• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ia adalah alam sifat yang di gambarkan sebagai “al-Majma‘ al-kubra”

(tempat bergabungnya alam yang besar) dan “Barzakh al-Barazikh al-kubra”

(batas antara yang terbesar). “Al-wahda”, ‘al-Ta’ayyun al-awwal” tingkat perbedaan awal, “al-Aql al-awwal”akal pertama, “martabat ilahi”/22/ tingkat kebutuhan, “azal al-azal’’ (zat yang tak bermula), “abad al-abad” (kekal-nya yang kekal), yang akhir, dalam lahir dan batin. Dia juga jiwa yang universal,

“muhit al-a’yan al-tsabita” (sumber kenyataan-kenyataan yang terpendam), “al -haqiqat al-muhammadiyyah (hakikiat Muhammad) dan di ibaratkan juga dengan

“al-a’yan al-tsabita” (kenyataan-kenyataan yang terpendam). Dia juga “ ‘alam

al-asma”(alam nama-nama), ‘alam/23/ al-malakut ”(alam yang terdiri dari akal dan jiwa), hakikat adam,“al-ta’ayyun al-tsani” (tingkat pembedaan kedua),“al

-ma’lumat al-ilihiyyah” (ketentuan yang bersifat ketuhanan), “al-barzakh

al-sughra” (batas antara yang terkecil), yang batin , “al-falakiyyat al-‘uluwiyya”

(kehidupan yang tertinggi) dan“martabat al-wahidiyyah”.

Para imam mazhab berbeda pendapat tentang nama-nama itu. Imam Malik /24/ R.a. berkata: “al-’ayan al-tsabita’’ adalah Qadim (terdahulu), karena ia erat sekali dengan yang Maha Qadim. Imam Syafi’i r.a. berkata:“al-a’yan al-tsabita’’ adalah ciptaan, karena ia merupakan gambaran daripada makhluk dan setiap bentuk adalah baharu menurut hukum dan hakikatnya./25/

Imam Abu Hanifa R.A. berpendapat :’al-a’yan al-tsabitaitu bukan qadim.

dan bukan baharu, karena ia adalah batas antara pencipta dan yang diciptakan. Keadaan itu (al-shu’un)ialah suatu zat yang didasarkan atas kalimat“kun fayakun”. Perantara itu adalah suatu hukum/26/, sedangkan yang bersifat hukum itu tidak dapat dikatakan qadim atau baharu. Misalnya, cermin tidak dapat dikatakan bahwa ia itu adalah orang yang bercermin, dan juga tidak dikatakan

bayangan. Menurut Imam Ahmad bin Hambal Ra. : al-a’yan al-tsabita itu merupakan suatu waktu dikatakan qadim, dan pada lain waktu dikatakan /27/

baharu, oleh karena itual-a’yan al-tsabita(ketentuan terdahulu) merupakan hasil ciptaan.Kata “kun” tidak lepas dari yang qadim. maka dikatakan bahwa ia (

Al-A‘Yan Al-Tsabita) itu adalah qadim. Apabila kata “kun” itu disandarkan pada hasil ciptaan makhluk, maka ia dikatakan sesuatu yang diciptakan berdasarkan bentuk-bentuk yang berkaitan /28/ dengan kenyataan, kataku (menurut Imam Ahmad bin Hambal) “. Imam Ghazali R.a. secara hati-hati berkata, “ bahwa

Al-A’yan Al-Tsabitaadalah qadim bagi orang yang tidak mengerti takwil, sedangkan Allah Maha Mengetahui”.

Bab 4 : Alam Al-Malakut.

Yaitu /29/ alam perbuatan tuhan dan alam kenyataan, alam ruh, alam ghaib, alam yang diciptakan Allah tanpa perantara , alam yang terdiri dari tubuh dan makhluk, alam dunia, alam manusia, alam jasmani, alam nyata, alam makhluk, alam lahir, alam tubuh, /30/ alam rasa, ’Alam Al-Nasut” ialah alam manusia yang sempurna, tempat berkumpul dan tempat lahir, alam akhir peninggalan// dan puncak dari segala yang ada. Adapun Alam yang lima (alam ilahi) yang meliputi segala yang bersifat rohani, jasmani, keluhuran, ketinggian /31/, kerendahan, unsur-unsur, barang tambang, benda padat, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sesungguhnya wujud Allah itu adalah Dzat , bukan“wujud

al-khariji” (luar), maupun yang bersifat akal. Karena wujud itu masing-masing ada macamnya, sementara yang bersifat akal /32/ itu bermacam-macam, maka Dzat sebagaimana adanya itu tidak terikat oleh sesuatau apapun . Dia tidak berintegrasi dan bukan bahagian. Dia tidak umum dan tidak khusus. Dia adalah Esa dengan segala keesaan Dzat-Nya. Demikian kebanyakan orang menetapkan tentang keesaan Dzat wujud Allah Ta'ala /33/.

Ketahuilah bahwa ruh manusia bukan dibadan tapi tergantung pada badan sebagaimana tergantungnya “Al-Ashiq” kepada“Al-Ma’shuq” (Tuhan). Jika ketergantungan /34/ itu lepas, datanglah maut. Selanjutnya, sesungguhnya Allah Ta’ala berada dalam ruhmu dengan lima macam keadaan. Pertama-pertama, ruh itu bukan jiwa, tetapi ia adalah tuhan, karena ia bukan ciptaan. Ruh itu tunggal dan pengaruhnya meliputi badan /35/. Demikian pula Tuhan itu tunggal, dan pengaruh-Nya meliputi alam dunia. Ruh itu tidak mati, sedang jiwa itu dapat mati. Demikian rabb itu adalah suatu zat yang tidak dapat diketahui keadaan-Nya tidak mati, sedangkan ciptaan itu dapat mati. Ruh /36/ itu tidak tidur, tetapi jiwa dapat tidur. Demikian pula Allah itu tidak tidur, tetapi ciptaannya dapat tidur. Ruh itu berkeinginan , tetapi tidak diketahui keadaanya. Demikian pula rabb adalah suatu Dzat yang tidak diketahui keadaanya. Dia adalah Dzat yang Maha Tinggi

Pemberitahuan. Apabila kamu ditanya, berapa macamkah ruh itu? /37/ Maka jawablah : ruh itu ada 3 macam yaitu Sulthahi, Ruhani dan Jasmani. Letak ruh Sulthani di hati, letak ruh Ruhani di dalam dada, dan letak ruh Jasmani berada di antara darah dan daging, di antara tulang dan urat /38/.

Sesungguhnya apabila hamba itu tidur, maka keluarlah ruhnya dengan izin ruh Sulthani ke antara langit dan bumi untuk melihat segala sesuatu. Apabila ia sadar, jiwa itu akan ingat apa yang dilihatnya. Jika tidak, lupalalah ia akan keadaanya. Syeikh Abu /39/ Bakar semoga Allah memberi rahmat kepadanya-ditanya mengenai ruh ketika keluar dari tubuh : “di mana ia berada? “ia menjawab bahwa ruh nabi-nabi dan rasul-rasul berada di surga (Jannah Al-Na’im) dan ruh nabi-nabi dansiddiqin (orang-orang yang benar) berada di surgailliyyin. Sedang ruh /40/ para syuhadaberada di dalam perut burung hijau, kemudian pindah ke dalam lampu-lampu dari burung hijau, kemudian pindah ke dalam lampu-lampu dari emas yang tergantung di ‘Arsy. Ruh orang-orang mukmin berada di antara langit dan bumi, di udara, diberi nikmat atau disiksa. Ruh orang-orang munafik

/41/ di dalam kuburnya disiksa bersama tubuh mereka sampai hari kiamat. Ruh // orang-orang kafir di neraka (Sijjin), disiksa bersama jasad mereka sampai hari kiamat. Dalam Syarah Jawhar : “sesungguhnya ruh orang-orang kafir berada

dalam /42/ sumur Barhut di Hadramaut, disiksa bersama jasad mereka sampai hari kiamat. Dari dalam sumur tersebut keluar asap atau uap berbau busuk yang sampai sekarang dapat dilihat oleh setiap orang yang berlalu di situ.

Bab 6 : Wirid Sayyid Ahmad /43/ Rifa’i R.A.

Bahwasannya zikir itu adalah mengingat Allah dengan zikir di dalam hati di antara shalat ke salat. Sesudah shalat subuh ia berzikir dengan suara samar sampai shalatasyraq(terbit fajar). Kemudian ia berzikir dalam hati sampai shalat dhuha. Ia shalat Dhuha empat /44/ rakaaat sampai 2 salam selain 2 rakaat wudhu. Jika ia mampu, ia shalat 8 rakaat. Bacaan ayat-ayatnya adalah al-Syams (QS. 91:1-5) al-Dhuha (QS.93:1-11) dana-Lam Nasyrah(QS. 94: 1-8). Kemudian ia pergi berhajat dan kembali pada waktu sebelum subuh untuk shalat Tahajjud sebanyak 4/45/ rakaat dan membaca surat tidak kurang dari 10 ayat. Ia memulai zikir dengan salawat kepada nabi Muhammad s.a.w. paling sedikit 10 kali, kemudian beristighfar , sebab salawat atas nabi s.a.w. merupakan pembuka /46/ hati dan istighfar dapat menjernihkan hati. Kemudian ia mengakhiri dzikir tersebut juga dengan salawat. Jika mampu, ia membacanya 300 kali; itu adalah lebih utama dan sempurna. Jika tidak, cukup 10 kali dan istighar 100 kali. Jika tidak cukup 10 kali, sebab amalan antara 2 shalat /47/ akan dikabulkan Allah SWT. Dengan demikian pula amalan setelah istigfar itu akan dikabulkan oleh Allah SWT Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits.

Beberapa putra Sayyid Ahmad Rifa’i bertanya kepadanya tentang wasiat. Ia berkata, “bertaqwalah kepada Allah dengan segala perbuatan yang nampak dan rahasia /48/, dan tetaplah taat kepada-Nya, wahai anakku! Tetaplah pada kebenaran dan peliharalah batasan-batasannya. Semoga Allah menunjukan jalan yang benar kepada kita dan semua orang muslim. Cara kita ini dibenarkan oleh

(kebajikan), menjauhi kekerasan., mencegah permusuhan, berlaku dermawan, memberi nasihat kepada yamg kecil dan yang besar, menjauhkan permusuhan dalam persahabatan dan melepaskan tali persahabatan dengan orang yang tidak sederajat /50/, serta berkasih sayang terhadap mahkluk-mahkluk. Ketauhilah wahai anakku - semoga Allah menunjukkan jalan yang benar kepada kita dan semua orang muslim – bahwa hakikat al-Faqir ialah orang yang mengharap kepada orang seperti engkau dengan cara engkau melayaninya, bukan ia melayanimu. Hakikat al-Ghani (orang kaya) adalah orang yang tidak berhajat kepada orang /51/ yang seperti engkau berhajat kepada Allah. Jika engkau melihat yang fakir jangan engkau perlihatkan ilmu kepadanya, tetapi perlihatkanlah kasih sayang, sebab ilmu itu akan menjauhkannya, sedangkan kasih sayang itu mendekatkannya. Aku wasiatkan kepadamu wahai anakku, jangan kamu berteman dengan orang-orang kaya dengan menyanjung-nyanjungnya, dan dengan orang miskin dengan menghina /52/. Kamu harus ikhlas, dan jangan lupa akan penciptaan mahkluk. Kerjakan salat wajib pada saat waktunya dengan berjamaah. Berpuasalah pada bulan Ramadan. Hidupkanlah malam-malamnya dengan membaca al-Qur’an, demikian pula pada siang harinya, menghalalkan yang halal dan mengharamkan /53/ yang haram.

Dokumen terkait