• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jadwal Pelaksanaan

Dalam dokumen Asuhan Kebidanan KB MOW RSUD Banyudono (Halaman 59-130)

BAB III METODE PENELITIAN

G. Jadwal Pelaksanaan

46

1. Pengumpulan/ Penyajian Data Dasar Secara Lengkap

Pada tanggal 23 Maret 2016 pukul 10.05 WIB, penulis melakukan observasi terhadap Ny. E umur 31 tahun, beragama Islam, bekerja swasta. Ny. E memiliki suami bernama Tn. M umur 38 tahun, beragama Islam, bekerja swasta. Keluarga yang tinggal di Bogor RT 13/06 Bener, Wonosari, Klaten ini datang ke Poliklinik Obsgyn (Kandungan) RSUD Banyudono mengatakan ingin memeriksakan kehamilannya yang sudah lewat tanggal perkiraan lahir.

Riwayat menstruasi Ny. E dalam kondisi normal dengan siklus teratur setiap bulannya. Ny. E telah menikah satu kali dengan Tn. M secara sah selama 9 tahun. Ny. E telah memiliki 2 orang anak dengan umur anak 9 tahun dan 7 tahun serta akan melahirkan satu anak lagi. Pada persalinan sebelumnya, ibu selalu melahirkan melalui operasi Sectio caesarea  (SC). Terdapat penyulit berupa lilitan tali pusat pada anak pertamanya yang mengharuskan ibu SC. Jarak kelahiran anak keduanya yang belum ada dua tahun juga mengindikasikan ibu untuk menjalani tindakan SC lagi.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum Ny. E baik, tanda-tanda vital dalam batas normal, tinggi badan 160 cm dan berat badan 60 kg. Pada pemeriksaan anogenital ditemukan sedikit lendir

47

keputihan namun tidak berbau. Selanjutnya pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan Ultrasonography (USG). Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis dengan hasil normal. Namun, pada pemeriksaan USG didapatkan hasil bahwa plasenta ibu dalam kondisi pengapuran. Jika ibu hamil lagi, kondisi plasenta tidak akan adequat dan dapat membahayakan bayinya. Sehingga ibu disarankan untuk menghentikan kesuburannya dengan sterilisasi.

Ny. E terlihat bahagia dengan keluarga yang dimilikinya. Tn. M dengan setia mengantar dan menemani selama pemeriksaan. Pengambilan keputusan pun didiskusikan bersama demi hasil yang terbaik. Keluarga yang masih menginginkan keturunan lagi ini memutuskan untuk menyetujui saran dokter untuk melahirkan anak ketiganya melalui SC serta mengakhiri kesuburan Ny. E secara MOW dengan alasan kesehatan seperti yang telah dijelaskan.

2. Interpretasi Data Dasar a. Diagnosis Kebidanan

Ny. E G3P2A0  umur 31 tahun hamil 40+3  minggu pra tindakan Sectio caesarea (SC) dan calon akseptor baru Medis Operasi Wanita (MOW).

Data subjektif meliputi ibu mengatakan berumur 31 tahun, hamil anak ketiga, telah melahirkan 2 kali dan belum pernah keguguran. Ibu mengatakan hari pertama haid terahkir tanggal 13 Juni 2015.

Data objektif meliputi pemeriksaan umum yaitu keadaan umum ibu baik, kesadaran composmentis, tanda-tanda vital dalam batas normal, tinggi badan 160 cm dan berat badan 60 kg. Pemeriksaan anogenital ditemukan sedikit lendir keputihan namun tidak berbau. Pemeriksaan laboratorium tanggal 23 Maret 2016 didapatkan hasil hemoglobin (Hb) 12,0 gr/dl, leukosit 9,800 x 106 /mm3  dan golongan darah B. Sedangkan pemeriksaan USG didapatkan hasil terdapat pengapuran plasenta.

b. Masalah

Masalah yang muncul yaitu ibu merasa belum yakin dengan keputusan tindakan sterilisasi yang akan dijalaninya. Hal ini didasari pada sikap ibu yang selalu menanyakan mengenai keharusan pelaksanaan tindakan sterilisasi dan terlihat cemas.

c. Kebutuhan

1) Penjelasan oleh bidan mengenai alasan tindakan MOW 2) Konseling pra tindakan, selama tindakan dan pasca tindakan

3) Support   mental dan motivasi untuk meyakinkan bahwa operasi akan berjalan lancar

3. Identifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial dan Antisipasinya

Diagnosis potensial kasus Ny. E yang dikhawatirkan timbul pasca tindakan MOW yaitu infeksi luka, demam pasca operasi, luka pada kandung kemih dan rasa sakit pada lokasi pembedahan. Antisipasi atau

49

penanganannya adalah memberikan asuhan dan terapi sesuai komplikasi yang timbul pasca operasi.

4. Kebutuhan terhadap Tindakan Segera

Kolaborasi dengan dokter Sp.OG dan tim bedah untuk persiapan SC dan MOW.

5. Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh

Tanggal: 23 Maret 2016 Pukul: 10.50 WIB

1. Jelaskan hasil pemeriksaan pada ibu dan suami dengan bahasa yang mudah dipahami

2. Berikan konseling dan KIE pada ibu dan suami mengenai tindakan operasi SC dan KB MOW

3. Berikan informed consent 

4. Lakukan advis dokter Sp. OG dan tim bedah untuk persiapan operasi SC dan MOW

5. Dokumentasikan tindakan

6. Pelaksanaan Asuhan dengan Efisien dan Aman

Tanggal: 23 Maret 2016 Pukul: 10.53 WIB

a. Menjelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu dan suami bahwa kehamilan ibu sudah 3 hari melebihi hari perkiraan lahir. Selain itu, riwayat persalinan secara SC sebanyak 2 kali dapat membahayakan keadaan ibu. Organ reproduksi tidak akan dapat berfungsi maksimal  jika telah dilakukan tindakan SC sebanyak 3 kali berturut-turut,

sterilisasi. Persalinan ibu hendaknya melalui SC sekaligus tindakan sterilisasi/MOW.

b. Memberikan konseling dan KIE pada ibu dan suami mengenai operasi SC dan MOW.

Memberikan penjelasan mengenai operasi SC yaitu suatu pembedahan persalinan buatan guna melahirkan janin melalui sayatan pada dinding abdomen dan uterus, sehingga janin dilahirkan melalui perut dengan keadaan utuh dan sehat. Tindakan SC ini dilakukan karena organ reproduksi ibu yang tidak akan dapat berfungsi maksimal jika telah melahirkan secara SC sebanyak 3 kali berturut-turut.

Sterilisasi atau MOW merupakan suatu tindakan pada kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan orang/pasangan tersebut tidak akan mendapat keturunan lagi. Syarat peserta KB MOW yaitu syarat sukarela, bahagia dan medik. Keadaan ibu yang tidak memungkinkan lagi untuk hamil karena terdapat pengapuran plasenta merupakan syarat medik dilakukannya tindakan MOW.

c. Memberikan informed consent   pada ibu dan suami dengan memantapkan hati ibu untuk menghadapi operasi serta meyakinkan bahwa ibu akan baik-baik saja. Meminta ibu dan suami untuk menandatangani informed consent .

d. Melakukan advis dokter Sp.OG dan tim bedah untuk persiapan operasi SC dan KB MOW.

51

Advis dokter:

1) Skin test Ceftriaxon 2gr profilaksis IC pukul 04.00 WIB tanggal 24 Maret 2016

2) Pasang infus  Ringer Laktat   500cc 20 tpm pukul 06.00 WIB tanggal 24 Maret 2016

3) Memasang  Down Cateter   (DC) pukul 06.00 WIB tanggal 24 Maret 2016

4) Puasa pre operasi mulai pukul 00.00 WIB tanggal 24 Maret 2016 5) Rencana operasi tanggal 24 Maret 2016 pukul 10.00 WIB

e. Mendokumentasikan tindakan 7. Evaluasi

Tanggal: 23 Maret 2016 Pukul: 12.30 WIB

a. Ibu telah mengetahui hasil pemeriksaan dan bersedia menjalani operasi SC sekaligus MOW.

b. Ibu telah mengerti dan paham dengan penjelasan yang diberikan serta dapat mengulang kembali alasan tindakan SC dan sterilisasi yang akan dijalaninya.

c.  Informed consent telah ditandatangani ibu dan suami d. Kolaborasi dengan dokter Sp.OG telah dilakukan

1) Skin test Ceftriaxon 2gr profilaksis IC pukul 04.00 WIB tanggal 24 Maret 2016

2) Pasang infus  Ringer Laktat 500cc 20 tpm pukul 06.00 WIB tanggal 24 Maret 2016

3) Memasang  Down Cateter (DC) pukul 06.00 WIB tanggal 24 Maret 2016

4) Puasa pre operasi mulai pukul 00.000 WIB tanggal 24 Maret 2016 5) Rencana operasi tanggal 24 Maret 2016 pukul 10.00 WIB

e. Tindakan telah didokumentasikan di buku laporan dan rekam medik (RM)

CATATAN PERKEMBANGAN

Perawatan hari ke-2 tanggal 24 Maret 2016 pukul 08.00 WIB. Ny. E mengatakan masih merasa cemas dan ragu dengan tindakan sterilisasi yang akan dijalaninya. Hasil pemeriksaan menunjukkan keadaan umum baik dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan. Operasi SC dan MOW direncanakan hari ini pukul 10.00 WIB. Penulis dapat menyusun sebuah assessment yaitu Ny. E umur 31 tahun G3P2A0 hamil 40+3 minggu pra tindakan SC dan MOW. Ibu telah mendapat tindakan pre operatif serta sudah mantap menjadi akseptor KB MOW. Pukul 09.30 WIB ibu dipindahkan ke ruang operasi untuk menjalani tindakan SC dan MOW. Operasi MOW menggunakan metode laparotomi dengan teknik oklusi Pomeroy dan anestesi lumbal. Hasil observasi KU, TTV, kontraksi, TFU dan perdarahan pasca operasi 2 jam pertama baik. Ibu telah mendapat konseling dan instruksi pasca bedah serta terapi sesuai advis dokter.

Perawatan hari ke-3 tanggal 25 Maret 2016 pukul 08.00 WIB. Ny. E mengatakan perutnya masih terasa mulas dan nyeri pada luka operasi, sudah

53

bisa miring kanan dan kiri serta sudah bisa menyusui bayinya. Hasil pemeriksaan menunjukkan keadaan umum baik, tanda-tanda vital dalam batas normal, pada abdomen tampak luka operasi masih tertutup kassa, kontraksi uterus keras dan pengeluaran pervaginam (PPV) berupa lochea rubra merah dengan jumlah ± 30cc. Penulis dapat menyusun sebuah assessment yaitu Ny. E umur 31 tahun P3A0 nifas hari I post SC dan MOW. Ibu telah mengetahui bahwa nyeri luka operasi yang dirasakan merupakan hal wajar. Selain itu, ibu telah mendapat penjelasan mengenai tanda bahaya nifas, gizi seimbang, istirahat cukup dan mobilisasi. Terapi dilanjutkan sesuai advis dokter.

Perawatan hari ke-4 tanggal 26 Maret 2016 pukul 08.00 WIB. Ny. E mengatakan keadaannya lebih baik, sudah dapat duduk dan jalan, bayinya menyusu aktif dan ASI keluar lancar, namun masih terasa mules dan nyeri luka operasi. Hasil pemeriksaan menunjukkan keadaan umum baik, tanda-tanda vital dalam batas normal, pada abdomen tampak luka masih tertutup kassa, kontraksi uterus keras dan pengeluaran pervaginam berupa lochea rubra warna merah dengan jumlah ± 20 cc. Penulis dapat membuat sebuah assassment yaitu Ny. E umur 31 tahun P3A0 nifas hari II post SC dan MOW. Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi ataupun perdarahan abnormal. Ibu telah mendapatkan penjelasan kembali mengenai tanda bahaya nifas dan perawatan luka operasi. Sesuai dengan advis dokter, infus maupun DC telah dilepas. Luka operasi telah dilakukan medikasi dan diganti kassa. Ibu diperbolehkan pulang setelah mendapat terapi oral. Ibu juga bersedia untuk

melakukan kunjungan ulang ke poliklinik kandungan minimal 2 kali yaitu 1 minggu setelah operasi dan 2 minggu setelah operasi, tepatnya tanggal 30 Maret dan 6 April 2016.

B. Pembahasan

Setelah penulis melakukan studi kasus kebidanan keluarga berencana pada Ny. E akseptor baru MOW di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali, maka penulis memaparkan kesesuaian antara konsep teori dengan penatalaksanaan di lahan. Adapun rincian hasil pembahasan antara teori dan praktik yang penulis temukan selama melakukan studi kasus adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data Dasar

Hal yang perlu diperhatikan sebelum dilakukannya tindakan MOW yaitu mengetahui berapa usia ibu dan jumlah anak. Pada penyajian data subjektif didapatkan usia ibu 31 tahun dan sudah memiliki 3 anak dengan 2 anak berumur 9 tahun dan 7 tahun serta 1 anak terakhir yang baru akan dilahirkan. Hal ini tidak sesuai dengan teori menurut Saifuddin (2009) yang menyatakan bahwa umur anak terkecil yaitu 2 tahun.

Ibu sudah bahagia dengan keluarganya, terikat pada perkawinan yang sah dan harmonis. Terlihat dari suami yang setia mengantar, menemani selama pemeriksaan serta bersama-sama mendiskusikan keputusan yang akan diambil. Hal ini sesuai dengan teori menurut Saifuddin (2009), yaitu salah satu syarat untuk menjadi akseptor kontrasepsi mantap MOW adalah syarat bahagia.

55

Pemeriksaan umum maupun fisik didapatkan hasil normal. Tekanan darah ibu 110/80 mmHg mengindikasikan diperbolehkannya tindakan MOW. Hal ini sesuai teori bahwa ibu dengan tekanan darah tinggi (sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) merupakan kontraindikasi dilakukannya MOW (Saifuddin, 2010).

Perlu dilakukan pemeriksaan ginekologik untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan pervaginal (Saifuddin, 2010). Pada pemeriksaan anogenital ditemukan sedikit lendir keputihan namun tidak berbau. Hal tersebut merupakan keadaan normal bagi ibu hamil dan bukan suatu kontraindikasi dilakukannya MOW.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan operasi yaitu pemeriksaan laboratorium terutama hemoglobin (Hb) dan pemeriksaan kehamilan (Saifuddin, 2010). Kadar hemoglobin Ny. E normal yaitu 12,0 gr/dl sehingga bisa dilakukan tindakan operasi. Namun, pihak rumah sakit tidak melakukan pemeriksaan tes kehamilan. Hal ini bukan merupakan kesenjangan karena ibu sudah pasti hamil dan akan melahirkan dengan operasi sectio caesarea.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selanjutnya yaitu Ultrasonography (USG). Berdasarkan pemeriksaan ditemukan adanya pengapuran plasenta dan apabila ibu hamil lagi dikhawatirkan dapat membahayakan janinnya. Keadaan inilah yang menjadi alasan utama dilakukannya tindakan sterilisasi MOW. Hal ini seperti dijelaskan oleh

Amru Sofian (2013) bahwa sterilisasi dapat dilakukan atas beberapa indikasi salah satunya yaitu indikasi medis obstetrik.

Tindakan operasi MOW dilakukan dengan teknik laparotomi setelah operasi SC. Teknik laparotomi bukan merupakan tindakan yang dikhususkan untuk tubektomi (Sofian, 2013). Penutupan tuba dilakukan sebagai tindakan tambahan dari operasi SC untuk melahirkan bayi.

2. Interpretasi Data Dasar

Pada langkah ini penulis melakukan pengelompokkan data fokus untuk menegakkan diagnosis kebidanan, masalah dan kebutuhan yang memerlukan penanganan.

a. Diagnosis Kebidanan

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan data subjektif dan objektif. Data subjektif pada kasus ini yaitu ibu datang ke rumah sakit dengan alasan ingin memeriksakan kehamilannya. Ibu mengatakan bernama Ny. E umur 31 tahun, sedang hamil anak ketiga, telah mempunyai 2 orang anak dan belum pernah keguguran. Hari pertama haid terakhir pada kehamilan ketiga ini tanggal 13 Juni 2015. Selama ini ibu menggunakan kontrasepsi berupa pil KB selama 2 tahun dan KB suntik 1 bulanan selama 6 bulan. Ibu selalu merasa pusing di akhir pemakaiannya.

Pada pemeriksaan penunjang berupa USG ditemukan bahwa terdapat pengapuran plasenta yang dapat membahayakan janin jika ibu

57

hamil lagi. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk mengakhiri kesuburannya dengan melakukan kontrasepsi steril (MOW).

Diagnosis kebidanan yang dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan di atas yaitu Ny. E umur 31 tahun G3P2A0  hamil 40+3 minggu pra tindakan sectio caesarea (SC) dan calon akseptor Medis Operasi Wanita (MOW) di RSUD Banyudono Boyolali.

b. Masalah

Pada kasus ini ibu merasa belum siap dengan tindakan sterilisasi yang akan dijalaninya dan tampak cemas menjelang operasi. Hal ini ditandai dengan ibu sering bertanya mengenai keharusan tindakan sterilisasi. Keadaan psikologi cemas pada ibu merupakan cemas yang fisiologis. Hal ini berdasarkan teori bahwa MOW adalah tindakan bedah dan pengakhiran kesuburan seorang wanita, sehingga sering menimbulkan kecemasan pada pasien. Keadaan cemas ini diakibatkan oleh persepsi mengenai perasaan yang tidak menyenangkan dan merupakan reaksi fisiologis. Dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya (Trismiati, 2009). Sehingga jika pasien merasa cemas menjelang operasi MOW adalah hal normal.

c. Kebutuhan

Kebutuhan yang diberikan pada kasus Ny. E umur 31 tahun G3P2A0 hamil 40+3  minggu pra tindakan SC dan calon akseptor MOW adalah penjelasan tindakan, konseling, motivasi dan support  mental pada ibu. Bidan memberikan penjelasan mengenai alasan dilakukannya tindakan

sterilisasi pada ibu serta prosedur pelaksanaan MOW yang dilakukan bersamaan dengan operasi SC yang menggunakan anestesi lokal, bukan total. Hal ini sudah sesuai dengan pendapat Trismiati (2009) dan Wiknjosastro (2005) yang mengatakan bahwa untuk mengurangi kecemasan ibu dibutuhkan konseling mengenai asuhan yang akan diberikan dan segala ketidaknyamanan yang mungkin terjadi. Selain itu, motivasi dan dukungan mental juga diperlukan untuk memantapkan dan meyakinkan keputusan ibu sebagai peserta KB MOW.

3. Diagnosis Potensial

Diagnosis potensial pada kasus Ny. E yang dikhawatirkan akan muncul pasca MOW yaitu infeksi luka, demam pasca operasi dan rasa sakit pada lokasi pembedahan.

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Saifuddin (2010) yaitu komplikasi yang mungkin dapat terjadi setelah dilakukan tindakan MOW antara lain infeksi luka, demam pasca operasi, luka pada kandung kemih, hematoma, emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi, rasa sakit pada lokasi pembedahan dan perdarahan superfisial (tepi kulit atau subkutan). Antisipasi atau penanganannya adalah memberikan asuhan dan terapi sesuai dengan komplikasi yang timbul nantinya.

4. Kebutuhan Tindakan Segera

Kebutuhan terhadap tindakan segera untuk menangani komplikasi pasca operasi adalah melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis untuk

59

pemberian terapi dan penanganan sesuai dengan komplikasi yang ditimbulkan (Saifuddin, 2010).

5. Perencanaan Asuhan yang Komprehensif

Rencana tindakan yang akan dilakukan pada Ny. E dibagi atas 3 tahap, yaitu pra, selama dan pasca tindakan operasi.

Persiapan yang dilakukan terhadap Ny. E meliputi persiapan alat, ruang, penolong dan klien. Selain itu, Ny. E serta suami telah menandatangani informed consent dan mendapatkan konseling pra MOW yang meliputi pengertian, efektifitas keuntungan serta efek samping. Hal ini sudah sesuai dengan teori yaitu pelaksanaan pra tindakan meliputi konseling, menandatangani informed consent  serta persiapan pre operatif seperti persiapan ruang operasi yang tenang, terang, bersih dan steril, maupun persiapan alat dan obat yang dibutuhkan. Menyiapkan ibu dengan melakukan vulva hygiene, mencukur rambut pubis dan sekitar abdomen, mengganti baju dengan pakaian operasi dan memberikan support mental serta motivasi agar ibu lebih siap menjalani operasi (Saifuddin, 2010).

Tindakan yang direncanakan dalam pelaksanaan MOW ini adalah kolaborasi dengan dokter Sp. OG dan tim bedah untuk pemberian terapi serta pelaksanaan MOW dengan teknik laparotomi dan metode oklusi tuba menurut Pomeroy menggunakan anestesi lumbal. Hal ini sesuai dengan teori menurut Wiknjosastro (2005) yang menyatakan bahwa cara pencapaian tuba melalui laparotomi terutama saat persalinan, dilakukan secara SC dimana kehamilan selanjutnya tidak diinginkan lagi.

Setelah tindakan operasi selesai dilakukan, rencana tindakan selanjutnya adalah membersihkan dan merapikan alat, tempat serta ibu. Selain itu juga melakukan observasi KU dan TTV pasca tindakan selama 2  jam pertama dan selama pemulihan di bangsal sebelum ibu pulang. Pemberian KIE dan konseling pasca MOW juga dilakukan pada Ny. E. Hal ini sudah sesuai dengan teori Saifuddin (2010).

6. Pelaksanaan Asuhan

Pelaksanaan asuhan pada kasus Ny. E disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah disusun.

Pelaksanaan pra tindakan meliputi memberi konseling, meminta ibu dan suami menandatangani informed consent  serta melakukan persiapan pre operasi meliputi menyiapkan ruang operasi, alat dan obat yang diperlukan. Selanjutnya menyiapkan ibu dengan mengganti baju ibu dengan pakaian operasi dan memberikan support mental serta memotivasi agar ibu lebih siap menjalani operasi.

Ny. E dan suaminya telah menandatangani informed consent . Hal ini sesuai teori menurut Saifuddin (2010), yaitu setiap tindakan medis yang mengandung resiko harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh orang yang bersangkutan. Sebelum operasi dilakukan, Ny. E dan suami telah mendapat penjelasan mengenai perlunya dilakukan tindakan MOW serta komplikasi yang mungkin timbul pasca operasi.

Pelaksanaan selama tindakan yaitu melakukan kolaborasi dengan dokter Sp.OG dan tim bedah dalam pemberian terapi maupun pelaksanaan

61

tindakan SC dan MOW. Tindakan MOW dilakukan dengan teknik bedah laparotomi metode oklusi Pomeroy dan anestesi lumbal.

Sedangkan pelaksanaan pasca tindakan meliputi melakukan dekontaminasi alat dengan merendam ke larutan klorin 0,5%, membersihkan tempat dan ibu, melepas alat perlindungan diri dan mencuci tangan. Selanjutnya melakukan observasi TTV dan membawa ibu kembali ke bangsal dan melanjutkan observasi selama 2 jam pertama dan selama pemulihan. Memberikan konseling dan KIE pasca operasi dan komplikasi yang mungkin timbul. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang dikemukakan Saifuddin (2010).

7. Evaluasi

Hasil observasi ibu yaitu keadaan umum dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Selanjutnya mendapat perawatan di bangsal selama 2 hari. Kondisi semakin baik dan tidak ditemukan komplikasi. Setelah dapat berdiri dan berjalan, ibu diperbolehkan pulang. Ny. E bersedia melakukan kunjungan ulang pada 1 minggu dan 2 minggu pasca operasi.

Kunjungan ulang yang akan dilakukan ini sesuai dengan teori menurut Saifuddin (2010) yang menjelaskan bahwa jadwal kunjungan ulang MOW dilakukan minimal 2 kali, yaitu seminggu dan 2 minggu pasca MOW.

Hasil penelitian studi kasus di atas didapatkan hasil kondisi ibu membaik dan stabil serta diperbolehkan pulang 2 hari pasca operasi. Terdapat kesenjangan antara teori dan praktik pelaksanaan keluarga

berencana MOW di RSUD Banyudono pada langkah pengumpulan data dasar subjektif mengenai umur anak terakhir.

63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Kesimpulan dari kasus Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana pada Ny. E umur 31 tahun P3A0  dengan Medis Operasi Wanita di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali adalah sebagai berikut:

1. Pengkajian data subjektif diketahui ibu berumur 31 tahun, terikat dalam perkawinan sah, hamil, jumlah anak 3, anak terkecil baru saja dilahirkan (kurang dari 2 tahun). Data objektif diketahui keadaan umum ibu baik dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan anogenital didapatkan sedikit lendir keputihan namun tidak berbau. Hal itu merupakan keadaan normal bagi ibu hamil. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan ibu dalam keadaan normal. Sedangkan pemeriksaan penunjang USG menunjukkan terdapat pengapuran plasenta. Ibu sebaiknya tidak hamil lagi karena dapat membahayakan janinnya, sehingga disarankan untuk mengakhiri kesuburan dengan tindakan MOW. Ibu tidak memenuhi syarat bahagia untuk dilakukannya tindakan MOW.

2. Interpretasi data pada awal kasus ini adalah Ny. E umur 31 tahun G3P2A0 hamil 40+3 minggu pra tindakan Sectio caesarea (SC) dan Medis Operasi Wanita (MOW) di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali. Kemudian setelah operasi SC dilakukan, interpretasi datanya adalah Ny. E umur 31 tahun P3A0  akseptor baru Medis Operasi Wanita (MOW) di RSUD Banyudono. Masalah yang dialami klien yaitu ragu dan cemas mengenai

tindakan MOW yang akan dijalaninya, sehingga kebutuhan yang diperlukan adalah penjelasan, konseling (pra, selama dan pasca tindakan), support mental dan motivasi untuk ibu agar mantap dengan keputusannya. 3. Diagnosis potensial yang dikhawatirkan timbul pasca tindakan MOW

yaitu infeksi luka, demam pasca operasi, luka pada kandung kemih dan rasa sakit pada lokasi pembedahan. Antisipasi segera yang dapat dilakukan yaitu melakukan pencegahan infeksi dan berkolaborasi dengan dokter Sp.OG untuk pemberian terapi maupun tindakan.

4. Kebutuhan terhadap tindakan segera pada kasus ini adalah berkolaborasi dengan dokter Sp.OG untuk penanganan komplikasi yang timbul pasca operasi.

5. Rencana asuhan kebidanan yang ditetapkan pada Ny. E akseptor MOW telah sesuai teori. Pertama, melakukan observasi pra tindakan, konseling, pemberian informed consent tindakan serta melakukan persiapan alat, ruang, klien dan penolong. Selanjutnya berkolaborasi dengan dokter Sp.

Dalam dokumen Asuhan Kebidanan KB MOW RSUD Banyudono (Halaman 59-130)

Dokumen terkait