• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.6 S ISTEMATIKA P ENULISAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, batasan masalah dan sistemarika penulisan dari penelitian yang akan dilakukan.

BAB 2: LANDASAN TEORI

Bab ini berisikan tentang teori-teori dasar yang akan digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis. Teori tersebut meliputi teori mengenai ohjek yang akan digunakan, metode preprocessing yang digunakan, metode ekstraksi ciri yang digunakan, metode klasifikasi yang digunakan dan metode pengujian yang digunakan.

BAB 3: METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang langkah-langkah yang akan digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian. Meliputi sumber data yang digunakan hingga proses yang dilakukan agar data siap digunakan pada

proses klasifikasi.

BAB 4: HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Bab ini berisikan tentang penerapan sistem yang digunakan dalam penelitian serta hasil dari penelitian yang sudah dilakukan berserta analisis dari hasil penelitian tersebut.

BAB 5: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang didapatkan dari penelitian dan saran yang diberikan penulis agar penelitian yang sudah dilakukan ini dapat dikembangkan lagi.

BAB II.

LANDASAN TEORI

2.1 Aksara Bali

Merupakan turunan dari aksara Brahmi India yang berkembang menjadi aksara Pallawa. Kemudian aksara Pallawa berkembang menjadi aksara Kawi lalu kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional bangsa Indonesia salah satunya aksara Bali. Aksara Bali memiliki 33 huruf konsonan dan 18 aksara dasar.

2.1.1 Aksara Wyanjana (Huruf Konsonan)

Tabel 2.1 Aksara Wyanjana (Huruf Konsonan)

https://www.pinterpandai.com/aksara-bahasa-bali-hanacaraka/

Warga Pancawalimukha Semivokal Sibilan Celah Nirsuara Bersuara Sengau

Kanthya

Ka Kha Ga Gha Nga Ha

Talawya

Ca Cha Ja Jha Nya Ya Sa

Murdhanya

Ta Tha Da Dha Na Ra Sa

Dantya

Ta Tha Da Dha Na La Sa

Osthya

Pa Pha Ba

Bha Ma Wa

2.1.2 Aksara Swara (Huruf Vokal)

Tabel 2.2 Aksara Swara (Huruf Vokal)

https://www.pinterpandai.com/aksara-bahasa-bali-hanacaraka/

Warga Vokal Pendek Vokal Panjang

Kantya

A kara A kara

Talawya

I kara I kara

Murdhanya

Ra repa Ra repa

Dantya

La lenga La lenga

Osthya

U kara U kara

Kanthya-Talawya

E kara

Airsanya

Kanthya-Osthya

O Au kara

2.2 Pengenalan Pola

Pengenalan pola merupakan salah satu bidang dalam pembelajaran mesin yang menitik beratkan pada metode klasifikasi objek ke dalam kelas-kelas tertentu untuk dapat menyelesaikan masalah. Pengenalan pola bertujuan

untuk mengklasifikasikan dan mendeskripsikan pola melalui ciri-ciri dari obyek yang ingin dikenali.

Pengenalan pola memiliki 3 langkah utama, yaitu preprocessing, ekstraksi ciri, klasifikasi. Preprocessing merupakan langkah awal dimana dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan data/objek yang ingin diteliti agar dapat menghasilkan ciri yang lebih baik pada proses selanjutnya. Langkah berikutnya merupakan ekstraksi ciri yang berfungsi untuk menemukan karakteristik atau ciri utama dari suatu objek. Langkah terakhir ialah klasifikasi, tahap ini bertujuan untuk mengelompokkan data menjadi kelas yang sesuai (Wibowo, 2018).

2.3 Pengertian Citra

Citra merupakan kombinasi antara titik, garis, bidang, dan warna untuk menciptakan suatu objek, biasanya objek fisik atau manusia. Citra didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi, f(x,y), di mana x dan y adalah koordinat bidang (spasial), dan amplitudo f pada setiap pasang koordinat (x,y), disebut intensitas atau tingkat abu-abu gambar pada saat itu (Gonzalez & Woods, 2002).

Citra digital dapat direpresentasikan dalam bentuk matrik berukuran m x n, dimana m menunjukan jumlah elemen baris dan n menunjukan jumlah kolom pada matriks citra tersebut (Bahri, 2015).

2.4 Pemrosesan Citra

Pengolahan atau pemrosesan citra merupakan suatu metode atau Teknik yang dapat digunakan untuk memproses citra dengan cara memanipulasinya menjadi data citra yang diinginkan untuk mendapatkan informasi tertentu (Indarto & Murinto, 2017). Proses manipulasi terjadi pada setiap elemen atau piksel pada citra untuk mendapatkan hasil yang optimal.

2.4.1 Binerisasi

Binerisasi berarti mengubah citra yang semula adalah citra warna atau citra gray menjadi citra hitam dan putih dan nilai elemen atau piksel dalam matriks sebuah citra menjadi 0 yang berarti berwarna hitam dan 1

yang berarti berwarna putih. Thresholding merupakan Teknik utama dalam analisis similaritas yang dapat menentukan ambang batas yang tepat untuk setiap pemrosesan citra sehingga suatu citra keabuan dapat diubah menjadi citra biner (Safrizal, Arnia, dan Muharar, 2019).

2.4.2 Cropping

Pemotongan citra (cropping citra) merupakan cara pengambilan area tertentu yang akan diamati (area of interest) dalam citra, yang bertujuan untuk mempermudah penganalisaan citra dan memperkecil ukuran penyimpanan citra (Trisnani, 2020). Pemotongan citra dilakukan berdasar pada titik koordinat citra atau jumlah piksel dari citra tersebut.

2.4.3 Resize

Proses resize diperlukan untuk menseragamkan ukuran-ukuran citra yang berdasarkan hasil cropping memiliki ukuran dimensi yang berbeda-beda (Sari, Hidayat, dan Sunarya. 2015).

2.4.4 Reduksi Derau

Derau merupakan bagian dalam citra berupa piksel yang dapat mengganggu atau merusak kualitas dari citra tersebut (Sholihin dan Purwoto, 2014). Seperti terdapat bitnik hitam atau putih dalam citra yang tidak diinginkan berada dalam citra tersebut. Derau tersebut biasa disebut sebagai derau Salt & Paper.

2.4.5 Thinning

Proses morfologi pada citra yang merupakan bentuk asli citra biner menjadi citra yang menampilkan batas-batas objek atau foreground hanya setebal satu piksel (Yulianti, Wijaya, dan Bimantoro, 2019).

2.5 Ekstraksi Ciri

Ekstraksi ciri merupakan tahapan untuk mengekstrak ciri/informasi dari suatu objek dalam citra yang ingin dibedakan dengan objek-objek lainnya.

Salah satu metode yang sudah cukup dikenal dalam melakukan tahap ini adalah Moment Invariant.

Moment adalah proyeksi fungsi gambar, f(x,y) ke dasar polynomial :

f(x,y) = nilai intensitas citra pada piksel x,y H = Tinggi citra

W = Lebar citra

Berikutnya, moment pusat (𝜇) adalah moment yang bersesuaian dengan pusat area. Moment Pusat didefinisikan pada rumus (2.2) sampai (2.6):

𝜇𝑝𝑞= ∑𝐻−1𝑥=0𝑊−1𝑦=0(𝑥 − 𝑥̅)𝑝(𝑦 − 𝑦̅)𝑞𝑓(𝑥, 𝑦) (2.2)

Melalui moment pusat yang terbentuk, maka selanjutnya akan dilakukan normalisasi terhadap moment pusat melalui rumus (2.7)

𝜂𝑝𝑞 = 𝜇𝑝𝑞

𝜇00𝛾 (2.7) Dimana nilai 𝛾 diperoleh melalui rumus (2.8)

𝛾 = (𝑝+𝑞

2 ) + 1 (2.8)

Keterangan:

𝜂𝑝𝑞 = moment pusat ternormalisasi 𝛾 = gamma

Setelah kita mendapatkan normalisasi moment pusat, maka sekarang kita

dapat menghitung 7 nilai vector moment invariant (Gornale, Patravali, dan Hiremath, 2020):

𝜑1= 𝜂20+ 𝜂02 (2.9) 𝜑2 = (𝜂20− 𝜂02)2+ 4𝜂112 (2.10) 𝜑3 = (𝜂30− 3𝜂12)2+ (3𝜂21− 𝜂03)2 (2.11) 𝜑4 = (𝜂30+ 𝜂12)2+ (𝜂21+ 𝜂03)2 (2.12) 𝜑5 = (𝜂30− 3𝜂12)(𝜂30+ 𝜂12)[(𝜂30+ 𝜂12)2− 3(3𝜂21− 𝜂03)2] + (3𝜂21+ 𝜂03)(𝜂21+ 𝜂03)[3(𝜂30+ 𝜂12)2 − (𝜂21+ 𝜂03)2] (2.13) 𝜑6 = (𝜂20− 𝜂02)[(𝜂30+ 𝜂12)2− (𝜂21+ 𝜂03)2] + 4𝜂11(𝜂30+

𝜂12)(𝜂21+ 𝜂03) (2.14) 𝜑7 = (3𝜂21− 𝜂03)(𝜂30+ 𝜂12)[(𝜂30+ 𝜂12)2− 3(3𝜂21− 𝜂03)2] + (3𝜂21− 𝜂03)(𝜂21+ 𝜂03)[3(𝜂30+ 𝜂12)2 − (𝜂21+ 𝜂03)2] (2.15) Keterangan:

𝜑𝑛 = moment invariant

Tujuh nilai moment invariant yang sudah didefinisikan dengan rumus (2.9) hingga rumus (2.15) berguna untuk merepresentasikan sebuah objek.

Empat moment pertama memiliki daya tahan terhadap skala, translasi, dan rotasi.

Sedangkan moment ke-5 hingga moment ke-7 merupakan deviasi relatif dari moment ke-2 dan moment ke-3 (Kurniawan, Soemarto, Yahya, 2020).

2.6 Support Vector Machine

Support Vector Machine (SVM) merupakan Supervised learning model untuk analisis klasifkasi dan regresi. SVM merupakan salah satu metode dalam machine learning yang bertujuan untuk menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan dua buah kelas pada ruang input, SVM adalah sistem pembelajaran yang menggunakan ruang hipotesa berupa fungsi-fungsi linear dalam sebuah ruang fitur berdimensi tinggi (Yulianti, Wijaya, dan Bimantoro, 2019).

Gambar 2.1 ilustrasi SVM saat menentukan Hyperplane terbaik yang mungkin untuk set data (Nugroho, Witarto, dan Handoko, 2003)

Teknik pada SVM sangat berkaitan dengan deep learning dan machine learning karena mampu untuk memprediksi kelas suatu data baru. Fungsi model yang akan digunakan adalah fungsi linear yang didefinisikan dengan :

𝑓(𝑥) = 𝑤. 𝑥 + 𝑏 (2.16) Setiap data latih dinyatakan oleh (𝑥𝑖, 𝑦𝑖) dimana i = 1,2,…,N dan 𝑥𝑖 = {𝑥𝑖1, 𝑥𝑖2, … , 𝑥𝑖1}𝑇 merupakan fitur set bagi data training ke-i. Sedangkan 𝑦𝑖{−1,1} menyatakan label kelas. Hyperplane untuk klasfikasi linear SVM dapat dinyatakan dengan rumus (2.17)

𝑤. 𝑥𝑖 + 𝑏 (2.17) W dan b adalah parameter model. 𝑤. 𝑥𝑖 merupakan inner-product dalam antara 𝑤 dan 𝑥𝑖. Data 𝑥𝑖 yang termasuk ke dalam class -1 adalah data yang memenuhi pertidaksamaan:

𝑤. 𝑥𝑖 + 𝑏 ≤ −1 (2.18) Sementara Data 𝑥𝑖 yang termasuk ke dalam class +1 adalah data yang memenuhi pertidaksamaan:

𝑤. 𝑥𝑖 + 𝑏 ≥ +1 (2.19) Keterangan:

w = bobot, 𝑥𝑖 = nilai fitur ke-I, 𝑏 = bias

Maksimum margin ditemukan dengan memaksimalkan nilai jarak dari hyperplane dengan titik terdekatnya, yaitu 1

‖𝑤‖. Hal ini pada umumnya dirumuskan sebagai permasalahan dari Quadratic Programming (QP), yaitu mencari titik minimal dari persamaan (2.20) dengan memperhatikan constraint pertidaksamaan (2.21)

𝑚𝑖𝑛 → 𝜏(𝑤) = 𝑤 1

2 ‖𝑤‖2 (2.20) 𝑦𝑖(𝑤𝑥𝑖 + 𝑏) − 1 ≥ 0, ∀𝑖 (2.21) Permasalah tersebut dapat dipecahkan dengan menggunakan berbagai teknik komputasi, salah satu di antaranya adalah Lagrange Multiplier.

𝐿(𝑤, 𝑏, 𝛼) =1

2‖𝑤‖2− ∑𝑙𝑖=1𝛼𝑖(𝑦𝑖((𝑥𝑖. 𝑤 + 𝑏) − 1)) (𝑖 = 1,2, … , 𝑙) (2.22) 𝛼𝑖 adalah Lagrange Multiplier, yang bernilai 0 atau positif (𝛼𝑖 ≥ 0).

Nilai yang optimal dari perhitungan pada persamaan (2.22) dapat dihitung dengan meminimalkan nilai L terhadap w dan b, serta memaksimalkan nilai L terhadap 𝛼𝑖 (Nugroho, Witarto, dan Handoko, 2003). Mengingat bahwa pada titik optimal gradient L=0, Persamaan (2.22) dapat dimodifikasi untuk memaksimalkan permasalahan yang hanya mengandung 𝛼𝑖, seperti persamaan (2.23) dan pertidaksamaan (2.24) berikut:

𝑙𝑖=1𝛼𝑖1

2𝑙𝑖,𝑗=0𝛼𝑖𝛼𝑗𝑦𝑖𝑦𝑗𝑥⃗𝑖𝑥⃗𝑗 (2.23) 𝛼𝑖 ≥ 0 (𝑖 = 0,1,2, … , 𝑙) ∑𝑙𝑖=1𝛼𝑖𝑦𝑖 = 0 (2.24) Hasil yang diperoleh dari perhitungan ini yaitu 𝛼𝑖 yang pada umumnya bernilai positif. Data yang berhubungan dengan 𝛼𝑖 yang positif disebut dengan support vector. Fungsi pemisah juga dapat didefinisikan dengan:

𝑔(𝑥) ≔ 𝑠𝑖𝑔𝑛(𝑓(𝑥)) (2.25) 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑓(𝑥) = 𝑤𝑇𝑥 + 𝑏 (2.26) Namun, permasalahan yang ada di dunia nyata sangat jarang yang bersifat linear seperable. Kebanyakan masalah yang ada bersifat non-linear.

Oleh karena itu, SVM dimodifikasi dengan memasukkan fungsi kernel.

Pada non-linear SVM, data 𝑥⃗ dipetakan oleh fungsi Φ(𝑤⃗⃗⃗) menuju ruang vektor dengan dimensi yang lebih tinggi. Dengan ruang vektor yang baru ini,

hyperplane yang akan memisahkan 2 buah kelas dapat dibangun.

Gambar 2.2 ilustrasi SVM pada pemetaan ruang vektor yang berdimensi tinggi (Nugroho, Witarto, dan Handoko, 2003) Secara umum, terdapat 3 jenis kernel yang dapat digunakan yaitu:

i. Kernel Linear

𝐾(𝑥𝑖𝑥𝑗) = 𝑥𝑖𝑥𝑗 (2.27) ii. Kernel Polynomial

𝐾(𝑥𝑖, 𝑥𝑗) = (𝑥𝑖𝑥𝑗+ 1)𝑑 (2.28) iii. Kernel Gaussian (Radial Basis Function (RBF))

𝐾(𝑥𝑖, 𝑥𝑗) = exp (‖𝑥𝑖𝑥𝑗

2

2𝜎2 ) (2.29)

𝜎, 𝑐, 𝑑 > 0, merupakan konstanta.

Pada dasarnya, SVM merupakan sebuah pengklasifikasi biner sehingga hanya dapat mengklasifikasi sebuah data ke dalam 2 kelas saja. Oleh karena itu, perlu digunakan sebuah pendekatan baru jika ingin melakukan klasifikasi terhadap lebih dari 2 kelas atau multi kelas(multiclass). Dalam implementasi multi kelas, terdapat 2 metode yang dapat digunakan, yakni One Vs One dan One Vs All.

a. One Vs One

Dalam metode one vs one atau satu lawan satu ini akan dilakukan pembandingan antara 1 kelas dengan kelas lainnya.

Jumlah model klasifikasi biner yang dibangun ditentukan melalui

Sehingga, jika akan dilakukan klasifikasi menggunakan SVM untuk mengklasifikasikan data dengan 3 kelas, maka model klasifikasi biner yang perlu dibangun adalah sebanyak 3(3-1)/2 = 3 buah model. Kemudian setiap kelas harus dibandingkan dengan kelas yang lain seperti pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Contoh 3 SVM Biner dengan metode One vs One

𝒚𝒊 = 𝟏 𝒚𝒊= −𝟏 Hipotesis

Kelas 1 Kelas 2 𝑓12(𝑥) = (𝑤12)𝑥 + 𝑏12 Kelas 1 Kelas 3 𝑓13(𝑥) = (𝑤13)𝑥 + 𝑏13 Kelas 2 Kelas 3 𝑓23(𝑥) = (𝑤23)𝑥 + 𝑏23

b. One Vs All

Dalam metode one vs all atau satu lawan banyak ini akan dilakukan pembandingan antaara 1 kelas dengan semua kelas sisanya. Jumlah model klasidikasi biner yang akan dibangun adalah sebanyak k model. Sehingga, jika dilakukan klasifikasi menggunakan SVM untuk mengklasifikasikan data dengan 3 kelas, maka model klasifikasi biner yang perlu dibangun adalah sebanyak 3 buah model.

Kemudian setiap kelas akan dibandingkan seluruh kelas lainnya seperti pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Contoh 3 SVM Biner dengan metode One vs all

𝒚𝒊 = 𝟏 𝒚𝒊= −𝟏 Hipotesis

Kelas 1 Bukan Kelas 1 𝑓1(𝑥) = (𝑤1)𝑥 + 𝑏1 Kelas 2 Bukan Kelas 2 𝑓2(𝑥) = (𝑤2)𝑥 + 𝑏2 Kelas 3 Bukan Kelas 3 𝑓3(𝑥) = (𝑤3)𝑥 + 𝑏3

2.7 K-Fold Cross Validation

Cross-validasi adalah sebuah Teknik validasi model untuk menilai bagaimana hasil statistik analisis akan mengeneralisasi kumpulan data independen dan digunakan untuk melakukan prediksi model dan memperkirakan seberapa akurat sebuah model prediktif jika dijalankan pada praktiknya (Tempola, Muhammad, dan Khairan, 2018).

Salah satu teknik untuk melakukan cross validasi adalah K-Fold Cross Validation, dimana metode tersebut akan melakukan pemecahan data hingga menjadi k bagian. Misalnya terdapat 1000 data dan K bernilai 10 maka data akan dipecah menjadi 10 bagian dengan masing-masing bagian memiliki 100 data.

Tujuan pemecahan data ini untuk melakukan pengujian secara silang dari keseluruhan data yang digunakan untuk melihat nilai akurasi dari sebuah model klasifikasi yang dibangun.

2.8 Confusion Matrix

Confusion Matrix merupakan sebuah metode yang biasanya digunakan untuk menghitung akurasi pada konsep data mining (Mutawalli, Zaen, Bagye, 2019). Confusion Matrix memiliki 4 istilah untuk merepresentasikan hasil klasifikasi. Keempat istilah itu adalah True Positive (TP), True Negative (TN), False Positive (FP), False Negative (FN). TP merupakan data positif yang terdeteksi benar. TN merupakan data negatif yang terdeteksi benar. FP merupakan data negatif namun terdeteksi sebagai data positif. Sedangkan FN merupakan data positif yang terdeteksi sebagai data negatif.

Tabel 2.5 Confusion Matrix TRUE VALUES

TRUE FALSE

PREDICTION TRUE TP FP

FALSE FN TN

Melalui Tabel 2.5, nilai akurasi yang menggambarkan seberapa akurat dan efektifitas sistem secara keseluruhan dalam melakukan klasifikasi pada data secara benar (Hadianto, Novitasari, Rahmawati, 2019). Perhitungan akurasi dihitung melalui rumus (2.30):

𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝑇𝑃+𝑇𝑁

𝑇𝑃+𝑇𝑁+𝐹𝑃+𝐹𝑁 𝑥 100% (2.31)

BAB III.

METODE PENELITIAN

3.1 Data

Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data citra tulisan tangan aksara Bali sejumlah 1001 citra dalam bentuk citra digital yang terbagi menjadi 18 label. Gambar 3.1 merupakan contoh dari data citra digital aksara bali yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 3.1 Data Citra Aksara Bali

Tabel 3.1 merupakan rincian total data yang dimiliki oleh masing-masing 18 label tersebut:

Tabel 3.1 Rincian Data Citra Aksara Bali

Nomor Label Kelas Aksara Banyak Citra

1 C2 1 Ha 30

2 C3 2 Ta 52

3 C4 3 Ba 45

4 C6 4 Sa 64

5 C7 5 Ma 76

6 C8 6 Ka 36

7 C10 7 Nga 28

Nomor Label Kelas Aksara Banyak Citra

8 C12 8 Koma 81

9 C13 9 Ulu 121

10 C15 10 Tedong 49

11 C19 11 Na 108

12 C20 12 Da 20

13 C23 13 Wa 42

14 C27 14 Taleng 92

15 C34 15 Ra 69

16 C40 16 Ya 35

17 C42 17 Suku 33

18 C53 18 Mangkan 20

Data citra yang sudah dimiliki, memiliki ukuran dimensi yang kurang dari 45x50 piksel untuk citra yang sudah terpotong secara sempurna. Namun untuk citra yang belum terpotong secara sempurna memiliki ukuran dimensi sekitar 50x150 piksel.

3.1.1 Kebutuhan Perangkat Hardware dan Software

Adapun perangkat hardware dan software yang akan digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Spesifikasi Hardware

1. Prosesor Intel(R) Core(TM) i7-8750H CPU @ 2.20GHz 2. RAM 16 GB

3. HDD 1TB+SSD 256GB b) Spesifikasi Software

1. Sistem Operasi Windows 11 2. MATLAB R2019A

3.2 Implementasi Moment Invariant dan Support Vector Machine dengan data dummy

Berikut merupakan contoh perhitungan dari proses ekstraksi ciri dengan moment invariant dan klasifikasi dengan support vector machine secara manualnya.

1. Moment Invariant

Proses untuk menghitung nilai moment invariant dimulai dengan mencari nilai moment dari citra, kemudian mencari nilai moment pusat.

Setelah itu, mencari nilai moment pusat ternormalisasi sebelum akhirnya menemukan nilai moment invariant didapatkan.

a. Ilustrasi citra dummy 10x10

Ilustrasi citra dummy direpresentasikan dalam bentuk matriks seperti pada matriks di bawah ini:

[

b. Perhitungan nilai moment citra

Menghitung nilai moment pada m00, m01, m10 dengan rumus (2.4), (2.5), dan (2.6). Tabel 3.2 merupakan hasil perhitungan dari nilai moment citra.

Tabel 3.2 Hasil Nilai perhitungan moment citra Moment Nilai

m10 204

m01 156

m00 35

c. Perhitungan nilai moment pusat

Untuk mencari nilai dari moment pusat, menggunakan rumus (2.2) dengan kombinasi nilai p dan q yang akan dihitung adalah 0 2, 2 0, 1 1, 2 1, 1 2, 3 0, 0 3. Tabel 3.3 merupakan hasil perhitungan dari nilai moment pusat citra.

Tabel 3.3 hasil perhitungan nilai moment pusat Moment Pusat (𝜇𝑝𝑞) Nilai

d. Perhitungan nilai normalisasi moment pusat

Melakukan normalisasi pada moment pusat dengan rumus (2.7) dan (2.8) dengan kombinasi nilai p dan q yang akan dihitung adalah 0 2, 2 0, 1 1, 2 1, 1 2, 3 0, 0 3.

Hasil perhitungan moment pusat ternormalisasi terdapat pada Tabel 3.4:

Tabel 3.4 Hasil perhitungan nilai normalisasi moment pusat Moment Pusat Ternormalisasi (𝜂𝑝𝑞) Nilai

𝜂02 0.1456

Moment Pusat Ternormalisasi (𝜂𝑝𝑞) Nilai

𝜂03 -0.0122

e. Perhitungan nilai moment invariant

Perhitungan dilakukan dengan rumus 7 nilai moment invariant dengan rumus (2.9) sampai (2.16) Tabel 3.5 merupakan hasil perhitungan nilai moment invariant:

Tabel 3.5 Hasil perhitungan nilai moment invariant Moment Invariant nilai

2. Support Vector Machine

Contoh data yang akan digunakan berasal dari perhitungan 4 ekstraksi ciri dari citra dummy. Ilustrasi untuk citra dummy untuk data pertama direpresentasikan dalam bentuk matriks seperti di bawah ini:

[

Kemudian didapatkan hasil perhitungan dari ekstrasi ciri dengan moment invariant seperti pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Nilai Moment Invariant data citra dummy pertama Moment Invariant nilai

1 0,2574

2 0,0012

Moment Invariant nilai lainnya. Tabel 3.7 merupakan hasil perhitungan dari ekstraksi ciri dengan moment invariant untuk ketiga data citra lainnya.

Tabel 3.7 Nilai Moment Invariant ketiga data citra dummy lainnya Moment

Invariant (𝜑)

Data Citra

kedua ketiga keempat

𝜑1 0,2243 0,2946 0,2388

Berdasarkan hasil perhitungan ekstraksi ciri dari 4 citra dummy tersebut, diambil 2 dari 7 nilai moment invariant untuk setiap citranya sehingga didapatkan contoh dataset seperti pada Tabel 3.8:

Tabel 3.8 Contoh data sampel

𝑥1 𝑥2 𝑦𝑖

sebagai berikut:

𝑦𝑖(𝑊. 𝑋𝑖 + 𝑏) ≥ 1, 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑁 𝑦𝑖(𝑤1𝑥1+ 𝑤2𝑥2+ 𝑏) ≥ 1

Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

1. 1(0.257 𝑤1+ 0.001 𝑤2+ 𝑏) ≥ 1 → 0.257 𝑤1+ 0.001 𝑤2+ 𝑏 ≥ 1

Kemudian menjumlahkan persamaan (3) dengan persamaan (4) unuk mencari nilai w2

Kemudian menjumlahkan persamaan (1) dengan persamaan (2) unuk mencari nilai w1

Kemudian menjumlahkan persamaan (1) dengan persamaan (3) unuk mencari nilai b

0.257 𝑤1+ 0.001 𝑤2+ 𝑏 ≥ 1 0.295 𝑤1+ 0.013 𝑤2+ 𝑏 ≥ 1 0.552 𝑤1+ 0.014 𝑤2+ 2𝑏 ≥ 2

0.552 (4.25285134 − 3.86622849 𝑏) + 0.014 (145.187602 + 15.2256661 𝑏) + 2𝑏 = 2

2.34757394 − 2.13415813 𝑏 + 2.03262643 + 0.213159325 𝑏 + 2𝑏 = 2

0.213159325 𝑏 + 2𝑏 − 2.13415813 𝑏 = 2 − 2.34757394 − 2.03262643

0.079001195 𝑏 = −2.38020037 𝑏 =−2.38020037

0.079001195 = −30.1286629

Setelah mendapatkan nilai b, selanjutnya akan melakukan substitusi untuk mendapatkan nilai w1 dan w2

𝑤1 = 4.25285134 − 3.86622849 𝑏 = 4.25285134 − 3.86622849(−30.1286629) = 120.737146

𝑤2 = 145.187602 + 15.2256661 𝑏 = 145.187602 + 15.2256661 (−30.1286629) = −313.541359

Setelah nilai 𝑤1, 𝑤2, dan 𝑏 didapatkan, kemudian akan didapatkan persamaan hyperplane sebagai berikut:

120.737146 𝑋1− 313.541359 𝑋2− 30.1286629 = 0

Selanjutnya plot hyperplane dapat ditentukan menggunakan persamaan hyperplane yang telah ditemukan dengan nilai 𝑥2 dari -0.1 dan nilai 𝑥1 yang akan didapatkan melalui persamaan hyperplane.

120.737146 𝑋1− 313.541359 𝑋2− 30.1286629 = 0 313.541359 𝑋2 + 30.1286629 = 120.737146 𝑋1 𝑋1 =313.541359 𝑋2+30.1286629

120.737146

+

Sehingga didapatkan plot hyperplane seperti pada Tabel 3.9 di bawah ini:

Tabel 3.9 Plot Hyperplane 𝑥1 =313.541359 𝑋2+30.1286629

120.737146 𝑥2

0.010149925 -0.1

0.04178792 -0.08

0.093725765 -0.06

0.14566361 -0.04

0.197601455 -0.02

0.2495393 0

0.301477145 0.02

0.35341499 0.04

0.405352835 0.06

0.45729068 0.08

0.509228525 0.1

0.56116637 0.12

Tabel 3.10 merupakan contoh sampel data uji yang akan digunakan.

Tabel 3.10 Contoh sample data uji

𝑥1 𝑥2 𝑦𝑖

0.345 0.007 1

0.189 0.031 -1

0.467 0.014 1

0.229 0.054 -1

Gambar 3.2 Visualisasi hyperplane data uji

Setelah garis hyperplane ditentukan seperti pada Gambar 3.2.

maka selanjutnya kita akan melakukan klasifikasi pada data uji melalui hyperplane dengan menggunakan fungsi f(x) = 120.737146 𝑥1− 313.541359 𝑥2− 30.1286629 dengan g(x)=sign(f(x)).

Tabel 3.11 Hasil klasifikasi

3.3 Cara Mengolah Data 3.3.1 Desain Alat Uji

Desain alat uji yang akan digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.3.

Gambar 3.3 Diagram Desain Alat Uji 3.3.2 Preprocessing

Data input berupa citra Aksara Bali akan dilakukan preprocessing terlebih dahulu sebelum nantinya digunakan pada tahap ekstraksi ciri.

Proses preprocessing akan dilakukan seperti Gambar 3.4.

Gambar 3.4 Diagram Preprocessing

Preprocessing yang dilakukan mencakup sebagai berikut : 1) Binerisasi Citra

Merubah citra input yang berupa citra gray/RGB menjadi citra biner yang bernilai 0 dan 1. Proses binarisasi menggunakan fungsi bawaan dari MATLAB yaitu imbinarize.

2) Cropping

Citra yang telah diolah menjadi citra biner akan dicek apakah masih ada bagian-bagian dari citra yang tidak perlu seperti background kosong, dan sebagainya. Sehingga dengan proses cropping citra yang didapatkan berupa citra utuh yang hanya berisi aksara. Proses cropping dengan mencari batas atas, bawah, kiri, dan kanan dari citra agar tidak ada lagi background kosong pada citra.

3) Resize

Menseragamkan ukuran-ukuran dari citra yang akan diproses ke tahap selanjutnya dalam sistem. Proses resize menggunakan fungsi bawaan dari MATLAB yaitu imresize.

4) Invers

Mengubah latar citra berwarna putih dan objek berwarna hitam menjadi latari citra berwarna hitam dan objek berwarna putih. Proses invers menggunakan fungsi bawaan dari MATLAB yaitu imcomplement.

5) Reduksi Derau

Reduksi derau dilakukan untuk mencegah adanya bintik-bintik hitam dalam citra yang dapat merusak kualitas citra. Proses reduksi derau menggunakan fungsi bawaan dari MATLAB yaitu medfilt2.

6) Thinning

Thinning dilakukan agar citra yang sebelumnya sudah diinverskan dapat diproses untuk mengambil kerangka dari citra aksara input. Proses thinning menggunakan fungsi bawaan dari MATLAB yaitu bwskel.

3.3.3 Ekstraksi Ciri

Ekstraksi ciri dengan metode moment invariant akan didapatkan sebanyak 7 ciri moment invariant dengan melakukan perhitungan terhadap nilai moment(𝑚), moment pusat(𝜇), dan nilai eta(𝜂) setelah itu, mencari nilai 7 moment invariant dengan menggunakan data dari perhitungan nilai eta yang telah dilakukan sebelumnya. Algoritma Moment Invariant adalah sebagai berikut:

1. Panggil fungsi moment_pusat dengan inputan citra, p, dan q

2. Get panjang dan lebar dari citra

3. Menghitung intensitas dari citra dan masukkan dalam variabel m00

4. Untuk x=0 hingga panjang-1 lakukan langkah 5 hingga 7 5. Untuk y=0 hingga lebar-1 lakukan langkah 6 hingga 7 6. Hitung nilai m10 dengan rumus

m10=m10_(x)*Citra(x+1,y+1) 7. Hitung nilai m01 dengan rumus

m01=m01_(y)*Citra(x+1,y+1)

8. Hitung nilai x’ dengan rumus x’=m10/m00 9. Hitung nilai y’ dengan rumus y’=m01/m00

10. Untuk x=0 hingga panjang-1 lakukan langkah 11 hingga 14

11. Hitung nilai i dengan rumus i = x-x’

12. Untuk y=0 hingga lebar-1 lakukan langkah 13 hingga 14 13. Hitung nilai j dengan rumus j =y-y’

14. Hitung nilai mu_pq dengan rumus

mu_pq=mu_pq+(i)^p*(j)^q*Citra(x+1,y+1) 15. Hitung nilai gamma(𝛾) dengan rumus gamma =

0.5*(p+q)+1

16. Hitung nilai eta(𝜂) dengan rumus eta_pq = mu_pq/m00^gamma

17. Lakukan Langkah 1- 16 untuk menghitung semua nilai eta pada orde moment : 0 2, 2 0, 1 1, 3 1, 1 3, 1 2, 2 1

18. Hitung 7 nilai moment invariant dengan menggunakan nilai-nilai eta yang telah dihitung sebelumnya

3.3.4 Klasifikasi

Data citra aksara bali memiliki 18 kelas yang nantinya akan diklasifikasikan. Input pada proses klasifikasi SVM adalah output dari ekstraksi ciri yang telat dilakukan pada proses sebelumnya.

SVM model yang digunakan pada penelitian ini merupakan pemodelan SVM berupa multiclass SVM yaitu one vs one dan one vs all.

Setelah SVM Model didapatkan maka akan dilakukan proses pengujian dengan menggunakan 3 fungsi kernel SVM yaitu Linear, RBF, dan Polynomial.

Output pada dari proses klasifikasi merupakan prediksi label data uji yang kemudian akan dihitung akurasi yang didapatkan.

3.4 Skenario Pengujian

Pada penelitian ini, akan dilakukan berbagai skenario pengujian untuk melihat dengan skenario yang dapat menghasilkan nilai akurasi terbaik. Dataset yang digunakan merupakan hasil dari k-fold cross validation dengan k yang sudah ditentukan sebelumnya yaitu 3 dan 5. Contoh pembagian dari 3-fold cross validation terdapat pada tabel 3.12.

Tabel 3.12 Contoh pembagian data dengan 3-fold cross validation

Percobaan Data Training Data Testing

1 1,2 3

2 2,3 1

3 1,3 2

Skenario pengujian dimulai dari mengkombinasikan proses preprocessing yaitu merubah ukuran citra, penipisan dan tanpa reduksi derau. Hasil preprocessing itulah yang akan digunakan untuk melakukan proses ekstraksi ciri.

Hasil dari ekstraksi ciri yang digunakan akan memiliki 9 ciri yaitu 7 nilai ciri moment invariant kemudian panjang dan lebar asli citra. Pemodelan SVM yang digunakan adalah one vs one dan one vs all. Serta menggunakan 3 kernel SVM pada tahap pengujian yaitu Linear, RBF, dan Polynomial.

Hasil dari skenario pengujian yang memberikan rata-rata akurasi terbaik untuk model SVM one vs one dan one vs all akan diujikan kembali dengan melakukan reduksi derau terhadap citra. Kemudian, jika hasil pengujian menyatakan bahwa dengan melakukan proses reduksi derau memiliki akurasi tertinggi, maka akan diujikan kembali dengan skenario paling baik saja antara 2 model SVM tersebut untuk diujikan dengan ekstraksi ciri dengan moment invariant saja.

Kemudian semua skenario pengujian yang memberikan hasil akurasi tertinggi akan digunakan untuk melakukan uji data tunggal. Skenario pengujian pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.13:

Tabel 3.13 Rincian Skenario Pengujian

No Preprocessing Kernel SVM Model SVM

No Preprocessing Kernel SVM Model SVM

Dokumen terkait