

‘Abdullāh bin Salām, Ka‘b al-Aĥbār, dan lainnya, dan telah memiliki informasi tersebut sebelumnya. Informasi itu dengan mudah diterima bangsa Arab karena dianggap hanya sekadar cerita masa lalu dan tidak terkait dengan persoalan hukum yang harus diverifikasi lebih jauh kesahihannya.

Mulanya hanya sekadar memenuhi rasa ingin tahu. Berdasarkan riwayat

mereka itulah cerita-cerita tersebut berkembang dan masuk ke dalam buku-buku tafsir. Hampir kebanyakan buku-buku tafsir klasik memuat kisah-kisah yang dikenal dengan istilah Israiliyat.

Istilah tersebut meski dinisbatkan kepada Israil, julukan bagi Nabi Ya‘qub, dan merujuk kepada kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi, tetapi dalam perkembangannya Isra-iliyat lebih populer dikenal untuk setiap kisah atau dongeng masa lalu yang masuk ke dalam tafsir dan hadis, baik yang bersumber dari orang-orang Yahudi-Nasrani maupun lainnya. Cerita-cerita itu semakin berkembang dengan banyaknya orang yang berprofesi sebagai al-qașșāșūn (pandai cerita) yang selalu menonjolkan keanehan-keanehan dalam penyampaiannya agar menarik perhatian pendengar.

Memang, tidak semua Israiliyat itu lemah atau palsu riwayatnya.

Ada di antaranya yang sahih, seperti penjelasan ‘Abdullāh bin Salām tentang sifat-sifat Rasulullah yang termaktub dalam Taurat, dan dikutip dalam kitab-kitab tafsir. Demikian pula, tidak semua kisah Israiliyat itu bertentangan dengan syariat Islam. Ada yang sejalan dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan ada pula yang tidak ditemukan penolakan dan pem-benarannya dalam ajaran Islam

(al-maskūt ‘anhu). Kisah-kisah tersebut ada yang terkait dengan akidah dan masalah hukum, ada pula yang tidak berhubungan sama sekali dengan keduanya, melainkan hanya berupa nasihat dan informasi peristiwa masa lalu.

Para ulama berbeda dalam me-nyikapi kisah-kisah Israiliyat; apakah diperbolehkan meriwayatkannya atau tidak? Di dalam Al-Qur'an sendiri kita menemukan sebuah ayat yang ditujukan kepada Nabi Muhammad, dan tentu juga kepada kita sebagai umatnya, yang membolehkan untuk menanyakan informasi terkait kitab suci kepada Ahlul Kitab. Allah berfirman,

للها دبع نع يراخبلا هاور( . ِراَّنلا َنِم ُهَدَعْقَم )ورمع نب

Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakan (apa yang kalian peroleh) dari Bani Israil, tidak ada dosa. Barang siapa sengaja berdusta mengatas-namakanku maka bersiaplah untuk masuk ke neraka. (Riwayat al-Bukhāri dari ‘Abdullāh bin

‘Amr)

Ayat dan hadis di atas dipahami oleh para ulama sebagai dasar mem-bolehkan mengutip riwayat Israiliyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebab yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dan hadis tersebut tentu yang tidak mengandung kebohongan.

Yang bertentangan dengan ajaran agama dan juga akal sehat sudah pasti mereka tolak. Sementara itu, yang tidak ditemukan pembenaran dan penolakannya mereka memilih sikap tawaqquf, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

ِةَّيِناَ ْبِعْلاِب َةاَرْوَّتلا َنْوُءَرْقَي ِباَتِكْلا ُلْهَأ َناَك

َلاَقَف ، ِمَلا ْسِ ْلا ِلْهَ ِل ِةَّيِبَرَعْلاِب اَ َنْو ُ ِّسَفُيَو ا ْوُقِّد َصُت َل : َمَّل َسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْو ُسَر

ِللهاِب اَّنَمآ : اْوُلْوُقَو ، ْمُهْوُبِّذَكُت َلَو ِباَتِكْلا َلْهَأ هاور( . َةَيلآا ... ْمُكْيَلِإ َلِزْنُأ اَمَو اَنْيَلِإ َلِزْنُأ اَمَو )ةريره بيأ نع يراخبلا

Maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang yang membaca kitab sebelummu. Sungguh, telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu. (Yūnus/10: 94)

Selain itu, dalam salah satu sabdanya Rasulullah menyatakan,

َلْيِئا َ ْسِإ ْيِنَب ْنَع اْوُثِّد َحَو ، ًةَيآ ْوَلَو ْيِّنَع اْوُغِّلَب

ْأَّوَبَتَيْلَف اًدِّمَعَتُم َّ َلَع َبَذَك ْنَمَو ، َجَرَح َلَو

Pendahuluan:

Pelajaran dari Kisah Para Nabi/Rasul 11

Dahulu Ahlul Kitab biasa membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan menjelaskan kepada orang Islam dalam bahasa Arab. Rasulullah bersabda, “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan pula kalian dustakan. Katakanlah saja, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kalian…” (Riwayat al-Bukhāri dari Abū Hurairah)

Meski tawaqquf dengan tidak membenarkan dan tidak menolaknya, para ulama membolehkan untuk meriwayatkannya sekadar sebagai bentuk pemaparan atas kisah yang ada di kalangan mereka, dan itu termasuk dalam kebolehan yang dibenarkan oleh ayat dan hadis di atas. Kebolehan tersebut tentu dalam batas-batas tertentu, yaitu tidak terkait dengan masalah akidah dan hukum, serta tidak ditemukan pembenaran dan penolakannya dalam ajaran Islam.

Atas dasar itulah, dalam buku ini para pembaca akan menemukan beberapa informasi yang bersumber dari Israiliyat. Hal itu dikarenakan fokus yang menjadi perhatian buku ini adalah kisah-kisah masalah lalu, terutama nabi-nabi yang hidup sebelum masa Nabi Ibrahim; suatu objek kajian yang jarang sekali diungkap informasi kesejarahannya. Riwayat tersebut tidak dimaksudkan sebagai kebenaran informasi agama, melainkan hanya sekadar memaparkan informasi kese-jarahan yang terdapat dalam literatur klasik selain pelajaran (‘ibrah) yang dapat diambil darinya—satu hal yang diharapkan dapat membuka wawasan kita tentang keterkaitan agama-agama dalam sejarah kemanusiaan. Wallāhu a‘lam. []

A. KERAGUAN AKAN

Dalam dokumen KISAH PARA NABI PRA-IBRAHIM (Halaman 41-46)