• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

4. Istita’ah d alam Haji

Mengenai ke-istita’ahan seseorang menurut dalil yang menjadi dasar hukum kewajiban ibdah haji adalah surat Ali imran ayat 97:

ّ ك هلخد نم ي ارْإ قم ت ـي ت يآ هيف

لا ل هلل مآ

نيمل عْلا ن ٌي غ ها ّإف ر ك نم ايبس هْيلإ طّْسا نم ْيبْلا ّح

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran:97)

Ayat diatas dalam ilmu ushul fiqih termasuk dalam pembahasan teknis yaitu pengecualian sebagian dari lafadz umum. Pada mulanya dalam ayat tersebut bahwa haji diwajibkan bagi seluruh umat muslim, tapi diakhir lafadz ada pengecualian dengan bentuk badal (digantikan) “man istathaa ilahi sassabillah”. Yakni bagi yang sudah mampu. Dari sinilah kemudian muncul pendapat-pendapat dalam memahami maksud istathaa dalam ayat tersebut. Dimaksudkan dengan istathaah dalam firman-Nya “man istahtaahilahi sabillah” ialah mempunyai bekal dan mampu dalam perjalanan.

23

Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan bekal oleh kebanyakan ulama adalah bekal untuk dirinya dan keluarganya sampai ia pulang dari tanah suci (menunaikan ibadah haji).

Ibnu Zubair, Atha, Ikrimah dan Malik berpendapat bahwa Al-Istathaah adalah kesehatan, bukan yang lainnya.

Dari semua pendapat diatas, maka dapat kita rangkum makna istathaah kedalam 3 cakupan:

Pertama, kesehatan jasmani

Kedua, memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan kembali, serta memcukupi segala hajat atau kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya dalam hal nafkah.

Ketiga, keamanan dalam perjalanan, hal ini disebabkan karena kewajiban ibadah haji yang tidak disertai dengan jaminan keamanan selama perjalanan merupakan sesuatu yang berbahaya (dharar), padahal menurut ketentuan syariah bahwa (sesuatu yang berbahaya harus dihindari).

Jika ketiga syarat diatas terpenuhi maka telah wajib bagi seseorang untuk melaksakan ibadah haji bagi laki-laki maupun perempuan. Mengingat bahwa haji sebagai sebuah kewajiban (rukun Islam yang kelima), maka hendaknya setiap orang Islam yang diberi keluasan rizki bercita-cita dan berusaha untuk dapat menunaikan

ibadah haji dengan terlebih dahulu berupaya untuk dapat memiliki bekalnya sebagai sarana ibadah haji itu.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan haji dapat dikatakan bahwa bagi orang Islam yang diberi keluluasaan rizki wajib unutk berusaha agar memiliki bekal guna dapat menunaikan ibadah haji. Oleh Karen itu, menabung dan mengikrarkan untuk biaya perjalanan haji (BPIH), merupakan berbuatan bijak dan terpuji. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak mampu menabung tapi berkeinginan menunaikan ibadah haji. Dari sinilah muncul salah satu produk keuangan dari sebuah lembaga trevel haji dan umrah dengan produk haji dan umrah tabarru guna membantu umat muslim yang berkenan berangkat haji namun belum memiliki kemampuan financial penuh. Sepintas tujuan dari adanya produk ini baik, tapi ternyata dengan adanya produk tersebut menimbulkan banyak permasalahan baik dari tinjauan status hukum dan manfaatnya secara syar’i.

5. Fatwa Dewan Syariah Nasiaonal Tentang Haji

Pertama: ketentuan umum

a. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI 9/DSN-MUI/IV/2000

25

b. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menangani pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI 19/DSN-MUI/IV/2001

c. Pembiayaan haji menggunakan fatwa dewan syariah nasional (DSN) No.29/DSN-MUI/VI/2002 tentang pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah.

d. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh disyaratkan dengan pemberian talangan haji.

e. Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.

Pertimbangan Fatwa

a. salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pengurusan haji dan talangan BPIH

b. Lembaga keuangan syariah perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produk

c. Bahwa agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip syariah, dewan syariah nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang pengurusan dan pembiayaan haji oleh LKS untuk menjadikan pedoman.

Kedua: ketentuan

a. jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan musyawarah.

b. Fatwa ini belaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai mestinya.

B. Akad Haji Tabarru

1. Pengertian Akad

Akad (ikatan,keputusan, atau penguat) atau perjanjian atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa,

wakalah, dan gadai.10

27

Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari kegiatan tolong menolong (tabarru’). Turunan dari tijarah adalah perniagaan ( al-bai’) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya. Cakupan akad yang digunakan untuk produk bank syraiah, ditambah akad-akad lain diluar perniagaan, seperti qardhul hasan (pinjaman kebajikan).

Rukun dalam akad ada tiga yaitu:

a. pelaku akad b. objek akad

c. shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul

Syarat dalam akad ada empat, yaitu:

a. syarat berlakunya akad (in’iqod) b. syarat sahnya akad (shihah) c. syarat terealisasinya akad (nafadz) d. syarat lazim

Syarat in’iqad ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad seperti yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan shighah akad, akad bukan pada sesuatu yang diharamkan dan akad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada kad-akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah. Syarat shihah

yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus bersih dari cacat. Syarat nafadz ada dua, yaitu kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya) dan wilayah. Syarat lazim, yaitu bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat.11

2. Pengertian Akad Tabarru

Setiap produk dalam lembaga keuangan syariah memiliki kaitan erat dengan akad-akad yang diterapkannya. Ini yang menjadikan perbedaan dengan produk-produk yang ada pada lembaga keungan konvensional.

Pada produk haji tabarru yang ada pada PT. Pandan Harum Sakinah ini juga memiliki akad yang berkaitan erat dengan produk tersebut.

Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for profit transaction (transakasi nirlaba). Transaksi ini pada hakikanya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr

dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yag berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad

11

29

tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah,

kafalah, wadiah, hibahwaqf, shodakoh, hadiah dan lain-lain.12

Akad tabarru’ dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk umum, yakni:13

a. Meminjamkan uang

Akad meminjamkan uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya, setidaknya ada tiga jenis, yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa menysaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan qard.

Selanjutnya, jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyaratkan sesuatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn.

Ada lagi suatu bentuk pemerian berupa pinjaman uang, dimana tujuannya adalah untuk mengambil alih putang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman ini disebut hiwalah.

b. Meminjamkan jasa

Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga ada tiga jenis. Bila kita meminjamkan “diri kita” (yakni, jasa keahlian,keterampilan dan sebagainya) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain maka hal ini

12

Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 67

13

disebut wakalah. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang yang kita bantu tersebut, sebenarnya kita menjadi wakil orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama

wakalah.

Selanjutnya bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), bentuk peminjamaan jasa seperti ini disebut akad wadi’ah.

Akad variasi lain dari akad wakalah, yakni contingen wakalah (wakalah

bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika sesuatu terjadi. Misalkan, seseorang dosen menyatakan kepada asistennya demikian: “anda adalah asisten saya. Tugas anda adalah menggantikan saya mengajar bila saya berhalangan.” Dalam kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat. Asisten hanya bertugas mengajar (yakni bila kondisinya, jika terjadi sesuatu). Jadi asisten ini tidak otomatis menjadi dosen. Wakalah ini dalam terminologi fiqih disebut sebagai akad kafalah.

c. Memberikan sesuatu

Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut:

hibah, waqf, shadaqoh, dan lain-lain. Dalam semua akad- akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, akad yang digunakan adalah waqf. Objek waqf ini tidak boleh

31

diperjual belikan begitu dinyatakan sebagai assetwaqf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.

C.Akad Pada Produk Haji Tabarru

1.Hibah

a. Pengertian hibah

Secara bahasa hibah adalah pemberian („athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu:

ل ح ض ا كيلمّلا دي ي دق

طت يحلا

“akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.”14

Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebut i’aarah(pinjaman). 15

14

Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 242

15

Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), Cet. XX, h. 174

b. Hukum hibah

Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul – betul membutuhkannya, dalam firman Allah:

… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa..( QS: Al Maidah: 2).16

Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya, dalam sabda Nabi :

ميف دلا لا اا يف جريف ب ي أ يط طعي ّأ جرل حي ا

دل ل طعي

.

ريغ د اد ا ا ر)

(

“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah menarik kembali kecuali orang tua yang memberi kepada anaknya.”(HR. Abu Daud)

c. Rukun Hibah

Menurut jumhur ulama’ rukun hibah ada empat:

1. Wahib (Pemberi). Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.

16

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Asyifa’, 2001) h. 280

33

2. Mauhub lah (Penerima). Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.

3. Mauhub. Mauhub adalah barang yang di hibahkan.

4. Shighat (Ijab dan Qabul). Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.

d. Syarat-syarat hibah

Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.Syarat-syarat penghibahDisyaratkan bagi pengbhibah

syarat-syarat sebagai berikut:

1. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan

2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan. 3. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

4. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.

e. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah

Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian

hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.

Syarat-syarat bagi yang dihibahkan. Disyaratkan bagi yang dihibahkan: a. Benar-benar ada

b. Harta yang bernilai

c. Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.

d. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.

e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.

Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasama dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.17

17H. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, h. 471-472

35

2. Wakalah

a. Pengertian

Wakalah (deputyship), atau biasa disebut perwakilan, adalah perlimpahan kekuasaan oleh satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya maka penerimaan kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah.18

b. Dasar hukum

Firman Allah QS. Al-Kahfi [18]: 19:

ْ أ مْ ي ْثبل ا ل ق ْ ّْثبل ْ ك ْ ْم ئ ق ل ق ْ ْي ا لء سّيل ْ ْثع كل ك

ْ كدحأ ا ثعْ ف ْ ّْثبل م لْ أ ْ ر ا ل ق ْ ي ضْع

يدمْلا لإ ْ قر

ادحأ ْ ّرعْشي ا ْفطلّيْل هْم ْ ر ْ تْأيْلف م عط كْ أ يأ ْر ْيْلف

"Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka: „Sudah berapa

lamakah kamu berada (di sini). Mereka menjawab: „Kita sudah berada (di sini)

satu atau setengah hari.’ Berkata (yang lain lagi): „Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah

makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.’”

Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 55 tentang ucapan Yusuf kepada raja:

يل ظي ح ي إ ضْرأْلا نئازخ ٰ ل ي ْلعْجا ل ق

"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.”

Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 2:

ْثإا ل ْا عت ا ْقّلا ربْلا ل ْا عت

هللا ْا قتا ّا ْدعْلا

قعْلا ديدش هللا ّإ

Dokumen terkait