• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekar Utami Setiastuti, M.Sc, M.Ec.1

Paska krisis keuangan global tahun 2008, pada tahun 2010, perekonomian global mampu tumbuh sebesar 5,1 persen. Akan tetapi, pertumbuhan tersebut mengalami perlambatan yang sangat parah pada tahun-tahun berikutnya.

Di kelompok negara-negara maju, pertumbuhan paska krisis keuangan global juga sangat lemah. Setelah mampu tumbuh sebesar 3,1 persen di tahun 2010, pertumbuhan ekonomi di kelompok negara ini melambat secara signiikan dari tahun 2011 hingga 2016. Di kelompok negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi berada pada level yang jauh dari angka pra krisis keuangan global 2008. Di tahun 2012, kelompok negara ini “hanya” mampu tumbuh sebesar 4,9 persen; sebuah angka yang jauh dari angka pertumbuhan pra krisis keuangan. Puncaknya, pada tahun 2015, angka pertumbuhan tersebut turun di bawah rata-rata pertumbuhan jangka panjang tahun 1990-2008. Setelah mampu menjadi motor pemulihan ekonomi global dari krisis keuangan global tahun 2008, tentu hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa ini bisa terjadi?

Gambar 1. Pertumbuhan ekonomi dunia, negara maju, negara berkembang, dan perdagangan dunia, 2008-20162 (persentase perubahan, yoy)

Sumber: World Economic Outlook, IMF (2009-2016)

Seperti yang terlihat pada gambar 1, perekonomian negara berkembang mampu tumbuh sebesar 7,4 persen pada tahun 2010. Namun, pertumbuhan ini terkoreksi ke level 4,9 persen pada tahun 2012. Perlambatan ini terjadi karena perekonomian negara maju melambat secara drastis; turun sebesar 1,6 persen dari tahun 2010 hingga tahun 2012. Akibatnya, volume perdagangan dunia mengalami tren penurunan yang sama. Dari sisi eksternal, selain perdagangan dunia yang lesu, rendahnya harga komoditi sejak tahun 2011 dan melemahnya perekonomian China juga memperparah perlambatan pertumbuhan ekonomi di kelompok negara berkembang. Sedangkan dari sisi internal, pelemahan pertumbuhan produktiitas dan ketidakpastian politik ditengarai menjadi faktor yang turut menekan pertumbuhan ekonomi.

Selain terlihat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya pertumbuhan volume perdangangan dunia, kelesuan perekonomian global bisa dilihat dari dua indikator yang lain, yaitu indeks industri manufaktur dan indeks produksi industri. Seperti

Gambar 2. Indeks produksi manufaktur dan indeks produksi di negara maju dan negara berkembang, 2010-2016.

Sumber: World Economic Outlook, IMF (2016)

Dengan pemulihan ekonomi dan investasi di negara berkembang yang tetap lesu, dan pertumbuhan di negara maju yang diprediksi akan melemah tahun ini—meminjam pernyataan Christine Lagarde, kita sepertinya harus bersiap diri untuk terperangkap dalam era

the New Mediocre. Namun demikian, apakah situasi ini memang tidak bisa dihindarkan? Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk

menghindari perangkap tersebut?

Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan pemulihan ekonomi yang sangat lemah ini. Salah satunya adalah secular

stagnation theory. Teori ini menerangkan bahwa, untuk perekonomian yang berada di zona Zero Lower Bound (ZLB), pertumbuhan

ekonomi dan investasi yang lesu bukan merupakan produk dari siklus bisnis, melainkan akibat kendala-kendala struktural yang muncul di perekonomian.3 Dalam konteks negara maju, teori ini menyatakan bahwa rendahnya pertumbuhan penduduk dan tingginya rasio ketergantungan usia lanjut bertanggung jawab atas rendahnya produktivitas dan menurunnya permintaan barang-barang yang sifatnya intensif modal. Di sebuah artikel pada tahun 2013, Paul Krugman mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk (dan, angkatan kerja) yang rendah atau terus menurun berarti rendah juga permintaan akan investasi.

Summers (2014) mengatakan bahwa, selain faktor demograi, berubahnya karakter aktivitas ekonomi produktif juga berpengaruh besar terhadap lemahnya investasi. Perusahaan teknologi yang bernilai milyaran US Dollar tidak lagi membutuhkan banyak tenaga kerja dan barang modal yang diperlukan untuk memproduksi output juga menjadi sangat murah. Sehingga, terjadi penurunan permintaan akan debt-inanced investment yang kemudian akan mengurangi propensity to invest. Contohnya, perusahaan teknologi seperti Whatsapp, yang memiliki nilai pasar lebih besar daripada Sony, hanya mempekerjakan tenaga kerja dan menggunakan investasi barang modal yang jumlahnya jauh lebih rendah. Jika perubahan karakter ini terjadi pada semua sektor industri, permintaan akan barang-barang modal dipastikan akan berkurang dan investasi akan semakin terpuruk.

Selain teori ini, ada beberapa artikel empiris yang mencoba menjelaskan mengapa investasi paska krisis keuangan global 2008 sangat lemah. Banerjee et. al (2015) mengatakan investasi usaha merupakan kontributor utama bagi luktuasi siklus bisnis. Investasi usaha merupakan bagian dari permintaan agregat yang sangat cyclical dan merupakan faktor pendorong pertumbuhan jangka panjang. Di banyak negara, pasca krisis keuangan 2008, investasi turun melebihi penurunan pertumbuhan ekonomi tahun 2007-2014. Dengan menggunakan data negara G7 dari tahun 1990-2014, mereka menemukan bukti bahwa pembiayaan usaha yang murah dan mudah diakses tidak berperan penting dalam menstimulus investasi. Adalah ekspektasi mengenai pertumbuhan ekonomi dan proitabilitas yang menjadi pendorong utama bagi investasi. Kesimpulan ini konsisten dengan kondisi yang terjadi di negara-negara Uni Eropa. Pasca krisis, dari tahun kuartal IV 2009 hingga kuartal III tahun 2013, tingginya ketidakpastian ekonomi dan politik di wilayah tersebut menekan pertumbuhan investasi sekitar 5 persen.

Berbeda dengan tren di negara maju, di negara berkembang investasi menunjukkan pertumbuhan yang solid dari tahun 2003 hingga tahun 2011. Hampir seluruh negara di kelompok ini mengalami dinamika investasi yang sama; tumbuh sangat kuat di masa pra krisis, turun tajam di tahun 2009, lalu pulih dengan sangat cepat hingga tahun 2011, namun pada akhirnya mengalami perlambatan dari tahun 2012 hingga 2015 (Magud dan Sosa, 2015). Apa penyebab lemahnya investasi di negara berkembang? Apakah permasalahan yang dihadapi oleh kelompok negara ini sama dengan masalah yang dihadapi oleh kelompok negara maju? Bagaimana seharusnya pemerintah di kelompok negara berkembang merespon pelemahan investasi ini?

Lesunya investasi di negara berkembang berakar dari permasalahan yang berbeda dengan yang terjadi di negara maju. Dengan menggunakan regresi panel dan irm-level data dari 16.000 perusahaan di 38 negara berkembang, Magud dan Sosa menemukan

Isu Terkini

bukti bahwa: (1) rendahnya harga komoditi ekspor dan (2) rendahnya expected proit memiliki peran penting dalam pelemahan investasi di negara berkembang. Semakin tinggi expected proit, perusahaan-perusahaan akan menambah belanja modalnya.

Selain itu, Magud dan Sosa juga menemukan hubungan yang positif antara investasi dan ketersediaan pembiayaan dari luar negeri. Aliran modal masuk (net capital inlows) yang besar membantu meringankan inancial constraints yang dihadapi oleh perusahaan di dalam negeri. Saat net capital inlows meningkat, sensitivitas investasi terhadap aliran modal dari luar negeri ini semakin menurun. Untuk negara-negara berkembang di Asia, pada khususnya, Magud dan Sosa menyimpulkan bahwa menurunnya net capital inlows ke negara berkembang, rendahnya arus kas, dan meningkatnya rasio hutang perusahaan adalah penyebab utama melemahnya investasi.

Dengan investasi yang semakin melemah, bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi permasalahan ini? Kembali menggunakan teori

secular stagnation, Eggertson et. al (2016) menyimpulkan bahwa dalam konteks perekonomian terbuka yang berada dalam ZLB, kebijakan

iskal yang agresif, tidak hanya “menyembuhkan” stagnasi, tetapi juga dapat membawa perekonomian tersebut keluar dari zona ZLB. Sedangkan, menilik kembali artikel Magud dan Sosa, agenda penguatan investasi di negara berkembang seperti Indonesia seharusnya difokuskan pada dua aspek: (1) pembiayaan, dan (2) peningkatan produktivitas. Dari aspek pembiayaan, penguatan investasi membutuhkan pendalaman dan penguatan stabilitas pasar keuangan domestik, penguatan pasar modal, dan perbaikan akses pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah. Sedangkan dari aspek produktivitas, reformasi struktural sifatnya adalah wajib dan mendesak. Reformasi ini harus difokuskan pada perbaikan iklim investasi, pembenahan tata kelola dan kelembagaan pemerintah, serta penambahan kuantitas dan kualitas infrastruktur dan human capital.

Kemal Dervis (2016), dalam bukunya, mengatakan bahwa sebagian besar negara berkembang memiliki posisi iskal yang cukup kuat dan memiliki leksibilitas sistem nilai tukar mata uang yang baik untuk menahan gangguan negatif yang muncul dari luktuasi suku bunga global dan net capital inlows. Dalam jangka menengah, potensi negara-negara berkembang untuk menyusul ketertinggalannya dari negara maju masih cukup kuat. Namun demikian, seberapa cepat konvergensi ini terjadi sangatlah bergantung kepada kualitas pemerintahan dan kecepatan reformasi struktural di negara tersebut.

Daftar Pustaka

Banerjee, R., J. Kearns, and M. Lombardi (2015): “(Why) is Investment Weak? BIS Quarterly Review, Basel: March 2015.

Dervis, K. (2016): “Relections on Progress: Essays on the Global Political Economy” Brookings Institution Press, Washington, DC: August 2016.

Eggertson, G. B., N. R. Mehrotra, and L. H. Summers (2015): “Secular Stagnation in the Open Economy” American Economic Review: Papers & Proceedings 2016, 106(5).

International Monetary Fund (2016): “World Economic Outlook: Too Slow for Too Long, Washington, DC: April 2016.

Krugman, P. (2013): “Secular Stagnation, Coalmines, Bubbles, and Larry Summers”, Online: http://krugman.blogs.nytimes.com/2013/11/16/ secular-stagnation-coalmines-bubbles-and-larry-summers/

Magud, N., dan S., Sosa (2015): “Investment in Emerging Markets: We are not in Kansas Anymore…Or are We?” IMF Working Paper No. 77. Summers, L. (2014): “U.S. Economic Prospects: Secular Stagnation, Hysteresis, and the Zero Lower Bound”. Business Economics, 49(2).

I. Gama Leading Economic Indicator (GAMA LEI)

Gambar 39GAMA Leading Economic Indicator

GAMA LEI memprediksikan kecenderungan penurunan siklus perekonomian Indonesia.

Sumber: Estimasi Tim Macroeconomic Dashboard (2016)

Leading Economic Indicator merupakan salah satu model

early warning system untuk memprediksi arah pergerakan ekonomi satu kuartal ke depan.

■ GAMA LEI mampu menghasilkan perkiraan siklus perekonomian (PDB) Indonesia dengan akurat.

■ Sejak kuartal IV-2012 sampai kuartal I-2016 GAMA LEI berhasil memprediksi arah pergerakan ekonomi dengan persentase keberhasilan sebesar 85,71 persen. ■ GAMA LEI memprediksikan kinerja perekonomian

Indonesia yang menunjukkan perlambatan laju pertumbuhan pada kuartal II 2016.

■ Hal tersebut disebabkan adanya penurunan kinerja pada beberapa indikator kunci perekonomian Indonesia yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun dibandingkan kuartal sebelumnya.

GAMA LEI dihasilkan dengan mengurai komponen penyusun data runtun waktu variabel makro sehingga dihasilkan komponen siklus yang dapat digunakan untuk memprediksikan arah pergerakan ekonomi satu kuartal ke depan.

■ Kinerja pada variabel makro seperti tingkat investasi, penjualan semen, indeks harga saham gabungan, dan lain sebagainya menjadi beberapa variabel kandidat yang diuji karena memiliki pengaruh cukup signiikan pada kondisi perekonomian Indonesia.

■ GAMA LEI merupakan variabel komposit yang disusun oleh beberapa indikator yang telah melewati uji statistik yang ketat. ■ Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa beberapa indikator ekonomi makro lainnya dapat berubah dengan cepat dalam

beberapa waktu ke depan

Hasil prediksi GAMA LEI pada edisi ini menghasilkan adanya kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia.

■ Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, GAMA LEI pada kuartal II tahun 2016 menunjukan arah penurunan.

■ Pergerakan GAMA LEI yang menurun tersebut menjelaskan prediksi penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia pada kuartal II 2016.

■ Kondisi tersebut dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan siklus dari indikator yang menyusunnya yaitu (1) capital adequacy

ratio, (2) produksi kopi, (3) jumlah uang beredar luas (M2), (4) produksi semen, (5) consumer tendency indeks, (6) indeks harga

saham gabungan, (7) indeks harga saham Singapura, (8) cadangan devisa, (9) produksi mobil, (10) produksi cokelat, (11) total ekspor, dan (12) produksi mobil.

Prediksi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi ini diakibatkan oleh kinerja investasi yang diperkirakan masih belum

menunjukkan perbaikan yang signiikan.

■ Pembentukan Modal terhadap Domestik Bruto (PMTB) kuartal I 2016 masih turun sebesar 5,75 persen terhadap bulan sebelumnya.

■ Tekanan ekonomi internasional juga diduga masih menguat karena ketidakpastian yang juga meningkat seiring dengan baying-bayang keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Dokumen terkait