• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Perubahan Iklim, Geologi dan Pertambangan Batubara

Dalam dokumen Kuda Nil Pernah Menjelajah Pulau Jawa (Halaman 43-45)

Peningkatan kualitas pengelolaan sumberdaya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim, merupakan salah satu dari lima isu dalam Rencana Kerja Pembangunan (RKP) 2010 dari Pemerintah. Saat ini perubahan iklim yang terjadi telah membuat isu global, sekaligus merupakan tantangan pembangunan nasional. Karena itu, penanganan isu perubahan iklim menuntut kerja sama dari semua pelaku pembangunan di berbagai bidang.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010–2014, penanganan perubahan iklim dilakukan dengan merumuskan dua kriteria utama, di antaranya: pertama mitigasi, upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dan kedua adaptasi: Mempertimbangkan dampak dari indikator perubahan iklim, terutama untuk kegiatan sektor yang terkait langsung dengan dampak perubahan iklim itu. Selain itu, penanganan perubahan iklim juga memerlukan faktor pendukung, yaitu: data informasi dan komunikasi, penguatan kapasitas kelembagaan, penguatan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan kesadaran masyarakat dan ilmu

pengetahuan, serta perlindungan bagi masyarakat miskin.

Indonesia masih menghadapi masalah dalam isu perubahan iklim di antaranya masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola, terbatasnya ketersediaan data dan informasi terkait dengan adaptasi dan mitigasi. Arah kebijakan dalam RPJM 2010–2014 dan RKP 2010 dalam penanganan perubahan iklim dalam bidang geologi berada berada di seputar: 1. Penyediaan data dan informasi serta pelayanan bidang geologi untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor energi (aspek mitigasi), 2. Penyiapan data dan informasi serta

Kepala Badan Geologi, R. Sukhyar memberikan kata sambutan

Pembicara kunci Idwan Soehardi dari Kementerian Riset dan Teknologi saat menyampaikan paparannya

pelayanan bidang geologi untuk peningkatan kapasitas adaptasi terkait resiko perubahan iklim pada sumber daya air (penurunan ketersediaan air, kekeringan dan banjir), longsor, sarana dan prasarana (aspek adaptasi), dan 3. Pengembangan kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait.

Dalam langkah mitigasi perubahan iklim, bidang geologi dapat berperan dalam memberikan rekomendasi upaya mengurangi GRK melalui kemungkinan penyimpangan GRK, khususnya gas CO2, di dalam formasi yang sesuai (carbon capture storage atau CCS), dan konversi energi melalui peningkatan penggunaan panasbumi. Penyiapan WKP panasbumi merupakan salah satu tugas Badan Geologi. Aspek mitigasi perubahan iklim yang lain adalah penelitian dan pelayanan bidang geologi tentang lahan gambut (sumber daya gambut) yang dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam pengelolaan lahan gambut.

Untuk adaptasi, bidang geologi dapat berperan didalam adaptasi risiko perubahan iklim pada sumber daya air atau aspek yang berhubungan dengan air (longsor dll), melalui penelitian dan pelayanan data dan informasi terkait. Pengembangan air tanah saat ini telah terbukti dapat memberikan solusi dalam penyediaan air bersih di daerah sulit air. Sedangkan penelitian dan pelayanan aspek bencana longsor dan geologi teknik dapat dijadikan dasar untuk penyiapan peta risiko bencana longsor dan rekomendasi teknis pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari adaptasi perubahan iklim.

Peran bidang geologi lainnya dalam menghadapi isu perubahan iklim berada di seputar pembuktian adanya perubahan iklim itu sendiri, terutama pola- pola perubahan iklim yang bersifat alami sebagai pembanding terhadap asumsi perubahan yang bersifat antropogenik.

Perubahan iklim tidak hanya sebatas faktor yang berkaitan dengan perilaku manusia. Perubahan iklim selain karena emisi GRK, juga disebabkan oleh faktor-faktor alami seperti letusan gunungapi ataupun siklus alam berdurasi ribuan tahun. Sementara itu, isu perubahan iklim telah mulai mempengaruhi opini masyarakat biasa maupun para pengambil keputusan di Pemerintahan,

bahkan isu perubahan iklim telah menjadi isu politis.

Saat ini terdapat kecenderungan yang memprihatinkan masalah perubahan iklim, seringkali hanya dipahami sebagai persoalan kelebihan konsentrasi GRK, terutama CO2, di atmosfer. Demikian pula upaya mitigasi dengan menurunkan emisi CO2 diyakini akan menyelesaikan segalanya, bahkan upaya mitigasi tersebut dipersempit lagi dan hanya diartikan sebagai program penghijauan dengan cara menanam pohon sebanyak-banyaknya.

Pemerintah atau Negara perlu memiliki sikap dalam merespon isu perubahan iklim berdasarkan hasil kajian lintas sektoral atau multi disiplin, sehingga bangsa Indonesia cukup lentur dalam menghadapi isu perubahan iklim (resilience to climate change issue). Pemerintahan atau Negara yang tidak memiliki informasi yang tepat dan tidak mengetahui persis apa yang terjadi akan mudah diombang-ambing oleh isu perubahan iklim yang timpang. Bidang Geologi adalah salah satu disiplin penting dalam upaya lintas disiplin tersebut. Berkaitan dengan kondisi di atas, maka diperlukan upaya pendekatan (proxy) untuk pembuktian adanya perubahan iklim sebagai pembanding terhadap asumsi kuat saat ini, bahwa perubahan iklim bersifat antropogenik. Riset iklim purba atau paleoklimat menjadi penting. Informasi tentang perubahan iklim di masa lampau diperlukan untuk mengetahui tanggapan sistem iklim regional terhadap perubahan global, terutama perubahan yang ekstrim. Kajian paleokimat hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan geologis.

Dengan hasil-hasil riset iklim purba, atau lebih luas lagi, geosains sebagai bagian dari sains sistem bumi, dan penilaian yang tepat tentang potensi sumberdaya alam kita, maka Indonesia diharapkan lebih tahan atau lebih lentur terhadap isu perubahan iklim. Sebagaimana dalam kajian Energi Nasional, Indonesia hingga tahun 2025 masih akan bertumpu pada batubara. Kondisi ini semakin mendorong kita untuk mencari posisi yang tepat dalam merespon isu perubahan iklim. Kajian paleoklimat dan geosains lainnya, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bidang geologi akan berkontribusi penting pada perumusan respon yang tepat tersebut.

Badan Geologi memiliki kepentingan untuk memberikan kontribusi dalam menghadapi isu perubahan iklim. Pada tanggal 20 Oktober 2010, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meneyelenggarakan Lokakarya Perubahan Iklim, Geologi, dan Pertambangan Batubara di Manado. Kegiatan ini dihadiri 150 undangan dari berbagai institusi di Indonesia, menghadirkan pembicara kunci Dr. Idwan Soehardi, Kemenristek dengan topik: Mitigasi Bencana dan Adaptasi melalui Pengembangan Indikator Geo untuk Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan. Dr. Tri Wahyu Hadi dari ITB dengan topik Sains Sistem Bumi dan Pentingnya Geologi dalam memahami Perubahan Iklim di Indonesia. Dr. Eng. Hamzah Latief, M.Si, ITB dengan topik Basis sains perubahan iklim berkenaan dengan kenaikan muka air laut (dinamika laut) dan kejadian iklim ekstrim (La Nina dan El Nina, dll), riset terkait yang diperlukan dari bidang geologi. Dr. Sri Yudawati Cahyarini, LIPI dengan topik Studi iklim masa lampau dengan menggunakan karang (koral) dari wilayah tropis. Ir. Syaiful Bachri, M.Sc Badan Geologi, Geologi Indonesia Bagian Barat dan Timur: Kaitannya dengan Prospek Carbon Capture dan Storage (CCS).

Lokakarya ini, seperti dikatakan Oman Abdurahman selaku ketua Panitia Penyelenggara, memiliki tiga kepentingan di antaranya: 1. Isu perubahan iklim saat ini sudah menjadi arus utama Pembangunan Nasional. 2. Masih terdapat persoalan dalam isu perubahan iklim yang memerlukan kontribusi penelitian dan pelayanan bidang geologi. 3. Indonesia hingga tahun 2025 masih bertumpu pada sumber daya energi batubara, berhadapan dengan isu perubahan iklim, sehingga lokakarya

ini untuk mencari masukan guna merumuskan arah, kebijakan, program dan kegiatan penelitian dan pelayanan bidang geologi terkait perubahan iklim.

Nara sumber yang menyajikan materi penting tentang perubahan iklim terkait bidang geologi, dan pertambangan batubara, dapat memberikan masukan-masukan yang diperlukan guna merumuskan program dan kegiatan untuk menindaklanjuti arah kebijakan Nasional dalam perubahan iklim, dengan arah kebijakan tersebut diharapkan bidang geologi dapat memberikan kontribusi pada antisipasi dampak serta laju perubahan iklim ke depan guna peningkatan kapasitas penanganan dampak dan laju perubahan iklim yang tepat dan akurat sebagaimana arah kebijakan RKP 2010 dan RPJMN 2010 – 2014. n

(Donny Hermana dan Lilies Marie / Pranata Humas Madya)

J.A. Katili, bukan saja mampu menjelaskan dengan baik pandangan keilmuannya dalam berbagai jurnal ilmiah dunia, atau dalam pidato dan ceramah ilmiah di berbagai Perguruan Tinggi, namun kelebihan Katili adalah mampu menulis untuk masyarakat yang lebih luas di koran-koran dan berbagai majalah populer dan majalah berita.

Kemumpunian J.A. Katili dapat disimak dalam buku Laksana Beraraknya Mega, 1986. Buku ini merupakan kumpulan karangan yang bersumber dari koran, majalah, sampai pidato ilmiah di Perguruan Tinggi dalam rentang waktu antara tahun 1968 - 1985.

Uraian dalam setiap tulisannya begitu jelas dan mengalir, misalnya mengapa gunung api terbentuk, bagaimana magma menekan dan keluar menjadi lava yang meleleh di lereng gunung, atau bebatuan dan pasir yang dihembuskan saat letusan hingga membentuk bentang alam, dengan kekuatan utama gunung api, seperti di Pulau Jawa, dengan gunung-gunung api yang masih terus hidup.

Bagaimana sedimen dasar laut dapat terangkat menjadi rangkaian perbukitan kapur, seperti di Tagogapu, Jawa Barat, atau di Karangbolong, Jawa Tengah, bahkan, proses itu mampu mengangkat

Oleh: T. Bachtiar

Judul Buku LAKSANA BERARAKNYA MEGA

Penulis Prof. Dr. J.A. Katili.

Dalam dokumen Kuda Nil Pernah Menjelajah Pulau Jawa (Halaman 43-45)

Dokumen terkait